SEBUAH JANJI 21
(Tien Kumalasari)
Minar menatap ke arah suaminya yang masih asyik
menyetir.
“Mas …”
“Apa sih?”
“Mas mau beli rumah?”
“O, itu … untuk kantor cabang.”
“Kenapa masih buka kantor cabang sih Mas, ingat, Mas
itu sudah tua. Apa nggak capek banyak urusan?”
“Ya … nggak apa-apa, selama aku masih kuat sih Min.”
“Mas kalau dikasih tahu pasti begitu. Maksudku, Mas
cukup mengurus disatu tempat saja, jadi tidak usah banyak pikiran.”
“Minar, kamu ingat nggak. Aku dulu pernah bilang, kamu
jangan pernah ikut-ikutan memikirkan urusan aku. Kamu nggak akan bisa mengerti.”
“Mas kok gitu?”
“Urusan kamu urusan rumah, dan sekarang urusan warung.
Titik. Kalau perlu kamu beli mobil sendiri saja, supaya tidak mengganggu urusan
aku.”
Minar terdiam. Kalau suaminya sedang bicara serius,
dia tak akan berani membantahnya.
“Mau kan, beli mobil buat kamu sendiri?”
“Terserah Mas saja,” katanya dengan wajah cemberut. Ia
bukannya menginginkan mobil, tapi menginginkan lebih banyak waktu bersama
suaminya.
“Kok cemberut? Nggak suka ya? Nanti kamu boleh memilih
warna yang kamu sukai. Mobil kecil saja, besok aku antar kamu, dan pilih sesuka
kamu.”
“Aku bukan ingin mobil.”
“Aku hanya ingin supaya kamu lebih santai dalam
bekerja, tidak selalu menunggui aku, baik untuk mengantar, maupun menjemput.”
Minar masih cemberut.
“Lalu mau kamu apa? Sekali lagi aku bilang, jangan
mengganggu aku.”
“Aku mau lebih banyak waktu bersama Mas.”
Samadi terkekeh.
“Kok tertawa sih, aku serius.”
“Kamu seperti pengantin baru saja. Kita masih bisa
bersama-sama saat sudah selesai bekerja. Bukankah bekerja itu perlu? Kalau aku
tidak bekerja, dari mana bisa mendapatkan uang?”
“Apa uang yang kita punyai tidak cukup?”
“Bukan masalah cukup atau tidak. Kalau kamu tidak
bekerja, lama-lama uang kita juga akan habis. Kamu mau kita miskin?”
Minar tak menjawabnya. Ia merasa suaminya sedang mencari
alasan untuk lebih lama berada di luar rumah.
“Ayolah, jangan cemberut begitu, nanti cantiknya hilang
lhoh.”
Kemarahan Minar mulai goyah. Ia sangat lemah mendengar
rayuan suaminya. Ia tak melanjutkan protesnya, sampai kemudian mereka tiba di
depan rumah.
***
Pagi itu begitu Aryanti berangkat, bibik juga bersiap
untuk pergi ke rumah sakit. Kemarin Barno sudah menemukan rumah seperti yang
dipesan majikannya, dan setelah bibik sampai di rumah sakit, Barno akan
mengajak Sekar untuk melihat rumah itu.
Sesampai di rumah sakit, dilihatnya non cantik sedang
menyuapi ayahnya, sedangkan Barno duduk menunggu. Mereka merasa lega, keadaan
pak Winarno semakin membaik, walau dokter berpesan agar pak Winarno tak boleh
dibebani oleh berbagai masalah berat. Intinya, ia harus selalu dibuat senang
dan bahagia.
Sekar menyanggupinya dengan hati-hati. Ia bersyukur
ayahnya menyiapkan rumah untuknya, dan kecuali dia harus pergi menjauhi ibu
tirinya, maka dia juga harus membawa ayahnya agar tidak selalu merasa kesal
oleh ulah istrinya.
“Baguskah rumah itu?” tanya pak Winarno setelah Sekar
selesai menyuapinya.
“Rumah yang baru dibangun, hanya empat ratusan juta.
Bagus, di tempat yang tidak begitu dekat jalan besar, sehingga tidak terlalu
ramai,” kata Barno.
“Aku percayakan semuanya sama kamu.”
