SEBUAH JANJI 18
(Tien Kumalasari)
Yanti tertegun, ia merasa, tampaknya petugas bank
mencurigai tanda tangan palsunya, karena melihatnya dengan pandangan aneh.
Dengan memberanikan diri, Yanti mendekat lebih dekat ke arah loket.
“mBak, bagaimana ?”
“Ibu, ini bukan milik ibu sendiri?”
“Ya, kan itu bukan nama saya, tapi itu suami saya.
Saat ini sedang sakit dan membutuhkan biaya.”
“Tapi kami mohon maaf Bu, tidak boleh pengambilan
dengan cara ini.”
“Ba … bagaimana?” Yanti mulai gugup, ia masih terbebani dengan tanda tangan palsunya. Kalau ketahuan, bisa celaka aku, kata batinnya.
“Harus pemiliknya sendiri yang mengambil.”
“Kan saya sudah bilang kalau suami saya sakit? Dia
sedang dirawat di rumah sakit.”
“Kalau begitu kami minta surat kuasa, dan kartu KK,
juga KTP. Oh ya, kartu ATM juga.”
“Waduh, dia kan sedang sakit, bagaimana membuat surat
kuasa?”
“Kan suratnya bisa dituliskan orang lain, bapak
tinggal tanda tangan saja. Kalau tanda tangan bisa kan? Ini bisa tanda tangan,” kata petugas
sambil menunjukkan surat pengambilan tunai dengan tanda tangan palsunya.
“Waduh, tak bisakah menolong? Uang ini untuk biaya dia
operasi dan harus segera di dapat," Yanti membuat kebohongan yang beruntun. Padahal suaminya tidak sedang operasi.
“Kami mohon maaf Bu, ini prosedur yang harus Ibu
jalani. Kami tidak bisa membantu,” katanya sambil mengembalikan lembaran yang
tadi disodorkan.
Yanti menerimanya dengan tangan gemetar. Banyak yang
harus dilakukannya. Membuat surat kuasa, mencari Kartu Keluarga, KTP. ATM ?
Tadi dia tidak menemukannya di laci almari suaminya.
“Maaf ya Bu,” kata petugas itu lagi, karena Yanti
tidak juga beranjak dari depan loket, sementara masih banyak yang mengantri.
Yanti membalikkan tubuhnya, melangkah dengan lunglai.
Ternyata tidak mudah mendapatkan uangnya, walau itu milik suami sendiri.
“Yanti !!” teriakan itu mengejutkannya. Yanti menoleh
dan melihat seorang petugas bank yang ternyata dikenalnya.
“Lia!” Yanti berhenti. Wajahnya berseri. Temannya
adalah petugas bank yang tampaknya baru saja masuk dari pintu depan.
“Sedang apa? Nabung ya?” tanya Lia.
“Tidak, aku tuh sedang kesulitan. Ini lho, mau
mengambil uang suamiku yang ada di tabungan, ternyata kok dipersulit.”
“Dipersulit bagaimana sih Yan?”
“Lha sudah ada tanda tangan suamiku, masih minta
macam-macam. Yang surat kuasa lah, yang apa lah. Sedih aku ini, soalnya suamiku
sedang ada di rumah sakit. Kami membutuhkan uang ini. Kamu bisa menolongnya
kan?”
“O, pak Winarno sakit?”
“Iya, sekarang membutuhkan biaya banyak. Tolonglah
Lia. Bisa kan?”
“Waduh, maaf sekali Yanti. Itu sudah peraturan.
Pengambilan uang yang bukan atas namanya, memang harus memakai surat kuasa dan
lain-lain seperti yang dikatakan petugas tadi. Bukan mempersulit.”
“Jadi kamu tidak bisa membantu?”
“Maaf sekali Yanti. Banyakkah yang akan kamu ambil?”
Yanti mengeluarkan buku tabungannya. Lia membukanya.
“Wah, uang suami kamu banyak sekali.”
“Iya, tapi saya hanya mau mengambil seratus juta saja.
Ini buat biaya rumah sakit Lia. Tolonglah.”
“Waduh, sekali lagi maaf, aku tidak bisa menolong
kalau untuk pengambilan uang. Kalau sekedar mengeprint transaksi saja, bisa.
Tapi mengambilkan uang, aku tidak bisa.”
“Untuk apa mengeprint. Tulisannya kan sudah jelas, ada
uang disini.”
