SEBUAH JANJI 22
(Tien Kumalasari)
“Dia ? Mau beli rumah di daerah sini?” gumamnya.
Sementara mobil itu sudah berlalu, dan sang pemilik rumah sudah melangkah
mendekati Barno yang masih duduk di tangga teras.
“Itu tadi, yang sebelumnya suka sama rumah ini, tapi
saya tolak karena tampaknya Mas suka, dan lebih dulu melihatnya,” kata sang
pemilik rumah sambil duduk di samping Barno.
“O, dia?”
“Dia itu kenalan baik saya, seorang pengusaha, namanya
Samadi. Tapi yaitu, namanya orang kaya, banyak maunya. Katanya dia mau beli
rumah untuk istri mudanya,” kata sang pemilik rumah sambil tertawa.
Barno hanya tersenyum. Bayangan Samadi yang akan tinggal berdekatan dengan rumah Sekar, membuat Barno
ragu-ragu melanjutkan transaksi dengan pemilik rumah.
“Bagaimana Mas? Mas yakin suka kan? Setelah ini saya
akan memastikan pak Samadi, tadi sudah menentukan pilihannya, tak jauh dari
sini tempatnya. Seratusan meter lah, tadi dia bilang mau menjemput istri mudanya, supaya melihat dulu rumahnya” si pemilik menerangkan, tapi itu lebih
membuat Barno ragu-ragu.
“Sebentar Pak, bukan saya yang berhak menentukan, dia
ada di belakang, saya mau bicara lagi sama dia,” kata Barno sambil berdiri,
kemudian beranjak ke belakang.
Ternyata Sekar sedang berada di kamar paling belakang
dan melihat-lihat suasana luar dari jendela kamar itu.
“Non …”
Sekar menoleh ke arah Barno.
“Kalau bisa, jendela ini diperlebar ya No, terlalu
kecil. Dan supaya lebih terang, penutupnya diberi kaca saja,” kata Sekar.
“Sebentar Non, saya mau bicara.”
“Pemilik rumah itu sudah datang?”
“Sudah, tapi ada yang membuat saya ragu kalau Non
membeli rumah ini.”
“Kenapa No? Bukankah ini bagus? Bapak juga suka.”
“Baru saja saya melihat laki-laki setengah tua yang
ingin memperkosa Non.”
“Apa? Di mana? Jangan sampai dia tahu bahwa aku di
sini,” kata Sekar tampak cemas.
“Tidak. Dia baru saja mengantarkan pemilik rumah itu
kemari. Dia membeli rumah dekat dari sini, kira-kira seratusan meter.”
“Apa?”
“Tadinya menginginkan rumah ini, tapi karena melihat
bahwa tampaknya saya suka dan Non juga setuju, si pemilik mencarikan rumah lain.
Katanya untuk istri mudanya.”
“Ya Tuhan. Aku tidak mau berdekatan dengan rumah dia.”
“Itu sebabnya saya belum menjawab pertanyaan pemilik
rumah ini. Non harus mempertimbangkannya.”
“Tidak, ayo cari yang lain, jangan di daerah sini.”
“Baiklah Non, saya akan bicara sama dia,” kata Barno
yang kemudian beranjak ke depan, diikuti Sekar.
“O, ini yang mau beli rumahnya?” sapa sang pemilik
rumah sambil tersenyum.
“Tapi tampaknya saya kurang suka rumah ini Pak,” kata
Sekar.
“Lho, kenapa? Kurang bagus apanya mbak?”
“Yaa, tidak cocok saja Pak. Maaf ya.”
“Bagaimana kalau saya carikan di tempat lain, tapi
agak lebih besar, dan harganya terpaut sedikit. Ayo kalau mau melihat, nanti
bisa bersebelahan dengan pak Samad,” ungkapnya tanpa dosa.
“Apa?” Sekar langsung bereaksi.
“Pak Samad bilang, yang akan tinggal nanti istri
mudanya, dia akan jarang-jarang datang. Nah, bagaimana mBak?”
“Tidak Pak, maaf. Sekali lagi maaf. Akan saya pikirkan
lagi, nanti kalau oke, saya akan mengabari Bapak. Ya kan No?” kata Sekar
kemudian kepada Barno.