“Nanti saya akan mengajak non Sekar melihatnya. Kalau
cocok bisa segera dibayar, karena katanya ada orang lain yang menginginkan
rumah itu. Tapi karena saya sudah mengatakan bahwa kemungkinan besar akan
segera membayar rumah itu, maka si pembeli yang datang belakangan itu sudah
ditolaknya.”
“Syukurlah. Kalau nanti Sekar suka, berarti aku juga
akan suka.”
“Bukankah nanti Bapak juga akan tinggal bersama saya?”
kata Sekar.
“Apakah itu yang terbaik?”
“Bapak harus merasa tenang dan senang. Jangan sampai
ada yang menyakiti dan mengganggu Bapak lagi.”
“Sebaiknya kamu urus rumah itu dulu, lalu aku ingin
segera pulang.”
“Mengapa tergesa Bapak, dokter yang akan menentukan
nanti, apakah Bapak boleh pulang atau tidak.”
“Ya sudah, sekarang pergilah bersama Barno, lihat
rumah itu.”
“Apa tidak sebaiknya Non Sekar sarapan dulu? Bibik membawakan
nasi dan lauk pauk.”
“Nanti saja sepulang dari sana Bik, tadi sudah makan
roti. Barno yang membelinya,” jawab Sekar.
“Rupanya Non sudah penasaran ingin melihat rumah itu
ya?” tukas bibik.
“Iya Bik, benar. Aku akan membawa bapak pulang ke sana
nanti. Mudah-mudahan pilihan Barno tepat untuk rumah tinggal kita.”
Pak Winarno tersenyum. Bibik senang, wajah majikannya
semakin terlihat cerah.
“Apakah kamu sering ketemu Yanti?” tanya pak Winarno.
“Ya Pak, kalau sore kan pulang ke rumah. Saya
menyiapkan minum dan makan malam, juga sarapan pagi untuk ibu.”
“Dia sama sekali tidak menanyakan aku?”
“Mungkin karena Bapak sudah ada yang mengurus. Ibu
sendiri pastinya lelah setelah bekerja di warung,” kata bibik yang tidak ingin
melihat majikannya terluka.
“Akan aku ceraikan saja dia.”
Bibik terkejut.
“Aku tidak suka dia membuat anakku terluka.”
“Siapa tahu bu Yanti bisa merubahnya.”
“Apa bisa?”
“Tapi sebaiknya Bapak tidak terlalu memikirkan itu.
Non Sekar akan sedih kalau Bapak juga sedih.”
“Yang membuat sedih itu yang harus disingkirkan. Bukan
?”
“Ya sudah, soal itu dipikirkan nanti, sekarang Bapak
istirahat, bibik akan duduk di sana. Kalau Bapak butuh sesuatu, panggil bibik
ya.”
“Ya sudah, setelah minum obat, aku selalu ngantuk.”
“Itu supaya Bapak lebih banyak beristirahat.”
Pak Winarno mengangguk, lalu memejamkan matanya.
***
“Wah, ini bagus, Barno. Tempatnya nyaman, tidak bising
oleh kendaraan yang berlalu lalang karena agak masuk ke dalam. Tidak terlalu
kecil, ada dua kamar di depan dan satu di belakang. Kamu sudah menawarnya?” tanya Sekar setelah penunggu rumah membukakan rumahnya.
“Kalau Non suka, kita bisa menawarnya. Pemiliknya tinggal
tak jauh dari sini.”
“Aku suka, tapi barangkali bapak perlu melihatnya?”
“Tadi bapak bilang, kalau Non suka, pasti bapak juga
akan suka.”
“Kita ambil saja gambarnya, lalu kita tunjukkan pada bapak.
Rumah ini sudah siap huni. Semuanya ada.”
“Saya ambil gambarnya, lalu saya kirimkan pada simbok.
Biar simbok menunjukkannya pada bapak.”
“Iya. Bagus No. Lakukan saja. Aku mau melihat-lihat ke
belakang rumah ini.”
“Baik Non.”
***
“Tumben, jam segini Minar belum datang ya Ar?” celetuk
Yanti.
“Oh, iya, aku lupa bilang. Minar tadi menelpon, bahwa
dia akan datang agak siang, karena sedang bepergian sama suaminya,” jawab Ari.
“Tumben.”
“Kamu nggak tahu ya, pak Samad akan membelikan
istrinya sebuah mobil.”
