Thursday, September 8, 2022

SEBUAH JANJI 21

 

SEBUAH JANJI  21

(Tien Kumalasari)

 

Minar menatap ke arah suaminya yang masih asyik menyetir.

“Mas …”

“Apa sih?”

“Mas mau beli rumah?”

“O, itu … untuk kantor cabang.”

“Kenapa masih buka kantor cabang sih Mas, ingat, Mas itu sudah tua. Apa nggak capek banyak urusan?”

“Ya … nggak apa-apa, selama aku masih kuat sih Min.”

“Mas kalau dikasih tahu pasti begitu. Maksudku, Mas cukup mengurus disatu tempat saja, jadi tidak usah banyak pikiran.”

“Minar, kamu ingat nggak. Aku dulu pernah bilang, kamu jangan pernah ikut-ikutan memikirkan urusan aku. Kamu nggak akan bisa mengerti.”

“Mas kok gitu?”

“Urusan kamu urusan rumah, dan sekarang urusan warung. Titik. Kalau perlu kamu beli mobil sendiri saja, supaya tidak mengganggu urusan aku.”

Minar terdiam. Kalau suaminya sedang bicara serius, dia tak akan berani membantahnya.

“Mau kan, beli mobil buat kamu sendiri?”

“Terserah Mas saja,” katanya dengan wajah cemberut. Ia bukannya menginginkan mobil, tapi menginginkan lebih banyak waktu bersama suaminya.

“Kok cemberut? Nggak suka ya? Nanti kamu boleh memilih warna yang kamu sukai. Mobil kecil saja, besok aku antar kamu, dan pilih sesuka kamu.”

“Aku bukan ingin mobil.”

“Aku hanya ingin supaya kamu lebih santai dalam bekerja, tidak selalu menunggui aku, baik untuk mengantar, maupun menjemput.”

Minar masih cemberut.

“Lalu mau kamu apa? Sekali lagi aku bilang, jangan mengganggu aku.”

“Aku mau lebih banyak waktu bersama Mas.”

Samadi terkekeh.

“Kok tertawa sih, aku serius.”

“Kamu seperti pengantin baru saja. Kita masih bisa bersama-sama saat sudah selesai bekerja. Bukankah bekerja itu perlu? Kalau aku tidak bekerja, dari mana bisa mendapatkan uang?”

“Apa uang yang kita punyai tidak cukup?”

“Bukan masalah cukup atau tidak. Kalau kamu tidak bekerja, lama-lama uang kita juga akan habis. Kamu mau kita miskin?”

Minar tak menjawabnya. Ia merasa suaminya sedang mencari alasan untuk lebih lama berada di luar rumah.

“Ayolah, jangan cemberut begitu, nanti cantiknya hilang lhoh.”

Kemarahan Minar mulai goyah. Ia sangat lemah mendengar rayuan suaminya. Ia tak melanjutkan protesnya, sampai kemudian mereka tiba di depan rumah.

***

Pagi itu begitu Aryanti berangkat, bibik juga bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Kemarin Barno sudah menemukan rumah seperti yang dipesan majikannya, dan setelah bibik sampai di rumah sakit, Barno akan mengajak Sekar untuk melihat rumah itu.

Sesampai di rumah sakit, dilihatnya non cantik sedang menyuapi ayahnya, sedangkan Barno duduk menunggu. Mereka merasa lega, keadaan pak Winarno semakin membaik, walau dokter berpesan agar pak Winarno tak boleh dibebani oleh berbagai masalah berat. Intinya, ia harus selalu dibuat senang dan bahagia.

Sekar menyanggupinya dengan hati-hati. Ia bersyukur ayahnya menyiapkan rumah untuknya, dan kecuali dia harus pergi menjauhi ibu tirinya, maka dia juga harus membawa ayahnya agar tidak selalu merasa kesal oleh ulah istrinya.

“Baguskah rumah itu?” tanya pak Winarno setelah Sekar selesai menyuapinya.

“Rumah yang baru dibangun, hanya empat ratusan juta. Bagus, di tempat yang tidak begitu dekat jalan besar, sehingga tidak terlalu ramai,” kata Barno.

“Aku percayakan semuanya sama kamu.”

