JANGAN PERGI 16
(Tien Kumalasari)
Ratri yang mengenali siapa yang datang, dan mengetahui apa yang
dilakukannya, bukan hanya kepada dirinya, tapi juga kepada Dewi, segera
menghentikan satpam yang hendak meninggalkan ruangan.
“Pak Satpam, di situ saja dulu, jangan ke mana-mana,”
perintahnya, dan satpam itupun berhenti, tetap berdiri di depan pintu.
“Beruntung saya bisa menemukan siapa yang menjadi
kepala sekolah di sini, dan bernama Dewi.”
“Ibu Listi,” sapa Dewi berusaha ramah, walau
sebenarnya kesal dengan sikap Listi yang tampak sangat tidak sopan, apalagi
Listi sudah dua kali manyakiti fisiknya.
Tapi mendengar Dewi memanggilnya ‘ibu’, wajah Listi
langsung muram menahan marah.
“Saya bukan ‘ibu’, jadi tolong panggil saya ‘nona’,”
katanya tandas.
“Oh, baiklah, nona Listi, ada yang bisa saya bantu?”
“Ada, tentu saja. Bantu saya, jauhi Dian, karena dia
suami saya,” katanya tanpa malu, sementara Dewi maupun Ratri sudah tahu yang sebenarnya, karena Dian sudah menceraikannya.
“Oh ya? Mengapa anda mengatur apa yang harus saya
lakukan?” kata Dewi dengan berani. Saat ini dia sudah bersiap menghadapi segala
kemungkinan, apa lagi satpam sekolah ada di depan pintu, yang pasti bisa
melakukan sesuatu seandainya Listi kembali mengamuk seperti sebelumnya.
“Apa kamu tidak tahu bahwa Dian suami aku?” katanya
sambil melupakan panggilan yang semula ‘saya’ menjadi ‘aku’.
“Masa? Yang pernah saya dengar adalah, bahwa Nona
sudah diceraikan oleh suami Nona. Apa saya salah ya?” kata Dewi sinis.
Mendengar perkataan Dewi, kemarahan Listi memuncak. Ia
mengangkat alisnya, membiarkan mata garangnya melahap wajah Dewi dengan tatapan
membunuh.
“Oh, itukah yang dikatakan suami aku? Rupanya karena
dia tergoda oleh rayuan kamu, maka dia kemudian bilang begitu.”
“Baiklah, harap nona ingat, ini di kantor, kantor
sekolah pula, sehingga kalau terjadi keributan pasti akan menjadikan
ketidak nyamanan bagi murid-murid, jadi kalau tidak ada lagi yang akan ibu … eh
… nona katakan, saya mohon segera tinggalkan tempat ini,” kata Dewi tandas.
Listi menggebrak meja kerja Dewi, lalu satpam yang
semula berdiri di depan pintu, segera maju, lalu berkata sopan.
“Ibu, saya mohon ibu tidak membuat kegaduhan di sini.”
“Apa kamu bilang, satpam tua? Apa aku ini ibumu?”
“Baiklah, Mbak …”
“Bukan ‘mbak’!!”
“Apapun sebutan sampeyan, saya mohon segera keluar
dari tempat ini.”
“Aku sedang berurusan dengan dia!!”
“Sampeyan membuat keributan di tempat yang tidak
semestinya.”
“Persetan dengan apa yang kamu katakan. Pergi, aku
masih ingin bicara dengan dia,” katanya keras dengan mata tetap menyala.
“Saya pikir kita tidak perlu bicara apapun. Kalau
ingin memperjelas tentang hubungan saya dengan pak Dian, saya mohon bicaralah
dengan pak Dian. Itupun kalau beliau masih mau bicara sama Nona.”
Tapi tanpa disangka, Listi mengayunkan tangannya, dan
mengibaskan semua yang ada di meja, sehingga segala kertas yang entah kertas
apa saja, bahkan laptop, juga berjatuhan di lantai.
Dewi dan Ratri menjerit, dan satpam itu meringkus
Listi, yang berontak sambil teriak. Tak urung kegaduhan pun terjadi. Beberapa
guru lari ke ruang kepala sekolah, dan salah seorang dari mereka segera
menelpon polisi. Sedangkan beberapa guru laki-laki membantu satpam meringkus
Listi yang berontak sekuat tenaga, ingin melepaskan diri.
“Lepaskaaan! Kalian bodoh. Bukan aku yang salah. Mau
apa ini kalian ramai-ramai disini? Pergi semuaaa, pergiii… Lepaskan aku, kalian
tak tahu permasalahannya. Aku akan bilang pada suami aku atas perlakuan
kalian!” Listi berteriak-teriak tak terkendali.
