JANGAN PERGI 15
(Tien Kumalasari)
Kemudian dalam bertelpon itu tiba-tiba Listi
berteriak.
“Apa katamu? Aku tidak bisa menolak? Bodoh! Aku bayar
mahal supaya bisa membantu aku. Tapi apa yang kamu lakukan? Aku tidak ingin
berceraiiii! Aku tidak mauuu!”
Lalu Listi membanting ponselnya dan menangis
tersedu-sedu.
“Dian … jangan pergi … aku mau mengandung anak kamu Dian … aku mau.
Aku tidak akan lagi menggugurkan kandungan aku … aku mau mengandung Dian …
jangan pergi ….”
Listi duduk dilantai sambil menangis sesenggukan. Ia
merasa sepi … kosong … hampa …
“Tolong aku Dian … kamu di mana, bawa aku bersamamu
Dian … jangan pergi ….”
Lalu dia menjatuhkan dirinya di lantai, menangis tak
henti-hentinya sampai larut malam, dan tertidur kelelahan tanpa alas, tanpa
bantal apalagi selimut.
Listi terbangun ketika merasa
kedinginan, lalu duduk dengan bingung. Ia menuju ke arah jendela, lalu membuka
tirainya, dan melihat remang pagi mulai datang menjelang. Listi membuka jendela
itu, angin dingin menerpa wajahnya, menerbangkan rambut ikalnya yang berjurai
tak beraturan. Ia melongok keluar, melihat taman kecil yang ditinggalkannya
selama tiga tahun, tapi terawat cantik oleh penunggu rumahya yang hanya
menjenguknya untuk membersihkan rumah dan merawat bunga-bunganya setiap
seminggu dua kali. Listi tak bisa melihat jelas bunga-bunga yang saat beberapa hari
yang lalu dia datang, masih menyambutnya dengan warna warni yang mempesona.
Kali ini, di remang yang samar, keindahan bunga-bunga itu tak terlihat jelas.
Seperti hidupnya, semuanya samar, entah
apa yang menunggunya di sana.
Listi menggigil, kemudian menutup
pintu jendela dengan keras sampai bergetar. Ia biarkan tirai terbuka, kemudian
duduk di sofa sambil memandang keluar, dari balik kaca jendela yang tadi ditutupnya.
Seperti mimpi rasanya, ketika kemarin
menghadiri sidang cerai yang dijatuhkan suaminya atas dirinya, yang semula tak
begitu digubrisnya, tapi terasa menyakitkan ketika hal itu benar-benar terjadi.
Tubuhnya terasa lemas, sejak kemarin dia tidak makan sesuap nasipun, atau
bahkan secuil makananpun tidak. Ia menyandarkan kepalanya di sofa.
Teringat olehnya segala kebaikan dan
perhatian suaminya. Kasih sayang dan cinta yang berlimpah ruah selalu mengguyur hari-harinya. Alangkah bahagianya ketika itu. Ia bahkan sudah
melupakan Radit yang ditinggalkannya selama bertahun-tahun, karena tergantikan
oleh cinta Dian yang hangat, di pagi,
siang serta malamnya.
“Bodohnya aku, mengapa aku
melakukannya? Hanya supaya bebas bersenang-senang, dan menganggap bahwa
memelihara seorang anak adalah beban. Bohong aku ketika mengatakan bahwa enggan
punya anak karena aku mencintai lelaki lain.”
Ia ingat kata-kata itu diucapkannya
ketika Dian sangat marah saat mengetahui bahwa dia telah menggugurkan
kandungannya.
“Kamu keterlaluan, kamu mengecewakan aku. Kamu seorang
wanita yang kejam, yang tidak berniat menjadi ibu. Kamu bunuh anakku, yang
masih berujud janin. Apakah janin itu berdosa? Bukan manusia kamu itu, Listi.
Jawab, kenapa kamu melakukannya?”
Dan Listi menjawabnya dengan lantang.
“Aku tidak mau punya anak dari kamu. Aku mencintai
lelaki lain!”
“Aku akan menceraikan kamu!”
“Lakukan saja! Aku tidak peduli.”
“Aku benci kamu Listi !!”
“Aku juga benci kamu!”
Saat itu yang ada hanya rasa
kesal karena suaminya memarahinya habis-habisan. Ia merasa kesenangannya
dikekang. Listi memang keras kepala, dan susah diatur. Ia juga selalu ingin
menang sendiri, tak pernah mau disalahkan.