“Nanti saya akan mengajak non Sekar melihatnya. Kalau cocok bisa segera dibayar, karena katanya ada orang lain yang menginginkan rumah itu. Tapi karena saya sudah mengatakan bahwa kemungkinan besar akan segera membayar rumah itu, maka si pembeli yang datang belakangan itu sudah ditolaknya.”

“Syukurlah. Kalau nanti Sekar suka, berarti aku juga akan suka.”

“Bukankah nanti Bapak juga akan tinggal bersama saya?” kata Sekar.

“Apakah itu yang terbaik?”

“Bapak harus merasa tenang dan senang. Jangan sampai ada yang menyakiti dan mengganggu Bapak lagi.”

“Sebaiknya kamu urus rumah itu dulu, lalu aku ingin segera pulang.”

“Mengapa tergesa Bapak, dokter yang akan menentukan nanti, apakah Bapak boleh pulang atau tidak.”

“Ya sudah, sekarang pergilah bersama Barno, lihat rumah itu.”

“Apa tidak sebaiknya Non Sekar sarapan dulu? Bibik membawakan nasi dan lauk pauk.”

“Nanti saja sepulang dari sana Bik, tadi sudah makan roti. Barno yang membelinya,” jawab Sekar.

“Rupanya Non sudah penasaran ingin melihat rumah itu ya?” tukas bibik.

“Iya Bik, benar. Aku akan membawa bapak pulang ke sana nanti. Mudah-mudahan pilihan Barno tepat untuk rumah tinggal kita.”

Pak Winarno tersenyum. Bibik senang, wajah majikannya semakin terlihat cerah.

“Apakah kamu sering ketemu Yanti?” tanya pak Winarno.

“Ya Pak, kalau sore kan pulang ke rumah. Saya menyiapkan minum dan makan malam, juga sarapan pagi untuk ibu.”

“Dia sama sekali tidak menanyakan aku?”

“Mungkin karena Bapak sudah ada yang mengurus. Ibu sendiri pastinya lelah setelah bekerja di warung,” kata bibik yang tidak ingin melihat majikannya terluka.

“Akan aku ceraikan saja dia.”

Bibik terkejut.

“Aku tidak suka dia membuat anakku terluka.”

“Siapa tahu bu Yanti bisa merubahnya.”

“Apa bisa?”

“Tapi sebaiknya Bapak tidak terlalu memikirkan itu. Non Sekar akan sedih kalau Bapak juga sedih.”

“Yang membuat sedih itu yang harus disingkirkan. Bukan ?”

“Ya sudah, soal itu dipikirkan nanti, sekarang Bapak istirahat, bibik akan duduk di sana. Kalau Bapak butuh sesuatu, panggil bibik ya.”

“Ya sudah, setelah minum obat, aku selalu ngantuk.”

“Itu supaya Bapak lebih banyak beristirahat.”

Pak Winarno mengangguk, lalu memejamkan matanya.

***

“Wah, ini bagus, Barno. Tempatnya nyaman, tidak bising oleh kendaraan yang berlalu lalang karena agak masuk ke dalam. Tidak terlalu kecil, ada dua kamar di depan dan satu di belakang. Kamu sudah menawarnya?” tanya Sekar setelah penunggu rumah membukakan rumahnya.

“Kalau Non suka, kita bisa menawarnya. Pemiliknya tinggal tak jauh dari sini.”

“Aku suka, tapi barangkali bapak perlu melihatnya?”

“Tadi bapak bilang, kalau Non suka, pasti bapak juga akan suka.”

“Kita ambil saja gambarnya, lalu kita tunjukkan pada bapak. Rumah ini sudah siap huni. Semuanya ada.”

“Saya ambil gambarnya, lalu saya kirimkan pada simbok. Biar simbok menunjukkannya pada bapak.”

“Iya. Bagus No. Lakukan saja. Aku mau melihat-lihat ke belakang rumah ini.”

“Baik Non.” 

***

“Tumben, jam segini Minar belum datang ya Ar?” celetuk Yanti.

“Oh, iya, aku lupa bilang. Minar tadi menelpon, bahwa dia akan datang agak siang, karena sedang bepergian sama suaminya,” jawab Ari.

“Tumben.”

“Kamu nggak tahu ya, pak Samad akan membelikan istrinya sebuah mobil.”

“Oh ya?”

