Monday, January 6, 2020

DALAM BENING MATAMU 79

DALAM BENING MATAMU  79

(Tien Kumalasari)

 

Adhit berdiri, lalu menghampiri Dinda serta memeluknya.

"Dengar mas, pelukan ini tidak akan meredakan kemarahan aku. Aku benci mas mengatakan itu, aku benci mas menghianati Anggi."

"Dinda, aku berterus terang sama kamu. Iya benar, itu perasaanku, tapi apa itu salah? Rasa tidak pernah salah."

Dinda meronta dari pelukan Adhit.

"Dinda, kalau aku melakukan hal sampai meninggalkan Anggi, itu yang salah. Perasaan cinta tidak harus diikuti dengan perilaku atau keinginan untuk memilikinya," kata Adhit, yang kemudian disadarinyabahwa kata yang diucapkannya tidak sama dengan keinginannya. Tapi tdak, aku tidak akan meninggalkan Anggi. Bisik batin Adhit.

"Apa maksudnya itu?" tanya Dinda masih dengan tatapan sengit.

"Percayalah aku hanya mencintai, tapi aku tak ingin meninggalkan Anggi. Dia akan tetap menjadi isteriku, karena aku yang memilihnya."

Tatapan marah itu keumdian meredup. 

"Harusnya mas tidak mencintai mbak MIrna."

"Kamu benar..."

"Gimana sih mas.."

"Iya benar, harusnya aku tidak punya perasaan seperti itu."

"Lha mas itu gimana maksudnya>"

"Bukan maksudku Dinda, perasaan itu tiba-tiba saja ada."

Dinda menghela nafas panjang. Ia belum sepenuhnya mengerti apa yang dikatakan Adhit. Ia ingin bicara lebih banyak, tapi tiba-tiba sekretaris masuk keruangan itu. Memang sih ruang tamu itu terpisah dengan meja sekretarisnya, tapi nggak enak bicara tentang keluaga mereka.

"Ya sudah mas, aku mau pulang dulu," kata Dinda sambil berdiri.

"Kamu nggak lapar? Kita makan dulu?"

"Aku lapar, tapi mau beli nasi bungkus didekat tempat kost aja," katanya ambil berjalan kearah pintu.

Adhit menghela nafas, ia tau Dinda masih kesal. Tak biasanya dia menolak ditraktir makan.

***

Hari itu Anggi sudah bisa duduk ditepi pembaringan. Infus yang dipasang sudah dilepas, dan dia sudah mau makan walau cuma sedikit.

"Kamu sudah merasa lebih baik?" tanya Adhit ketika datang kerumah sakit.

"Aku nggak apa-apa mas, aku mau pulang saja."

"Anggi, kamu boleh pulang kalau dokter sudah mengijinkan."

"Aku harus pulang, bukankah dokter tak bisa menemukan penyakit apapun ditubuhku ini? Kalau nggak boleh aku mau pulang sendiri."

"Baiklah, baiklah, aku akan bicara nanti dengan dokternya, kalau sa'atnya visite kemari."

"Aku sudah mengemasi semua barang-barang, sudah aku masukkan kedalam tas besar itu."

Adhit melihat tas besar yang semula dipakai untuk mengirim baju ganti Anggi, sudah terletak dimeja, penuh dengan pakaian atau mungkin juga semua barang keperluan Anggi selama dirumah sakit.Adhit meng geleng-gelengkan kepalanya.

"Mas belum mendapat kabar tentang mbak Mirna?" tiba-tiba Anggi bertanya, membuat Adhit terkejut.

"Belum,"jawab Adhit singkat."

"Mas, katanya bapaknya mbak Mirna itu menjadi mandor bangunan. Bagaimana kalau kita mencari kesetiap proyek bangunan yang sedang dikerjakan?"

"Apa? Ada banyak proyek yang sedang dikerjakan dikota ini, mungkin ratusan, atau bahkan ribuan. Bagaimana kita mencarinya?"

"Namanya orang berusaha kan harus dijalani betapapun susahnya."

"Anggi, kamu masih memikirkan itu lagi."

"Apa mas tidak?"

Aduh...  walau benar, masa Adhit harus mengakuinya?

"Berusahalah terus mas, demi kebahagiaan mas."

"Aku akan menemui dokter dulu ya, nggak usah menunggu dokternya visite kemari," kata Adhit sambil melangkah keluar dari ruangan itu.

Anggi menghela nafas. Ia tau suaminya berusaha untuk tidak menyakitinya lagi. Suaminya berusaha mengingkari perasaannya sendiri, tapi Anggi tak ingin hidup dalam situasi yang penuh ke pura-puraan ini. Pura-pura cinta, pura-pura setia, aduhai, kemana perginya Mirna? Diam-diam Anggi berjanji akan mencarinya  sendiri, entah bagaimana caranya.