“Iya sih, tapi siapa tahu pernah diambil lewat ATM,
atau ditransfer ke mana, gitu, kan belum tercantum di buku ini kalau belum di
print.”
“Oh, begitu ya?”
Tiba-tiba Yanti ingin melihat, apakah suaminya pernah
mengambil uang itu atau tidak. Jangan-jangan angkanya sudah berkurang.
“Baiklah, tolong di print kan deh. Supaya nanti aku
bisa bilang sama suami aku, uangnya sebenarnya ada berapa.”
Lia mengangguk, lalu mengambil buku tabungan yang
diangsurkan Yanti.
Yanti duduk menunggu, sambil memikirkan cara untuk
membuat surat kuasa, dan mencari dimana KK serta KTP disimpan. Betapapun
sulitnya, ia harus berusaha.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Dari Ari.
“Hallo Ari.”
“Aku nyamperin ke rumah kamu, katanya kamu pergi.
Sudah di warung kah?”
“Tidak, maaf tidak ngabari kamu. Berangkatlah dulu,
aku sedang ada di bank untuk mengambil uang.”
“Wah, asyik … jadi ditarktir dong aku nanti,” canda
Ari.
“Beres, tapi tampaknya harus menunggu nih.”
“Antrian banyak ya? Baiklah, aku berangkat dulu ya,”
kata Ari yang langsung menutup ponselnya.
Yanti baru saja menyandarkan tubuhnya di kursi tunggu,
ketika Lia mendekat.
“Yanti …”
“Ya Lia, sudah berkurang atau masih utuh?”
“Maaf Yanti, uangnya hanya tinggal seratus ribu lebih.”
Yanti terhenyak. Gemetar tangannya ketika menerima
kembali buku tabungan yang tadi dibawa Lia.
“Ada lima kali pengambilan, masing-masing seratus
juta. Jadi sisanya tinggal seratus berapa tuh, tertulis dengan jelas.”
“Kurangajar,” tak sadar bibir Yanti melontarkan
umpatan.
Lia menatapnya tanpa berkomentar. Tampaknya ada
masalah diantara temannya dan suaminya.
“Ya sudah, aku pamit dulu Lia,” kata Yanti sambil
bergegas keluar dari ruangan itu. Lia hanya menatapnya heran.
***
“Kemana dia mentransfer uangnya? Heran, aku sampai
tidak tahu bahwa semula dia punya uang sebanyak itu. Aku harus menanyakannya,”
gumamnya sambil menunggu taksi online yang dipanggilnya.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depannya, dan
seseorang turun menghampirinya.
“Yanti.”
“Eh, pp … pak Samad?” sambutnya gugup.
“Kamu baru mengambil uang dari bank?” tanya Samadi.
“Yya, eh belum kok … “
“Jadi kamu lebih suka membayar hutang kamu daripada
menjadi kekasihku?”
“Ah, pak Samadi,” tukas Yanti mencoba tersenyum.
“Mau kemana? Ayo ikut aku saja, kita bicara sambil
makan pagi, kebetulan aku belum makan.”
Karena bingung dan seperti orang linglung, Yanti
menurut ketika Samadi menuntun ke arah mobil, dan memintanya duduk di samping
kemudi.
Samadi menjalankan mobilnya, dan Yanti lupa pada taksi
yang telah dipanggilnya.
Yanti melihat wajah Samadi yang masih terdapat
beberapa lebam di wajahnya.
“Pak Samad kenapa?”
“Kamu masih bertanya? Ini karena teman Sekar
menghajarku kemarin.”
“Oh, sampai sebegitu lukanya?”
“Tubuhnya tinggi besar, aku mana bisa melawannya?”
“Barangkali pacarnya.”
“Aku yakin dia belum punya pacar. Dia tak pernah pergi
ke mana-mana kecuali bekerja.”
“Diluaran, mana kamu tahu? Apa kamu tidak bertanya ketika
sampai di rumah?”
“Aku bertanya, dia tidak mengatakan apa-apa.”
“Hm, baiklah. Mana uang itu? Kamu bilang kamu akan
membayar hutang kamu? Oh ya, di depan bank tadi kamu habis mengambil uang?”
“Tidak, bersabarlah. Aku baru … baru mengecek, apakah
uangnya sudah masuk ke … ke … rekeningku atau belum,” jawabnya ragu.