“Kata Minar, supaya dia bisa berangkat kerja dan pulang tanpa bergantung pada suaminya, karena suaminya akan sangat sibuk.”

“Oh ya?”

“Bagus lah, daripada setiap hari selalu bergantung pada suaminya. Tapi tampaknya Minar tidak begitu suka.”

“Masa? Dibelikan mobil, tidak suka?”

“Minar tidak begitu suka, pembelian mobil itu dikarenakan suaminya akan bertambah sibuk, dengan akan dibukanya anak cabang baru di perusahaannya.”

“Oh ya?”

“Kamu dari tadi ‘oh ya-oh  ya’ terus,”

Yanti tertawa. Ia menduga-duga apa yang sedang dilakukan Samadi. Rupanya dia sudah mempersiapkan banyak hal agar bisa sering bersamanya. Anak cabang baru? Omong kosong. Pikir Yanti. Tapi ia tersenyum menanggapinya.

“Habis, aku kan tidak tahu sebelum kamu mengatakannya.”

“Ya sudah, semoga Minar cukup senang dengan hadiah mobil itu.”

“Semoga.”

“Kalau begitu biar aku saja yang belanja ya Yan? Ini aku sudah bawa catatan. Atau … kamu mau ikut?”

“Kamu sendiri nggak apa-apa kan? Aku bantuin di kasir saja.”

“Baiklah kalau begitu.

Tapi setelah Ari pergi, tiba-tiba ada sebuah pesan singkat masuk. Dari Samadi.

“Apakah sore setelah pulang bisa menemui aku di tempat biasa?”

Yanti ingin menelpon, tapi kan Samadi sedang bersama istrinya? Karenanya dia hanya menjawab ‘bisa’. Kemudian dia melanjutkan pekerjaannya. Ia sadar bahwa ia tak bisa melakukan apa-apa kecuali menuruti kemauan Samadi. Toh itu tidak akan membuatnya sengsara, justru akan membuatnya senang?

***

Sekar tersenyum ketika mendapat balasan dari bibik bahwa ayahnya senang melihat gambar rumahnya.

“Bapak juga senang No, apakah kita akan menemui pemiliknya sekarang?”

“Iya, sebaiknya begitu. Soalnya saya kemarin sudah bilang, bahwa hari ini saya akan memberinya keterangan tentang jadi atau tidaknya kita membeli rumah ini.”

Ayo kita ke sana sekarang.

“Akan saya telpon dulu Non, soalnya dia belum tentu ada di rumahnya. Dia itu sangat sibuk, jadi kalau mau ketemu harus menelponnya dulu.

“Hallo, O ini mas Barno ya?” jawab dari seberang karena sudah tahu nomor ponselnya Barno.

“Iya Pak, ini saya sudah bersama pembelinya, bisakah ketemu sekarang?”

“Bisa, tapi sebentar lagi ya Mas, saya sedang menunggu tamu yang akan melihat rumah saya yang lain. Nanti saja kabari kalau saya sudah di rumah kembali, supaya lebih enak bicara.”

“Baiklah Pak, saya masih menunggu di rumah yang akan kami beli itu.”

“Baguslah, atau saya saja yang nanti datang kesitu Mas.”

“Baik Pak, kalau begitu kami menunggu.”

Barno menutup pembicaraan itu, kemudian duduk di tangga rumah. Sekar menyusul, duduk di sampingnya.

“Tapi ada yang saya pikirkan lagi No.”

“Apa itu Non?”

“Kita harus punya perabot untuk rumah ini bukan? Mana mungkin membawa perabot dari rumah lama.”

“Uang Non masih tersisa, barangkali cukup untuk membeli perabot yang diperlukan.”

“Oh ya, bagus kalau begitu, nanti sekalian kita melihat-lihat ya No, ini kan belum terlalu siang.”

“Baik Non, nanti saya antarkan Non melihat perabot rumah.”

***

“Mas, kok malah aku ditinggalkan di sana sendiri sih Mas? Mas lagi menelpon siapa?”

“Bukan menelpon, hanya kirim pesan ke kantor. Sudah milihnya?”

“Yang tadi itu, yang Mas pilih.”

“Kamu suka?”

“Terserah Mas saja. Kalau Mas suka aku juga suka.”

“Baiklah kalau begitu, aku urus semuanya. Mana KTP kamu, ini nanti langsung atas nama kamu.”

