Thursday, February 13, 2020

LASTRI 23

LASTRI  23

(Tien Kumalasari)

Mardi tercengang.. ternyata ibunya punya impian tentang Lastri. Terbayanglah wajah lama yang dulu begitu kumuh dan kotor, lalu sekarang muncul sebagai sosok yang mempesona. Hati Mardi berdebar kencang. Tiba-tiba saja hatinya tergugah oleh ucapan ibunya.

"Kamu kok senyum-senyum begitu, belum kejadian sudah senang ya?" goda bu lurah.

"Bu, apa Lastri  belum punya suami ?"

"Ibu belum menanyakannya, tapi kayaknya belum. Kalau punya suami mana mungkin dia pulang sendiri kemari?"

"Apa dia akan terus tinggal disini?"

"Ibu sudah menawarkan, tapi dia belum menjawabnya. "

"Lalu apa rencananya kalau dia mau terus disini?"

"Ibu belum bicara banyak, coba nanti kamu yang bicara, siapa tau kita bisa membantu, dan siapa tau dia memang jodoh yang dikirimkan Tuhan untuk kamu. Ibu kurang suka sama Marni yang terlalu genit dan sering memngirimi kamu pipis katul."

Mardi tertawa. 

"Nggak apa-apa ta bu, Marni itu juga gadis baik."

"Benar, dia baik, tapi kelihatan kalau suka sama kamu. Ibu nggak seneng kalau seorang gadis kelihatan mengejar-kejar laki-laki.

"Ibu yang enggak-enggak saja. Dulu suka sama Marni, kok tiba-tiba nggak suka?"

"Setelah melihat Lastri, ibu penginnya kamu jadian sama Lastri. Dia itu bisa menjadi isteri yang baik, menantu yang baik."

"Baru mengenal sesore saja, bagaimana bisa ibu mengatakan dia bisa menjadi isteri yang baik?"

"Dari pengamatan sekilas .. kelihatannya memang begitu."

"Mardi senang, dia cantik, tapi Mardi tak ingin terges-gesa. Siapa tau dia sudah punya pacar.. atau apa dia suka sama Mardi. Ah, nanti kalau tiba-tiba Mardi benar jatuh cinta, tapi kemudian ternyata dia tidak cinta, kan sakit bu. Jadi lebih baik tidak ber andai-andai dulu. Siapa sih yang nggak suka perempuan cantik?"

"Baiklah, kamu sudah dewasa sehingga bisa berfikir begitu, tapi seorang ibu kan boleh saja berangan-angan? Ya sudah. ibu mau mandi dan menyiapkan makan malam. Ini brem pesenan kamu." kata bu lurah sambil menyerahkan sebuah bungkusan.

"Terimakasih bu. Tapi kayaknya kamar mandinya masih dipakai Lastri."

"Ibu tunggu sebentar sambil membuat minum untuk Lastri."

"Kok Lastri saja, anaknya dilupakan setelah ada Lastri," canda Mardi.

"Ya enggak, buat kita bersama," jawab bu lurah sambil tersenyum.

***

Sapto mengantarkan bu Marsudi kembali ke rumah sakit. Tak urung pak Marsudi ikut, dan tampak gelisah sepanjang jalan. Begitu turun dari mobil, pak Marsudi langsung nyelonong kedalam.

"Dimana kamarnya? Kok aku malah lari duluan, ibu jalannya pelan amat."omelnya sambil menunggu isterinya.

"Masih di UGD atau sudah dipindahkan ke kamar?" tanyanya lagi.

"Sudah, ayo jalannya sama-sama, ibu kan nggak bisa jalan cepat begitu."

Mereka sampai disebuah ruangan, dan pak Marsudi langsung mendahului masuk. Dilihatnya Bayu tergolek lemah, matanya terpejam. Ditangannya ada selang infus yang digantungkan disebelah kirinya.