“Oh ya? Kamu tampak ragu. Siapa sebenarnya yang
memberi kamu uang? Atau juga orang yang mau meminjamkannya?”
“Tidak. Bukan pinjam. Entahlah, aku bingung.”
“Mengapa bingung?”
“Tampaknya … tampaknya … aku belum bisa mengembalikan uang
Bapak.”
“Haa … “
Lalu Samadi tertawa keras, tapi kemudian ia memegangi
mulutnya karena sudut bibir kirinya yang semula terluka, tersobek kembali karena
tawanya.
Aryanti mengeluh.
“Bisakah aku minta waktu?”
“Minta waktu sampai kapan? Tidak ada, kamu sudah
mengecewakan aku dengan mempertemukan aku sama gadis galak itu. Aku kehilangan
selera.”
“Aku akan mencoba merayunya lagi.”
“Tidak. Aku tidak mau.”
“Pak …”
“Apakah aku tidak menarik bagimu? Aku bukan hanya akan
membebaskan semua hutang kamu berikut bunganya yang kalau dihitung-hitung bisa
jadi limapuluhan juta lebih. Tapi aku juga akan memberikanmu rumah, dan apapun yang kamu
minta.”
Aryanti diam. Ia mulai berpikir. Sesungguhnya Samadi
bukannya tidak menarik. Dia ganteng kok, walau sudah setengah tua. Dan ia
terbebas dari hutang, bukankah itu membuatnya tak lagi terbebani dengan
hutangnya? Ia juga akan mendapat kesenangan karena pasti si tua mata keranjang
itu bilang, katanya akan selalu memberikan apapun yang diinginkannya.
“Apa lagi yang kamu pikirkan? Tapi kalau memang kamu
memilih mengembalikan uang aku, nggak
masalah kok. Tapi aku hanya memberi waktu dua hari. Tadinya kan tiga hari,
sudah berkurang sehari kan?” kata Samadi sambil menepuk pipi Yanti pelan.
“Jawabannya besok pagi ya.”
“Mengapa besok pagi?”
“Mau memastikan lagi uangnya.”
“Aku kok merasa bahwa uang itu tak kan pernah ada,”
ejek Samadi.
Aryanti juga tidak yakin akan bisa mendapatkan uang
yang diharapkannya itu. Uang di tabungan ternyata sudah tidak ada. Kalau dia
bertanya pada suaminya, tak mungkin akan bisa mendapatkan jawaban yang
diharapkan.
“Entahlah … “ jawabnya seperti mengeluh.
“Ya sudah, ayo kita sarapan dulu, di rumah makan yang
agak ke pinggir ya.”
Aryanti diam, tapi dia tidak menolaknya.
“Tapi bagaimana tentang kerja sama rumah makan itu?”
tanya Yanti sebelum mereka turun dari mobil.
“Lanjut saja, tidak apa-apa, supaya istriku tidak
curiga,” kata Samadi yang kemudian menggandeng tangan Yanti, mengajaknya masuk
ke rumah makan itu.
Tapi dalam hati Yanti masih ingin bertanya kepada
suaminya tentang uang itu. Ia harus ke rumah sakit setelah menemani Samadi makan pagi.
***
“Kok kamu sendirian?” tanya Minar ketika Ari sampai di
warung.
“Iya, Yanti sedang mengurus uangnya di bank.”
“Oh ya? Jadi benar dia akan mengembalikan uang yang
dipinjamkan suamiku? Semalam dia menelpon mas Samad untuk menanyakan jumlah hutangnya yang tersisa.”
“Tampaknya begitu. Kemarin, ketika pulang, dia
mengeluh karena katanya pak Samadi sudah menagih uang yang dipinjamnya.”
“Benarkah suamiku menagihnya?”
“Iya, malah tadinya dia bilang mau meminjam dari aku.
Katanya pak Samadi sudah menagih hutang.”
“Jadi kamu yang berikan pinjaman?”
“Tidak, mana mungkin aku punya uang sebanyak itu.”
“Jadi …”
“Mungkin suaminya mau memberi dia uang. Entahlah,
bahkan dia berjanji akan mentraktir aku makan enak.”
“Begitu ya?”
“Maka dari itu, kamu jangan lagi mencemburui dia .
