Monday, January 9, 2023

KANTUNG BERWARNA EMAS 30

KANTUNG BERWARNA EMAS  30

(Tien Kumalasari)

 

“Rian … hallo, siapa sakit? Kamu?” pak Candra berteriak, tapi Rian sudah menutup ponselnya, dan tak bisa lagi dihubungi.

“Mas Rian sakit?” tanya Nurani khawatir.

“Entahlah, telpon nggak jelas. Dia hanya bilang ada di rumah sakit, tapi yang sakit siapa, nggak jelas, ponselnya sudah mati.”

“Jangan-jangan ibu,” kata Nurani .

“Rian kan ada di kampus. Mana mungkin ibumu yang sakit.”

Nurani dan Andre mencoba menghubungi Rian, tapi benar,  ponselnya tidak lagi aktif.

“Bagaimana ini?” Nurani tampak gelisah.

“Sabar Nurani, kamu tidak usah terlalu khawatir. Kalau Rian yang sakit, pasti tak akan bisa menelpon sejelas itu,” kata pak Candra.

“Tak ada yang bisa kita lakukan kecuali menunggu,” kata Andre.

Nurani mengirim pesan ke ponsel Rian. Ia tidak sabar menunggu.

“Saya akan ke kampus,” kata Nurani sambil berdiri.

“Tapi Rian tidak ada di kampus. Dia bilang di rumah sakit.”

“Kalau begitu harus tahu ke rumah sakit mana,” kata Nur lagi, yang masih saja berdiri.

“Nur, kamu harus tenang,” hibur ayahnya.

Ia menyadari, betapa dekatnya Nur dan Rian. Pak Candra menepuk bahu Nurani untuk menenangkannya.

“Percayalah dia tak apa-apa. Suaranya bukan seperti orang kesakitan, tampaknya dia mengantarkan seseorang,” kata ayahnya

“Kalau mau  ke rumah sakit, nunggu sebentar lagi, kamu sudah mengirim pesan kan, pasti dia akan membalasnya. Duduklah dulu, Nur,” kata Andre.

Nurani menatap Andre, yang juga sedang menatapnya dengan kekhawatiran yang sama.

“Makan dulu di kantin, atau mau makan di luar? Biar hati kamu lebih tenang,” kata pak Candra.

“Tidak, Nur belum lapar.”

“Ini sudah jam makan siang, kamu tidak boleh terlambat makan, nanti perut kamu sakit. Andre, temani Nur makan,” perintahnya kemudian kepada Andre.

Andri berdiri, memberi isyarat kepada Nur agar mengikutinya.

“Bapak tidak makan?” tanya Nurani.

“Bapak nanti saja, setelah selesai memeriksa berkas ini, bapak menyusul. Mau makan di mana?”

“Di kantin atau keluar, Nur?”

“Di kantin saja,” kata Nurani yang sebenarnya enggan.

 ***

“Senyum dong, kenapa wajahnya manyun begitu?” goda Andre ketika makan bersama Nurani.

“Aku masih memikirkan mas Rian.”

“Semoga dia baik-baik saja. Bukankah kata bapak tadi, saat menelpon, suara mas Rian bukan seperti orang sakit?”

“Lalu siapa yang sakit sehingga mas Rian tampak bingung. Aku mau menelpon rumah saja.”

“Baiklah, terserah kamu saja.”

Nurani kemudian menelpon rumah, tapi tak ada yang mengangkat.

“Tuh kan, ibu juga nggak ada. Jangan-jangan ibu yang sakit.”

Andre heran, Nurani gadis yang luar biasa. Dia diperlakukan buruk oleh ibu tirinya selama bertahun-tahun, tapi dia masih memikirkan dan bahkan menghawatirkannya. Barangkali karena kebaikannya itu pula maka dia selamat dari maut.

Tiba-tiba Pusy muncul di depan pintu kantin. Nurani terkejut, tadi Pusy tidur di sofa, kok ya tahu kalau dirinya ada di kantin. Pusy mendekati Nurani, lalu melompat ke atas pangkuannya.

“Apa kamu lapar?”

“Meaaauuww,” jawab Pusy sambil menyembunyikan kepalanya.