"Bayu... Bayu.." bisik pak Marsudi.

Bayu membuka matanya, agak heran melihat ayahnya menatapnya iba.

"Kamu sakit apa? Yang kamu rasakan apa?"

"Bayu nggak sakit apa-apa. Mengapa bapak kemari?"

"Omong apa kamu itu, aku ini bapakmu, mendengar kamu sakit ya sudah semestinya khawatir. Coba lihat keningmu," kata pak Marsudi sambil memegang kening Bayu.

"Lho, masih panas begini. Coba bu, bilang dokternya, anakmu masih panas nih."

"Nggak usah bilang dulu, kan sudah dikasih obat."

"Sudah dikasih obat kok masih panas seperti ini. Apa sambil dikompres .. barangkali bisa membantu."

"Sudah pak, bapak tenang saja, semua sudah ditangani dokternya. "

"Ah.. kelamaan .." gumam pak Marsudi sambil terus memegangi kening anaknya. Bayu hanya terdiam. ia lebih banyak memejamkan mata.

"Rasanya bagaimana Yu? Mana yang sakit?"

Bayu hanya menggeleng. Ia hanya ingin tidur. Barangkali dokter telah memberinya suntikan penenang, entahlah.

"Sudah lama nggak melakukan perjalanan jauh, ya begini ini jadinya."

"Bu Marsudi mendekati Bayu.

"Yu, kamu pengin makan apa?"

Tapi Bayu menggeleng, matanya terpejam.

"Apa dibelikan ayam goreng kesukaan dia bu, biar bapak suruhan Darmo.," kata pak Marsudi.

 Bayu masih tetap menggeleng.

"Biar saja bapak suruhan, nanti kita paksa dia makan."kata pak Marsudi lagi.

"Tadi siang juga dipaksa makan, malah muntah-muntah," ujar bu Marsudi sambil duduk diatas sofa, didekat Sapto yang diam terpaku disana. Agak sebal mendengar omelan-omelan pak Marsudi. Ia menyibukkan diri membuka-buka ponsel.

"Nak, nak Sapto pulang saja, sudah dari pagi nak Sapto menemani kami," kata bu Marsudi.

"Ada yang bisa kami bantu lagi bu, kalau kira-kira masih ada, biar Sapto menunggu disini."

"Sudah nak, sudah ada bapaknya, biarpun ngomel-ngomel terus tapi dia tampak memperhatikan sakitnya Bayu. Nak Sapto kan butuh istirahat."

"Baiklah bu, tapi kalau ada apa-apa jangan segan menelpon Sapto  ya. Nomor kontak saya yang baru sudah saya berikan Bayu tadi."

"Baiklah nak, nanti ibu akan ikut mencatatnya. Terimakasih banyak telah membantu."

"Sama-sama bu," kata Sapto sambil mencium tangan bu Marsudi. Kemudian Sapto mendekati ranjang Bayu, pak Marsudi masih berdiri disana.  

"Pak Marsudi, saya permisi dulu. Bayu.. semangat ya, kamu harus kuat !!" kata Sapto sambil menepuk-nepuk tangan Bayu. Bayu diam, tampaknya dia telah terlelap.

***

Semalaman pak Marsudi menunggui Bayu dirumah sakit. Bu Marsudi lega karena suaminya ternyata juga memperhatikan anak semata wayangnya. 

Ketika bangun tidur itu, tiba-tiba pak Darmo datang dengan membawa tiga gekas susu coklat panas, dan beberapa potong roti bakar.

"Lho.. Mo, kok tiba-tiba membawakan sarapan untuk kami?" sapa bu Marsudi.

"Tapi pagi sekali bapak menelpon saya, agar saya membawakan ini bu," jawab Darmo.

"O, bapak To?"

Pak Marsudi membuka dompet dan memberikan uang untuk sopirnya.

"Ini terlalu banyak pak, itu ada notanya."