Kalau memang pak Samad suka sama Yanti, atau kalau memang ada hubungan diantara
mereka, tak mungkin pak Samad menagih hutang.”
“Iya juga ya.”
“Ya sudah, sekarang kamu jangan lagi memikirkan yang
bukan-bukan, nanti hubungan kamu sama Yanti bisa menjadi rusak, gara-gara
prasangka yang tidak benar.”
“Baiklah. Semoga saja dugaan kamu benar, sehingga aku
bisa merasa lega.”
Keduanya duduk di depan meja kerja masing-masing.
“Aku ingin cerita sama kamu Ar.”
Ari mengangkat wajahnya, menatap Minar yang wajahnya
tampak cerah. Barangkali karena kecurigaan tentang hubungan suaminya dan Yanti
tidak terbukti.
“Kemarin itu kan mas Samad pergi keluar kota untuk
mengurus bisnisnya. Tampaknya ada yang akan diajaknya bekerja sama, tapi malah
terjadi keributan.”
“Keributan bagaimana?”
“Jelasnya aku tidak tahu, karena mas Samad kemudian
uring-uringan sampai tadi pagi. Bahkan sarapan saja sampai tidak mau. Tapi kata
dia, diantara mereka tidak ada kecocokan, malah saling merendahkan atau saling
tidak percaya, entahlah. Yang jelas kemudian mereka berantem.”
Ari membelalakkan matanya.
“Berantem? Seperti anak muda saja, tidak saling cocok,
kemudian berantem?”
“Aku juga heran. Wajah mas Samad sampai matang biru.”
“Ya Tuhan. Kok bisa sampai begitu?”
“Semalam mengeluh sakit. Tapi pagi tadi dia sudah mau
mengantar aku kemari.”
“Berarti tidak sampai luka parah, ya kan?”
“Tampaknya tidak, tapi wajahnya tampak matang biru dan
bibirnya juga terluka.”
“Lalu tidak jadi ada kerja sama dong?”
“Tidak lah. Biar saja, kalau hatinya sama-sama keras,
kerja sama juga tak akan menghasilkan sesuatu yang baik. Lagi pula aku tidak
tahu menahu tentang bisnis mas Samad. Pusing kalau ikut memikirkannya.”
“Pusing lagi karena kamu juga memikirkan warung ini
yang belum begitu tampak memuaskan, ya kan?”
“Kamu benar. Tapi biarlah dulu. Kata mas Samad kita
harus bersabar.”
***
Barno masih menemani Sekar di rumah sakit. Tanda-tanda
bahwa pak Winarno sudah sadar, belum tampak ada. Masih ada beberapa pemeriksaan
yang harus dilaluinya. Barno selalu menghibur Sekar, membesarkan hatinya, bahwa
dokter pasti akan menyelamatkan ayahnya.
“Menurut kamu, apakah bapak akan tertolong?”
“Teruslah berharap, karena bapak sudah ditangani dengan baik. Jangan kita putus asa dan teruslah berdoa, karena doa akan membesarkan hati kita, dan membuat kita dekat dengan Allah Sang Pencipta.”
Sekar terdiam. Mereka baru saja selesai makan pagi di kantin. Itupun tadinya Sekar menolaknya, tapi Barno memaksanya.
“Kalau Non tidak mau makan, badan Non akan lemah dan
jatuh sakit. Kalau Non sakit juga, siapa yang akan mengurusi bapak?”
Tiba-tiba Sekar merasa bersyukur, ada Barno di
sampingnya, yang selalu membuatnya merasa lebih tenang.
Mereka kembali ke ruang tunggu, di dekat kamar ICU, di
mana pak Winarno ditangani. Tapi baru saja mereka duduk, tiba-tiba dilihatnya
Aryanti datang mendekat.
“Sekar, dimana kamar ayahmu?” tanyanya sambil berdiri.
Sekar merasa lega, akhirnya ibu tirinya punya perhatian juga kepada ayahnya.
“Bapak masih ada di ruang ICU, Bu.”
“Di ruang ICU? Boleh tidak ditemui?”
“Bapak belum sadar. Ibu menunggu dulu saja di sini.”
“Aku hanya ingin bertanya. Kemana larinya uang yang
semula ada di dalam tabungan ayah kamu? Apa kamu tahu?”
Sekar dan Barno tertegun.
***
Besok lagi ya.