Minar mengambil KTP dari dalam tasnya, diserahkannya kepada suaminya. Wajahnya tidak secerah orang yang sangat bergembira ketika diberi hadiah, karena memang Minar sesungguhnya tidak menginginkannya.

“Setelah selesai, aku antarkan kamu ke warung ya?”

“Ya, pasti Ari sama Yanti sudah menunggu.”

“Baiklah, aku urus dulu pembelian mobilnya, besok barangkali akan langsung di kirim ke warung.”

Minar mengangguk.

Minar menunggu suaminya mengurus pembelian mobil itu, ketika Ari menelponnya.

“Ya Ari, ada apa?”

“Kamu sudah selesai?”

“Hampir. Kamu masih di warung kan?”

“Aku sedang belanja, sendiri. Yanti yang ada di warung sendirian.”

“Kasihan kalian. Maaf ya, habis mas Samad memaksa aku ikut untuk memilih barangnya.”

“Tidak apa-apa, supaya kamu senang kan.”

“Entahlah. Sebenarnya aku tidak begitu senang mas Samad terlalu sibuk.”

“Biasa kan Minar, laki-laki selalu ingin sibuk.”

“Ya sudah, itu mas Samad sudah selesai, aku mau langsung ke warung, kasihan Yanti sendirian.”

“Baiklah, besok kalau ada mobil baru, ajak kami putar-putar dong.”

“Ah, itu masalah gampang. Ya sudah, aku balik dulu.”

***

Ari sudah selesai belanja, ketika tiba-tiba melihat seseorang sedang keluar dari sebuah toko roti. Ia mendekatinya.

“Ini kan Bibik, pembantunya Yanti kan?”

“Oh, iya Bu. Ini kan bu Ari?”

“Iya. Lagi beli apa Bik?”

“Ini Bu, bapak minta dibelikan roti pisang. Itu kan kesukaannya.”

“Lhoh, kok jauh banget belinya Bik?”

“Kok jauh sih Bu, dari rumah sakit ke sini kan nggak jauh.”

Ari tertegun mendengarnya.

“Rumah sakit? Siapa di rumah sakit?”

“Ibu Ari tidak tahu? Bapak kan di rumah sakit, sudah sepuluh harian ini.”

“Lhoh, bapak siapa? Pak Winarno?”

“Iya Bu, siapa lagi?”

“Kok Yanti tidak pernah cerita kalau suaminya ada di rumah sakit sih?”

“Masa sih Bu, tapi barangkali takut merepotkan.”

“Sakit apa sih pak Winarno?”

“Jantungnya ada masalah, lalu tensinya tinggi. Entah apa itu namanya Bu, tapi sekarang sudah baik, sudah mau makan dan menginginkan apa yang biasanya disukainya. Ini, tadi ingin roti pisang, lalu bibik belikan.”

“O, ya sudah Bik, nanti aku tanyakan sama Yanti, kapan-kapan aku bezoek ya Bik.”

Bibik mengangguk dan berlalu. Sedangkan Ari menatapnya heran. Kok Yanti tidak pernah bilang bahwa suaminya sakit.

***

Sekar sedang ke belakang karena tas nya tadi tertinggal di sana saat dia melihat-lihat. Barno masih duduk di tangga, ketika sebuah mobil berhenti, lalu pemilik rumah itu turun dari mobil. Tapi bukan pemilik rumah itu yang membuat Barno tertegun. Katika kaca jendela terbuka, Barno melihat seseorang yang dikenalnya. Laki-laki setengah tua yang pernah dihajarnya.

***

Besok lagi ya.

32 comments:

  1. Alhamdulillah SEBUAH JANJI~21 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah... Yg dinanti sdh hdr...

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jadi repot kan, kalau rumah Sekar dekat dengan rumah Yanti - Samad... Tapi kalau Sekar tahu lebih dulu mungkin malah tahu tingkah laku ibu tirinya.
      Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.

      Delete
  4. Matur suwun bunda Tien ...SJ21 nya
    Sehat selalilu utk bunda n kel
    Salam Seroja dr Semarang

    ReplyDelete
  5. Matur suwun bunda Tien SJ 21 sdh tayang, sdh ditunggu tunggu, bikin baper pembaca
    Salam Tahes Ulales bunda dari bumi Arema Malang dan selalu Aduhaiiii

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah Bu Tien terima kasih semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah SEBUAH JANJI 21 telah tayang, terima kasih bu Tien salam sehat n bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  8. Alhamdulilah..
    Terimakasih bunda Tien ku...