Tapi pegangan kuat beberapa guru laki-laki tak mempu
membuatnya terlepas, sampai polisi datang dan membawanya pergi.
***
Dewi dan Ratri masih duduk di ruang kepala sekolah,
sementara yang lainnya sudah bubar. Jam mengajar yang seharusnya dilakukan
Ratri, digantikan guru lain karena Ratri harus menenangkan Dewi yang
bagaimanapun tampak terguncang.
Barang-barang berserakan sudah dirapikan kembali,
kecuali laptop yang berantakan karena terbanting keras di lantai.
“Saya kira perempuan itu sudah gila,” celetuk Dewi
setelah diam beberapa saat lamanya.
“Saya bingung Bu, dulu sama saya, menuduh saya pacaran
sama mas Radit, tapi di depan ibu, dia bilang masih istri Dian.”
“Saya kira dia stres berat karena sudah diceraikan pak
Dian.”
“Tampaknya mas Radit juga tidak mau menerimanya
kembali. Tapi entahlah.”
“Kalau pak Radit mau, dia pasti tak akan lagi mengakui
masih menjadi istri pak Dian. Tampaknya disini membuang, disana tidak mau
menerima.”
“Kasihan sebenarnya …” keluh Ratri.
“Jadi urusan polisi ini Bu, malah panjang perkaranya.”
“Mau bagaimana lagi, saya yakin Listi akan ditahan,
karena bicaranya ngaco tidak karuan.”
“Bisa dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa kalau masih belum
bisa tenang.”
“Saya kira dia tidak sadar akan apa yang
dilakukannya. Dian tidak pernah cerita kalau
istrinya punya masalah kejiwaan. Dia bilang sebelum ini rumah tangganya
baik-baik saja. Dian menceraikannya karena berkali-kali dia menggugurkan
kandungannya.”
“Pastinya ya karena diceraikan itu masalahnya, lalu menjadi sangat tertekan dan mempengaruhi kejiwaannya.”
“Semoga semuanya baik-baik saja.”
“Aamiin.”
Ratri dan Dewi hanya bisa menduga-duga, karena tidak
mengerti apa yang membuat Listi seperti itu.
“Apa saya harus mengabari pak Dian atas peristiwa ini
ya Bu?” tanya Dewi kepada Ratri.
“Sebaiknya iya Bu, soalnya kalau tidak, lalu terjadi
apa-apa, kita bisa disalahkan karena tidak mengatakan apapun kepadanya.
“Baiklah, nanti kalau saya merasa lebih tenang, akan
menelpon pak Dian. Juga menunggu kalau sekiranya dia sudah di rumah, karena
setelah dia meninggalkan pekerjaan selama berhari-hari, bisa dipastikan tugas
yang tertunda akan menumpuk di mejanya.”
“Benar Bu, mungkin nanti sore saja, atau malamnya, Ibu
baru mengabari.”
“Baiklah. Sekarang lebih baik saya pulang dulu untuk
menenangkan diri. Apa bu Ratri masih ada tugas mengajar lagi?”
“Jam terakhir bu, yang tadi sudah digantikan pak Bowo.
Silakan kalau Ibu mau pulang dulu.”
“Terima kasih bu Ratri, oh ya, undangan untuk pak
Radit tolong dibawa ya.”
“Oh iya Bu, hampir saja saya lupa.”
***
Tapi sebelum Dewi menelponnya, rupanya Dian sudah
mendapat telpon dari kantor polisi, dimana Listi ditahan. Listi masih tetap
mengatakan bahwa Dian adalah suaminya, dan ia juga menunjukkan nomor kontak
suaminya tersebut.
“Ya Tuhan, bagaimana bisa terjadi?”
Dian sedang bingung dan tak tahu harus berbuat apa,
ketika bu Sumini menelponnya.
“Ya Bu Sumini, ada apa?”
“Non Listi kemarin sudah memaksa pulang, karena
katanya sudah sehat. Rumah sakit mengembalikan uang yang Bapak titipkan, tapi
saya tidak tahu jumlahnya berapa, karena non Listi sendiri yang menerimanya.”
“Ya sudah, nggak apa-apa Bu.”
“Tapi uang yang Bapak berikan pada saya masih tersisa,
karena saya tidak perlu bolak balik ke rumah sakit dan membeli makan saat
menunggu di sana.”
“Ya sudah, nggak apa-apa, Bu Sumini bawa saja uang
itu. Apa bu Sumini tahu apa yang terjadi pada Listi?”
