Thursday, November 3, 2022

JANGAN PERGI 16

 

JANGAN PERGI  16

(Tien Kumalasari)

 

Ratri yang mengenali siapa  yang datang, dan mengetahui apa yang dilakukannya, bukan hanya kepada dirinya, tapi juga kepada Dewi, segera menghentikan satpam yang hendak meninggalkan ruangan.

“Pak Satpam, di situ saja dulu, jangan ke mana-mana,” perintahnya, dan satpam itupun berhenti, tetap berdiri di depan pintu.

“Beruntung saya bisa menemukan siapa yang menjadi kepala sekolah di sini, dan bernama Dewi.”

“Ibu Listi,” sapa Dewi berusaha ramah, walau sebenarnya kesal dengan sikap Listi yang tampak sangat tidak sopan, apalagi Listi sudah dua kali manyakiti fisiknya.

Tapi mendengar Dewi memanggilnya ‘ibu’, wajah Listi langsung muram menahan marah.

“Saya bukan ‘ibu’, jadi tolong panggil saya ‘nona’,” katanya tandas.

“Oh, baiklah, nona Listi, ada yang bisa saya bantu?”

“Ada, tentu saja. Bantu saya, jauhi Dian, karena dia suami saya,” katanya tanpa malu, sementara Dewi maupun Ratri sudah tahu yang sebenarnya, karena Dian sudah menceraikannya.

“Oh ya? Mengapa anda mengatur apa yang harus saya lakukan?” kata Dewi dengan berani. Saat ini dia sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan, apa lagi satpam sekolah ada di depan pintu, yang pasti bisa melakukan sesuatu seandainya Listi kembali mengamuk seperti sebelumnya.

“Apa kamu tidak tahu bahwa Dian suami aku?” katanya sambil melupakan panggilan yang semula ‘saya’ menjadi ‘aku’.

“Masa? Yang pernah saya dengar adalah, bahwa Nona sudah diceraikan oleh suami Nona. Apa saya salah ya?” kata Dewi sinis.

Mendengar perkataan Dewi, kemarahan Listi memuncak. Ia mengangkat alisnya, membiarkan mata garangnya melahap wajah Dewi dengan tatapan membunuh.

“Oh, itukah yang dikatakan suami aku? Rupanya karena dia tergoda oleh rayuan kamu, maka dia kemudian bilang begitu.”

“Baiklah, harap nona ingat, ini di kantor, kantor sekolah pula, sehingga kalau terjadi keributan pasti akan menjadikan ketidak nyamanan bagi murid-murid, jadi kalau tidak ada lagi yang akan ibu … eh … nona katakan, saya mohon segera tinggalkan tempat ini,” kata Dewi tandas.

Listi menggebrak meja kerja Dewi, lalu satpam yang semula berdiri di depan pintu, segera maju, lalu berkata sopan.

“Ibu, saya mohon ibu tidak membuat kegaduhan di sini.”

“Apa kamu bilang, satpam tua? Apa aku ini ibumu?”

“Baiklah, Mbak …”

“Bukan ‘mbak’!!”

“Apapun sebutan sampeyan, saya mohon segera keluar dari tempat ini.”

“Aku sedang berurusan dengan dia!!”

“Sampeyan membuat keributan di tempat yang tidak semestinya.”

“Persetan dengan apa yang kamu katakan. Pergi, aku masih ingin bicara dengan dia,” katanya keras dengan mata tetap menyala.

“Saya pikir kita tidak perlu bicara apapun. Kalau ingin memperjelas tentang hubungan saya dengan pak Dian, saya mohon bicaralah dengan pak Dian. Itupun kalau beliau masih mau bicara sama Nona.”

Tapi tanpa disangka, Listi mengayunkan tangannya, dan mengibaskan semua yang ada di meja, sehingga segala kertas yang entah kertas apa saja, bahkan laptop, juga berjatuhan di lantai.

Dewi dan Ratri menjerit, dan satpam itu meringkus Listi, yang berontak sambil teriak. Tak urung kegaduhan pun terjadi. Beberapa guru lari ke ruang kepala sekolah, dan salah seorang dari mereka segera menelpon polisi. Sedangkan beberapa guru laki-laki membantu satpam meringkus Listi yang berontak sekuat tenaga, ingin melepaskan diri.

“Lepaskaaan! Kalian bodoh. Bukan aku yang salah. Mau apa ini kalian ramai-ramai disini? Pergi semuaaa, pergiii… Lepaskan aku, kalian tak tahu permasalahannya. Aku akan bilang pada suami aku atas perlakuan kalian!” Listi berteriak-teriak tak terkendali.

