KANTUNG BERWARNA EMAS
30
(Tien Kumalasari)
“Rian … hallo, siapa sakit? Kamu?” pak Candra
berteriak, tapi Rian sudah menutup ponselnya, dan tak bisa lagi dihubungi.
“Mas Rian sakit?” tanya Nurani khawatir.
“Entahlah, telpon nggak jelas. Dia hanya bilang ada di
rumah sakit, tapi yang sakit siapa, nggak jelas, ponselnya sudah mati.”
“Jangan-jangan ibu,” kata Nurani .
“Rian kan ada di kampus. Mana mungkin ibumu yang
sakit.”
Nurani dan Andre mencoba menghubungi Rian, tapi
benar, ponselnya tidak lagi aktif.
“Bagaimana ini?” Nurani tampak gelisah.
“Sabar Nurani, kamu tidak usah terlalu khawatir. Kalau
Rian yang sakit, pasti tak akan bisa menelpon sejelas itu,” kata pak Candra.
“Tak ada yang bisa kita lakukan kecuali menunggu,”
kata Andre.
Nurani mengirim pesan ke ponsel Rian. Ia tidak sabar
menunggu.
“Saya akan ke kampus,” kata Nurani sambil berdiri.
“Tapi Rian tidak ada di kampus. Dia bilang di rumah
sakit.”
“Kalau begitu harus tahu ke rumah sakit mana,” kata
Nur lagi, yang masih saja berdiri.
“Nur, kamu harus tenang,” hibur ayahnya.
Ia menyadari, betapa dekatnya Nur dan Rian. Pak Candra
menepuk bahu Nurani untuk menenangkannya.
“Percayalah dia tak apa-apa. Suaranya bukan seperti
orang kesakitan, tampaknya dia mengantarkan seseorang,” kata ayahnya
“Kalau mau ke
rumah sakit, nunggu sebentar lagi, kamu sudah mengirim pesan kan, pasti dia
akan membalasnya. Duduklah dulu, Nur,” kata Andre.
Nurani menatap Andre, yang juga sedang menatapnya
dengan kekhawatiran yang sama.
“Makan dulu di kantin, atau mau makan di luar? Biar
hati kamu lebih tenang,” kata pak Candra.
“Tidak, Nur belum lapar.”
“Ini sudah jam makan siang, kamu tidak boleh terlambat
makan, nanti perut kamu sakit. Andre, temani Nur makan,” perintahnya kemudian
kepada Andre.
Andri berdiri, memberi isyarat kepada Nur agar
mengikutinya.
“Bapak tidak makan?” tanya Nurani.
“Bapak nanti saja, setelah selesai memeriksa berkas
ini, bapak menyusul. Mau makan di mana?”
“Di kantin atau keluar, Nur?”
“Di kantin saja,” kata Nurani yang sebenarnya enggan.
***
“Senyum dong, kenapa wajahnya manyun begitu?” goda Andre ketika makan bersama Nurani.
“Aku masih memikirkan mas Rian.”
“Semoga dia baik-baik saja. Bukankah kata bapak tadi,
saat menelpon, suara mas Rian bukan seperti orang sakit?”
“Lalu siapa yang sakit sehingga mas Rian tampak
bingung. Aku mau menelpon rumah saja.”
“Baiklah, terserah kamu saja.”
Nurani kemudian menelpon rumah, tapi tak ada yang
mengangkat.
“Tuh kan, ibu juga nggak ada. Jangan-jangan ibu yang
sakit.”
Andre heran, Nurani gadis yang luar biasa. Dia
diperlakukan buruk oleh ibu tirinya selama bertahun-tahun, tapi dia masih
memikirkan dan bahkan menghawatirkannya. Barangkali karena kebaikannya itu pula
maka dia selamat dari maut.
Tiba-tiba Pusy muncul di depan pintu kantin. Nurani
terkejut, tadi Pusy tidur di sofa, kok ya tahu kalau dirinya ada di kantin.
Pusy mendekati Nurani, lalu melompat ke atas pangkuannya.
“Apa kamu lapar?”
“Meaaauuww,” jawab Pusy sambil menyembunyikan
kepalanya.
“Pusy tidak pernah lapar,” gumamnya.