Listi menutupi wajahnya dan kembali
menangis. Lebih keras. Kepalanya berdenyut, rasa pening menggayut.
Ketika mendengar pintu terbuka, Listi
sadar bahwa orang yang menjaga rumahnya sudah datang. Ia lupa, hari ini
jadwalnya dia membersihkan rumah di setiap seminggu dua kali.
“Non Listi sudah bangun?” sapanya
heran, melihat wajah sang pemilik rumah tampak pucat dan sembab.
“Buatkan aku kopi bik,” perintahnya
tanpa menoleh kearah orang yang menyapanya. Bik Sumini, nama pembantu itu, segera
melakukan perintah yang didengarnya.
Listi melihat keluar, cuaca mulai
terang. Tiba-tiba dia teringat bahwa Dian akan kembali pagi itu. Bergegas dia
masuk ke kamar, lalu langsung ke kamar mandi. Tak lama kemudian dia keluar dan
mengganti pakaiannya, mengambil tas dan keluar. Diatas meja sudah tersedia kopi
yang dipesannya. Ia duduk, memesan taksi online, lalu meneguk minumannya
perlahan, karena masih panas.
Ketika mendengar taksi yang
dipesannya, dia bergegas keluar tanpa pamit pada sang penunggu rumah, langsung
masuk ke dalam taksi yang kemudian membawanya pergi.
“Bandara,” perintahnya.
***
Dian baru turun dari taksi, ketika
mendengar langkah-langkah kaki berlari mendekat, dan betapa terkejutnya ketika seseorang
tiba-tiba memeluknya dari belakang.
Dian mencoba melepaskannya dan menoleh.
“Listi !!”
“Dian, jangan pergi …” ratapnya.
Dian mundur selangkah, menatap wanita cantik yang berdiri
tegak, tampak pucat, layu dan wajahnya sembab. Tak ada polesan make up di
wajahnya. Ada rasa iba menyeruak, yang kemudian ditepiskannya.
“Apa yang kamu lakukan?”
“Jangan pergi, Dian.”
“Pulanglah, aku tak punya banyak waktu, aku bisa
ketinggalan pesawat.”
“Bawalah aku serta, aku tak bisa hidup tanpa kamu.”
“Listi, mengertilah, kita sudah bercerai, proses
sedang dilakukan, tinggal menunggu surat resmi dari KUA.”
“Dian … “
“Tolong Listi, jangan mempersulit langkahku. Kamu
harus menyadari bahwa ini jalan terbaik bagi kita.”
Tanpa disangka, Listi ambruk di tanah, membuat Dian
sangat terkejut. Ia membungkuk, mencoba membangunkan, tapi tubuh itu tak
bergerak. Tangannya terasa dingin. Dian merasa panik. Ia dikejar waktu, tapi
dia tak bisa membiarkan Listi seperti ini. Ia memanggil taksi, dan mengangkat
tubuh Listi, untuk dilarikan ke rumah sakit.
Apa boleh buat, dia harus kehilangan waktu penerbangan yang sudah
ditentukan.
“Listi … Listi …” berkali-kali Dian berusaha
membangunkan atau menyadarkan Listi, tapi Listi tetap tak bergerak. Tubuhnya
terasa dingin. Dian merasa cemas.
Begitu sampai di rumah sakit, Listi langsung di bawa
ke UGD. Dian menunggu di luar dengan gelisah.
“Mengapa Listi yang pada awalnya merasa tegar saat dia
mengatakan akan menceraikannya, kemudian tiba-tiba menjadi seperti ini?” kata
batin Dian.
Masih terngiang di telinganya saat Listi meratap agar dirinya
tidak meninggalkannya. Bahkan dia ingin ikut kembali ke Jakarta.
“Ya Tuhan, aku sudah menceraikannya,” keluhnya yang
sempat terlontar dari mulutnya, membuat orang yang duduk tak jauh darinya
kemudian menoleh ke arahnya, tapi ia tak mengucapkan apapun. Barangkali mereka
memiliki kegelisahan yang sama, saat kerabat atau keluarganya juga berada di
ruang tersebut.
Ketika perawat keluar, Dian segera memburunya.
“Bagaimana keadaannya?”