“Pusy tidak pernah lapar,” gumamnya.

“Dia memiliki ikatan batin yang kuat dengan kamu Nur.  Dia selalu ada untuk kamu. Seperti seekor kucing ajaib. Bahkan dia tahu kalau kamu berada di sini.”

“Entahlah, aku juga tidak tahu, dia seperti selalu menjaga aku.”

“Barangkali almarhumah ibu kamu, pernah berpesan sama Pusy, agar selalu menjaga kamu. Dan itu dilakukannya.”

“Benarkah?”

“Pastinya begitu.”

“Biasanya, kalau dia tidak sedang sakit, tiba-tiba saja menghilang entah kemana. Saat sakit ini dia selalu berada di dekat aku. Mungkin karena ketika sakit, dia juga butuh teman.”

“Benar-benar seperti manusia pemikirannya.”

“Iya tuh.”

“Kalau di rumah dia suka makan apa?”

“Sebelum ketemu aku, entah dia makan apa, tapi akhir-akhir ini dia selalu makan apapun yang aku berikan. Tidak banyak, sedikit sekali, itupun hanya kadang-kadang.”

“Mungkin itu sebabnya, kalau ada orang makan sedikit, pasti dikatakan ‘makan kok seperti kucing’. Karena kucing makan hanya sedikit.”

“Iya juga ya.”

Karena kedatangan Pusy, Nurani agak terhibur. Dia juga bisa menghabiskan semangkuk nasi soto yang dipesannya.

Tiba-tiba ponsel Nurani berdering.

“Dari mas Rian,” wajah Nurani langsung berbinar.

“Ya Mas, aku menunggu kabar dari kamu.”

“Apa kamu mengira aku yang sakit?”

“Siapa yang sakit? Bukan ibu kan?”

“Bukan. Siswati terjatuh dari motornya.”

“Mbak Siswati? Bagaimana bisa terjatuh?”

“Dia memacu motornya ketika aku mengejarnya.”

“Mengapa kamu mengejarnya?”

“Sebenarnya aku ingin bicara banyak tentang hubungan kami.”

“Oh, jadi Mas menyesalinya? Lalu bagaimana keadaannya?”

“Tidak apa-apa. Hanya luka lecet, kaki kirinya retak.”

“Di operasi?”

“Tidak. Hanya perlu di gips  Apakah kamu bisa datang ke rumah sakit? Dia tidak mau bicara sama aku.”

“Tentu, rumah sakit mana?”

“Aku kirimkan alamatnya, takut kamu tersesat.”

Rian langsung menutup pembicaraan itu. Dia tampak gelisah.

“Bagaimana?”

“Mbak Siswati jatuh dari motor, ketika mas Rian mengejarnya. Kaki kirinya di gips. Aku mau ke rumah sakit sekarang,” katanya sambil berdiri.

“Jangan sendiri, biar aku antar. Rumah sakit mana?”

“Ini, dia sudah mengirimkan alamatnya.”

Andre  segera membayar makan minum mereka, kemudian bergegas kembali ke ruang pak Candra.

“Lho, kok sudah selesai, aku baru mau menyusul kalian.”

“Saya mau mengantarkan Nurani ke rumah sakit.”

“Siapa yang sakit?”

“Siswati. Jatuh dari motor.”

“Siswati itu … pacar Rian … yang barusan diputusin itu?”

“Iya Pak.”

“Bagaimana lukanya?”

“Katanya ada kakinya yang retak, harus di gips.”

“Ya sudah, berangkat lah kalian. Aku mau suruhan OB saja untuk beli makan siang aku.”

“Kasihan, Bapak makan sendiri?”

“Tidak apa-apa, pergilah, kamu mencemaskan kakak kamu kan? Supaya kamu lega bahwa dia tak apa-apa.”

Nurani tersenyum, kemudian sambil menggendong Pusy dia mengikuti Andre yang mendahului untuk mengambil mobilnya.