Tapi pegangan kuat beberapa guru laki-laki tak mempu membuatnya terlepas, sampai polisi datang dan membawanya pergi.

***

Dewi dan Ratri masih duduk di ruang kepala sekolah, sementara yang lainnya sudah bubar. Jam mengajar yang seharusnya dilakukan Ratri, digantikan guru lain karena Ratri harus menenangkan Dewi yang bagaimanapun tampak terguncang.

Barang-barang berserakan sudah dirapikan kembali, kecuali laptop yang berantakan karena terbanting keras di lantai.

“Saya kira perempuan itu sudah gila,” celetuk Dewi setelah diam beberapa saat lamanya.

“Saya bingung Bu, dulu sama saya, menuduh saya pacaran sama mas Radit, tapi di depan ibu, dia bilang masih istri Dian.”

“Saya kira dia stres berat karena sudah diceraikan pak Dian.”

“Tampaknya mas Radit juga tidak mau menerimanya kembali. Tapi entahlah.”

“Kalau pak Radit mau, dia pasti tak akan lagi mengakui masih menjadi istri pak Dian. Tampaknya disini membuang, disana tidak mau menerima.”

“Kasihan sebenarnya …” keluh Ratri.

“Jadi urusan polisi ini Bu, malah panjang perkaranya.”

“Mau bagaimana lagi, saya yakin Listi akan ditahan, karena bicaranya ngaco tidak karuan.”

“Bisa dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa kalau masih belum bisa tenang.”

“Saya kira dia tidak sadar akan apa yang dilakukannya.  Dian tidak pernah cerita kalau istrinya punya masalah kejiwaan. Dia bilang sebelum ini rumah tangganya baik-baik saja. Dian menceraikannya karena berkali-kali dia menggugurkan kandungannya.”

“Pastinya ya karena diceraikan itu masalahnya, lalu menjadi sangat tertekan dan mempengaruhi kejiwaannya.”

“Semoga semuanya baik-baik saja.”

“Aamiin.”

Ratri dan Dewi hanya bisa menduga-duga, karena tidak mengerti apa yang membuat Listi seperti itu.

“Apa saya harus mengabari pak Dian atas peristiwa ini ya Bu?” tanya Dewi kepada Ratri.

“Sebaiknya iya Bu, soalnya kalau tidak, lalu terjadi apa-apa, kita bisa disalahkan karena tidak mengatakan apapun kepadanya.

“Baiklah, nanti kalau saya merasa lebih tenang, akan menelpon pak Dian. Juga menunggu kalau sekiranya dia sudah di rumah, karena setelah dia meninggalkan pekerjaan selama berhari-hari, bisa dipastikan tugas yang tertunda akan menumpuk di mejanya.”

“Benar Bu, mungkin nanti sore saja, atau malamnya, Ibu baru mengabari.”

“Baiklah. Sekarang lebih baik saya pulang dulu untuk menenangkan diri. Apa bu Ratri masih ada tugas mengajar lagi?”

“Jam terakhir bu, yang tadi sudah digantikan pak Bowo. Silakan kalau Ibu mau pulang dulu.”

“Terima kasih bu Ratri, oh ya, undangan untuk pak Radit tolong dibawa ya.”

“Oh iya Bu, hampir saja saya lupa.”

***

Tapi sebelum Dewi menelponnya, rupanya Dian sudah mendapat telpon dari kantor polisi, dimana Listi ditahan. Listi masih tetap mengatakan bahwa Dian adalah suaminya, dan ia juga menunjukkan nomor kontak suaminya tersebut.

“Ya Tuhan, bagaimana bisa terjadi?”

Dian sedang bingung dan tak tahu harus berbuat apa, ketika bu Sumini menelponnya.

“Ya Bu Sumini, ada apa?”

“Non Listi kemarin sudah memaksa pulang, karena katanya sudah sehat. Rumah sakit mengembalikan uang yang Bapak titipkan, tapi saya tidak tahu jumlahnya berapa, karena non Listi sendiri yang menerimanya.”

“Ya sudah, nggak apa-apa Bu.”

“Tapi uang yang Bapak berikan pada saya masih tersisa, karena saya tidak perlu bolak balik ke rumah sakit dan membeli makan saat menunggu di sana.”

“Ya sudah, nggak apa-apa, Bu Sumini bawa saja uang itu. Apa bu Sumini tahu apa yang terjadi pada Listi?”

“Non Listi pergi sejak pagi, dan sekarang belum kembali. Saya masih ada di rumahnya, dan belum berani pulang sebelum non Listi pulang. Saya menelpon Bapak hanya karena ada uang tersisa yang masih saya bawa.”