“Iya benar, nanti saya akan mengabari lagi.”
“Tapi saya nggak tanggung lho, kalau nanti ada orang
lain yang memilih rumah ini.”
“Nggak apa-apa Pak, berarti bukan rejeki kami. Sekali
lagi maaf ya,” kata Barno yang kemudian beranjak pergi. Sekar mengikutinya,
meninggalkan pemilik rumah yang mengomel panjang pendek.
***
Ari sudah kembali ke warung, dilihatnya Minar sedang
berbincang dengan Yanti di ruangannya.
“Ah, kamu sudah datang rupanya. Mana mobil barunya?”
sapa Ari.
“Masih besok di kirimnya. Tenang saja,” kata Minar.
Lalu Ari duduk di depan Yanti, menatapnya tajam.
“Yanti, aku mau marah sama kamu,” kata Ari.
“Kenapa? Apa salahku?”
“Suami kamu dirawat di rumah sakit, dan kamu tidak
bilang apa-apa?”
Yanti terkejut. Minar mengangkat wajahnya, menatap
Yanti.
“Iya kan?” lanjut Ari.
“Tahu dari mana kamu?”
“Aku ketemu bibik, sedang beli roti di dekat rumah
sakit itu. Katanya suami kamu ingin makan roti pisang.”
“Oh .. ketemu bibik?” Yanti mencoba menenangkan
hatinya.
“Jadi suami kamu benar sakit Yan?” tukas Minar.
“Sebenarnya … iya,” hanya itu yang bisa dikatakan
Yanti. Bagaimana lagi dia akan mengelak?
“Jahat kamu Yanti, kenapa tidak bilang sama kami?”
tegur Ari.
“Iya tuh. Apa maksud kamu menyembunyikan sakitnya
suami kamu?”
“Maaf Minar, Ari, aku tidak bermaksud apa-apa. Aku …
hanya … tak ingin merepotkan kalian.”
“Apa maksudmu Yanti?” sentak Ari tak suka.
“Maaf, sungguh aku … hanya tak ingin merepotkan
kalian.”
“Keterlaluan kamu Yanti. Kamu benar-benar tidak
menganggap kami ini sahabat kamu.”
Omelan demi omelan dari sahabat-sahabatnya beruntun
menggelitik telinganya, Yanti hanya mengucapkan maaf berkali-kali.
“Sakit apa sebenarnya suami kamu?”
“Yaa, sakit karena tua lah … tensinya tinggi …”
“Ari, besok kita bezoek ke rumah sakit ya.”
“Jangan,” kata Yanti tiba-tiba. Ia tak ingin
sahabat-sahabatnya bertemu suaminya, lalu mendengar apa-apa yang akan membuat
mereka lebih kesal kepadanya, misalnya kalau mendengar bahwa dia tak pernah
sekalipun menjenguk suaminya, dan banyak hal yang Yanti tak ingin mereka
mengetahuinya.
“Kenapa jangan?”
“Suamiku tidak boleh dijenguk, karena sakitnya agak
parah, jadi tidak boleh terganggu sedikitpun,” katanya memberi alasan
sekenanya.
“Yaah, sayang sekali. Nanti kita beli parsel buah-buahan
saja, agar Yanti yang membawanya ya Ar,” kata Minar.
“Jangan repot-repot ah Min.”
“Kamu tuh ya, suami sakit tampak tidak perhatian,” omel Ari.
Yanti hanya menundukkan wajahnya. Ia mengangkat
ponselnya ketika ada pesan singkat masuk. Ia segera membacanya. Dari Samadi.
“Berusahalah keluar sekarang, aku ingin menunjukkan
sesuatu sama kamu.”
Yanti menutup ponselnya. Tiba-tiba ia menemukan alasan
untuk bisa keluar tanpa teman.
“Aku pamit sebentar ya.”
“Kemana?”
“Ke rumah sakit.”
***
Ternyata Samadi sudah menunggunya di tempat biasa dia
kencan. Dia langsung menyuruh Yanti masuk ke mobil.