***

Rian termenung di ruang tunggu. Dia tak mengira Siswati sangat marah sama dia. Tadi di kampus, dia bertemu Siswati. Dia teringat ketika Andre menakut-nakuti, bahwa nanti Siswati tak lama setelah putus darinya sudah akan digaet orang lain. Sungguh Rian bingung. Rasa ketakutan membuatnya memutuskan hubungan tanpa berpikir panjang. Andre benar, dia harus menceritakan semuanya, lalu akan diketahui bagaimana Siswati bersikap. Itu sebabnya siang itu dia menunggu Siswati yang tampaknya sudah mengambil sepeda motornya, dan bersiap akan pulang.

Rian sudah nangkring di atas motornya, ketika Siswati semakin mendekat.

“Sis,” sapanya, berharap Siswati akan berhenti.

Tapi ternyata Siswati hanya menoleh sekilas, kemudian memacu sepeda motornya.

“Sis, aku mau bicara !” teriak Rian sambil mengejar.

Siswati memacu sepeda motornya semakin kencang. Tapi ketika keluar dari gerbang kampus, motornya terguling saat menghindari orang yang akan menyeberang. Dia terjatuh, sebelah kakinya tertindih motornya.

“Sis !!” Rian berteriak khawatir. Ia berhenti di dekat Siswati terjatuh. Lalu mengangkat sepeda motornya, agar Siswati bisa berdiri. Tapi ternyata Siswati meringis kesakitan.

“Apa yang sakit? Kakimu luka?” tanya Rian sambil bermaksud memegang kakinya, tapi Siswati menepis tangannya dengan wajah marah.

Beberapa orang mendekat, ada juga teman sekampus Siswati, yang berhenti dengan mobilnya.

“Kenapa Sis?”

“Tolong bawa dia ke rumah sakit, tampaknya kakinya cedera,” kata Rian.

“Dengan dibantu beberapa teman wanita, Siswati dilarikan ke rumah sakit. Beberapa lagi membawa motor Siswati ke bengkel yang ada di dekat kampus.

Rian yang menunggui  saat Siswati ditangani, sangat sedih. Siswati sama sekali tak mau bicara dengannya. Walau begitu dengan setia dia menunggui di luar ruang UGD.

Rian tadi sudah menelpon ayahnya, bilang mau meminjam uang, yang ditertawakan oleh ayahnya.

“Kamu apa-apaan sih Rian, mau pinjam uang sama orang tua sendiri? Bapak tahu, kamu ingin membayar beaya rawat Siswati bukan? Bapak transfer beberapa puluh juta dulu ke rekening kamu, kalau kurang, bilang ya.”

“Terima kasih Pak, saya sangat terpaksa. Ada sih dalam tabungan, takutnya kurang.”

“Tidak apa-apa. Ambil saja sekarang. Semoga Siswati segera sembuh, dan tanyakan sekalian, kapan bapak bisa melamar dia,” kata pak Candra.

“Ah, Bapak. Doakan saja ya Pak.”

Pak Candra hanya tertawa.

Ketika dia ikut memasuki ruang rawat dan mengatakan pada Siswati bahwa dia telah membayar semua beayanya, Siswati hanya menjawab singkat.

“Nanti aku ganti.”

Dan setelah itu dia minta agar Rian meninggalkannya.

Tapi Rian masih duduk di ruang tunggu, wajahnya murung.

Ketika itulah, Nurani dan Andre datang.

“Bagaimana Mas?”

“Masih di dalam.”

“Tidak bahaya kan lukanya?” tanya Andre.

“Luka sedikit, cuma kakinya retak, harus di gips, mungkin dia boleh pulang hari ini.”

“Mas Rian butuh uang?” tanya Nurani.

“Iya, aku ada nih, berapa?” sambung Andre.

“Sudah aku bayar, tadi aku minta sama bapak.”

“Oh, syukurlah.”

“Siswati tidak mau bicara sama aku. Rupanya dia sangat marah.”

“Waduh, gawat nih. Jangan-jangan dia sudah dapat gantinya,” goda Andre.

“Mas Andre!” pekik Nurani sambil memelototi Andre. Yang dipelototin hanya tertawa.

“Iya tuh, Mas Andre menakut-nakuti terus,” keluh Rian.

“Jangan takut Mas, nanti aku bicara sama mbak Sis. Tenang saja,” kata Nurani sambil menepuk bahu kakaknya.