“Iya Bu, bawa saja uangnya, dan pakai untuk kebutuhan lainnya. Ibu juga boleh mengunci pintunya lalu pulang saja, karena Listi belum akan kembali malam ini.”

“Oh, begitu ya Pak, baiklah kalau begitu saya pulang saja.”

Bu Sumini menghentikan pembicaraan, tanpa ingin tahu Listi pergi kemana, karena memang biasanya Listi tidak pernah pamit saat pergi keluar rumah.

Baru saja Dian meletakkan ponselnya, Dewi menelpon. Dian sudah tahu apa yang terjadi karena polisi menerangkannya dengan gamblang adanya peristiwa itu.

“Saya minta maaf Bu Dewi, saya juga tidak mengira dia akan nekat seperti itu. Kemarin dia menyusul saya ke bandara, dan memaksa ingin ikut. Tapi karena tiba-tiba dia pingsan, maka saya batal kembali pagi-hari itu, baru saya bisa dapat pesawat menjelang sore.”

“Saya merasa kasihan, dia sepertinya sangat tertekan.”

“Saya bisa mengerti. Tapi menyesal sekali saya tidak bisa kembali untuk mengurusnya. Saya minta agar mereka memeriksakan Listi ke dokter jiwa, mungkin itu salah satu solusinya.”

“Semoga semuanya baik-baik saja.”

“Aamiin. Bagaimana keadaan Arina?”

“Dia asyik bermain boneka, setelah sore tadi main sepeda bersama pengasuhnya.”

“Syukurlah, saat waktu luang saya akan datang untuk bermain bersama Arina.”

***

Dian memijit keningnya. Dia sudah mengatakan bahwa dia sudah bercerai dengan Listi. Dia tak bisa sepenuhnya mengurusinya lagi. Itu yang dikatakannya ketika mendapat telpon dari kantor polisi. Dia juga tidak bisa mengatakan apakah ada keluarga Listi yang bisa dihubungi, karena dia memang tidak mengetahuinya. Mereka dulu menikah di kantor KUA dan hanya dihadiri oleh ayahnya yang sudah tua dan tampak sakit-sakitan, kemudian Dian langsung membawanya ke Jakarta.

Belum lama dia termenung, ponselnya berdering lagi. Kali itu dari bu Sumini.

“Ya Bu.”

“Ya ampun Pak, saya baru saja mendapat telpon dari kantor polisi, katanya, Non Listi ditahan karena membuat onar di sebuah sekolah,” ujar bu Sumini ketakutan.

“Iya Bu, saya sudah tahu, ibu tidak usah memikirkannya, lakukan saja tugas bu Sumini seperti biasa, nanti ada yang akan mengurusnya. Tapi kalau Bu Sumini tidak keberatan, tengok dia di kantor polisi, barangkali bisa membawakan makanan atau apa untuk dia.”

“Oh, baiklah Pak.”

Dian benar-benar pusing. Rupanya keinginan untuk menceraikan Listi, tak semudah yang dibayangkannya. Keadaan menjadi rumit. Karenanya ia ingin berkeluh pada Radit, yang barangkali karena pernah punya hubungan dengan Listi, bisa membantu meringankan beban yang menggayutinya.

Tapi beberapa kali dia menelpon, tak ada tanda-tanda ponsel diangkat. Dian melihat jam dinding, yang kemudian terdengar berdentang.

“Ya ampun, jam sebelas malam,” gumam Dian yang kemudian masuk ke kamarnya dan merebahkan tubuhnya di tempat tidur, kelelahan. Lahir dan batinnya.

***

Hari itu Dewi dengan ditemani Ratri, pergi ke kantor polisi, untuk diminta keterangannya tentang kejadian di siang hari kemarin, di kantornya. Dewi juga menceritakan semua yang terjadi, tak ada yang terlewat, dan hubungan dengan suami atau bekas suami Listi, dimana Listi menuduh merebutnya, sementara mereka sudah  dalam proses cerai.

Mereka tiba di sekolah, ketika tiba-tiba Radit menelponnya.

“Ya Mas.”

“Kamu nanti pulang jam berapa?”

“Jam dua Mas, ada apa? Saya lupa memberi tahu, ada undangan peresmian pembukaan gedung baru sekolah, yang akan diadakan besok hari Sabtu siang.”

“Sabtu siang ini?”

“Iya, undangan sudah aku bawa.”

“Nanti aku jemput ya.”

“Baiklah, terserah Mas Radit saja.”