“Mau kemana kita? Apa yang akan kamu tunjukkan?” kata
Yanti yang sudah ber ‘kamu’ ria saat bicara dengan Samadi.
“Pokoknya sesuatu.”
“Nggak mau, katakan dulu.”
“Rumah.”
“Rumah?”
“Kita akan melihat rumah. Kalau kamu suka, aku akan
langsung membayarnya.”
“Di mana?”
“Agak jauh, tapi tempatnya nyaman. Tidak dekat dengan
keramaian.”
“Di desa?”
“Pokoknya kamu akan tenang dan senang. Kita akan
sering berada di rumah itu.”
“Hm, kamu memberi hadiah mobil kepada istri kamu, lalu
membeli rumah untuk aku?”
“Ya, begitulah. Tapi lebih mahal harga rumahnya lho,
karena aku sayang sama kamu,” kata Samadi sambil tersenyum licik.
Yanti pun tersenyum.
Ini adalah awal Samadi memberikan hadiah untuknya,
setelah membebaskannya dari hutang yang membelitnya.
“Tapi nanti malam kamu tidak boleh pulang.”
“Aku harus kemana?”
“Cari alasan agar kamu tidak kembali ke warung. Setelah
melihat rumah, kita akan bersenang-senang.”
“Oh, begitu ya.”
“Tapi lihat dulu rumahnya. Aku yakin kamu akan suka.
Tidak begitu besar, tapi nyaman.”
Yanti tersenyum. Dengan diketahuinya bahwa suaminya
sakit, Yanti merasa lebih leluasa untuk jarang-jarang pergi ke warung.
“Kamu sudah menemukan alasan untuk pergi dari warung
siang ini?”
“Sudah. Kalau tidak masa aku bisa menemui kamu.”
Tiba-tiba ponsel Samadi berdering. Wajahnya tampak
kesal, yang menelpon adalah istrinya. Ia meletakkan jari telunjuk ke bibirnya
sebagai isyarat untuk Yanti supaya tidak bicara, kemudian dia mengangkat
ponselnya.
“Ada apa Minar?”
“Mas di mana?”
“Kamu masih bertanya lagi, ya bekerja lah, tolong
mengertilah, jangan sering-sering menelpon saat aku bekerja.”
“Aku hanya ingin memberitahu bahwa_”
“Sudah, nanti kalau aku di rumah saja ngomongnya, aku
sedang sibuk,” katanya penuh kesal, lalu mematikan ponselnya.
“Minar bilang apa?”
“Tidak apa-apa. Semakin lama dia semakin menyebalkan,”
omelnya sambil terus menjalankan mobilnya. Yanti hanya tersenyum menanggapi.
“Dia tidak seperti kamu, selalu tampak manis dan
menyenangkan, sekaligus menggairahkan,” rayuan Samadi memang selalu membuat
perempuan terlena. Bahkan istrinya sendiri, walau sedang kesal hatinya, selalu
luluh setiap kali Samadi merayunya.
Demikian juga Yanti. Lama kelamaan hatinya terhanyut oleh rayuan Samadi.
Sudah beberapa tahun terakhir ini, suaminya tak lagi begitu suka menyentuhnya.
Barangkali karena penyakitnya, entahlah. Yang jelas Yanti merasa bahwa
langkahnya untuk mengikuti kemauan Samadi adalah hal terbaik yang akan dilakukannya.
***
Barno dan Sekar masih duduk di sebuah taman, tak jauh
dari perumahan yang salah satu rumahnya membuat mereka suka, namun harus
dibatalkannya.
Barno sedang mengotak-atik ponselnya, untuk mencari
informasi tentang rumah yang dijual. Beberapa kali gagal, ada yang terlalu
besar, terlalu kecil, atau bahkan terlalu mahal. Mereka harus mencari yang
terjangkau, karena uangnya yang terbatas.
“Bapak pasti sedang menunggu kita,” kata Barno.
“Tapi kita harus mendapatkan rumah lain sebelum
kembali ke rumah sakit, supaya bapak tidak kecewa.”
“Tapi tidak bisa kita langsung mendapatkannya.”