***

Hari itu Anggi memang boleh pulang kerumah. Namun bu Susan tak pernah mau menjenguknya. Ia kesal terhadap anaknya karena selalu menutupi kelakuan buruk suaminya. Masa sih aku tak bisa membedakan, tatapan dua pasang mata yang begitu mesra, tangan yang saling bertaut. Tidak, kalau Anggi tak mau aku membelanya, melindunginya, ya sudah, kata batin bu Susan.Bahkan sa'at sakitpun dokter tak menemukan penyakit apapun ditubuhnya, berarti hatinya yang sakit, jiwanya tertekan. Tapi dia tak mau mengakuinya. Masih kata hati bu Susan, kesal.

Bu Broto menyambut kepulangan cucu menantunya dengan suka cita. Bu Broto sangat mengerti bagaimana perasaan Adhit, dan ia ingin menunjukkan pada Anggi bahwa dia menyayanginya.

"Anggi, kamu mau dimasakin apa besok?" tanya bu Broto pada suatu sore. 

"Terserah eyang saja. Nanti Anggi juga mau ikut memasak bersama eyang dan yu Supi/"

."Jangan Nggi, biar kamu benar-benar sehat dulu."

 "Eyang, Anggi kan enggak sakit."

"Jangan mengerjakan apapun dulu, beristirahat dan tenangkan pikiran kamu. Itu pesan Adhit pada eyang, jadi eyang harus melakukannya. Nanti kalau Adhit marah bagaimana?"

"Masa sih, mas Addhit akan marah?"

"Suami kamu itu sangat menyayangi kamu, jangan sampai kamu jatih sakit lagi. Nurut ya, cah ayu," kata bu Broto sambil mengelus kepala Anggi.

***

Namun hampir setiap hari Anggi pamit untuk ber jalan-jalan. Bu Broto melarangnya, tapi selalu dijawabnya bahwa ia akan pergi sebentar saja. Ingin tau keadaan sekitar, atau apalah alasannya. Jadi mau tak mau bu Broto juga mengijinkannya.

"Jangan lama-lama ya..." selalu begitu pesannya.

"Iya eyang, cuma jalan-jalan sebentar saja. Bosan hanya diam dirumah saja," selalu begitu juga jawabnya.

Anggi terus melangkah. Udara mendung, jadi tak begitu terasa panasnya. Ramai disekitar jalanan itu. Hiruk pikir kendaraan bermotor dan mobil yang lalu lalang, sungguh membuat suasana menjadi bising. Sebising perasaan Anggi karena ber hari-hari dia mencari belum juga ditemukan siapa yang dicarinya.

"Ayahnya seorang b uruh bangunan. Sudah banyak ia menemui beberapa pekerjaan bangunan disekitar rumahnya, namun tak ditemuinya ayah Mirna. Anggi sendiri bingung, ia tak tau nama ayahnya Mirna, setiap kali bertanya kepada salah satu pekerja bangunan, pertanyaannya adalah apakah mandor bangunan ini punya anak namana Mirna? Tak seorangpun memberikan jawaban atas pertanyaannya. Anggi lupa, apakah seorang mandor bangunan harus mengatakan kepada semua orang bahwa dia punya anak namanya Mirna.

Bodohnya aku ini, bisik batin Anggi. 

"Aku harus bertanya pada mbak Dewi, pasti dia tau nama ayahnya Mirna," bisik Anggi pelan. Ia harus mencari taksi karena ia harus menemui Dewi siang itu juga.

Anggi tak sadar bahwa dia sedang berjalan semakin jauh dari rumah. Ada rasa penat dn letih tapi tak dirasakannya. Ia baru memanggil sebuah taksi on line. Ia berdiri menepi, karena angin telah menyibakkan mendung yang semula menggantung, dan panas kembali menyengat kulit tubuhnya. Dibelakangnya banyak pekerja bangunan berlalu-lalang, yang tadi Anggi sudah berbicara dengan salah satunya ketika menanyakan ayahnya Mirna.

"Lama benar taksinya, sebenarnya tau tempat ini tidak sih?" keluh Anggi yang mulei merasa lemas. Ia lupa, tadi belum makan sesuap nasipun. 

Ketika tubuhnya limbung, seorang laki-laki setengah tua ada didekatnya, dan segera menyangga tubuhnya.

"Kenapa mbak?" 

"Aku... menunggu.. taksi....," bisiknya lemah.

Laki-laki setengah tua itu mengambilkan bangku yang ada didalam bngunan itu, lalu mempersilahkan Anggi duduk.

"Duduklah sebentar," laki-laki itu kemudian berlari kedalam, lalu keluar lagi membawa gelas berisi teh hangat. Jatah minum para buruh bangunan itu.

"Minumlah mbak, supaya lebih segar."

"Terimakasih, " jawabnya sambil meneguk teh hangat itu, dengan tangan gemetar.

"Apa mbak perlu makan?"

"Tidak.. tidak.. aku mau pulang. Oh ya pak, kenalkan, nama saya Angi."