“Oh ya?”
“Kata Minar, supaya dia bisa berangkat kerja dan
pulang tanpa bergantung pada suaminya, karena suaminya akan sangat sibuk.”
“Oh ya?”
“Bagus lah, daripada setiap hari selalu bergantung
pada suaminya. Tapi tampaknya Minar tidak begitu suka.”
“Masa? Dibelikan mobil, tidak suka?”
“Minar tidak begitu suka, pembelian mobil itu
dikarenakan suaminya akan bertambah sibuk, dengan akan dibukanya anak cabang
baru di perusahaannya.”
“Oh ya?”
“Kamu dari tadi ‘oh ya-oh ya’ terus,”
Yanti tertawa. Ia menduga-duga apa yang sedang
dilakukan Samadi. Rupanya dia sudah mempersiapkan banyak hal agar bisa sering
bersamanya. Anak cabang baru? Omong kosong. Pikir Yanti. Tapi ia tersenyum
menanggapinya.
“Habis, aku kan tidak tahu sebelum kamu mengatakannya.”
“Ya sudah, semoga Minar cukup senang dengan hadiah
mobil itu.”
“Semoga.”
“Kalau begitu biar aku saja yang belanja ya Yan? Ini
aku sudah bawa catatan. Atau … kamu mau ikut?”
“Kamu sendiri nggak apa-apa kan? Aku bantuin di kasir
saja.”
“Baiklah kalau begitu.
Tapi setelah Ari pergi, tiba-tiba ada sebuah pesan
singkat masuk. Dari Samadi.
“Apakah sore setelah pulang bisa menemui aku di tempat
biasa?”
Yanti ingin menelpon, tapi kan
Samadi sedang bersama istrinya? Karenanya dia hanya menjawab ‘bisa’. Kemudian
dia melanjutkan pekerjaannya. Ia sadar bahwa ia tak bisa melakukan apa-apa
kecuali menuruti kemauan Samadi. Toh itu tidak akan membuatnya sengsara, justru
akan membuatnya senang?
***
Sekar tersenyum ketika mendapat balasan dari bibik
bahwa ayahnya senang melihat gambar rumahnya.
“Bapak juga senang No, apakah kita akan menemui
pemiliknya sekarang?”
“Iya, sebaiknya begitu. Soalnya saya kemarin sudah
bilang, bahwa hari ini saya akan memberinya keterangan tentang jadi atau
tidaknya kita membeli rumah ini.”
Ayo kita ke sana sekarang.
“Akan saya telpon dulu Non, soalnya dia belum tentu
ada di rumahnya. Dia itu sangat sibuk, jadi kalau mau ketemu harus menelponnya
dulu.
“Hallo, O ini mas Barno ya?” jawab dari seberang
karena sudah tahu nomor ponselnya Barno.
“Iya Pak, ini saya sudah bersama pembelinya, bisakah
ketemu sekarang?”
“Bisa, tapi sebentar lagi ya Mas, saya sedang menunggu
tamu yang akan melihat rumah saya yang lain. Nanti saja kabari kalau saya sudah
di rumah kembali, supaya lebih enak bicara.”
“Baiklah Pak, saya masih menunggu di rumah yang akan
kami beli itu.”
“Baguslah, atau saya saja yang nanti datang kesitu
Mas.”
“Baik Pak, kalau begitu kami menunggu.”
Barno menutup pembicaraan itu, kemudian duduk di
tangga rumah. Sekar menyusul, duduk di sampingnya.
“Tapi ada yang saya pikirkan lagi No.”
“Apa itu Non?”
“Kita harus punya perabot untuk rumah ini bukan? Mana
mungkin membawa perabot dari rumah lama.”
“Uang Non masih tersisa, barangkali cukup untuk
membeli perabot yang diperlukan.”
“Oh ya, bagus kalau begitu, nanti sekalian kita
melihat-lihat ya No, ini kan belum terlalu siang.”
“Baik Non, nanti saya antarkan Non melihat perabot
rumah.”
***
“Mas, kok malah aku ditinggalkan di sana sendiri sih
Mas? Mas lagi menelpon siapa?”
“Bukan menelpon, hanya kirim pesan ke kantor. Sudah
milihnya?”
“Yang tadi itu, yang Mas pilih.”
“Kamu suka?”