"Sudah, bawa saja. Hari ini aku nggak ke kantor ya?"

"Terimakasih banyak pak. Permisi pak, permisi bu," kata pak Darmo yang kemudian melangkah keluar.

"Apa Bayu belum bangun ?"

"Sudah, ibu sudah menggantikan bajunya setelah suster memeriksa tekanan darahnya dan mengganti infusnya."

"Sebenarnya Bayu sakit apa, mengapa dokter belum memberikan keterangan?"

"Ini kan masih pagi. Dokternya belum datang."

"Itu karena dia kecapean," gumam pak Marsudi sambil menghirup coklat susunya, dan mengambil sepotong roti.

"Bapak kok nggak merasa. Dia itu patah hati."

"Patah hati bagaimana ?"

"Bayu itu sangat mencintai Lastri. Begitu kemarin nggak ketemu, dia langsung lemas, nggak mau makan, nggak mau minum, lalu Sapto langsung melarikannya ke rumah sakit."

"Ya Tuhan.." keluh pak Marsudi.

"Mengapa hanya karena Lastri jadi seperti ini ?"

"Bayu sangat mencintai dia. Bapak selalu menyakitinya. Dan sekarang dia kehilangannya. Sesungguhnya Lastri itu gadis yang baik. Tak aneh bila Bayu mencintainya. Bukan hanya karena witing trena jalaran saka kulina, tapi kebaikan Lastri disamping kecantikannya,  tak banyak yang memilikinya. Bedanya adalah Lastri hanya gadis dusun, yang tidak memiliki pangkat atau derajat. Dan bapak harus ingat, Bayu adalah anak kita semata wayang. Mengapa bapak tak ingin membuatnya bahagia? Bukankah sa'at sakit kita juga merasakan sakitnya?" kata bu Marsudi panjang lebar. Ketika itulah dia bisa menumpahkan seluruh perasaannya kepada suaminya. Dan kali ini pak Marsudi tidak membalas dengan hardikan keras.

Pak Marsudi berdiri mendekati Bayu. 

"Le, apa sekarang yang kamu rasakan?" tanyanya lembut, sambil memegangi lagi keningnya. Agak lega karena tidak lagi panas seperti semalam.

Bayu terdiam. Apa yang dia rasakan? Bayu hanya ingin bertemu Lastri, mengajaknya kembali, dan melamarnya menjadi isteri. Kepergian Lastri membuat semangatnya runtuh, hatinya rapuh.

Pak Marsudi mengelus tangan anaknya.

"Kamu marah sama bapak?" tanya pak Marsudi lagi. 

Bayu memalingkan muka. Karena bapaknya.. dia kehilangan Lastri. Rasa kesal itu belum hilang.

"Bayu, apa yang kamu inginkan?"

Bayu tetap tak menjawab. Bapaknya tau apa yang dia inginkan, mengapa masih bertanya juga? Pak Marsudi menggenggam tangan Bayu, menempelkannya pada pipinya. Sa'at itulah Bayu merasa bahwa sesungguhnya ayahnya sangat mencintainya. Ia memandangi ayahnya yang berlinang air mata.

"Bapak, " bisiknya pelan, hampir tak terdengar.

"Bapak banyak salah sama kamu. Bapak membuat kamu sedih dan sakit, benarkah?" lalu air mata itu bergulir pada pipi lelaki setengah tua yang dipanggilnya bapak oleh Bayu.

Bayu tersentak oleh keadaan itu. Tiba-tiba ia ingin memeluk ayahnya, tapi tak berdaya karena sebelah tangannya terikat pda selang infus yang meneteskan cairan penyambung nyawa bagi dirinya.

Air mata Bayu pun bergulir.

"Bayu, mulai sa'at ini bapak berjanji, akan selalu menuruti semua kemauan kamu."

Bayu meremas tangan ayahnya.  