***

Siswati sudah boleh pulang. Kaki kiri di atas pergelangan di gips, tapi dia harus memakai kruk. Semua sudah di dapatnya di rumah sakit, Rian yang membayar semuanya. Ia tak menolak ketika Andre mengantarkannya bersama Nurani.

Atas saran Nurani, Rian di suruh kembali ke kantor saja.

“Mas tidak usah mengantarkan, hatinya masih belum luluh. Aku akan mencoba bicara.”

“Baiklah,” kata Rian, lesu.

“Mas ke kantor saja, bapak pasti menunggu.

Rian mengangguk. Tanpa menatap Siswati yang memang selalu mengalihkan pandangannya dari Rian.

Di mobil, Nurani sengaja duduk di belakang bersama Siswati. Andre membiarkannya, barangkali Nurani bisa meluluhkan hatinya.

“Aku berhutang sama mas Rian. Nanti aku mau minta sama ibu. Tolong tanyakan berapa habisnya? Aku tidak bisa menghubungi rumah karena ponselku ada di dalam tas yang aku letakkan di bagasi motor,” kata Siswati.

“Itu soal gampang, nanti aku bicara sama mas Rian.”

“Terima kasih.”

“Mbak Sis marah sama mas Rian?” tanya Nurani memancing.

Siswati tak menjawab. Wajahnya berubah sendu.

“Ini bukan mauku, tapi mau dia.”

“Mas Rian sebenarnya sedang sedih. Dan dia semakin sedih ketika mbak Sis mengacuhkannya.”

“Dia tidak perlu sedih karena aku. Siapa lah aku ini, bagi dia,” keluh Siswati.

“Adik mas Rian dipenjara.”

Siswati menatap Nurani, mencoba mencari kebenaran dari apa yang dikatakannya.

Lalu dengan hati-hati Nurani menceritakan semuanya, membuat Siswati terkejut.

“Aku tidak mengira. Mas Rian tidak pernah cerita.”

“Tadi mas Rian ingin cerita, tapi Mbak lari dari dia.”

“Aku tak ingin mengingat dia lagi.”

“Mas Rian sangat sedih atas kejadian itu. Dia memutuskan hubungan kalian, karena takut, pada akhirnya, setelah mendengar apa yang terjadi pada keluarganya, lalu Mbak lah yang kemudian meninggalkannya.”

“Harusnya dia bicara sama aku dulu, baru kemudian  bertindak. Hal yang dikatakannya tidak jelas, lalu aku berasumsi bahwa setelah berhasil, dia merasa aku yang tidak pantas untuk dia.”

“Biarkan mas Rian bicara.”

“Nanti sambil mengembalikan uangnya, aku mau bicara.”

“Syukurlah kalau Mbak mau bicara.”

“Tanyakan dulu, berapa aku harus mengganti uangnya.”

“Mbak saja yang menanyakan. Mana mau dia menjawab kalau aku yang bertanya.”

Andre merasa lega. Dari pembicaraan itu, tak ada rasa kecewa di hati Siswati atas keadaan keluarga Rian. Rian juga tak perlu sedih dan merasa bahwa aib di keluarganya akan membuat Siswati menjauhinya.

***

Nurani pulang ke rumah dengan diantar Andre. Sepanjang jalan Andre terus memuji-muji Nurani yang telah berhasil meluluhkan hati Siswati.

“Kamu gadis yang luar biasa. Kamu adalah penyejuk suasana panas yang hampir membakar sepasang kekasih,” kata Andre.

“Sudah, berhenti memujinya, nanti kepalaku bertambah besar.”

“Itu benar, aku berkata yang sesungguhnya.”

“Itu kan biasa sih Mas, semua orang bisa melakukannya.”

“Belum tentu. Memadamkan api amarah itu tidak mudah.”

“Ya sudah, sekarang sudah sampai rumah, besok dilanjutkan lagi ya sanjungannya.”

Andre tertawa.

“Iya, tadi kan belum selesai, sebelum kamu kuliah, masih banyak yang harus kamu ketahui.”

“Jadi besok aku ke kantor lagi?”

“Coba saja, nanti pasti Bapak mengatakannya.

Ketika turun dari mobil, Nurani memasuki rumah masih dengan menggendong Pusy. Pusy sudah bisa berjalan lebih tegak, tidak terpincang-pincang lagi.