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah.. Tks bund.. Sehat selalu...

    ReplyDelete
  10. Duuuh... gawat klo yg dtg pak Samadi
    Bgmn klo nanti melihat Sekar apa ga kumat lg itu si mata keranjang..
    Tolong bunda Tien.. selamatkan non Sekar..
    tunggu bsk lg ah...

    Salam aduhai dari Sukabumi..
    Selamat beristirahat bunda..
    Semoga sehat dan bahagia selalu..
    Aamiin..

    ReplyDelete
  11. Semakin rame ini..
    Makasih mba Tien.
    Salam sehat dan selalu semangat.

    ReplyDelete
  12. Malah ketemu yang pernah ninju, menghajar sekuat tenaga demi menghindari perlakuan yang tidak seharusnya, ada kesempatan untuk membalas perlakuan Barno, adakah itu.
    Mulai banting bantingan harga, semacam lelang rupanya.
    Ah menjadikan selera Sekar memiliki rumah itu tidak minat lagi, memilih yang lain saja.
    Nggak mau kenangan konyol ulah Aryanti kembali muncul.
    Mana duwit dilumat eh ini mau ditambah melibas kebebasan berserikat.
    Memilih; jadi karena Winarno menginginkan jangan dekat dekat sama Aryanti, tapi ini ketemu ular beludak yang cari enaknya saja.
    Pesan itu merupakan pertimbangan sangat serius, Samad si mulut manis mulai jail menghadapi, bisa saja meneror pemilik rumah menyebar isue, tapi clue agar dijauhkan Aryanti itu yang sudah tidak ada, nanti Samad dipastikan cerita keberadaan Sekar.
    Benarkah demikian.
    Susah ya nggolèk petarangan tibaké, arêp nggo ndhog² kan waé rêbutan.
    ADUHAI
    hé hé hé hé


    Terimakasih Bu Tien;
    Sebuah janji yang ke dua puluh satu sudah tayang,
    Sehat sehat selalu doaku
    Sejahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah, matursuwun bu Tien, semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah .....
    Yg ditunggu2 sdh datang ...
    Matur nuwun bu Tien ...
    Semoga sehat selalu....
    Tetap semangat

    ReplyDelete
  15. Alhamdulilah, terima kasih bu tien sj 21 ditunggu sampai ketiduran .salam sehat dari pondok gede

    ReplyDelete
  16. Wah berantem lagi ini ntr Barno sama Samad...trus kira² rumahnya kebeli siapa y..kita tunggu episode berikutnya.
    Matur nuwun bunda Tien..salam ADUHAI selalu 🙏

    ReplyDelete
  17. Udah di intap intip dari sore nganti di tinggal tidur habis subuh baru baca.....
    Trims Bu tien

    ReplyDelete
  18. Luar biasa mbak Tien, sangat concern menulis untuk menghibur kita. Kabarnya capek sehabis tindak...eh ternyata tayang juga, dengan kualitas tulisan yang tetap prima. Maturnuwun mbak Tien kinasih...
    Wah, seru nih. Samadi masih berani berantem lagi melawan Barno?
    Ihhhhiir...nanti malam kita nantikan yaaa...

    ReplyDelete
  19. Terima ksih bund.. SJ nya makin penasaran.. Waduuuh rupanya sekar dan narno ktmu lgi dgn sarmad.... Ditguslnjutnya mln ini bund.. Slmsehat sll unk bynda Tien🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  20. Puji Tuhan ibu Tien tetap sehat, semangat dan produktip sehingga SEBUAH JANJI 21 hadir bagi kami para penggandrungnya.

    Semoga tidak terjadi balas dendam. Samadi kpd Barno. Lunasi cepat saja Barno rumah itu terus ditempati sekeluarga kecuali Yanti.

    Biarin seandainya Samadi beli di dekat situ untuk Yanti, toh mau diceraikan sama pak Win. Tetanggaan juga gpp hati Sekar cs baik kok.

    Penasaran... Monggo lanjut, matur nuwun...

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 01

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...