“Non Listi pergi sejak pagi, dan sekarang belum
kembali. Saya masih ada di rumahnya, dan belum berani pulang sebelum non Listi
pulang. Saya menelpon Bapak hanya karena ada uang tersisa yang masih saya
bawa.”
“Iya Bu, bawa saja uangnya, dan pakai untuk kebutuhan
lainnya. Ibu juga boleh mengunci pintunya lalu pulang saja, karena Listi belum
akan kembali malam ini.”
“Oh, begitu ya Pak, baiklah kalau begitu saya pulang
saja.”
Bu Sumini menghentikan pembicaraan, tanpa ingin tahu
Listi pergi kemana, karena memang biasanya Listi tidak pernah pamit saat pergi
keluar rumah.
Baru saja Dian meletakkan ponselnya, Dewi menelpon. Dian sudah tahu apa yang terjadi karena polisi menerangkannya dengan gamblang
adanya peristiwa itu.
“Saya minta maaf Bu Dewi, saya juga tidak mengira dia
akan nekat seperti itu. Kemarin dia menyusul saya ke bandara, dan memaksa ingin
ikut. Tapi karena tiba-tiba dia pingsan, maka saya batal kembali pagi-hari itu,
baru saya bisa dapat pesawat menjelang sore.”
“Saya merasa kasihan, dia sepertinya sangat tertekan.”
“Saya bisa mengerti. Tapi menyesal sekali saya tidak
bisa kembali untuk mengurusnya. Saya minta agar mereka memeriksakan Listi ke
dokter jiwa, mungkin itu salah satu solusinya.”
“Semoga semuanya baik-baik saja.”
“Aamiin. Bagaimana keadaan Arina?”
“Dia asyik bermain boneka, setelah sore tadi main
sepeda bersama pengasuhnya.”
“Syukurlah, saat waktu luang saya akan datang untuk
bermain bersama Arina.”
***
Dian memijit keningnya. Dia sudah mengatakan bahwa dia
sudah bercerai dengan Listi. Dia tak bisa sepenuhnya mengurusinya lagi. Itu
yang dikatakannya ketika mendapat telpon dari kantor polisi. Dia juga tidak
bisa mengatakan apakah ada keluarga Listi yang bisa dihubungi, karena dia
memang tidak mengetahuinya. Mereka dulu menikah di kantor KUA dan hanya
dihadiri oleh ayahnya yang sudah tua dan tampak sakit-sakitan, kemudian Dian
langsung membawanya ke Jakarta.
Belum lama dia termenung, ponselnya berdering lagi.
Kali itu dari bu Sumini.
“Ya Bu.”
“Ya ampun Pak, saya baru saja mendapat telpon dari
kantor polisi, katanya, Non Listi ditahan karena membuat onar di sebuah
sekolah,” ujar bu Sumini ketakutan.
“Iya Bu, saya sudah tahu, ibu tidak usah
memikirkannya, lakukan saja tugas bu Sumini seperti biasa, nanti ada yang akan mengurusnya. Tapi kalau Bu Sumini tidak keberatan, tengok dia di kantor polisi,
barangkali bisa membawakan makanan atau apa untuk dia.”
“Oh, baiklah Pak.”
Dian benar-benar pusing. Rupanya keinginan untuk
menceraikan Listi, tak semudah yang dibayangkannya. Keadaan menjadi rumit.
Karenanya ia ingin berkeluh pada Radit, yang barangkali karena pernah punya
hubungan dengan Listi, bisa membantu meringankan beban yang menggayutinya.
Tapi beberapa kali dia menelpon, tak ada tanda-tanda
ponsel diangkat. Dian melihat jam dinding, yang kemudian terdengar berdentang.
“Ya ampun, jam sebelas malam,” gumam Dian yang
kemudian masuk ke kamarnya dan merebahkan tubuhnya di tempat tidur, kelelahan.
Lahir dan batinnya.
***
Hari itu Dewi dengan ditemani Ratri, pergi ke kantor
polisi, untuk diminta keterangannya tentang kejadian di siang hari kemarin, di
kantornya. Dewi juga menceritakan semua yang terjadi, tak ada yang terlewat,
dan hubungan dengan suami atau bekas suami Listi, dimana Listi menuduh
merebutnya, sementara mereka sudah dalam
proses cerai.
Mereka tiba di sekolah, ketika tiba-tiba Radit
menelponnya.
“Ya Mas.”
“Kamu nanti pulang jam berapa?”
“Jam dua Mas, ada apa? Saya lupa memberi tahu, ada
undangan peresmian pembukaan gedung baru sekolah, yang akan diadakan besok hari
Sabtu siang.”