“Dia memiliki ikatan batin yang kuat dengan kamu Nur. Dia selalu ada untuk kamu. Seperti seekor
kucing ajaib. Bahkan dia tahu kalau kamu berada di sini.”
“Entahlah, aku juga tidak tahu, dia seperti selalu
menjaga aku.”
“Barangkali almarhumah ibu kamu, pernah berpesan sama
Pusy, agar selalu menjaga kamu. Dan itu dilakukannya.”
“Benarkah?”
“Pastinya begitu.”
“Biasanya, kalau dia tidak sedang sakit, tiba-tiba
saja menghilang entah kemana. Saat sakit ini dia selalu berada di dekat aku.
Mungkin karena ketika sakit, dia juga butuh teman.”
“Benar-benar seperti manusia pemikirannya.”
“Iya tuh.”
“Kalau di rumah dia suka makan apa?”
“Sebelum ketemu aku, entah dia makan apa, tapi
akhir-akhir ini dia selalu makan apapun yang aku berikan. Tidak banyak, sedikit
sekali, itupun hanya kadang-kadang.”
“Mungkin itu sebabnya, kalau ada orang makan sedikit,
pasti dikatakan ‘makan kok seperti kucing’. Karena kucing makan hanya sedikit.”
“Iya juga ya.”
Karena kedatangan Pusy, Nurani agak terhibur. Dia juga
bisa menghabiskan semangkuk nasi soto yang dipesannya.
Tiba-tiba ponsel Nurani berdering.
“Dari mas Rian,” wajah Nurani langsung berbinar.
“Ya Mas, aku menunggu kabar dari kamu.”
“Apa kamu mengira aku yang sakit?”
“Siapa yang sakit? Bukan ibu kan?”
“Bukan. Siswati terjatuh dari motornya.”
“Mbak Siswati? Bagaimana bisa terjatuh?”
“Dia memacu motornya ketika aku mengejarnya.”
“Mengapa kamu mengejarnya?”
“Sebenarnya aku ingin bicara banyak tentang hubungan
kami.”
“Oh, jadi Mas menyesalinya? Lalu bagaimana keadaannya?”
“Tidak apa-apa. Hanya luka lecet, kaki kirinya retak.”
“Di operasi?”
“Tidak. Hanya perlu di gips Apakah kamu bisa datang ke
rumah sakit? Dia tidak mau bicara sama aku.”
“Tentu, rumah sakit mana?”
“Aku kirimkan alamatnya, takut kamu tersesat.”
Rian langsung menutup pembicaraan itu. Dia tampak
gelisah.
“Bagaimana?”
“Mbak Siswati jatuh dari motor, ketika mas Rian mengejarnya.
Kaki kirinya di gips. Aku mau ke rumah sakit sekarang,” katanya sambil berdiri.
“Jangan sendiri, biar aku antar. Rumah sakit mana?”
“Ini, dia sudah mengirimkan alamatnya.”
Andre segera
membayar makan minum mereka, kemudian bergegas kembali ke ruang pak Candra.
“Lho, kok sudah selesai, aku baru mau menyusul kalian.”
“Saya mau mengantarkan Nurani ke rumah sakit.”
“Siapa yang sakit?”
“Siswati. Jatuh dari motor.”
“Siswati itu … pacar Rian … yang barusan diputusin
itu?”
“Iya Pak.”
“Bagaimana lukanya?”
“Katanya ada kakinya yang retak, harus di gips.”
“Ya sudah, berangkat lah kalian. Aku mau suruhan OB
saja untuk beli makan siang aku.”
“Kasihan, Bapak makan sendiri?”
“Tidak apa-apa, pergilah, kamu mencemaskan kakak kamu
kan? Supaya kamu lega bahwa dia tak apa-apa.”
Nurani tersenyum, kemudian sambil menggendong Pusy dia
mengikuti Andre yang mendahului untuk mengambil mobilnya.
***
Rian termenung di ruang tunggu. Dia tak mengira
Siswati sangat marah sama dia. Tadi di kampus, dia bertemu Siswati. Dia
teringat ketika Andre menakut-nakuti, bahwa nanti Siswati tak lama setelah
putus darinya sudah akan digaet orang lain. Sungguh Rian bingung. Rasa
ketakutan membuatnya memutuskan hubungan tanpa berpikir panjang. Andre benar,
dia harus menceritakan semuanya, lalu akan diketahui bagaimana Siswati
bersikap. Itu sebabnya siang itu dia menunggu Siswati yang tampaknya sudah
mengambil sepeda motornya, dan bersiap akan pulang.