“Kita bisa melihat-lihat dulu kan. Lihat, ini bagus
No,” kata Sekar sambil menunjukkan sebuah rumah yang ditawarkan.
“Pasti mahal, sepertinya besar.”
“Tidak, lihat saja, luas tanahnya hanya 90 meter persegi,
rumahnya type 60. Ini lumayan. Ayo kita ke sana sekarang.” Kata Sekar
bersemangat.
“Ada harganya tidak?”
“Tidak dicantumkan sih, kita bisa ke sana. Ini bukan
perumahan, tapi di dalam kampung. Agak di luar kota.”
“Tampaknya bagus, ada tanah untuk menanam sesuatu.”
“Bunga … aku suka bunga No.”
Barno tersenyum melihat non cantiknya tampak
bersemangat. Ia tahu sang non cantik suka bunga. Ia harus mewujudkan apa yang
menjadi kesukaan non cantik yang sangat dikaguminya, yang oleh ayahnya
dititipkan padanya untuk dijaganya. Barno senang walaupun belum sepenuhnya bisa
mencerna maksud dari pesan yang diterimanya.
“Tapi aku haus,” keluh Sekar yang mulai berpeluh.
“Baiklah, kita cari minum dulu di seberang sana, Itu
ada mini market, kita beli minuman botol saja,” kata Barno.
Namun sebelum mereka berdiri, dilihatnya mobil
melintas. Barno mengingat mobil itu, seperti yang tadi mengantarkan pemilik
rumah yang urung dibelinya. Mobil itu berhenti di mini market, di mana Barno
dan Sekar ingin mengobati rasa hausnya dengan membeli minuman di sana. Samadi
turun, tapi kali ini Samadi tidak sendiri. Barno dan Sekar terpaku di tempat
duduknya.
“Itu kan ibu?”
“Benar, itu bu Yanti. Mereka memasuki warung itu. Dan
mereka bergandengan tangan mesra sekali?”
“Ya Tuhan. Sangat tidak pantas kelakuannya itu,” keluh
Sekar sedih. Ia teringat pada ayahnya. Bagaimana perasaan ayahnya kalau
mengetahui kelakuan isterinya.
“Ayo kita pergi,” kata Sekar.
“Katanya haus. Tunggu mereka pergi, lalu kita beli
minuman di sana.”
“Cari tempat lain saja,” kata Sekar.
Barno kembali memboncengkan non cantik menjauh dari
sana.
“Aku tahu No, laki-laki itu membeli rumah untuk ibu.
Bukankah mereka menuju ke arah sana?” kata Sekar dalam perjalanan mereka.
“Kemungkinan besar iya. Tadi kata pemilik perumahan
itu, Samadi membelikan untuk istri mudanya dan ingin mengajaknya untuk melihat-lihat.”
“Astaga naga, istri mudanya itu ibu tiriku?”
“Ya sudah Non, jangan dipikirkan. Anggap saja dia
tidak ada.”
“Apakah aku harus mengatakannya pada bapak?”
“Jangan dulu Non, bapak kan masih sakit. Bagaimana
nanti saja, sekarang kita pikirkan rumah ini dulu.”
“Kamu benar No,” kata Sekar sedih.
***
“Lhoh, kenapa gambar yang kamu tunjukkan ini berbeda
dengan tadi?” tanya pak Winarno ketika Sekar menunjukkan gambar rumah yang baru
dilihatnya.
“Iya Pak, yang tadi Sekar kirimkan ke bibik, adalah
yang pertama kali Sekar lihat. Ini ada lagi lebih bagus Pak.”
“Sepertinya agak besar?”
“Benar, dan ada pekarangannya, lumayan untuk menanam
bunga,” kata Sekar.
“Kamu suka yang mana?”
“Kalau Sekar, suka yang ini Pak. Bapak suka tidak?”
“Kalau kamu suka, Bapak juga suka. Lebih mahal?
Cukupkah uangnya?”
“Tidak Pak, hanya terpaut sedikit. Itu karena ini agak
di pinggiran, tapi nyaman Pak.”
“Baiklah, lakukan yang kamu suka. Jangan lama-lama.