“Sabtu siang ini?”
“Iya, undangan sudah aku bawa.”
“Nanti aku jemput ya.”
“Baiklah, terserah Mas Radit saja.”
"Semalam mas Dian menelpon saya, tapi saya sudah tidur, sampai sekarang belum menghubungi lagi."
"Nanti mas Radit akan tahu semuanya."
Lalu Radit menutup pembicaraan itu.
“Bu Ratri sudah cerita ke pak Radit tentang peristiwa
itu?” tanya Dewi kepada Ratri setelah Ratri selesai.
“Belum, saya tidak mau menelpon dari rumah, takut ibu
saya mendengarnya, lalu ibu ikut memikirkannya.”
“Benar sekali.”
“Saya akan bercerita nanti setelah ketemu, sekaligus
bertanya tentang hubungannya dengan Listi. Kalau Listi masih mencintai mas
Radit, mengapa dia memusuhi bu Dewi?”
“Ini memang sangat membingungkan.”
Ketika Radit datang dan menemui Ratri di ruang kerja
Dewi, Ratri menceritakan semuanya, yang membuat Radit juga terheran-heran.
“Dia datang menangis-nangis, mengatakan bahwa masih
mencintai aku, bahkan ketika itu mas Dian juga ada.”
“Mas masih mencintai dia?”
“Tidak, tentu saja tidak. Sudah lama kami berpisah.
Tentunya sejak dia menikah dengan mas Dian, yang aku tahunya juga saat mas Dian
mengembalikan mobil itu. Sungguh aku terkejut ketika mas Dian mengatakan bahwa
Listi adalah istrinya yang akan diceraikannya.”
“Kalau begitu menurut pengamatan saya, Listi itu
bingung. Diceraikan suami, ditolak bekas pacar … lalu menjadi tidak terkendali dan seperti
orang tidak waras.”
***
Hari itu bu Cipto bukan menunggu tukang sayur yang
setiap hari lewat di depan rumah. Banyak yang harus dibeli, karena dia lupa
berpesan kepada Ratri agar membelanjakannya saat pulang kerja. Karenanya ia berangkat ke pasar sendiri.
Banyak yang harus dibelinya, sehingga bawaannya
lumayan banyak. Dia sedang menunggu taksi yang dipanggilnya, ketika tiba-tiba dia
melihat seorang wanita seumuran dengannya, duduk di bawah sebuah pohon dengan
wajah sedih.
Bu Cipto merasa seperti pernah mengenal wanita itu,
tapi lupa di mana. Walau begitu dia mendekatinya, mencoba menyapa, barangkali
akan diingatnya, siapa sebenarnya dia. Tapi begitu bu Cipto mendekat, wanita itu tiba-tiba lari menjauh seperti ketakutan.
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku JP sudah tayang
ReplyDeleteSelamat Pak Latief Juara 1
DeleteSelamat kung Latief Sragentina.
DeleteAnda layak jadi juara 1
Matur nuwun bu Tien.....
Makasih mbak Nani, mas Kakek, salam sehat.
Delete
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien 🙏🙏
Matur nuwun bu Tien..... JePe_16 sampun tayang ..
DeleteSalam sehat penuh semangat
Dan ........
Tetap ADUHAI
he he wis thukul.
ReplyDeleteKarnaval
DeleteWong setres, dengan route dari rumah jalan jalan pagi sampai siang baru demo eh unjuk rasa, dengan heboh sampai merusak fasum, waduh sampai sekuriti kecolongan begitu cepat pengrusakan itu terjadi.
Berakhir di sel kantor polisi.
Bertebaran virus setres sampai Bu Cipto pulang dari pasar juga kebagian ketemu karnaval orang setres.
Disamperin mau disapa; ee malah melarikan diri menjauh..
Mambuné kåyå besengèk
Terimakasih Bu Tien
Jangan pergi yang ke enam belas sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdulillah
ReplyDeleteAsyik
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien sugeng ndalu
ReplyDeleteYes dah tayang makadih bunda
ReplyDeleteMtrnwn mb Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah , Terima kasih bunda Tien 🙏🙏🙏
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
ReplyDelete.....
Nice, thank U
ReplyDeleteAlhamdulillah... matur nuwun tayang gasik
ReplyDeleteAlhamdulillah,....
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien Kumala....
Ada pemeran baru, wanita yang didatangi bu Cipto. Siapa ya... Tunggu besok lagi.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat ...
zwaduh siapa lagi wanita yg dijumpai Bu.Cipto ...jd ndak sabar nunggu lanjutannya ☺
ReplyDeleteHarus sabar ini...Matur nuwun bunda Tien, sugeng dalu ugi sugeng rehat..