“Terserah Mas saja. Kalau Mas suka aku juga suka.”
“Baiklah kalau begitu, aku urus semuanya. Mana KTP
kamu, ini nanti langsung atas nama kamu.”
Minar mengambil KTP dari dalam tasnya, diserahkannya
kepada suaminya. Wajahnya tidak secerah orang yang sangat bergembira ketika
diberi hadiah, karena memang Minar sesungguhnya tidak menginginkannya.
“Setelah selesai, aku antarkan kamu ke warung ya?”
“Ya, pasti Ari sama Yanti sudah menunggu.”
“Baiklah, aku urus dulu pembelian mobilnya, besok
barangkali akan langsung di kirim ke warung.”
Minar mengangguk.
Minar menunggu suaminya mengurus pembelian mobil itu,
ketika Ari menelponnya.
“Ya Ari, ada apa?”
“Kamu sudah selesai?”
“Hampir. Kamu masih di warung kan?”
“Aku sedang belanja, sendiri. Yanti yang ada di warung
sendirian.”
“Kasihan kalian. Maaf ya, habis mas Samad memaksa aku
ikut untuk memilih barangnya.”
“Tidak apa-apa, supaya kamu senang kan.”
“Entahlah. Sebenarnya aku tidak begitu senang mas
Samad terlalu sibuk.”
“Biasa kan Minar, laki-laki selalu ingin sibuk.”
“Ya sudah, itu mas Samad sudah selesai, aku mau
langsung ke warung, kasihan Yanti sendirian.”
“Baiklah, besok kalau ada mobil baru, ajak kami
putar-putar dong.”
“Ah, itu masalah gampang. Ya sudah, aku balik dulu.”
***
Ari sudah selesai belanja, ketika tiba-tiba melihat
seseorang sedang keluar dari sebuah toko roti. Ia mendekatinya.
“Ini kan Bibik, pembantunya Yanti kan?”
“Oh, iya Bu. Ini kan bu Ari?”
“Iya. Lagi beli apa Bik?”
“Ini Bu, bapak minta dibelikan roti pisang. Itu kan
kesukaannya.”
“Lhoh, kok jauh banget belinya Bik?”
“Kok jauh sih Bu, dari rumah sakit ke sini kan nggak
jauh.”
Ari tertegun mendengarnya.
“Rumah sakit? Siapa di rumah sakit?”
“Ibu Ari tidak tahu? Bapak kan di rumah sakit, sudah
sepuluh harian ini.”
“Lhoh, bapak siapa? Pak Winarno?”
“Iya Bu, siapa lagi?”
“Kok Yanti tidak pernah cerita kalau suaminya ada di
rumah sakit sih?”
“Masa sih Bu, tapi barangkali takut merepotkan.”
“Sakit apa sih pak Winarno?”
“Jantungnya ada masalah, lalu tensinya tinggi. Entah
apa itu namanya Bu, tapi sekarang sudah baik, sudah mau makan dan menginginkan
apa yang biasanya disukainya. Ini, tadi ingin roti pisang, lalu bibik belikan.”
“O, ya sudah Bik, nanti aku tanyakan sama Yanti,
kapan-kapan aku bezoek ya Bik.”
Bibik mengangguk dan berlalu. Sedangkan Ari menatapnya
heran. Kok Yanti tidak pernah bilang bahwa suaminya sakit.
***
Sekar sedang ke belakang karena tas nya tadi
tertinggal di sana saat dia melihat-lihat. Barno masih duduk di tangga, ketika
sebuah mobil berhenti, lalu pemilik rumah itu turun dari mobil. Tapi bukan
pemilik rumah itu yang membuat Barno tertegun. Katika kaca jendela terbuka,
Barno melihat seseorang yang dikenalnya. Laki-laki setengah tua yang pernah
dihajarnya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah SEBUAH JANJI~21 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteYeee
ReplyDeleteAlhamdulillah
DeleteAlhamdulillah... Yg dinanti sdh hdr...
ReplyDeleteHoreeeeee
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang.
ReplyDeleteJadi repot kan, kalau rumah Sekar dekat dengan rumah Yanti - Samad... Tapi kalau Sekar tahu lebih dulu mungkin malah tahu tingkah laku ibu tirinya.