“Istri bapak tidak apa-apa. Dia hanya lemas,
barangkali karena perutnya kosong. Kecuali itu dia hanya tertekan. Mungkin dia
harus istirahat di sini untuk beberapa hari,” yang menjawab adalah dokter yang
keluar bersama perawat itu. Dokter itulah yang menangani Listi.
“Dia sudah tersadar, tapi masih lemas,” terang perawat
itu.
Dian diijinkan masuk, kemudian langsung menemuinya.
“Dian, ternyata kamu masih peduli sama aku,” lirihnya.
Dian hanya tersenyum. Bagaimana tidak peduli, melihat
orang tiba-tiba pingsan di depannya.
“Kamu harus menjaga diri kamu baik-baik. Terima semua
keadaan dengan ikhlas. Hadapi dengan sabar. Aku percaya kamu bisa. Kamu wanita
yang kuat.”
“Apa kamu tetap akan pergi?”
“Pekerjaan menunggu, aku sudah meninggalkannya selama
beberapa hari. Nanti aku suruh orang agar menemani kamu disini. Aku akan
membayar semua biayanya, juga biaya perawatan kamu.”
Listi terdiam, tapi kantuk tiba-tiba menyerangnya.
Barangkali dokter memberinya obat penenang, karena dia tampak gelisah.
“Aku pergi dulu, jaga diri kamu baik-baik.”
Suara Dian terdengar sayup, karena ia sudah setengah
tidur.
Dian berpesan kepada perawat, agar menempatkannya di
ruangan terbaik, lalu meninggalkan sejumlah uang, memberikan nomor kontaknya
agar mengabari kalau ada kekurangannya, kemudian dia menuju ke rumah Listi.
Beruntung ketika itu, penunggu rumah masih
bersih-bersih, dan menyirami tanaman. Ia kaget melihat Dian.
“Mencari siapa?”
Tentu saja dia tidak tahu bahwa Listi sudah punya
suami, karena Listi menikah saat dia belum menjadi penunggu rumah. Baru
beberapa tahun kemudian Listi memintanya menjaga rumahnya karena rumahnya
kosong setelah orang tuanya tak ada lagi.
“Saya bekas suami Listi, nama saya Dian. Saat ini
Listi ada di rumah sakit. Alamatnya ini,” kata Dian sambil memberikan kartu nama
rumah sakit yang tadi sempat diambilnya.
“Ibu namanya siapa?” lanjut Dian.
“Saya Sumini. Non Listi sakit apa?”
“Hanya kelelahan, tidak apa-apa, dia perlu istirahat
untuk beberapa hari.”
“Oh, syukurlah.”
“Ya, Bu Sumini, saya beri Ibu uang, tapi saya minta tolong Ibu menemani
Listi di rumah sakit. Ini cukup untuk makan dan transport bukan? Kalau Ibu
bersedia, datanglah setiap hari ke sini, saya yang akan menggaji Ibu.
Syukur-syukur ibu mau tidur di sini juga.”
“Kalau tidur di sini tidak bisa pak, saya punya anak
yang masih kecil.”
“Baiklah, asalkan Ibu setiap hari menemani dan
melayani. Sekarang bersiaplah ke rumah sakit, saya harus pulang ke Jakarta. Oh
ya, ini gaji ibu selama sebulan. Saya akan memberikannya melalui Listi setiap
bulannya,” kata Dian sambil mengulurkan sejumlah uang.
Bu Sumini mengangguk. Dia bergegas pulang untuk
bersiap pergi ke rumah sakit, seperti perintah Dian. Ia senang karena Dian
memberinya uang yang lumayan banyak.
***
Pagi sebelum berangkat mengajar, Ratri mendapat telpon
dari Radit.
“Ratri masih di rumah?”
“Iya, tumben pagi-pagi menelpon?”
“Nggak boleh ya?”
“Boleh dong, tapi tumben pagi-pagi menelpon. Ada yang
penting?”
“Tidak. Beberapa hari tidak bisa menemui kamu karena
aku sibuk.”
“Ya nggak apa-apa Mas, kalau memang sibuk.”
“Tapi aku sebenarnya kangen.”
“Mas Radit bisa aja. Baru beberapa hari tidak ketemu,
seperti sudah bertahun-tahun saja.”
“Sehari rasa setahun, tahu.”
Ratri tertawa, sambil menahan debar jantungnya. Senang
dong, dikangenin seseorang yang begitu baik, begitu tampan. Tapi ia menahan
rasa senangnya, mengingat masih ada wanita lain yang mencintai Radit. Cinta
lama, yang bekas istri Dian. Sungguh rumit kisah ini, begitu kata batin Ratri.