Pemeran baru ya mb Padma..
DeleteAlhamdulilah... terima kasih bu tien jp tayang ...makin seru ...salam sehat bu
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTrimakasih Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh hadir yg di tunggu2 mksh Bu Tien salam sehat selalu
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien. Aduhai, cerita makin seru. Salam sejahtera.
ReplyDeleteTrims Bu. Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteBu Cipto merasa seperti pernah mengenal wanita itu, tapi lupa di mana. Walau begitu dia mendekatinya, mencoba menyapa, barangkali akan diingatnya, siapa sebenarnya dia. Tapi begitu bu Cipto mendekat, wanita itu tiba-tiba lari menjauh seperti ketakutan.
ReplyDeleteSapa maneh iki sing teka kok nyalawadi.....
seumuran bu Cipto lagi......
bukan semuran Ratriu/Dewi dadi susah nebaknya, kecuali sang penulisnya..... Matur nuwun bu Tien, sugeng dalu sugeng aso salira.
Mungkinkah ada kisah silam yang belum terungkap, bahwa Listi dan Ratri adalah kembar...
ReplyDeleteHanya Bu Tien yang tahu jawabnya..
Sehat selalu ya Bu, terimakasih ceritanya
😘😘🙏🙏
Alhamdulilah JP 16sudah tayang,,,,salam kenal bu tien saking Banjarnegara,,
ReplyDeleteBu Suminikah yang lari ?
ReplyDeleteAda hubungan saudarakah Listi dan Ratri......
Apapun nanti terimakasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu.
ReplyDeleteAlhamdulillah JANGAN PERGI~16 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Mungkinkah wanita itu ibunya Listi... terserah bunda Tien siapa dia. Terimakasih bunda Tien, salam aduhai..
ReplyDeleteSiapakah perempuan yg lari tuh
ReplyDeleteKita tunggu bsk aj deh
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Setia menunggu kelanjutannya bsk deh
Oh itu ibu Listi kah?...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Semakin penasaran nih..
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam hangat selalu
Weee siapa ya ibu2 yg lari menjauh dari Bu Cipto
ReplyDeleteKalau boleh menebak itu ibu2 yg dulu nyulik Listi waktu bayi...
Jadi...Listi dan Ratri itu sebenarnya anak #Kembat#
Welehh ..ngarang Dewe xixixixi
Tunggu lanjutan nya besok ...
Matur suwun bunda Tien
Salam Tahes Ulales bunda dari bumi Arema Malang dan selalu tetap Aduhaiii
Gpp bebas ngarang dewe mb Lina..
DeleteKemungkinan ibu tsb ada kaitannya dg Listi... dan mgkn juga dg Ratri ..
Tambah penasaran ya mbak..
Sepertinya bakal seru niih...
ReplyDeleteSiapa Listi dan Ratri sebenarnya?
Bikin penasaran saja bunda Tien ini.
Salam sehat dan Aduhai dari mBantul
Alhamdulillah JP 16 sdh tayang
ReplyDeletesemakin seru dan penasaran cerita lanjutannya.
Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
Aamiin
Siapakah wanita yg ketakutan bertemu Bu Cipto itu?
ReplyDeleteApakah listri dan Ratri itu saudara kembar?
Alhamdulillah, matursuwun bu Tien , semoga sehat selalu Aamiin
ReplyDeleteAlhamdulilah Ratri hadir..
ReplyDeleteTks bunda Tien..
Sehat selalu ya bunda..
Bu Yustin.. Blm hadiiir..
ReplyDeleteKangeeen buu...
Mungkin kah Listi dan Ratri kembar ?
ReplyDeletelisti dan ratri sodara kembar yg terpusah?
ReplyDeletetrima kasih bu Tien, selalu bikin penasaran..
ReplyDeleteAlhamdulillah,, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteWah seru nih ,,kl listi & Ratri kembar
Bu Tien bikin gemes deh 🤗🥰
Salam sehat wal'afiat bu Tienku sekeluarga ya ,Aamiin
Panasss
ReplyDeleteRasanya pengen tak puter jam nya....
ReplyDeleteMenjadi jam 21.00
😀😀😀😀
Menunggu kepastian siapa wanita yang lari waktu melihat bu Cipto.
ReplyDeleteApakah dia yang membawa bayi Listi?
Wah kembar Listy ma Ratri kayaknya la seperti pinang di belah 2..waduh ..makasih bu Tien
ReplyDelete