Rumah memang kosong, rupanya sang ibu memang bepergian. Pantas saja tadi ditelpon tidak ada yang mengangkat. 

Tapi tiba-tiba Pusy bersikap aneh. Ia berjalan mendahului, sambil sesekali menoleh ke arah Nurani. Rupanya dia ingin agar Nurani mengikutinya.

“Ada apa Pusy? Mau kamu ajak ke mana aku?”

***

Besok lagi ya.

55 comments:

  1. Replies
    1. Waaah larine paling kenceng Mas Bambang...

      Delete
    2. Selamat buat akung Bambang Subekti malam ini bola pimpongnya masuk lebih dulu.......

      selamat malam bu Tien sehat selalu dan selalu sehat.
      Salam ADUHAI dari mBandung.

      Delete
  2. 🌷🍃🌷 Alhamdulillah KBE 30 telah hadir. Matur nuwun Bunda Tien. Semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai 🙏🦋🌷

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 30 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun mbak Tien-ku, Kantung Berwarna Emas sudah tayang.

    ReplyDelete
  5. Sudah tayang...yg dinanti2. Matur nuwun bu Tien.🙏😀

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah KBE 30 Sudah tayang. ...

    Matur nuwun Bu Tien....

    Moga Bu Tien sekeluarga sehat selalu....

    Aamiin......

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah...
    KBE 30 hadir...
    Matunuwun Bu Tien...
    Salam sehat selalu...

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .

    ReplyDelete
  9. Maturnuwun bunda Tien.. 🙏
    Salam Sehat Selalu...

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah
    Terima kasih Bu Tien..

    ReplyDelete
  11. Alhamdulilah, matur nuwun mbakyuku Tienkumalasari dear, salam sehat dari Cibubur

    ReplyDelete

  12. Alhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~30 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah
    Ahirnya datang juga
    Matur nuwun bu Tien

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah...

    Maturnuwun Bu Tien
    🙏🙏

    ReplyDelete
  15. Ternyata Siswati yang sakit. Ada andil Rian yang mengakibatkan dia jatuh.
    Apa yang dirasakan Pusy? Mungkin bu Candra ada sesuatu..
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, salam sehat

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah , salam sehat mbakyu Tien 🙏

    ReplyDelete
  18. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien

    ReplyDelete
  19. Lho kok nyekukruk, Amirah ketakutan karena pussy ikut ke kantor sama Nurani, putus asa pasti cerita kaki kucing di pukul kayu garan sapu sama Amirah, nggak ada harapan lagi mau bunuh kediri saja gandulan di uwit lombok, oalah rah rah kok cupet men nambahi pikiran anak lanang yang harusnya senang sudah selesai sekolahnya.
    Kasian Rian kesedihan yang harusnya berkurang malah nambah kalau makan siang nah itu perlu nambah. Energie bro
    Gimana; isiné cuman pikiran minus saja, paling uang buat arisan kurang jadi nggak keluar rumah. Isin sama soibnya.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Kantung berwarna emas yang ke tiga puluh sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah KBE 30 sdh hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  21. Terima kasih Bu Tien..... salam sehat selalu.
    Wah jangan2 Bu Candra sakit

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah sdh tayangan...
    Terimakasih Bu Tien...
    Salam sehat selalu..

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah
    Akhirnya datang juga
    Matur nuwun bu Tien

    ReplyDelete
  24. Siswati yang marah pada Rian, bu Tien...bukan Nurani.😅

    ReplyDelete
  25. Trims Bu Tien semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  26. Slamat pagiii bunda Tien..terima ksih🙏 KBE nya..slmsehat dan tetap Aduhai sll dri sukabumi🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  27. Semakin penasaran aja..
    Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu aduhai

    ReplyDelete
  28. Waduh..ada apa lgi nih...?

    Matur nuwun bunda Tien...🙏

    ReplyDelete
  29. Ayo tebak...si Pusy itu umurnya berapa, dan apa lagi yang akan dilakukannya untuk melindungi Nurani?
    Maturnuwun mbak Tien sayang

    ReplyDelete
  30. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 01

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...