“Mas Radit sudah tahu, kalau Dian pulang ke Jakarta,
kemarin?”
“Oh iya, dia sudah cerita, tapi nggak sempat ketemuan
lagi setelah dia mengembalikan mobil ke rumah.”
“Dia sibuk.”
“Sibuk ya?”
“Sibuk main dengan putrinya bu Dewi.”
“O, bu Dewi itu sudah punya putri?”
“Iya, aku juga baru tahu setelah Dian mengatakannya.”
“Kok tiba-tiba bisa dekat dengan bu Dewi?”
“Entahlah, ada ceritanya, tapi maaf Mas, aku harus
segera berangkat, aku mengajar di jam pertama.”
“Oh, maaf. Aku yang harus minta maaf. Baiklah, aku akan
sempatkan mampir begitu waktuku luang.”
“Baik Mas, terima kasih.”
“Dari nak Radit?” tanya bu Cipto ketika Ratri sudah
memasukkan ponselnya ke dalam tas, karena dia sudah siap mau berangkat mengajar.
“Iya Bu, hanya bilang karena sibuk, belum sempat
datang ke rumah.”
“Iya lah, kita kan maklum, nak Radit itu dokter, tapi
juga pengusaha. Ya sudah, kamu berangkat sana, nanti terlambat. Ibu mau ke
depan, menunggu tukang sayur lewat. Nanti kamu pengin dimasakin apa?”
“Terserah Ibu saja. Ya sudah Bu, Ratri berangkat.
***
Di sekolah saat istirahat, Dewi memanggil Ratri untuk
masuk ke ruangannya.
“Ada apa Bu?”
“Sepertinya undangan sudah siap, waktunya tinggal satu
minggu, nanti bisa dibagikan ke murid-murid, agar diberikan kepada orang tua
mereka.”
“Baik Bu, barangkali undangannya sudah ada di ruang
guru.”
“Benar, tapi undangan untuk pak Radit akan saya
titipkan sama bu Ratri saja.”
“Baik Bu, tapi sudah beberapa hari mas Radit tidak
datang ke rumah, katanya sibuk. Nanti saya telpon saja supaya dia mengambil
undangannya.”
“Saya juga mau cerita nih, sama bu Ratri.”
Ratri mengangkat wajahnya, menunggu.
“Pak Dian cerita apa sama bu Ratri?”
“Cerita apa ya? Sampai dia pulang kemarin, dia bahkan
tidak datang, hanya menelpon untuk pamitan.”
“Tidak cerita tentang sebuah peristiwa ketika Pak Dian
sedang bersama saya dan Arina di sebuah taman?”
“Hanya cerita jalan-jalan, lalu beli es krim, sudah.”
“Hanya itu?”
“Memangnya ada yang lain?”
“Ketika pak Dian sedang lari-larian di sebuah taman,
tiba-tiba istri pak Dian datang.”
“Oh, kok Dian tidak cerita?”
“Dia datang dari arah belakang saya yang sedang duduk
sendirian, lalu tiba-tiba menjambak rambut saya.”
“Ya Tuhan. Kenapa?”
“Saya tidak tahu, apa itu kelanjutan dari ketika dia
marah-marah saat saya salah memanggil dia?”
“Dian melihatnya kan?”
“Pak Dian langsung memukulnya, kemudian menyuruh saya
menjauh. Mereka berbincang agak lama, nggak tahu bicara apa.”
“Lalu ?”
“Lalu pak Dian kelihatannya memanggil taksi, meminta
dia pergi, setelah itu ia mengantarkan kami pulang. Dari situ saya tahu bahwa
pak Dian sedang dalam proses cerai dengan istrinya. Pak Dian sendiri yang
mengatakannya.
“Iya, itu benar.”
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu, lalu satpam sekolah
masuk setelah dipersilakan.
“Bu, ada seorang wanita ingin bertemu Ibu.”
“Persilakan dia masuk.”
Dan betapa terkejutnya hati Dewi ketika melihat siapa
yang datang.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteJuara 1 mbk Iin
DeleteSelamat Anda Juara 1
Deletemanusang bu Tien, JP 15 kelihatan listi menyesal akankah penyesalannya berbuah manis....ntahlah tunggu lanjutannya......slm Aduhai
Delete
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien🙏🙏
Delete🏃♀️🏃♀️🏃♀️💃💃💃✈️✈️✈️💪🏼
Alhamdulillah JePe_15 sdh tayang, matur nuwun sanget bu Tien.