Rian sudah nangkring di atas motornya, ketika Siswati
semakin mendekat.
“Sis,” sapanya, berharap Siswati akan berhenti.
Tapi ternyata Siswati hanya menoleh sekilas, kemudian
memacu sepeda motornya.
“Sis, aku mau bicara !” teriak Rian sambil mengejar.
Siswati memacu sepeda motornya semakin kencang. Tapi
ketika keluar dari gerbang kampus, motornya terguling saat menghindari orang
yang akan menyeberang. Dia terjatuh, sebelah kakinya tertindih motornya.
“Sis !!” Rian berteriak khawatir. Ia berhenti di dekat
Siswati terjatuh. Lalu mengangkat sepeda motornya, agar Siswati bisa berdiri. Tapi
ternyata Siswati meringis kesakitan.
“Apa yang sakit? Kakimu luka?” tanya Rian sambil
bermaksud memegang kakinya, tapi Siswati menepis tangannya dengan wajah marah.
Beberapa orang mendekat, ada juga teman sekampus
Siswati, yang berhenti dengan mobilnya.
“Kenapa Sis?”
“Tolong bawa dia ke rumah sakit, tampaknya kakinya
cedera,” kata Rian.
“Dengan dibantu beberapa teman wanita, Siswati
dilarikan ke rumah sakit. Beberapa lagi membawa motor Siswati ke bengkel yang
ada di dekat kampus.
Rian yang menunggui
saat Siswati ditangani, sangat sedih. Siswati sama sekali tak mau bicara
dengannya. Walau begitu dengan setia dia menunggui di luar ruang UGD.
Rian tadi sudah menelpon ayahnya, bilang mau meminjam
uang, yang ditertawakan oleh ayahnya.
“Kamu apa-apaan sih Rian, mau pinjam uang sama orang
tua sendiri? Bapak tahu, kamu ingin membayar beaya rawat Siswati bukan? Bapak
transfer beberapa puluh juta dulu ke rekening kamu, kalau kurang, bilang ya.”
“Terima kasih Pak, saya sangat terpaksa. Ada sih dalam
tabungan, takutnya kurang.”
“Tidak apa-apa. Ambil saja sekarang. Semoga Siswati
segera sembuh, dan tanyakan sekalian, kapan bapak bisa melamar dia,” kata pak
Candra.
“Ah, Bapak. Doakan saja ya Pak.”
Pak Candra hanya tertawa.
Ketika dia ikut memasuki ruang rawat dan mengatakan
pada Siswati bahwa dia telah membayar semua beayanya, Siswati hanya menjawab
singkat.
“Nanti aku ganti.”
Dan setelah itu dia minta agar Rian meninggalkannya.
Tapi Rian masih duduk di ruang tunggu, wajahnya
murung.
Ketika itulah, Nurani dan Andre datang.
“Bagaimana Mas?”
“Masih di dalam.”
“Tidak bahaya kan lukanya?” tanya Andre.
“Luka sedikit, cuma kakinya retak, harus di gips,
mungkin dia boleh pulang hari ini.”
“Mas Rian butuh uang?” tanya Nurani.
“Iya, aku ada nih, berapa?” sambung Andre.
“Sudah aku bayar, tadi aku minta sama bapak.”
“Oh, syukurlah.”
“Siswati tidak mau bicara sama aku. Rupanya dia sangat
marah.”
“Waduh, gawat nih. Jangan-jangan dia sudah dapat
gantinya,” goda Andre.
“Mas Andre!” pekik Nurani sambil memelototi Andre.
Yang dipelototin hanya tertawa.
“Iya tuh, Mas Andre menakut-nakuti terus,” keluh Rian.
“Jangan takut Mas, nanti aku bicara sama mbak Sis.
Tenang saja,” kata Nurani sambil menepuk bahu kakaknya.
***
Siswati sudah boleh pulang. Kaki kiri di atas
pergelangan di gips, tapi dia harus memakai kruk. Semua sudah di dapatnya di
rumah sakit, Rian yang membayar semuanya. Ia tak menolak ketika Andre
mengantarkannya bersama Nurani.
Atas saran Nurani, Rian di suruh kembali ke kantor
saja.