"Semalam mas Dian menelpon saya, tapi saya sudah tidur, sampai sekarang belum menghubungi lagi."

"Nanti mas Radit akan tahu semuanya."

Lalu Radit menutup pembicaraan itu.

“Bu Ratri sudah cerita ke pak Radit tentang peristiwa itu?” tanya Dewi kepada Ratri setelah Ratri selesai.

“Belum, saya tidak mau menelpon dari rumah, takut ibu saya mendengarnya, lalu ibu ikut memikirkannya.”

“Benar sekali.”

“Saya akan bercerita nanti setelah ketemu, sekaligus bertanya tentang hubungannya dengan Listi. Kalau Listi masih mencintai mas Radit, mengapa dia memusuhi bu Dewi?”

“Ini memang sangat membingungkan.”

Ketika Radit datang dan menemui Ratri di ruang kerja Dewi, Ratri menceritakan semuanya, yang membuat Radit juga terheran-heran.

“Dia datang menangis-nangis, mengatakan bahwa masih mencintai aku, bahkan ketika itu mas Dian juga ada.”

“Mas masih mencintai dia?”

“Tidak, tentu saja tidak. Sudah lama kami berpisah. Tentunya sejak dia menikah dengan mas Dian, yang aku tahunya juga saat mas Dian mengembalikan mobil itu. Sungguh aku terkejut ketika mas Dian mengatakan bahwa Listi adalah istrinya yang akan diceraikannya.”

“Kalau begitu menurut pengamatan saya, Listi itu bingung. Diceraikan suami, ditolak bekas pacar …  lalu menjadi tidak terkendali dan seperti orang tidak waras.”

***

Hari itu bu Cipto bukan menunggu tukang sayur yang setiap hari lewat di depan rumah. Banyak yang harus dibeli, karena dia lupa berpesan kepada Ratri agar membelanjakannya saat pulang kerja. Karenanya ia berangkat ke pasar sendiri.

Banyak yang harus dibelinya, sehingga bawaannya lumayan banyak. Dia sedang menunggu taksi yang dipanggilnya, ketika tiba-tiba dia melihat seorang wanita seumuran dengannya, duduk di bawah sebuah pohon dengan wajah sedih.

Bu Cipto merasa seperti pernah mengenal wanita itu, tapi lupa di mana. Walau begitu dia mendekatinya, mencoba menyapa, barangkali akan diingatnya, siapa sebenarnya dia. Tapi begitu bu Cipto mendekat, wanita itu tiba-tiba lari menjauh seperti ketakutan.

***

Besok lagi ya.

56 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku JP sudah tayang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selamat kung Latief Sragentina.
      Anda layak jadi juara 1
      Matur nuwun bu Tien.....

      Delete
    2. Makasih mbak Nani, mas Kakek, salam sehat.

      Delete
  2. Replies
    1. Matur nuwun bu Tien..... JePe_16 sampun tayang ..
      Salam sehat penuh semangat
      Dan ........
      Tetap ADUHAI

      Delete
  3. Replies
    1. Karnaval
      Wong setres, dengan route dari rumah jalan jalan pagi sampai siang baru demo eh unjuk rasa, dengan heboh sampai merusak fasum, waduh sampai sekuriti kecolongan begitu cepat pengrusakan itu terjadi.
      Berakhir di sel kantor polisi.
      Bertebaran virus setres sampai Bu Cipto pulang dari pasar juga kebagian ketemu karnaval orang setres.
      Disamperin mau disapa; ee malah melarikan diri menjauh..
      Mambuné kåyå besengèk

      Terimakasih Bu Tien
      Jangan pergi yang ke enam belas sudah tayang
      Sehat sehat selalu doaku
      Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
      🙏

      Delete
  4. Alhamdulillah , Terima kasih bunda Tien 🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah... matur nuwun tayang gasik

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah,....
    Matur nuwun Bu Tien Kumala....

    ReplyDelete
  7. Ada pemeran baru, wanita yang didatangi bu Cipto. Siapa ya... Tunggu besok lagi.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah .....
    Yg ditunggu2 sdh datang...
    Matur nuwun bu Tien ...
    Semoga sehat selalu....
    Tetap semangat ...

    ReplyDelete
  9. zwaduh siapa lagi wanita yg dijumpai Bu.Cipto ...jd ndak sabar nunggu lanjutannya ☺
    Harus sabar ini...Matur nuwun bunda Tien, sugeng dalu ugi sugeng rehat..



