ADUHAI AH 11
(Tien Kumala Sari)
Sarman menunggu langkah-langkah kecil itu
mendekatinya, dengan hati berdebar tak menentu.
“Aduhai, mengapa dia datang kemari?” gumamnya.
“Itu pacar mas Sarman ya? Duh, cantik... “ seru Hesti
sambil ikut berdiri menunggu.
“Maas, syukurlah bisa ketemu,” kata Tutut agak
terengah.
“Mengapa kamu datang kemari?”
“Aku kesal sama mas Sarman, aku benci, aku pengin
marah!” pekik Tutut tak terkendali.
“Eh Mbak, Mbak jangan cemburu ya, aku bukan
selingkuhan mas Sarman lho,” kata Hesti sambil menuding ke arah Sarman.
“Hesti, tak ada apa-apa, tenanglah. Aku pamit dulu
ya,” kata Sarman sambil menarik Tutut menjauh dari Hesti.
Hesti merengut.
“Huh, datang-datang marah, pencemburu amat sih. Aku
saja melihat pacarku dekat-dekat dengan gadis lain nggak begitu meluap-luap
kayak kamu,” gerutu Hesti sambil pergi dari sana.
“Tapi cantik lho, kok rasanya aku seperti pernah
melihat ya, dimana? Lupa aku,” gumam Hesti menuju ke arah parkiran sepeda
motor. Ya, sekarang dia naik motor walau rumah kost nya dekat dengan kampus.
Ibunya belum lama ini mengirimkan sepeda motornya untuk memudahkan kalau Hesti
ingin pergi ke mana-mana.
“Tutut, kenapa datang kemari?” tanya Sarman setelah
mengajak Tutut duduk di bawah pohon rindang yang lain.
“Mas Sarman jahat. Kenapa jahat sama aku?”
“Jahat bagaimana? Apa aku melakukan sesuatu yang
menyakiti kamu?”
“Ya.”
“Tutut?”
“Nggak terasa ya? Nggak ngerti apa salah kamu ya?”
“Nggak ngerti aku. Tolong beri tahu aku.”
“Mas Sarman pergi begitu saja dari rumah. Setiap orang
tahu, karena mas Sarman pamit kepada semuanya. Tapi aku tidak tahu apa-apa.
Pagi-pagi aku mengetuk pintu kamar mas Sarman karena ingin bertanya sesuatu,
tapi mas Sarman sudah pergi. Aku benci! Kenapa? Mas Sarman marah sama aku ya?”
Sarman menghela napas panjang. Ia tak berani menatap gadis
yang duduk di sampingnya..
“Ya Tuhan, gadis ini kembali mengusik perasaanku,”
keluhnya dalam hati.
“Maaas! Jawab Mas !”
“Aku … waktu itu tidak melihat kamu, dan aku merasa,
pasti juga semua akan memberi tahu kamu. Apa itu masalah?”
“Tentu saja masalah. Aku kesal, tahu.”
“Tutut, tolong maafkan aku.”
“Katakan sekarang, kenapa tiba-tiba Mas Sarman pergi?”
“Aku … ingin menenangkan diri saja.”
“Memangnya di rumah tidak ada ketenangan yang Mas
temukan? Karena aku berisik? Suka mengganggu?”
“Tidak … tidak … bukan begitu.”
“Lalu apa? Ketenangan seperti apa yang ingin Mas
dapatkan?”
“Sekarang aku mau bertanya, apakah kepergianku membuat
kamu sedih?”
“Bukan hanya sedih. Aku kehilangan.”
“Kehilangan?”
“Kehilangan yang bagaimana?”
“Mas belum menjawab pertanyaan aku. Mas bilang mencari
ketenangan, lalu di rumah tidak ada ketenangan? Kalau Mas tidak menganggap aku
mengganggu, lalu apa? Katakan apa penyebabnya.”
“Tidak ada Tut, percayalah.”
“Aku tidak percaya.”
“Kamu harus percaya.”
“Apa ada perkataan bapak atau ibu yang menyakiti kamu?”
“Tidak ada. Sungguh tidak ada.”