Hokya
ReplyDeleteJian juara 1 teruus mbk Iin
DeleteSelamat kancilkubl nomor 1
DeleteHore
DeleteTerima kasih, Ibu Tien cantiiik.... Semoga sehat sekeluarga....
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang.
ReplyDeleteTidak rela kalau uang Sekar diambil Yanti. Biar dia jadi gundik saja.
DeleteSalam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Alhamdulillah, SJ_18 sdh hadir, bgmn ya sikap Yanti setelah diberi tahu petugas bank? Yukkk, kita baca bareng.
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien tetap konsisten menulis, semoga bunda selalu diberikan kesehatan yang prima, sejahtera, bahagia bersama keluarga.
Aamiin ya Robbal'aalamiin
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien 🙏🙏
Yess
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH JANJI 18 telah tayang, terima kasih bu Tien salam sehat n bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Waah...telat balapan...
ReplyDeleteMatur suwun mbakyu Tien
SJ 18 dah tayang
Salam Tahes Ulales ...
Asyik. Matur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh muncul.
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat
Alhamdulillah... 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah SJ18 sudah hadir ,terimakasih bunda Tien ,moga sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteSJ 18 telah hadir ...... terimakasih bu tien, semoga bu tien sehat2 selalu .... aamiin yra
Alhamdulillah SEBUAH JANJI~18 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteAlhamdulilah yg ditunggu sdh tayang
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien..
Semoga sehat dan bahagia selalu
Selamat malam dan selamat beristirahat bunda..
Salam aduhai dari Sukabumi
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah Sebuah Janji Eps 18 sudah tayang. Matur nuwun mbak Tien Kumalasari.
ReplyDeleteSalam sehat dan salam hangat.
Trimakasih bu Tien .... semoga bu Tien sejat selalu
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteSlm seroja sll utk mb Tien. Trmksh utk SJ 18 mlm ini...double baca tdk tahu klu kmrn sdg tayang kembali 🙏🙏🙏
ReplyDeleteMatur nuwun Mbak Tien SJ 18 sudah hadir. Smoga Mbak Tien selalu sehat wal afiat. Salam Aduhai selalu.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteDasar Yanti uang doang yg ditanyakan
ReplyDeleteAlhmdllh... semakin seruuu.... terima kasih Mbu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah SJ 18 sudah tayang.
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien
Salam Sehat dari mBantul
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteGemes bener dg tokoh Aryanti,,
Enaknya diapain gitu ....🤭
Salam sehat wal'afiat semua ya buTien
🤗🥰
Matur nuwun bunda Tien...🙏🙏
ReplyDeleteHah tabungan bapak?
ReplyDeleteYa nggak tahu, Barno mulai mengerti begitu rupanya ulah Tante Yanti, suami sekarat yang ada uang melulu demi gengsi, udah jangan bilang kalau Sekar sudah ada uang untuk rumah sakit.
Bisa lho uang hasil jual motor buat biaya rumah sakit direbut Yanti wow, ngeri pokoknya uang uang uang harus ada hari ini hih, Tante Yanti ngebet banget deh.
Habis belum juga pegang uang sudah janji;
sebuah janji yang aduhai ...
Ah ulah kolektor ya itu.. rumusnya sama; uang.
Kalau nggak ya masuk area balap. Hé hé hé hé
Kan sudah kontrak kesepakatan
Aduhai
Terimakasih Bu Tien;
Sebuah janji yang ke delapan belas sudah tayang,
Sehat sehat selalu doaku, sejahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdulillah .....SJ 18 dah tayang mksh bu Tien selamat malam selamat beristirahat smoga sehat sll bahagia bersama keluarga..
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien , semoga selalu diparingi sehat Aamiin🌹🌹🌹🌹🌹
Alhamdulillah SJ 18 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteDasar Aryanti tidak punya hati.
ReplyDeleteSemoga aja dpt balasan yg setimpal.
Masih mba Tien.
Salam hangat selalu
Alhamdulillah. Matursuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Mbak Tien luar biasa dalam mengelola konflik sehingga cerita ini tetap menarik...
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien...
Gayeng
ReplyDeleteMisih bundaqu SJ nya.. Makingeretansm yanti.. Kpn sadar nya y bund xixixi.. Smg di akhir bahagia semuanya.. Slmsht sll unk bundaqu🙏🥰🥰🌹
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien
ReplyDelete