“Mas tidak usah mengantarkan, hatinya masih belum
luluh. Aku akan mencoba bicara.”
“Baiklah,” kata Rian, lesu.
“Mas ke kantor saja, bapak pasti menunggu.
Rian mengangguk. Tanpa menatap Siswati yang memang
selalu mengalihkan pandangannya dari Rian.
Di mobil, Nurani sengaja duduk di belakang bersama
Siswati. Andre membiarkannya, barangkali Nurani bisa meluluhkan hatinya.
“Aku berhutang sama mas Rian. Nanti aku mau minta sama
ibu. Tolong tanyakan berapa habisnya? Aku tidak bisa menghubungi rumah karena ponselku
ada di dalam tas yang aku letakkan di bagasi motor,” kata Siswati.
“Itu soal gampang, nanti aku bicara sama mas Rian.”
“Terima kasih.”
“Mbak Sis marah sama mas Rian?” tanya Nurani
memancing.
Siswati tak menjawab. Wajahnya berubah sendu.
“Ini bukan mauku, tapi mau dia.”
“Mas Rian sebenarnya sedang sedih. Dan dia semakin
sedih ketika mbak Sis mengacuhkannya.”
“Dia tidak perlu sedih karena aku. Siapa lah aku ini,
bagi dia,” keluh Siswati.
“Adik mas Rian dipenjara.”
Siswati menatap Nurani, mencoba mencari kebenaran dari
apa yang dikatakannya.
Lalu dengan hati-hati Nurani menceritakan semuanya,
membuat Siswati terkejut.
“Aku tidak mengira. Mas Rian tidak pernah cerita.”
“Tadi mas Rian ingin cerita, tapi Mbak lari dari dia.”
“Aku tak ingin mengingat dia lagi.”
“Mas Rian sangat sedih atas kejadian itu. Dia
memutuskan hubungan kalian, karena takut, pada akhirnya, setelah mendengar apa
yang terjadi pada keluarganya, lalu Mbak lah yang kemudian meninggalkannya.”
“Harusnya dia bicara sama aku dulu, baru kemudian bertindak. Hal yang
dikatakannya tidak jelas, lalu aku berasumsi bahwa setelah berhasil, dia merasa
aku yang tidak pantas untuk dia.”
“Biarkan mas Rian bicara.”
“Nanti sambil mengembalikan uangnya, aku mau bicara.”
“Syukurlah kalau Mbak mau bicara.”
“Tanyakan dulu, berapa aku harus mengganti uangnya.”
“Mbak saja yang menanyakan. Mana mau dia menjawab
kalau aku yang bertanya.”
Andre merasa lega. Dari pembicaraan itu, tak ada rasa
kecewa di hati Siswati atas keadaan keluarga Rian. Rian juga tak perlu sedih
dan merasa bahwa aib di keluarganya akan membuat Siswati menjauhinya.
***
Nurani pulang ke rumah dengan diantar Andre. Sepanjang
jalan Andre terus memuji-muji Nurani yang telah berhasil meluluhkan hati
Siswati.
“Kamu gadis yang luar biasa. Kamu adalah penyejuk
suasana panas yang hampir membakar sepasang kekasih,” kata Andre.
“Sudah, berhenti memujinya, nanti kepalaku bertambah
besar.”
“Itu benar, aku berkata yang sesungguhnya.”
“Itu kan biasa sih Mas, semua orang bisa melakukannya.”
“Belum tentu. Memadamkan api amarah itu tidak mudah.”
“Ya sudah, sekarang sudah sampai rumah, besok
dilanjutkan lagi ya sanjungannya.”
Andre tertawa.
“Iya, tadi kan belum selesai, sebelum kamu kuliah,
masih banyak yang harus kamu ketahui.”
“Jadi besok aku ke kantor lagi?”
“Coba saja, nanti pasti Bapak mengatakannya.
Ketika turun dari mobil, Nurani memasuki rumah masih
dengan menggendong Pusy. Pusy sudah bisa berjalan lebih tegak, tidak
terpincang-pincang lagi.
Rumah memang kosong, rupanya sang ibu memang bepergian.
Pantas saja tadi ditelpon tidak ada yang mengangkat.