Kalau bisa yang siap huni, sehingga bisa langsung ditempati. Ah, ya, perabot,
bisa ambil saja dari rumah lama,” perintah pak Winarno.
“Gampang Pak, nanti bisa beli perabotan baru, tidak
usah yang mahal dulu, uangnya masih sisa, apalagi kalau nanti harga rumahnya
bisa ditawar.”
“Lakukan yang terbaik. Aku serahkan sama kamu dan
Barno, kalian pasti tahu apa yang harus kalian lakukan.”
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Bibik
membukanya.
“Selamat siang,” sapa seorang laki-laki tampan yang
muncul dari balik pintu.
“Siang. Mau mencari siapa ya Pak?” tanya bibik.
“Saya Seno, mau ketemu Sekar.”
Tiba-tiba Sekar muncul, dan terkejut melihatnya.
“Mas Seno?”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah....
ReplyDeleteAlhamdulillah, gasik...
DeleteLha gantian juarane, selamat uti Nani.... Jeng Iin lagi mudun saja kreta ya'e, dadi ora sempat balapan.
DeleteTd sholat isya' dulu yah biar gak kelamaan telat jadinya hutang waktu
DeleteMksh bunda Tien, moga sehat selalu doaku
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH JANJI~22 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteAsyik tayang gasik Matur nuwun
ReplyDeleteMatur suwun bunda Tien, tayang gasik....salam Tahes Ulales bunda dari bumi Arema Malang Mugi tansah aduhaiiii....
ReplyDeleteAlhamdulillah.... Terima kasih Bu Tien.
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien.....
ReplyDeleteSiap golek sisik melik.
Sugeng dalu sugeng istirahat.
Tetap ADUHAI
Matur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteMatur nuwun bunda...
ReplyDeleteSebuah janji sdh tayang
Mojok ah, penasaran ma Samadi nih...
Alhamdulillah... Bunda sehat ya... Matursuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah...bisa ngikut hadir lebih awal...🥰
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏🙏
Memang ADUHAI sekali bun...🥰
Alhamdulillah.... matur nuwun bunda sdh ditayangkan gasik ... salam sehat dan sllu aduhai
ReplyDeleteAlhamdullilah SJ 22 sdh hadir.. Slmtmlm dan slmsht sll unk bunda Tien..
ReplyDelete🙏🙏😘😘😍😍🥰🥰🌹🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang gasik...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat
Alhamdulillah......
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien sebuah janji sampun tayang gasik sugeng ndalu sugeng istirahat mugi sht2 sll
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSemakin asik nih...
Sehat dan tetap semangat. Aduhai.
Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang.
ReplyDeleteAda tokoh baru rupanya, jangan jangan naksir sama Sekar.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Alhamdulillah ...
ReplyDeleteTambah seru nich dg hadirnya Seno ..
Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Alhamdulillah SEBUAH JANJI 22 telah tayang, terima kasih bu Tien salam sehat n bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Terima kasih....
ReplyDeleteAlhamdulillah, maturnuwun, sehat selalu bunda Tien ..
ReplyDeleteWah dijenguk Seno; wow Barno dapat saingan nich.
ReplyDeleteKelamaan nggak masuk kerja jadi teman yang simpati sama Sekar penasaran terpaksa mengunjungi Sekar, wah dimana ini ya, ngkali membuntuti sampai rumah sakit ya, nggak tahu tadi Sekar nggak begitu jelas mau kemana keburu kepingin mbonceng motor andalan tukang ojek yang kini tersaingi ojol, memangnya Sekar pesan opang ya, bisa juga kan banyak pilihan transportasi.
Biasa demi anak; bibik nguping juga pembicaraan Seno sama Sekar, wah Seno anak Samadi ya ha ha ha.
Muter-muter
Nggak tahu tuh yang jelas Aryanti sama Samad; alasan kerumah sakit beloknya cari warung eh katanya bos; restauran yå, makan siang dulu, sempat juga Barno dan Sekar melihat mereka kåyå mobil beban; gandengan wiw, mesra kata Barno.
Ya sudah yang penting menyampaikan Aryanti kalau pacar Sekar mau beli rumah disitu.