“Aku tidak percaya.”
“Tut, harus dengan apa supaya kamu percaya sama aku?”
“Entahlah. Aku merasa ada sesuatu.”
“Kamu jangan suka mengarang.”
“Tidak, ini benar. Apa mas merasa bahwa bapak sama ibu
berusaha mencegah aku mendekati mas Sarman akhir-akhir ini?”
Sarman terpana. Kali ini menoleh ke samping,
memandangi wajah cantik manja yang tampak bersungut-sungut.
“Maksudnya apa ya?”
“Entahlah. Ya sudah, jangan dipikirkan. Aku hanya
ingin mencari jawaban, mengapa mas Sarman tidak pamit sama aku.”
“Itu lagi. Kan aku sudah bilang bahwa waktu itu kamu
tidak ada, dan aku berharap kamu akan tahu nantinya dari yang lain.”
“Pasti aku berbeda dari yang lain kan? Mas Sarman
tidak suka sama aku kan?” kali ini Tutut berdiri, lalu melangkah meninggalkan Sarman.
Sarman terkejut.
“Tutut, tunggu, kamu mau kemana?” tanya Sarman sambil
mengejar.
Tutut tak menjawab, terus saja melangkah.
“Kamu naik apa? Mana mobil kamu?”
“Nggak bawa mobil.”
“Aku antar? Mau kemana?”
Tutut terus melangkah.
“Dengar Tut, aku memang melarikan diri dari kamu.”
Tutut menghentikan langkahnya.
“Melarikan diri dari aku? Maksudnya apa?”
“Aku takut, aku jatuh cinta sama kamu.”
Tutut menatap Sarman tak berkedip.
“Kamu bilang apa?”
“Aku tahu siapa diriku. Aku merasa di hatiku tumbuh
perasaan yang lain, dan itu tidak benar.”
Tutut terus memandangi Sarman. Kata-kata itu tak
begitu dimengertinya. Perasaan yang lain itu apa? Tadi dia juga bicara takut
jatuh cinta. Sarman memalingkan wajahnya. Ia kelepasan bicara. Dan itu membuat
ia tak bisa terus berdiam diri. Barangkali lebih baik ia mengatakannya terus
terang, sehingga Tutut bisa menerima semua alasannya dan tidak akan marah atau
penasaran lagi.
“Katakan dengan jelas, aku tidak mengerti.”
Dan Tutut memang bengong sambil terus menatap Sarman,
yang masih saja memalingkan wajahnya.
“Maafkan aku. Aku jatuh cinta sama kamu,” kata Sarman
lirih.
Mata Tutut terbelalak.
“Tapi aku tahu siapa diriku ini. Ibaratnya aku ini kan
orang kebanyakan yang ditemukan dijalan dan dipungut oleh keluarga yang bukan
main baik hatinya. Dan itu sebabnya aku lari dari kamu. Aku harus menghindari
kamu untuk menghilangkan perasaan yang tidak semestinya ini,” katanya masih
dengan suara lirih, tapi didengar dengan jelas oleh Tutut.
“Kalau kamu cinta sama aku, mengapa harus lari? Aku
memang tidak mencintai kamu seperti cinta seorang wanita kepada pria, tapi aku
menyayangi kamu sebagai kakak sulung aku. Aku tidak akan membenci kamu Mas. Cinta
itu kan bisa datang kepada siapapun juga? Apa yang salah dengan perasaan cinta?”
“Yang salah adalah bahwa kalau kita meletakkannya di tempat
yang tidak benar. Menurut aku, perasaan ini tidak benar. Karenanya aku harus
menjauhi kamu, setidaknya sampai aku bisa menghilangkan perasaan ini.”
Tutut terdiam. Pikirannya melayang ke arah sikap ayah
dan ibunya yang seperti ingin mencegah dirinya berdekatan dengan Sarman.
Pastilah dia merasakannya. Jadi ayah ibunya pasti tahu apa yang dirasakan
Sarman, lalu berusaha mencegahnya karena tidak suka?
“Kamu sekarang mengerti Tut. Maafkan aku ya.”