Salam SEROJA, dan tetap ADUHAI.
ReplyDeleteAlhamdulillah JANGAN PERGI~15 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Yees
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku jangan pergi sudah tayang
ReplyDeleteAduhai dah tayang makadih bu ds
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteWah sudah tayang
ReplyDeleteHallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet,
Sugeng ndalu Bu Tien, matur nuwun JP 15 sampun tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah JP 14 sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat selalu.
Aamiin
maaf JP 15
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat ..
Apa Listi datang menemui Dewi ya, dasar stress...
ReplyDeleteMudah mudahan Ratri -Radit lancar-lancar saja.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Waduh apakah Listi yang datang ke tempat Dewi..?? Apa akan terjadi perang lagi antara Listi dan Dewi..???
ReplyDeleteSalam sehat selalu utk Bu Tien.
Alhmdllh... terima ksh
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh hadir mksh Bu Tien salam sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah terimakasih bu Tien
ReplyDeleteYa Allah singa betina lg sptnya yg dtg tuh
ReplyDeletePokoknya penasaran nih bgmn kelanjutannya
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Ttp semangat yah menghibur kita2 dan ttp ADUHAI
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah... Terimakasih bund... Sehat selalu🧕
ReplyDeleteTerima kasih bunda
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien.
ReplyDeleteWaduuuh makin seru aja nih... bu tien tks... smg ibu tien sekeluarga sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien Kumala...
Salam sehat selalu ya....
Terima kasih mbak Tien. Salam sejahtera.
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh hadir matur nuwun mbak Tien Kumalasari dear, salam sehat selalu n tetep semangat injih, wassalam dari Pagelaran, Tanggamus- Lampung
ReplyDeleteAda yang mengejutkan, bala prewangan ngumbar mala.
ReplyDeleteMelas temen, kowé Wi, arep seneng seneng sithik diganggu, ketemu wong edan manèh.
Arep ngendeg sidang yå susah, pêrkårå dua orang di wakili manèh, paling di usahakan; mudah mudahan bisa.
Itu kalau mudah.
Kalau yang nuntut nyabut, lha tinggal perjanjian.
Hii malah menakutkan, kaya ngingu monster.
tuh kan ke sekolahan lagi ih kali ini memohon-mohon dengan memelas, moga moga aja Radityo datang juga biar jelas dan lumayan buat jadi satpam mereka; kan dua dua nya di musuhi.
Lha wong yang datang Bu Listyo lho, mau melihat jelas calon mantunya yang terpatri diangan angan sampai terbawa mimpi gitu lho.
Bener apa tidak kata Radityo yang katanya sudah pernah makan siang di rumah Ratri.
Terimakasih Bu Tien
Jangan pergi yang kelima belas sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Rupanya Listy datang ke sekolah ibu Dewi. Masih dendamkah dia? Semoga sudah tenang, sadar dan jadi orang baik2 ...
ReplyDeleteBiarkan pak Dian melindungi 2 wanita sekaligus.
Matur nuwun ibu Tien, Berkah Dalem.
Semoga Listi sdh sadar dan baik baik saja ya bu Yustin..
DeleteKita tunggu bgmn kehidupan Listi selanjutnya..
Alhamdulillah, matursuwun bu Tien, salam sehat selalu
ReplyDeleteMtrnwn mbak
ReplyDeleteTerimakasih
ReplyDeleteListi datang...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteApakah yg datang listi... Tunggu aja kelanjutannya. . .trims Bu tien
ReplyDeleteSlmt pgii bunda Tien..terima ksih JP 15 nya..makin penasaran makin geretan..semoga diakhirnya bahagia semuanya..Slmsht sll unk bundaqu..🙏🥰🌹❤️
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun, sehat selalu Bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulilah..
ReplyDeleteTks bunda Tien..
Semoga sehat dan bahagia selalu..
Kira kira siapa ya tamunya Bu Dewi?
ReplyDeleteDewi Dian Listi dipusaran konflik......
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu. Aduhai
Alhandulillah maturnuwun mbak Tien, semoga mbak Tien selalu sehat. Aamiiiiin
ReplyDelete