DeleteSalam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Matur suwun bunda Tien ...SJ21 nya
ReplyDeleteSehat selalilu utk bunda n kel
Salam Seroja dr Semarang
Matur suwun bunda Tien SJ 21 sdh tayang, sdh ditunggu tunggu, bikin baper pembaca
ReplyDeleteSalam Tahes Ulales bunda dari bumi Arema Malang dan selalu Aduhaiiii
Alhamdulillah Bu Tien terima kasih semoga sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH JANJI 21 telah tayang, terima kasih bu Tien salam sehat n bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulilah..
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien ku...
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah.. Tks bund.. Sehat selalu...
ReplyDeleteAlhamdulillah ..Hore ...makasih bu Tien
ReplyDeleteDuuuh... gawat klo yg dtg pak Samadi
ReplyDeleteBgmn klo nanti melihat Sekar apa ga kumat lg itu si mata keranjang..
Tolong bunda Tien.. selamatkan non Sekar..
tunggu bsk lg ah...
Salam aduhai dari Sukabumi..
Selamat beristirahat bunda..
Semoga sehat dan bahagia selalu..
Aamiin..
Terima kasih mbak Tien...
ReplyDeleteSemakin rame ini..
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam sehat dan selalu semangat.
Malah ketemu yang pernah ninju, menghajar sekuat tenaga demi menghindari perlakuan yang tidak seharusnya, ada kesempatan untuk membalas perlakuan Barno, adakah itu.
ReplyDeleteMulai banting bantingan harga, semacam lelang rupanya.
Ah menjadikan selera Sekar memiliki rumah itu tidak minat lagi, memilih yang lain saja.
Nggak mau kenangan konyol ulah Aryanti kembali muncul.
Mana duwit dilumat eh ini mau ditambah melibas kebebasan berserikat.
Memilih; jadi karena Winarno menginginkan jangan dekat dekat sama Aryanti, tapi ini ketemu ular beludak yang cari enaknya saja.
Pesan itu merupakan pertimbangan sangat serius, Samad si mulut manis mulai jail menghadapi, bisa saja meneror pemilik rumah menyebar isue, tapi clue agar dijauhkan Aryanti itu yang sudah tidak ada, nanti Samad dipastikan cerita keberadaan Sekar.
Benarkah demikian.
Susah ya nggolèk petarangan tibaké, arêp nggo ndhog² kan waé rêbutan.
ADUHAI
hé hé hé hé
Terimakasih Bu Tien;
Sebuah janji yang ke dua puluh satu sudah tayang,
Sehat sehat selalu doaku
Sejahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdulillah, matursuwun bu Tien, semoga sehat selalu
ReplyDeleteMatur suwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang ...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulilah, terima kasih bu tien sj 21 ditunggu sampai ketiduran .salam sehat dari pondok gede
ReplyDeleteWah berantem lagi ini ntr Barno sama Samad...trus kira² rumahnya kebeli siapa y..kita tunggu episode berikutnya.
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien..salam ADUHAI selalu 🙏
Udah di intap intip dari sore nganti di tinggal tidur habis subuh baru baca.....
ReplyDeleteTrims Bu tien
Luar biasa mbak Tien, sangat concern menulis untuk menghibur kita. Kabarnya capek sehabis tindak...eh ternyata tayang juga, dengan kualitas tulisan yang tetap prima. Maturnuwun mbak Tien kinasih...
ReplyDeleteWah, seru nih. Samadi masih berani berantem lagi melawan Barno?
Ihhhhiir...nanti malam kita nantikan yaaa...
Terima ksih bund.. SJ nya makin penasaran.. Waduuuh rupanya sekar dan narno ktmu lgi dgn sarmad.... Ditguslnjutnya mln ini bund.. Slmsehat sll unk bynda Tien🙏🥰🌹
ReplyDeletePuji Tuhan ibu Tien tetap sehat, semangat dan produktip sehingga SEBUAH JANJI 21 hadir bagi kami para penggandrungnya.
ReplyDeleteSemoga tidak terjadi balas dendam. Samadi kpd Barno. Lunasi cepat saja Barno rumah itu terus ditempati sekeluarga kecuali Yanti.
Biarin seandainya Samadi beli di dekat situ untuk Yanti, toh mau diceraikan sama pak Win. Tetanggaan juga gpp hati Sekar cs baik kok.
Penasaran... Monggo lanjut, matur nuwun...