Tutut memandangi wajah Sarman yang sudah tidak lagi
menoleh ke arah lain. Iba melihat tatapan sayu itu.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan Mas, cinta tidak
pernah salah, jadi jangan pernah merasa harus meminta maaf. Kamu baik, dan kamu
tetap akan menjadi kakak sulung aku,” kata Tutut yang terdengar lembut. Merebak
air mata dipelupuk Sarman, tapi mulutnya menyunggingkan senyum.
“Terima kasih karena bisa mengerti.”
“Sekarang aku mau pulang. Aku tetap menunggu kamu
pulang Mas,” kata Tutut sambil melangkah menjauh.
“Berjanjilah Mas, kamu akan segera pulang,” kata Tutut
agak keras karena sudah melangkah semakin jauh.
Sarman melambaikan tangannya, dan mengangguk. Ketika
Tutut tak lagi tampak dalam pandangan, Sarman membalikkan badannya sambil
mengusap air matanya.
***
Tapi Tutut pun tak bisa menahan keharuan hatinya.
Ternyata Sarman pergi membawa beban cinta terhadap dirinya. Tapi ia tetap merasa
kesal kepada ayah ibunya, karena mereka tampak tak rela seandainya benar mereka
sudah mengerti perasaan Sarman terhadapnya. Karena membeda-bedakan status
mereka? Bukankah Sarman baik? Tutut berharap Sarman bisa menahan cintanya
karena dia tak mengimbanginya, bukan karena hambatan dari kedua orang tuanya.
Dan wajah Tutut tetap muram ketika dia sampai di rumah
dan ternyata ibunya tidak pergi kemana-mana.
“Sudah pulang Tut? Kok tidak mengabari Bapak sehingga Bapak
bisa menjemput?”
“Belum tahu pulangnya jam berapa,” jawab Tutut sambil
terus masuk ke dalam rumah.
Tindy mengikuti ke belakang, sampai Tutut masuk ke
dalam kamarnya.
“Tut … kok wajahnya ditekuk begitu, cantiknya hilang
lho,” goda ibunya.
Tutut masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Tindy menunggu sambil duduk di sofa, sambil membuka-buka majalah yang terletak
di meja. Ia harus bisa meredakan kemarahan Tutut.
Tutut heran melihat ibunya masih duduk di sofa itu,
tapi dia diam saja, sambil membuka almari untuk mengambil baju ganti.
“Ibu tadi pergi kemana?” akhirnya tak tahan Tutut
untuk tidak bertanya.
“Membezoek bekas mahasiswa Ibu yang sedang melahirkan.”
“Oh… “ Tutut tersenyum lega karena apa yang dikatakan
ayahnya ternyata benar.
“Dia itu sangat baik, ketika menikah Ibu juga
diundang.”
Tutut berganti pakaian, lalu duduk di depan ibunya.
“Makan yuk,” kata Tindy.
“Tutut tadi ketemu mas Sarman.”
Tindy meletakkan majalah yang tadi dibuka-bukanya.
“Terus ngapain setelah ketemu?”
“Tutut hanya ingin tahu, mengapa dia tidak pamit sama
Tutut sebelum pergi.”
“Cuma itu?”
“Ya.”
“Dan sudah mendapatkan jawabannya?”
Tutut mengangguk.
“Apakah Ibu sama Bapak tidak suka kalau Mas Sarman mencintai
Tutut?”
Tindy terkejut bukan alang kepalang. Tutut memang suka
bicara ceplas-ceplos dan mengungkapkan dengan lugas apa yang ada di dalam
hatinya.
“Apa dia bilang kalau dia cinta sama kamu?”
“Ya. Dan dia pergi untuk menghilangkan perasaan itu.
Maksudnya, dengan menjauh dari Tutut dia akan bisa melupakannya.”
Tindy menatap Anak bungsunya tak berkedip. Rasa
was-was menyergapnya.
“Bagaimana dengan kamu?”
“Tutut menganggapnya sebagai kakak saja. Tapi yang
jadi masalah dan mengganjal perasaan Tutut, mengapa bapak sama Ibu bersikap
aneh? Bukankah sebenarnya bapak sama Ibu sudah mengetahui perasaan mas Sarman
itu?”