    ReplyDelete
  10. Alhamdulilah... terima kasih bu tien jp tayang ...makin seru ...salam sehat bu

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah sdh hadir yg di tunggu2 mksh Bu Tien salam sehat selalu

    ReplyDelete
  12. Terima kasih mbak Tien. Aduhai, cerita makin seru. Salam sejahtera.

    ReplyDelete
  13. Bu Cipto merasa seperti pernah mengenal wanita itu, tapi lupa di mana. Walau begitu dia mendekatinya, mencoba menyapa, barangkali akan diingatnya, siapa sebenarnya dia. Tapi begitu bu Cipto mendekat, wanita itu tiba-tiba lari menjauh seperti ketakutan.

    Sapa maneh iki sing teka kok nyalawadi.....
    seumuran bu Cipto lagi......
    bukan semuran Ratriu/Dewi dadi susah nebaknya, kecuali sang penulisnya..... Matur nuwun bu Tien, sugeng dalu sugeng aso salira.

    ReplyDelete
  14. Mungkinkah ada kisah silam yang belum terungkap, bahwa Listi dan Ratri adalah kembar...

    Hanya Bu Tien yang tahu jawabnya..
    Sehat selalu ya Bu, terimakasih ceritanya
    😘😘🙏🙏

    ReplyDelete
  15. Alhamdulilah JP 16sudah tayang,,,,salam kenal bu tien saking Banjarnegara,,

    ReplyDelete
  16. Bu Suminikah yang lari ?
    Ada hubungan saudarakah Listi dan Ratri......
    Apapun nanti terimakasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu.

    ReplyDelete

  17. Alhamdulillah JANGAN PERGI~16 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  18. Mungkinkah wanita itu ibunya Listi... terserah bunda Tien siapa dia. Terimakasih bunda Tien, salam aduhai..

    ReplyDelete
  19. Siapakah perempuan yg lari tuh
    Kita tunggu bsk aj deh

    Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
    Setia menunggu kelanjutannya bsk deh

    ReplyDelete
  20. Oh itu ibu Listi kah?...
    Terima kasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  21. Semakin penasaran nih..
    Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu

    ReplyDelete
  22. Weee siapa ya ibu2 yg lari menjauh dari Bu Cipto

    Kalau boleh menebak itu ibu2 yg dulu nyulik Listi waktu bayi...

    Jadi...Listi dan Ratri itu sebenarnya anak #Kembat#

    Welehh ..ngarang Dewe xixixixi

    Tunggu lanjutan nya besok ...

    Matur suwun bunda Tien
    Salam Tahes Ulales bunda dari bumi Arema Malang dan selalu tetap Aduhaiii

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gpp bebas ngarang dewe mb Lina..
      Kemungkinan ibu tsb ada kaitannya dg Listi... dan mgkn juga dg Ratri ..
      Tambah penasaran ya mbak..

      Delete
  23. Sepertinya bakal seru niih...
    Siapa Listi dan Ratri sebenarnya?
    Bikin penasaran saja bunda Tien ini.
    Salam sehat dan Aduhai dari mBantul

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah JP 16 sdh tayang
    semakin seru dan penasaran cerita lanjutannya.
    Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  25. Siapakah wanita yg ketakutan bertemu Bu Cipto itu?
    Apakah listri dan Ratri itu saudara kembar?

    ReplyDelete
  26. Alhamdulillah, matursuwun bu Tien , semoga sehat selalu Aamiin

    ReplyDelete
  27. Alhamdulilah Ratri hadir..
    Tks bunda Tien..
    Sehat selalu ya bunda..

    ReplyDelete
  28. Bu Yustin.. Blm hadiiir..
    Kangeeen buu...

    ReplyDelete
  29. listi dan ratri sodara kembar yg terpusah?

    ReplyDelete
  30. trima kasih bu Tien, selalu bikin penasaran..

    ReplyDelete
  31. Alhamdulillah,, matur nuwun bu Tien
    Wah seru nih ,,kl listi & Ratri kembar
    Bu Tien bikin gemes deh 🤗🥰

    Salam sehat wal'afiat bu Tienku sekeluarga ya ,Aamiin

    ReplyDelete
  32. Rasanya pengen tak puter jam nya....

    Menjadi jam 21.00

    😀😀😀😀

    ReplyDelete
  33. Menunggu kepastian siapa wanita yang lari waktu melihat bu Cipto.
    Apakah dia yang membawa bayi Listi?

    ReplyDelete
  34. Wah kembar Listy ma Ratri kayaknya la seperti pinang di belah 2..waduh ..makasih bu Tien

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 37

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  37 (Tien Kumalasari)   Laki-laki yang baru saja membuka pintu itu adalah Sulistyo. Matanya menatap gadis y...