Siapa dia, mudah-mudahan Samad nggak tahu kalau itu Barno, yang pasti Samad pernah berkelahi sama pacarnya anak tiri Aryanti, blegitu pemahamannya.
Ada aktor baru yang ngriwuki tugas Barno hé hé hé, sampai simbok curi dengar
Selamat menebak nebak.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien,
Sebuah janji yang kedua puluh dua sudah tayang,
Sejahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Samadi ngga punya anak pak Nanang, makanya dia cari sasaran Mekar, tapi gagal , terpaksa Yantilah target berikutnya ...... bunda Tien mengeluarkan jurus baru, menampilkan Seno, karena geregetan Barno telmi , sudah diberi mandataris masih ragu terus.....dikasih sainganlah biar gregetnya muncul ......ayo tunjukkan isi hatimu Barno ...jangan ragu dan malu, biar kamu anak pembantu tapi kan bisa saja jadi menantu .....maju terus Barno ....he he he ceritera semakin seru.
Delete😁😀
DeleteTerima kasih SJ nya bunda...
ReplyDeleteAlhamdulillah, cerbung Sebuah Janji Eps. 22 sudah tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien Kumalasari.
Salam sehat dan salam hangar.
Trimakasih Bu Tien Sebuah Janji sdh tayang semoga bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah SJ 22 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia bersama keluarga tercinta.
Aamiin
Puji Tuhan ibu Tien tetap sehat, semangat dan produktip sehingga SJ 22 hadir gasik bagi kami penggandrungnya.
ReplyDeleteKehadiran yg tiba2 mas Seno bikin kepikiran tersendiri bagi bibik pastinya juga Barno..
Bikin penasaran terus ibu Tien ini, monggo dilanjut aja, matur nuwun Berkah Dalem. Salam ADUHAI...
Matur nuwun saya sudah disapa lagi oleh ibu Tien pada hallo awal. alinea ke 2 ...
ReplyDeleteSalam ADUHAI...
Alhamdulillah SJ 22 sdh tayang, matursuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Alhamdulillah SJ 22 sdh mengorbit
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
Semoga bu tien selalu sehat n senantiasa dlm lindungan Allah SWT
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina,
Alhamdulillah..matur nuwun bu Tien.
ReplyDeleteSalam sehat dari mBantul
alhamdulillah
ReplyDeleteBibik maupun Barno gak usah kepikiran apa2 tentang kehadiran mas Seno.
ReplyDeletePak Winarno bukan orang matre, sudah percaya pada Barno anak yg baik, bahkan sudah titip Sekar untuk menjaganya..
Untuk dijaganya...
ReplyDeleteMatur nuwun mbakyu Tienkumalasari sayang, sampun tayang KJ nya, smoga jenengan sehat sll dan tetep semangat, salam aduhaai dari ,Lampung
ReplyDeleteTerima kasih ..bu Tien ..lo sopo Seno tp bp sdh janji sama Barno kok lepasss
ReplyDeleteTerimakasih Bu Tien, wah ada tokoh baru Seno orang nya tampan mencari Sekar......hmm Barno cemburu nih pasti. Memang Bu Tien selalu membuat kita penasaran diakhir episode.......salam sehat selalu Bu Tien
ReplyDeleteKonflik ditambah agar cerita tambah seru...
ReplyDeleteMbak Tien memang luar biasa...
Makasih mbak Tien...
Lah siapa ya Seno jangan bikin narno cemburu....trims Bu tien
ReplyDeleteMatur nuwun bunda...smg selalu sehat...
ReplyDeleteNah lo .....ada mas Seno ......siapakah dia ? Kelihatannya pengagum berat Sekar ......Barno ...saatnya tunjukkan eksistensimu .....jangan mengalah .....mandataris pak Winarno ada ditanganmu .....ayo segera baca teks proklamasi 🤣🤣🤣🤣 he he he seru....!
ReplyDeleteMas Seno yg khususon mencari Sekar..??
DeleteWaah siapa dia?
tambah penasaran aja..
tunggu bsk lg/nanti malam ..
Alhamdulilah..
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien...