JANGAN PERGI 14
(Tien Kumalasari)
Dian menoleh ke arah Dewi yang duduk menunggu, dan terkejut
melihat seseorang menjambak rambutnya dari belakang. Ia meraih Arina, dan
berlari mendekat sambil menggendong Arina.
“Listi !! Apa kamu sudah gila?” hardiknya sambil
sebelah tangannya memukul tangan Listi sehingga cengkeraman pada rambut itu
terlepas.
“Tolong bawa Arina menjauh, Bu,” katanya kepada Dewi
yang sudah terlepas dari cengkeraman Listi, kemudian Dewi mengambil Arina yang
tampak ketakutan, membawanya menjauh.
“Kamu? Ada hubungan apa kamu sama dia?” Mengapa selalu
ada kamu dan diaa!!” teriak Listi dengan mata merah menyala.
“Apa peduli kamu? Kamu hampir menjadi janda, bukan lagi istri aku, jangan
ikut campur urusanku!”
“Jadi karena perempuan itu maka kamu mau menceraikan
aku? Biar aku hajar dia!! Dia membuat hidupku kacau!!” teriak Listi tak
terkendali.
“Bukankah kamu tidak mencintai aku?”
“Kamu suami aku!! Aku tidak rela kamu berdekatan
dengan dia!!”
“Apa peduli kamu? Sebentar lagi kamu dan aku bukan
siapa-siapa lagi!”
“Aku menolak perceraian itu,” teriaknya sambil
menuding ke arah Dian.
Dian sangat terkejut.
“Apa maksudmu? Bukankah kamu tidak mencintai aku?”
“Aku tidak mau diceraikan gara-gara kamu menyukai wanita
lain!”
“Bukan itu! Kamu tidak mau punya anak, gara-gara kamu
mencintai laki-laki lain bukan?”
“Aku bohong !!” Listi menjerit.
Suasana di sekitar taman itu, kebetulan sangat
sepi. Sehingga pertengkaran itu tak
tampak ada yang memperhatikan. Listi berteriak-teriak sesuka hatinya, meraung
seperti singa melihat mangsa. Dian terkejut mendengar perkataan Listi.
“Apa maksudmu bohong? Kamu bicara didepan mas Radit, bahwa
kamu mencintai dia, tidak mencintai aku.”
“Aku bohong!!”
“Kamu berjongkok merangkul kaki mas Radit, memohon
belas kasihan, mengemis cintanya, dan sekarang kamu bilang bahwa kamu bohong?”
“Aku bingung! Aku bingung !! Aku masih cinta sama
kamu!!”
“Listi! Kamu sudah gila !”
“Aku gila !! Tolong jangan pergi,” suara itu merendah,
diikuti isak. Dian melongo melihatnya. Ia merasa, Listi sudah kehilangan akal
warasnya. Disana bilang cinta sama Radit, disini bilang cinta sama dirinya.
“Ya Tuhan.”
“Tolong jangan pergi, aku mau ikut kamu kembali ke
Jakarta,” rintihnya sambil menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya.
Dian benar-benar melongo. Ia merasa, Listi agak
terguncang jiwanya sehingga bicara tidak karuan.
“Jangan pergi ….”
“Lebih baik kamu pulang dan menenangkan hati kamu,”
kata Dian dengan nada rendah. Tak urung timbul rasa iba dihatinya, melihat
wanita yang pernah dicintainya terguguk di depannya.
“Jangan pergi …”
“Listi, kamu tidak sadar akan apa yang kamu lakukan.
Kamu harus pulang dan menenangkan hati kamu.”
“Dian, aku sebenarnya sangat mencintai kamu. Kamu
suami yang baik, yang membuat aku nyaman, dan terlindungi. Aku minta maaf, aku
tak akan menggugurkan kandungan aku lagi, bukankah kamu ingin punya anak? Aku
bersedia mengandung anak kamu, Dian, jangan pergi sendiri, bawalah aku kembali
ke Jakarta.”
Dian kebingungan, ia tahu Listi sedang tidak dalam
keadaan sadar sepenuhnya, ia bicara semaunya dalam keadaan bingung dan putus
asa. Ia tidak yakin apa yang dikatakannya adalah benar. Satu-satunya jalan
adalah membawanya pulang. Tapi ada Dewi di sana, yang sedang menenangkan anaknya.
“Listi, aku panggilkan
taksi, kamu pulang ya?”
“Mengapa tidak kamu yang mengantarkan aku pulang?
Karena perempuan dan anaknya itu? Aku janji akan memberikan anak untuk kamu,
jangan pedulikan dia,” katanya sambil menghentak-hentakkan kakinya.
“Tidak bisa Listi, aku yang mengajak mereka jalan-jalan
kemari, aku harus mengantarkan dia pulang.”
“Tapi aku masih istri kamu, aku tidak mau kamu bersama
dia.”
“Maaf Listi, tidak bisa begitu, orang bermasyarakat
itu ada etikanya. Aku akan memanggilkan kamu taksi,” kata Dian sambil memesan
taksi online untuk Listi.
“Aku tidak mau.”
“Kamu harus mau, aku tidak bisa mengantarmu. Nanti
setelah mengantar bu Dewi aku akan menemui kamu.”
“O, namanya Dewi?”
“Dia seorang Kepala Sekolah, dan dia bersama anaknya. Itu taksinya
sudah datang, naiklah, nanti aku menemui kamu.”
“Janji ya? Awas kalau tidak, aku akan menemui lagi perempuan
itu dan menghajarnya,” ancamnya dengan mata bengis.
Dian terkejut. Mengapa Listi menjadi liar seperti itu?
Liar dan beringas. Mata itu membuatnya bergidik ngeri. Itu bukan mata Listi
saat menjadi istrinya.
Listi sudah naik ke atas taksi, lalu sebelum menutup
pintunya, ia menatap Dian tajam, penuh ancaman, kalau sampai Dian tidak menepati
janjinya.
Dian menghela napas berat, lalu melangkah mendekati
Dewi yang sedang bercanda dengan Arina. Tentu Dewi tak mau menunjukkan perasaan
apa yang sedang dipendamnya atas peristiwa itu.
“Maaf Bu Dewi,” katanya sambil meminta Arina dari pangkuan
Dewi. Arina tertawa senang.
“Mengapa dia tiba-tiba menyerang saya? Bukankah dia
istri pak Dian yang pernah melukai saya dulu itu?”
“Benar. Saya minta maaf. Sebenarnya kami sedang dalam
proses cerai.
“Oh ….”
“Tadi adalah sidang pertama, dan saya harus kembali ke
Jakarta besok. Karena semua sudah saya serahkan ke pengacara.”
“Es kiim …. Es kiim …,” tiba-tiba Arina merengek.
“Arin mau es krim? Baiklah, ayo kita beli es krim ya.”
“Arin tidak boleh nakal.”
“Tidak apa-apa, ayo kita mencari toko es krim dulu
sebelum pulang,” ajak Dian sambil mengajak Dewi ke arah mobilnya.
***
Tapi di sepanjang perjalanan itu keduanya tampak tak
banyak berkata-kata. Hanya celoteh Arina yang terdengar, dan sesekali dijawab
oleh ibunya.
“Saya tidak mengerti, mengapa dia membenci saya,
padahal belum pernah kenal. Herannya saya, kok tadi dia juga melihat saya ada
di taman itu, tahu-tahu menjambak rambut saya," akhirnya kata Dewi.
“Saya juga heran atas sikapnya. Dia seperti orang
kesetanan, bicaranya juga tidak jelas kemana arahnya.”
“Mungkin dia sangat sedih karena Pak Dian mau
menceraikannya. Dia frustasi, lalu kehilangan kendali.”
“Entahlah, saya kira tidak begitu juga.”
“Mengapa pak Dian mau menceraikan dia? Maaf, bukannya
saya ingin ikut campur, barangkali ada masukan untuk Pak Dian, sehingga Pak
Dian bisa mempertimbangkannya lagi.”
“Dia tidak suka punya anak.”
“Oh ya?”
“Sebaliknya saya ingin segera punya anak.”
“Pasti bisa kan dibicarakan dengan baik-baik? Aneh
kalau seorang ibu tidak mau punya anak.”
“Dia berkali-kali menggugurkan kandungannya.”
“Ya Tuhan,” pekik Dewi sambil menutup mulutnya.
“Sudah habis kesabaran saya, Barangkali berpisah memang
yang terbaik.”
“Kalau saja bisa diperbaiki, tak akan ada keretakan
rumah tangga.”
“Dia itu orangnya susah. Kalau dilanjutkan, yang ada
hanyalah akan saling menyakiti.”
Dewi terdiam, ia tak tahu, mendengar akan adanya
perceraian itu, haruskan dia bersyukur, ataukah ikut prihatin. Sebagai sesama
wanita, dia sangat menyesali keputusan Listi untuk tidak mau punya anak, bahkan
ia mengutuk perbuatan menggugurkan, apalagi berkali-kali melakukannya.
Perbincangan itu berhenti ketika Dian berhenti di
sebuah toko es krim, membuat Arin bersorak kegirangan. Dian tak hanya
membelikan es krim untuk langsung dimakan, tapi juga membawakan dua kotak untuk
dibawa ke rumah.
Saat pulang, pembicaraan sudah beralih ke rasa sedih
di hati Dian karena besok sudah harus meninggalkan Arina untuk kembali ke
Jakarta.
“Saya akan sering pulang. Pasti kangen rasanya kalau
lama tidak bertemu Arina.”
Padahal sebenarnya Dian juga tertarik akan sifat
keibuan yang dimiliki Dewi, jauh bedanya dengan Listi yang sama sekali tidak
pernah tertarik untuk menimang bayi.
***
Seperti takut pada ancaman Listi, sepulang dari
mengantarkan Dewi dan Arina, Dian langsung pergi ke rumah Listi.
Sesampai di sana, Listi sudah menunggunya di teras. Ia
masih memakai pakaian yang tadi dipakainya saat bertemu di taman.
Tapi dia diam saja ketika Dian datang. Seakan enggan
bicara, dia hanya menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.
Dian duduk di depannya, menatap Listi yang seperti tak
acuh menerima keadaannya. Matanya kosong menatap ke langit-langit.
“Kamu merasa lebih tenang?” tanya Dian membuka
percakapan.
Listi diam membisu.
“Kamu harus bisa menenangkan diri kamu, dan bersikap
dewasa. Bukan seperti anak kecil kehilangan mainan. Tindakan kamu sangat
brutal, dan itu karena jiwamu tidak tenang.”
Listi mengangkat tubuhnya, duduk dengan tegak, menatap
suaminya.
“Seperti sebuah mimpi buruk …,” gumamnya pelan.
“Kamu harus bisa menerima kenyataan. Prinsip dalam
hidup kita berbeda. Ini jalan terbaik untuk kita, sehingga baik aku maupun
kamu, tidak akan merasa terbebani. Seperti ... kamu ingin selalu bisa bebas
melakukan apa saja tanpa diganggu kehadiran anak, sementara aku ingin segera
direpotin oleh seorang anak. Itu jauh berbeda dan susah untuk bisa mendapatkan
titik temu. Disitulah letak ketidak nyamanan yang kita rasakan, dan itu adalah
beban terberat dalam kita menjalani kehidupan.”
“Apakah perempuan bernama Dewi itu akan bisa
membahagiakan kamu?” cetusnya tiba-tiba.
“Apa maksudmu? Kami belum lama kenal.”
“Dan kamu sudah terpikat bukan?”
“Mengapa kamu pedulikan aku, Listi. Sudahlah, mari
kita menjalani hidup kita masing-masing dengan lapang dada. Berjalanlah seperti
yang kamu inginkan, aku juga akan berjalan atas apa yang aku inginkan. Hidup
itu sangat singkat Listi, mari kita ciptakan ketenangan, agar tak ada
penyesalan dikemudian hari.”
“Tiba-tiba aku merasa takut, Dian. Aku takut,” dan
Listi kembali terisak.
“Kamu butuh seorang teman Listi. Carilah pembantu untuk
menemani kamu, yang kalau mungkin bisa untuk berbagi saat kamu sedang sedih
atau gelisah,”
Listi kembali membisu.
“Aku tetap akan menafkahi kamu sebelum kamu menikah,”
kata Dian sambil berdiri.
Listi menatap Dian yang bersiap melangkah keluar.
“Buat hati kamu tenang. Kita akan tetap menjadi
saudara. Persidangan selanjutnya akan diwakili pengacara aku,” kata Dian sambil
melangkah ke mobilnya.
Listi tetap duduk, terpaku ditempatnya, dan menatap
nanar kepergian Dian.
Ada sembilu merajang-rajang hatinya, ada sesal
mencengkeram jiwanya. Ia merasa kehilangan pegangan. Lepas dari Dian, ingin
menemukan tambatan dengan mendekati Radit kembali, tapi ternyata Radit sudah
melupakannya. Melompat balik ke Dian, tampaknya Dian benar-benar ingin
melepaskannya. Listi benar-benar menyesal, ketenangan rumah tangganya terkoyak
gara-gara ulahnya. Padahal Listi tahu, Dian sangat mencintainya. Sekarang
kemana kaki akan melangkah?
“Dian, jangan pergi ….”
Terisak dalam sesal, Listi merasa sedang terbang terbawa
angin. Tangannya menggapai mencari pegangan, tapi tak satupun ranting tempat
dia bergayut.
***
Malam itu bu Cipto sedang duduk santai bersama Ratri
di ruang tengah. Bu Cipto heran, karena beberapa hari Dian tidak datang ke
rumah.
“Bukankah dia akan segera balik ke Jakarta Tri? Kapan?”
“Kata bu Dewi, besok pagi.”
“Lho, malah bu Dewi lebih tahu ….”
“Sekarang Dian sedang dekat dengan bu Dewi.”
“Benarkah? Kok cepet sekali seorang laki-laki tertarik
kepada wanita, padahal kan belum lama bertemu?”
“Itu karena bu Dewi punya seorang anak kecil, yang
entah bagaimana tiba-tiba sangat lengket dengan Dian, dan sebaliknya Dian juga sangat
menyayanginya.”
“Ya ampun, kasihan ya nak Dian, sangat ingin punya
anak ….”
“Iya Bu, kasihan.”
Tiba-tiba ponsel Ratri berdering.
“Lha ini Bu, Dian menelpon,” kata Ratri sambil
mengangkat ponselnya.
“Ya ampun Dian, baru saja ibu menanyakan kamu,” sapa Ratri.
“Benarkah? Tolong sampaikan maaf saya pada ibu, aku
tidak sempat ke rumah, karena waktu yang sangat berdesakan.”
“Oh ya? Sibuk main sama Arina kan?”
“Kamu bisa saja,” kata Dian sambil tertawa.
“Tapi benar kan? Tidak apa-apa, aku senang kok. Lagi
pula bu Dewi wanita yang baik. Dia akan menjadi pendamping kamu yang tidak akan
mengecewakan,” kata Ratri mempromosikan Kepala Sekolahnya.
“Kamu ini ada-ada saja, belum tentu juga dia mau sama
aku.”
“Mau lah, kemarin dia cerita tentang kamu dengan
begitu hebohnya.”
“Masa? Heboh gimana sih? Cerita saja kok bisa heboh.”
“Dia cerita kalau kamu mau ngajak Arina jalan-jalan,
tentu sama ibunya kan, masa Arina saja. Ya kan? Oh ya, tadi ya jalan-jalannya?
Kemana saja?”
“Nggak kemana-mana, hanya jalan-jalan di taman, lalu
beli es krim,” kata Dian tanpa mengatakan pertemuannya dengan Listi.
“Asyiknyaaaa … Pokoknya doa terbaik untuk kamu, Dian.”
“Iya, aamiin. Ini aku tuh menelpon hanya untuk pamit
saja, karena besok aku pulang pagi. Sampaikan pamit untuk ibu, dan permintaan
maaf aku karena tidak sempat datang kemari. Tapi aku janji deh, akan sering
pulang dan mengunjungi ibu.”
“Baiklah, nanti aku sampaikan, kamu hati-hati ya.”
***
Namun sepeninggal Dian, hati Listi tak juga bisa
tenang. Penyesalan demi penyesalan selalu menghantuinya. Akhirnya
diputuskannya, bahwa dia tak ingin bercerai dari Dian. Ia segera menelpon
pengacaranya.
***
Besok lagi ya.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteJuara 1 Kek
DeleteKejora Pagi
Delete🌾🌾🌹🌹☘️☘️♣️♣️❤️❤️
Alhamdulillah JePe eps 14 sudah tayang.
Terima kasih bu Tien
Dalam SEROJA dan sehat selalu. Tetap ADUHAI ya bun. Agar semua pinisirinnnnn.
👀👀👀👀👀👀👀👀👀👀
Terima kasih Mbak Tien.
DeleteSalam kami dari Yogya.
Waahhh bakalan teklek kecemplung kalen nih Listi sama Dian...Tapi ya tergantung Bu Tien sih ...He..he .
DeleteSalam sehat selalu utk Bu Tien..
ReplyDeleteAlhamdulillah JANGAN PERGI~14 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien 🙏🙏
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteYessssssv sdh tayang
ReplyDeleteIya Alhamdulillah
DeleteSinga betina kumat menjambak rambutnya Bu Dewi
Sbnrnya Dian baik seh orgnya ttp akan tanggung biayanya Listi alias singa betina
Akan tetapi namanya org stres mw bgmn lg
Hadeeh ga usah ber andai2 ttp kita tunggu bgmn kelanjutannya
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku dan ttp ADUHAI
Tks bunda Tien
ReplyDeleteALHAMDULILLAH DAH TAYANG
ReplyDelete🦋🌿 Alhamdulillah JP 14 telah terbit. Matur nuwun Bunda Tien. Salam sehat selalu. Aduhai🙏🦋🌸
ReplyDeleteMtrnwn mbak Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, Jangan Pergi sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillaaahhh dah tayang makadih bunda
ReplyDeletealhamdulillah🙏
ReplyDeleteMaturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bunda Tien..
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien yg selalu setia, produktif menghibur .. semangat , kuat, manfaat salam bahagia
ReplyDeleteAlhamdulillah, tks bund... Sehat selalu njih... 🧕🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah maturnuwun Bu Tien .....sehat selalu nggih
ReplyDeleteAlkhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun sanget bu Tien, salam aduhaiiii 🌹🫰🏻
Akhirnya muncul ... maklum ditunggu, ditanyain teman2 suami ini... hihiik.
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien, salam kejora nggih.
Alhamdulillah .... terima ksh
ReplyDeleteAlhamdulilah jp sdh tayang... smg listi segera sadar.dan bisa memperbaiki diri sehingga tak kehilangan semuanya.... maturnuwun bu tien, salam sehat
ReplyDeleteAlhamdullilah..terima ksih bunda JP nya sdh tayang..slmt mlm dan slmt istrhat..slm sehat sll🙏🥰🌹❤️
ReplyDeleteAlhamdulillah.... Terima kasih Bu Tien.
ReplyDeleteMatur suwun bunda Tien
ReplyDeleteSalam Tahes Ulales bunda dari bumi Arema Malang dan tetap selalu Aduhaiiii
'Jangan Pergi' mungkin ucapan Listi ya, yang untuk judul cerita. Tapi terlanjur terjadi, meninggalkan Radit dan mengecewakan Dian.
ReplyDeleteCerita masih panjang, jadi masih lama berangan angan bagaimana selanjutnya.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Ruwet,,,,ruwet,,,ruwet,,,Lesti berubah pikiran gak mau cerai.
ReplyDeleteMatur nuwun bunda,
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur muwun bu Tien
Terima kasih mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah,, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteListi,,,,jgn stress ya,,,
Salam sehat wal'afiat selalu bu Tien 🤗🥰🙏
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeletePenyesalan selalu datang di akhir..
ReplyDeletekarena klo datang di awal namanya pendaftaran.... 😂😂😂
Sehat selalu Bu Tien, terimakasih ceritanya yang selalu bikin emosi teraduk-aduk setiap kali baca.... hihihi
Alhamdulillah. Matur nuwun Bu Tien.
ReplyDeleteSalam sehat saking Jember.
Walah listi ndak mau cerai sama Dian..terus nasib Dewi bagaimana ini..😭
ReplyDeletepasti bu Tien ada solusi terbaik ini...😍
Matur nuwun bunda Tien..🙏
Alhamdulillah, matursuwun bu Tien, salam sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah Ratri yg di tunggu telah tayang...
ReplyDeleteMatur nwn bu Tien.
Salam Sehat dan Aduhai
Akhirnya bisa ditebak, *"jangan pergi"* itu ucapan utk Dian.
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien, semoga sehat selalu.
Alhamdulillah JP 14 sdh tayang
ReplyDeleteListi stres..
Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat selalu
Aamiin
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet,
Ternyata Listi berubah pikiran, gak mau dicerai, menyatakan tobatnya mau punya anak dari Dian pengin ikut kembali ke Jakarta...
ReplyDeleteEfeknya meluas, semoga ibu Dewi tidak kecewa lihat Dian baikan dg Listy, Ratri tdk kena imbas marahnya bu Dewi, Radit tetap cinta Ratri...
Matur nuwun ibu Tien, Berkah Dalem.
Terimakasih bu Tien
ReplyDeleteSemoga sehat selalu
Matur nuwun Bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteTerimakasih Bu Tien ...cerita berbelok tdk sesuai permiraanku,luar biasa Bu Tien
ReplyDeleteKonflik berlanjut, walaupun kalimat di judul sudah muncul...bu Tien hebat!👍👍😀
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMakasih mba Tien
ReplyDelete