"Carilah Lastri, nikahi dia," bisik ayahnya bergetar. Dan air mata kedua lelaki beda usia itu berjatuhan.

 Tapi bukankah semuanya sudah terlambat? Kemana perginya Lastri?

***

Pagi sekali Lastri terbangun. Hari masih gelap, tapi suara kokok ayam, dan suara-suara hewan yang siap digembalakan terdengar menghiasi suasana pagi didusun itu. Lastri masih terbaring diranjang.

Malamnya Lastri tak bisa tidur. Seperti mimpi rasanya ketika ia menyadari bahwa dia tidur disebuah kamar yang berbeda lagi dari rumah nenek tua penjual sayur. Kali ini kamar dimana dia menumpang terasa lebih bersih. Walau sederhana tapi ia terbaring diatas kasur yang empuk. Penerangan yang benderang, dan aroma yang segar. Tampaknya ketika dia mandi, entah bu lurah atau Marsdi telah menyemprotkan wewangian dikamar itu. Agak menyengat sih, wanginya sangat tajam, bukan seperti wangi kamar Bayu yang lembut. Ah, Bayu lagi, sedang apa kecintaannya itu sa'at ini ?

"Mas Bayu, aku ada disini, jauh dari kamu, tapi percayalah  bahwa aku selalu mencintai kamu. Aku harap kamu bahagia, aku harap kamu mendapatkan gadis yang semuanya melebihi Lastri yang perempuan dusun ini. Lupakan Lastri ya mas? Agar perasaan Lastri bisa lebih ringan. Jangan sedih, dan jangan mencari Lastri lagi. Anggaplah Lastri sudah mati," bisik Lastri sambil berlinangan air mata. Tapi lama kelamaan linangan itu berubah menjadi tangis yang memilukan. Ada sebuah guling disampingnya, yang kemudian dipeluknya erat, agar tangisnya tak terdengar dari luar.

***

Lastri bangkit dari ranjang, dan duduk ditepinya. Didepannya ada almari besar dengan pintu berkaca yang bisa dipergunakan untuk menatap wajahnya sendiri. Matanya sembab, hampir semalaman ia menangisi perjalanan hidupnya. Tidak, ketika nanti matahari menerangi bumi, ia harus bisa menatap kedepan. Kemudian Lastri berdiri dan menyisir rambutnya, menggelungnya lagi dengan rapi, kemudian keluar dari kamar dan pergi kekamar mandi. Tampaknya bu lurah dan Mardi sang lurah muda juga belum terbangun. Setelah membersihkan tubuhnya, Lastri mencari ceret mengisi airnya dan menjerangnya di kompor. Ia teringat lagi nenek tua penjual sayur, yang harus menyalakan perapian dengan kayu, dan kadang-kadang meniupnya apabila dirasa apinya akan mati. Lastri merasa, ada yang lebih sengsara didunia ini, lalu dia mensyukuri semua yang sudah diterimanya. Lastri menyeduh teh lalu menyiapkannya dimeja. ia harus segera pergi kemakam orang tua dan neneknya. Jadi ia segera mandi dan mengganti pakaiannya.

Ia teringat bu Marsudi. Sehari sebelum kepergiannya, ketika melihat dia menangis, dia mengira dirinya kangen sama simbahnya, lalu berjanji akan mengantarkannya mengunjungi makamnya. Sekarang Lastri akan melakukannya sendiri.

Ketika akan beranjak pergi, bu lurah ternyata sudah bangun. Lastri melihatnya keluar dari dapur. Ia melihat sepoci teh yang belum lama diseduh.

"Kamu menyeduh teh ya Tri, mengapa tidak membuat untuk kamu sendiri?" tegur bu lurah.

"Saya sudah minum air putih bu, ini mau ke makan bapak sama simbok dulu." 

"Iya, tapi harus sarapan dulu. Masih ada sayur oblok-oblok sisa semalam dan bandeng goreng, biar aku angetin dulu." kata bu lurah mencegah kepergian Lastri.

"Tapi bu.."

"Sudahlah Tri, sarapan dulu, jangan pergi sebelum sarapan." kata bu lurah sambil kembali ke dapur dan menyiapkan untuk Lastri dan tentu saja Mardi. 

Mardi keluar dari kamar mandi. Ia harus ke kelurahan. Tapi melihat Lastri sudah siap mau pergi, ia menghentikan laangkahnya.

"Mau kemana Tri?"

"Mau kemakam bapak sama simbok, kang."

"Sarapan dulu, nanti aku antar."

"Jangan kang, aku sendiri saja. Habis dari makam aku mau melihat bekas rumahnya simbah."

"Bekasnya sudah nggak kelihatan Tri, sudah jadi kebun ketela rambat sama kacang panjang."

"Nggak apa-apa kang, aku ingin melihatnya saja, barangkali aku masih bisa mendirikan gubug ditempat simbah dulu."

"Itu memerlukan bicara dulu sama mbah Kliwon, nanti kalau masalah itu aku akan membantu. Sekarang tunggu sebentar, aku ganti pakaian dulu," kata Mardi langsung masuk kekamarnya untuk berganti pakaian.

Lastri terpaksa menuruti kemauan bu lurah. Kemudian ia ikut ke dapur membantu bu lurah menyiapkan sarapan.

Tapi sehabis sarapan Lastri menolak ke makam orang tuanya diantar Mardi. Ia ingin pergi sendiri. Ia begitu merindukan neneknya yang membesarkannya, dan mengajarinya mencari uang dengan berjualan sayur.

Kuburan itu agak jauh dari rumah bu lurah. Lastri berjalan menyusuri jalanan berbatu, dan melewati galengan sawah yang lumayan panjang. Dijalan ia banyak berpapasan dengan orang-orang dusun, semuanya memandang Lastri dengan heran. Lastri memang tak tampak seperti gaadis dusun lainnya. Dibesarkan dikota membuat penampilannya berbeda. Ia ingin menyapa mereka, tapi ia lupa siapa saja yang berpapasan dengannya. Jadi Lastri hanya mengangguk sambil terus melanjutkan perjalanan.

Makam itu terbuka. Ada pagar dari bambu yang sebagian besar sudah roboh karena lapuk. Lastri mengingat ingat, dimana dulu makam simbahnya. Yang dia ingat, makam mereka berdampingan. Dulu diatasnya ada pohon kersen yang rindang, dimana pohon kersen itu? Semuanya sudah tampak berubah.  

Banyak rumput-rumput liar disekitar area makam itu. Lastri terus berjalan, dan mengamati kiri kanan.

"Simbah... ini aku datang... simbah dimana?" bisik Lastri yang mulai berlinang air mata. Ingatan akan simbahnya terbayang kembali dimatanya. Ketika sang nenek  berjalan sambil terbungkuk-bungkuk, menggendong sayur didalam bakul, lalu dia berjalan disampingnya membantunya berjualan, sehingga dia tak pernah sempat sekolah.

"Simbah.. dimana simbah ? Bapak... simboook..." suara Lastri serak, bercampur aroma rindu yang menyesak dadanya.

Dan seperti ada yang mendengar jeritan Lastri, tiba-tiba dari jauh tampaklah pohon kersen iitu. Lastri bergegas mendekati, sambil menyibakkan rumput-rumput setinggi dirinya yang menghalangi.

Dibawah pohon kersen itu tak tampak ada gundukan tanah. Tapi ada batu besar yang diingatnya sebagai tanda bahwa itu makam simbahnya, sedangkan disebelahnya adalah bapak simboknya.

Tak jelas yang mana persisnya,  Lastri berjongkok disitu, mencabuti rumput-rumput  disekitar batu itu, sambil berdo'a, dan meneteskan air mata.

"Simbah, bapak, simbok.. Lastri nggak tau yang mana, tapi Lastri percaya bahwa do'a Lastri akan tersampai kepada Yang Maha Kuasa. Simbah tau, setelah simbah pergi, Lastri pernah merasakan hidup enak. Tinggal dirumah yang nyaman, dan keluarga yang baik kepada Lastri. Tapi... Lastri terjebak oleh perasaan Lastri sendiri mbah, Lastri mencintai majikan Lastri, yang ganteng, yang baik, yang juga mencintai Lastri. TKatakan api Lastri harus lari mbah, Lastri hanyalah anaknya bapak sama simbok, dan cucu simbah yang orang dusun, tak punya derajat. Lastri sakit mbah.. Lastri menderita karena cinta itu...Katakan bagaimana melupakannya mbah..." "

Lalu Lastri kembali terguguk dalam tangis. Hanya simbah yang disebutnya, karena Lastri tak teringat pada bapak simboknya, yang meninggalkannya sa'at dia masih kecil.

Tiba-tiba Lastri merasa seseorang menyentuh bahunya. Lastri terkejut, lalu mengusap matanya.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


25 comments:

  1. Haduuuuuh ikutan nyesek ini mbk Tien,,,😭😭😭

    ReplyDelete
  2. Siapa ya yg datang? Lanjut mba Tien. Makin seru nih.

    ReplyDelete
  3. Siapa ya yg datang? Lanjut mba Tien. Makin seru nih.

    ReplyDelete
  4. Kok banyak salah cetak ug sangat mengganggu ya....e

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, ya, terutama di alinea ketiga, nama Sapto ada 3 tertulus nama Bayu, Apakah sebelum di unggah nggak dicheck dulu, jeng Tien?

      Delete
    2. Ma'af. Sudah di cek sih. Maklum ngetik tengah malam sepulang kerja jam 10 an. Terimakasih koreksinya. Nanti saya perbaiki

      Delete
    3. Ma'af. Sudah di cek sih. Maklum ngetik tengah malam sepulang kerja jam 10 an. Terimakasih koreksinya. Nanti saya perbaiki

      Delete
  5. Wah makin membuat penasaran. Lanjutkan
    Selalu sehat ya jeng tien

    ReplyDelete
  6. Mungkinkah itu pak Lurah? Namun berharap Bayulah yg datang. . Semangat Bayu... gbu

    ReplyDelete
  7. emba tien kaloubisa 2 efisod lah tiap luncur

    ReplyDelete
  8. Dugaan saya yang datang ke makam adalah Bayu, setelah mendapat restu pa Marsudi
    Semoga tidak salah.

    ReplyDelete
  9. Semoga pak Marsudi yg datang menjemput Lastri utk dipertemukan dg anaknya....... heheheeee ngarep2.com

    ReplyDelete
  10. Berharap bayu yg dtg bersama bpk & ibu marsudi...

    ReplyDelete
  11. Tambah seruuu .......penasaran terus nih.kereeen

    ReplyDelete
  12. Semoga yang datang itu dari keluarga Bayu jadi deg degan mba
    Lanjut mba Tien sudah tidak sabar nih...

    ReplyDelete
  13. Ibu tien...cerita semakin seru..jaga kondisi bu....plg kerja lgsg nulis duh gusti...smg ibu diparingi sehat terus

    ReplyDelete
  14. Lanjuuut
    Semoga mbak Tien sehat dan semangat

    ReplyDelete
  15. Ikut mendoakan smg mb Tien sll diberi kesehatan dan kekuatan... lanjuuuut mba Tien

    ReplyDelete
  16. Mbak tien, bisa manfaatkan besar kecilnya ukuran tulisan supaya lebih dramatis, hehe misal untuk sub judul, dll

    ReplyDelete
  17. Waduh, mbak Tin, bagus banget alurnya menggelitik untuk terus membaca...

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...