Tindy merasa sedikit lega mendengar Tutut tidak
mengimbangi perasaan Sarman. Tapi ia nerasa kesulitan menjawabnya.
“Kamu jangan dulu berprasangka buruk kepada bapak sama
Ibu. Kami tidak menganggap Sarman sebagai orang lain, dan sama sekali tidak
menganggap bahwa status kami berbeda.”
“Tutut merasa hal itu yang Ibu rasakan.”
“Tidak ….”
“Lalu apa?”
“Ada sebuah cerita panjang yang nanti juga kalian akan
tahu. Sekarang jangan banyak bertanya dulu,” kata Tindy sambil berdiri.
“Yang jelas kami tidak membedakan status siapapun,
apalagi Sarman yang sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri,” lanjutnya.
Tindy melangkah ke pintu, dan sebelum membukanya, ia
menoleh sekali lagi ke arah Tutut yang masih duduk termangu.
“Ayo kita makan,” katanya lagi sambil keluar dari
pintu itu.
Tutut berkutat dengan pikirannya sendiri. Ia baru
berdiri ketika ibunya mengulangi panggilannya dari luar kamar.
***
“Mbak, belum tidur kan?” tanya Tutut ketika sudah
berbaring di samping kakaknya.
“Ya belum, kan aku masih melek? Tumben kamu ngomong.
Mbak kira kamu sudah lupa caranya ngomong.”
“Ih, Mbak Desy kok begitu. Masa aku lupa caranya ngomong.”
“Kan selama berhari-hari kamu tidak pernah ngomong.
Naik ke ranjang langsung mendekap guling, dan ngorok deh.”
“Iya, sekarang aku mau ngomong.”
“Ya sudah, ngomong saja.”
“ Apa Mbak tahu, bapak sama ibu tuh nggak suka sama
Mas Sarman?”
Desy memiringkan tubuhnya, menghadap ke arah Tutut
berbaring.
“Kok kamu nanya begitu? Apa ibu yang bilang, atau
bapak?”
“Tidak. Aduh, aku bingung mau ngomongnya.”
“Ngomong saja kok bingung.”
“Mas Sarman itu pergi dari rumah, bukan karena bapak
sama ibu nggak suka kan?”
“Menurut kamu? Bukankah bapak sama ibu selalu baik
sama mas Sarman?”
“Tapi ada yang bapak sama ibu nggak suka.”
“Oh ya?”
“Apa bapak atau ibu nggak pernah cerita sama Mbak?”
“Kamu ngomongnya melompat-lompat. Mbak jadi kurang
bisa menangkap. Coba bicara yang urut, lalu setelah selesai baru nanya ke Mbak.”
“Aku tadi siang menemui mas Sarman di kampusnya.”
“Oh ya? Cerita apa dia?”
“Aku kejar dia supaya mau mengatakan alasan dia
tiba-tiba pergi dari rumah, apalagi tanpa pamit sama aku. Sama aku saja. Aku
nggak terima dong. Perasaan aku dia tuh merasa bahwa aku sering ngerecokin dia,
sementara dia lagi sibuk mengerjakan skripsi. Tapi apa jawabnya? Tidak, bukan
itu. Aku terus mengejarnya dan akhirnya dia bilang bahwa dia jatuh cinta sama
aku.”
“Haa … “ kali ini Desy tak bisa hanya diam mendengar.
“Dia pergi untuk menghindari aku. Dengan tidak pernah
melihat aku, dia berharap bisa menghapus rasa cinta itu. Begitu intinya.”
“Mengapa dia harus menghilangkan rasa cintanya. Karena
kamu tidak membalasnya?”
“Aku memang tidak cinta sama dia, hanya sayang sebagai
kakak saja. Tapi aku kira bukan itu alasannya. Dia merasa, bahwa bapak sama ibu
tidak suka dia punya perasaan itu sama aku.”
“Yah, itu aku sudah mengerti sejak lama.”