Tapi tiba-tiba Pusy bersikap aneh. Ia berjalan
mendahului, sambil sesekali menoleh ke arah Nurani. Rupanya dia ingin agar
Nurani mengikutinya.
“Ada apa Pusy? Mau kamu ajak ke mana aku?”
***
Besok lagi ya.
Sip
ReplyDeleteAlhamdulillah
DeleteWaaah larine paling kenceng Mas Bambang...
DeleteSelamat buat akung Bambang Subekti malam ini bola pimpongnya masuk lebih dulu.......
Deleteselamat malam bu Tien sehat selalu dan selalu sehat.
Salam ADUHAI dari mBandung.
Suwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMonggo
ReplyDelete🌷🍃🌷 Alhamdulillah KBE 30 telah hadir. Matur nuwun Bunda Tien. Semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai 🙏🦋🌷
ReplyDeleteAlhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 30 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Wah telat
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, Kantung Berwarna Emas sudah tayang.
ReplyDeleteSudah tayang...yg dinanti2. Matur nuwun bu Tien.🙏😀
ReplyDeleteAlhamdulillah KBE 30 Sudah tayang. ...
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien....
Moga Bu Tien sekeluarga sehat selalu....
Aamiin......
Alhamdulillah...
ReplyDeleteKBE 30 hadir...
Matunuwun Bu Tien...
Salam sehat selalu...
Alhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .
ReplyDeleteMaturnuwun bunda Tien.. 🙏
ReplyDeleteSalam Sehat Selalu...
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien..
Alhamdulilah, matur nuwun mbakyuku Tienkumalasari dear, salam sehat dari Cibubur
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~30 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAhirnya datang juga
Matur nuwun bu Tien
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien
🙏🙏
Alhmdllh sdh tayang...
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteTernyata Siswati yang sakit. Ada andil Rian yang mengakibatkan dia jatuh.
ReplyDeleteApa yang dirasakan Pusy? Mungkin bu Candra ada sesuatu..
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, salam sehat
ReplyDeleteAlhamdulillah , salam sehat mbakyu Tien 🙏
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Lho kok nyekukruk, Amirah ketakutan karena pussy ikut ke kantor sama Nurani, putus asa pasti cerita kaki kucing di pukul kayu garan sapu sama Amirah, nggak ada harapan lagi mau bunuh kediri saja gandulan di uwit lombok, oalah rah rah kok cupet men nambahi pikiran anak lanang yang harusnya senang sudah selesai sekolahnya.
ReplyDeleteKasian Rian kesedihan yang harusnya berkurang malah nambah kalau makan siang nah itu perlu nambah. Energie bro
Gimana; isiné cuman pikiran minus saja, paling uang buat arisan kurang jadi nggak keluar rumah. Isin sama soibnya.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Kantung berwarna emas yang ke tiga puluh sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Wah tambah seru ..trima kasih bu Tien
ReplyDeleteTerima kasih bu tien cerbungnya
ReplyDeleteAlhamdulillah KBE 30 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat selalu.
Aamiin
Terima kasih Bu Tien..... salam sehat selalu.
ReplyDeleteWah jangan2 Bu Candra sakit
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh tayangan...
ReplyDeleteTerimakasih Bu Tien...
Salam sehat selalu..
Alhamdulillah
ReplyDeleteAkhirnya datang juga
Matur nuwun bu Tien
Terima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSiswati yang marah pada Rian, bu Tien...bukan Nurani.😅
ReplyDeleteYa,maaf. Trims perhatiannya
DeleteTrims Bu Tien semoga sehat selalu
ReplyDeleteSlamat pagiii bunda Tien..terima ksih🙏 KBE nya..slmsehat dan tetap Aduhai sll dri sukabumi🙏🥰🌹
ReplyDeleteAlhamdulilah..
ReplyDeleteTks bunda Tien..
Semakin penasaran aja..
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam hangat selalu aduhai
Waduh..ada apa lgi nih...?
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏
Ayo tebak...si Pusy itu umurnya berapa, dan apa lagi yang akan dilakukannya untuk melindungi Nurani?
ReplyDeleteMaturnuwun mbak Tien sayang
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Menunggu sambil ngantuk
ReplyDeleteJaga regol yaa bun.
DeleteNunggu dg sabarrr
ReplyDeleteNunggu dengan pak Sabar ya buuu
DeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteMasih sabar menunggu
ReplyDelete