“Sudah mengerti? Apa alasannya? Karena mas Sarman
hanya orang biasa? Aku bukannya kecewa karena dia menghindari aku, tapi kecewa
karena bapak sama ibu memang tidak menghendakinya.”
“Ada alasannya.”
“Mbak tahu?”
“Tahu kalau ada alasannya, tapi tidak tahu alasannya
itu apa.”
“Yaah, sama saja.” Lalu Tutut akhirnya tertidur dengan
masih memendam seribu pertanyaan yang tak juga terjawab.
***
Sudah tiga hari lalu Danarto boleh pulang ke rumah.
Dan seperti janji Danarto, dia kemudian mengajak Desy untuk melihat rumah yang akan dibelinya. Rumah yang tidak begitu kecil, karena Danarto memang akan mempergunakannya
sebagai tempat praktek, yang kalau bisa nanti bersama Desy juga agar bisa
praktek di rumah itu selepas dari rumah sakit.
“Bagaimana menurut kamu?”
“Bagus. Aku rasa ini cukup bagus.”
“Nanti aku praktek disini, karena aku akan meletakkan
alat USG juga disudut sana. Kamu yang sebelah sana tadi. Ruang tunggunya
lumayan luas kan?”
"Aku belum bicara banyak mengenai hubungan kita.”
“Kamu tidak menolak kan?”
“Apa kamu bisa menjamin bahwa setelah menikah nanti
kamu tidak akan mengecewakan aku?”
“Apakah aku harus bersumpah?”
“Aku hanya takut. Dan aku itu tidak bisa seperti
ibuku, yang begitu lembut, dan bisa menghadapi ulah seorang suami yang … yaah …
mungkin akan membuat sakit hati bagi siapapun yang menerima perlakuan seperti
itu. Kalau aku dilukai, aku bisa mengamuk.”
“Aku bukan type laki-laki yang gampang jatuh cinta.
Sekali jatuh cinta aku tak bisa menghentikannya dan akan setia pada perasaanku.”
“Itu kan janjimu?”
“Kalau janji tidak cukup, garuskah bersumpah?”
“Tidak harus.”
“Jadi … apakah aku tampak seperti laki-laki yang suka
bermain dengan gadis-gadis cantik?”
“Belum kelihatan sih.”
“Aduh, kamu tuh, susah banget percaya sama aku.
Baiklah, aku akan berlutut dihadapan kamu untuk mengucapkan janji setia sama
kamu,” kata Danarto sambil benar-benar berlutut didepan Desy.
“Mas Danar … aahhh.”
“Aku tuh tahu kalau kamu juga sayang sama aku. Jadi …”
“Berdiri nggak? Aku pulang lhoh.”
Danarto berdiri.
“Okey, aku akan segera melamar kamu, minggu ini juga,”
kata Danarto bersungguh-sungguh.
Desy tersenyum. Tak ada penolakan pada wajahnya, dan
Danarto begitu bahagia menatapnya.
Tiba-tiba ponsel Danarto berdering. Wajahnya muram
ketika melihat di layar ponselnya, siapa yang menelpon. Ia menatap Desy dengan
termangu.
“Si dia? Terima saja, jangan suka membuat orang
kecewa,” kata Desy.
“Ya Hes?” akhirnya Danarto menjawab.
“Mas Danar kemana sih, sudah sore kok belum pulang?
Ini aku sama ibu ada di rumah mas Danar lhoh.”
Ponsel Danarto hampir terjatuh karena terkejut.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteSelamat buat jeng Wiwik Bojonegoro
DeleteADUHAI... AH_11
DeleteAlhamdulillah
Terima kasih bu Tien, salam SEROJA.
Yuk, sahabat 2 baca lagi Setangkai Mawar Buat Ibu, karya bu Tien di NOVELTOON.
Dengan mengunjungi lapak bh Tien, Anda menegakkan periuk bunda....... Triem's.
Terimakasih kakek Habi infonya
DeleteIya cerbung Bu Tien baiknya di masukin di noveltoon....top abiez author Bu Tien, beda ama outhor lain... Keren abiez dah
Biar ada sedikit hasil jerih payah bu Tien, kena nggo mundut seger2
DeleteKakek Habi... jeng Wiwik satunya yg bojonegoro. Yg saya ngayojakarta lo Kek he..he..
DeleteAlhamdulillah sdh tanyang. Maturnuwun Bu Tien
ReplyDeleteMakasih Bunda Tien
ReplyDeleteYessss.👍
ReplyDeleteTrimakasih bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 11 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Horeeee...
ReplyDeleteAlhamdulillah yg ditunggu sdh tayang...
Matursuwun mbak Tien...
Alhamdulillah. Mtr nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah, suwun Bu Tien......salam sehat selalu...😊🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah, AA 11 sdh hadir, matur nuwun mb Tien, semoga sehat dan bahagia selalu. Aamiin
ReplyDeleteHoree...asyik...Aduhai 11 dah hadir ...smg mas Danar bisa menolak keinginan ibunya Hesti....
ReplyDeleteAlhamdulillah🙏
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteAlasan Sarman sudah terungkap, tinggal menunggu penjelasan para orang tua.
Danar kerepotan nih, bagaimana menghadapi ibunya Hesti.
Salam sehat penuh semangat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
Alhmdllh.... terima kasih Mbu Tien..... serrrrruuuuu pinisirin trs..... sehat² mbu Tien brsm keluarga
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI AH Episode 11 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien untuk ADUHAAII Ah ,Makin Aduhaaii deh Danarto bingung nya
ReplyDeleteLah ini masalah baru mau muncul. ..trims Bu Tien AA udah hadir
ReplyDeleteNah lho di rstu ngeyel Hesti sama ibunya..wadeh² 😏
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...ADUHAI sekali bisa baca lebih awal..🙏
Hesti dan ibu nya ngeyel banget yah!?
ReplyDeleteSalem(Boston), Jumat 28 April 2022
ReplyDeleteWow bunda terima kasih banyak Aduhai Ah ke 11 sdh tayang, saya langsung membacanya! Makin seru saja ......semangat bunda semoga sudah sembuh! Semoga pada hari raya Ied bunda sehat dan berbahagia berkumpul sanak saudara! Salam hangat dan sayang dari saya juga untuk semua Penggemar Cerbung Bu Tien Kumalasari yang aduhai! versinurutan.com :)
Selamat pagi & tetap semangat.
DeleteBagmn kabar BOSTON, apa ya pada pakai masker seperti di Indonesia?
Semoga blm depan jadi ke Bandung, nanti ketemuan dengan teman2 WAG PCTK Bandung Cimahi.
Kabari hari dan tanggalnya, sehingga kami bida kordinasi.
Sampai jumps bulan Mei 2022 di Bandung kota kuliner.
Aamiin. Terima kasih ibu Willa, salam hangat dari Solo Indonesia, yang udaranya memang hangat-hangat sumuk
DeleteMudah²an Danarto bisa menghadapi ibunya Hesti dg bijaksana tanpa mengganggu hubungan dg Desi.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam sehat selalu.
Aduhai
Terima kasih Bu Tien, ADUHAI AH 11 sdh hadir.
ReplyDeleteSemskin seru dan bikin penasaran lanjutan ceritanya.
Semoga Ibu sehat selalu dan bahagia bersams krluarga.
Aamiin
Salam ADUHAI AH
Terimakasih Bunda Tien, AA 11 dah tayang
ReplyDeleteSehat2 selalu ya Bun...
Salam aduhai...😘😍
Slmt mlm bunda Tien..terima ksih AA 11 nya..Slm sht sll dan tetap semangat.aduhai dri skbmi..🥰🙏💞
ReplyDeleteAlhamdulillah AA 11 sudah tayang , matursuwun bu Tien yang makin ADUHAI...he he
ReplyDeleteSalam sehat selalu tukbu Tien sklg jg anggota PCTK... salam ADUHAI
Alhamdulillah ... Syukron Mbak Tien ⚘⚘⚘⚘⚘
ReplyDeleteMatur nuwun Ibu Tien ADUHAI AH 11 sampun tayang...sugeng ndalu sugeng istirahat...mugi ibu tansah pinaringan sehat...
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMbak Tien memang luar biasa...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Senengnya Danarto sudah dapat dukungan Desy untuk menilai rumah yang akan dimilikinya, walaupun dijawab senyum itu sudah merupakan persetujuan melegakan.
ReplyDeleteADUHAI
rumah betulan bukan rumah rumahan juga bukan rumah tetangga tapi rumah tangga dan Desy masuk urutan ke dua di daftar penghuni rumah baru nya kelak.
Hesti cari peruntungan dengan mengandalkan Sriani, padahal sudah disarankan Sarman itu keliru dan bisa melukai hati mu sendiri, yah namanya cari peruntungan.
Jebulnya memang dulu Larsih sekedar basa-basi dan itupun menyarankan terserah Danar saja dan itu jangan membebani karena masih kuliah, biarkan hati bicara.
Arep sêngol kok karo wong tuwå; Danar olèhé nlatèni Desy wis suwé, awit jaman co as jéw.
kok pénak mên kon mêdhot. Sorry lah yau.
Baru saja ada kelegaan Desy akhirnya jadian sama Danar.
Sarman malah selelah selesai; ditawari jadi tentor ditempat dia menyelesaikan pendidikan sarjana nya.
Haryo kremut kremut njethatut.
Oalah pak é senengané sak suk sak suk anggêr ånå pêrkårå ora ndang cèkat cèkêt di tandangi, grênêngané Tindy.
mbingungi.
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang ke sebelas sudah tayang,
Sehat sehat selalu doaku,
sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Makasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu. Makasih.
ReplyDeleteEalaa Sarman ahkirnya bicara..klu cinta sama Tutut..lee ahkirnya Desy mau ma Danarto akan melamar ..tp nih ibunya Hesti dtg jangan kendor u jalani cinta sama Desy ..bu Tien jgn pidahkan cinta Danarto dan Hesti sama Sarman..ehhh ngetek aja Hesti bau kencur hahaha ajak Desy u nemui nih Si ibunya Hesti..lbu Tien jgn yaa pisahkan Danarto..Aduhai deh u semua
ReplyDeleteAduhai ah........muncul tokoh baru sekarang ibunya Hesty. Makin seru ya bu Tien
ReplyDeleteHallow Pejaten, Tuban, Sidoarjo, Garut, Bandung, Batang, Kuningan, Wonosobo, Blitar, Sragen, Situbondo, Pati, Pasuruan, Cilacap, Cirebon, Bengkulu, Bekasi, Tangerang, Tangsel,Medan, Padang, Mataram, Sawahlunto, Pangkalpinang, Jambi, Nias, Semarang, Magelang, Tegal, Madiun, Kediri, Malang, Jember, Banyuwangi, Banda Aceh, Surabaya, Bali, Sleman, Wonogiri, Solo, Jogya, Sleman, Sumedang, Gombong, Purworejo, Banten, Kudus, Ungaran, Pamulang, Nusakambangan, Purworejo, Jombang, Boyolali. Ngawi, Sidney Australia, Boyolali, Amerika, Makasar, Klaten, Klipang, JAKARTA...hai..., Mojokerto, Sijunjung Sumatra Barat, Sukabumi, Lamongan, Bukittinggi, Hongkong, El Segudo, California, Bogor, Tasikmalaya, Baturetno, Wonogiri, Salem, Boston Massachusetts, Bantul, Mataram, Terimakasih atas perhatian dan support yang selalu menguatkan saya. Aamiin atas semua harap dan do'a.
ReplyDeleteADUHAI.....
Test
ReplyDeleteAduhaaiiii sekali cerbungnya bun...
DeleteTerimakasih bundaaa...
Salam sehat selalu dan semoga bunda bahagia bersama keluarga dan Amancu tersayang..
Love you...
Mudah mudahan Danarto bisa memberikan penjelasan kpd Hesty dan ibunya, yg msh berpikiran seperti jaman Siti Nurbaya.. Aduhai.. Ah..
ReplyDeleteBaru
ReplyDeletehttp://novelsemprot.rf.gd/
ReplyDelete