"Oh, mbak Anggi, iya, saya Kadir mbak.."

"Bapak bekerja disitu?" tanya Angg lemah, sambil menunjuk kearah bangunan yang sedang dikerjakan.

"Iya mbak... "

Anggi ingin bertanya lebih jauh, tapi sebuah mobil berhenti. Kaca depan terbuka..

"mBak Anggi?"

"Oh, iya.. itu taksi saya yang saya pesan sudah datang," katanya sambil berdiri. Pak Kadir membantunya, dan memapahnya mendekati mobil.

***

Dewi terkejut ketika melihat sebuah mobil berhenti, tapi penumpangnya ta kunjung turun. Dewi mendekati mobil itu, dan melihat Anggi didalamnya, sedang membuka dompet untuk membayar taksinya.

"Anggi...?" kata Dewi yang kemudian membuka pintu mobilnya.

"Aduh mbak, tolong, ada uang duapuluh lima ribu rupiah? Ternyata aku tak membawa uang sepeserpun.

"Ya ampuun Anggi, ada.. ada.. ayo turunlah dulu,"

Anggi turun. Dewi melihat wajah cantik itu tampak pucat. Ia ingin berlari kedalam untuk mengambil uang, tapi ketika melihat wajah Anngi, ia mengurungkannya. Ia menuntun Anggi sambil berteriak kepada pengemudi takksi itu.

"Sebentar ya pak."

"Baik, bu"

Dewi menuntun Anggi kesebuah sofa panjang, dan menyuruhnya berbaring setelah menata bantal diujungnya.

"Berbaringlah sebentar, kamu lemas sekali. Aku akan mengambil uang untuk membayar taksimu itu."

Anggi tak kuasa menolak. Ia memang harus membaringkan tubuhnya karena sudah tak kuat lagi menyangganya.

Dewi kembali setelah membawa segelas susu soklat panas yang kemudian diulurkannya pada Anggi. Dewi ingat, dulu Anggi sangat senang minum susu soklat karena bu Susan yang mengatakannya ketika belanja disitu.

"Ini, minumlah dulu, biar kamu lebih segar."

Anggi mengangkat tubuhnya dibantu Dewi, lalu meneguk soklat susu itu hampir setengahnya, kemudian ia membaringkan lagi tubuhnya.

"Kamu dari mana? Mengapa tidak kerumah mama kamu?"

"Aku.. memang mau kesini mbak.."

"Ada apa? Mana suami kamu?"

"Dikantor kan mbak,"

"Oh, iya tentu saja, ini jam kerja, tapi sepertinya sudah sa'atnya dia pulang. Mungkin sebentar lagi. Ini jam 3 sore."

"Oh..." keluh Anggi sambil memejamkan matanya.

"Sebenarnya mau apa kamu datang kemari? Bukan aku menolaknya, bukan tak suka, tapi keadaanmu seperti ini. Buknkah kamu sudah sehat? Sebulan lalu kamu sdak pulang dari rumah sakit bukan?"

"Aku memang merasa sehat. Tapi aku ingin mencari dia... mbak Mirna.."

"Astara... Anggi...Mirna sudah lama tidak bekerja disini."

"Iya aku tau..tapi aku mencarinya terus. Bukankah bapaknya menjadi mandor bangunan?"

"Iya... maksudnya?"

"Aku datangi setiap ada pekerjaan bangunan..."

"Apa ??" 

"Iya... tapi.. aku nggak tau siapa nama ayahnya Mirna. "

"Ya Tuhan, beribu tempat ada pekerjaan bangunan Nggi, bagaimana kamu mencarinya?"

"Aku hanya ingin tau, siapa nama ayahnya Mirna."

"Namanya pak Kadir, tapi bagaimana kamu bisa menemukannya?"

"Siapa mbak, Kadir?"

"Iya..."

"Aduuh, aku pernah mendengar nama itu, tapi dimana ya?" Rupanya tadi dalam keadaan lemas dan pusing ia tak begitu memperhatikan ketika penolongnya menyebutkan namanya. Anggi terus mengingat ingat, tapi tak juga ditemukannya dimana ia bertemu orang itu. 

***

Pak Kadir tiba dirumah kontrakannya yang baru, sangat heran melihat Mirna sudah ada dirumah.

"Kok sudah pulang nduk ?"

"Iya pak, jam dua tadi Mirna sudah pulang. Majikan pergi keluar kota selama tiga hari, jadi Mirna bisa libur."

"Oh, syukurlah."

"Mirna sudah buatkan teh hangat buat bapak."

"Wah, terimakasih nak."

"Dan cmilan sukun goreng yang masih hanyat."

"Wah, menyenangkan sekali. Bapak mandi dulu sebentar ya," kata pak Kadir sambil terus melangkah kebelakang.

Mirna menunggu sambil duduk di kursi. Sudah hampr dua bulan mereka pindah dirumah kontrakan yang baru. Lebih kecil, tapi melegakan karena Mirna bisa menghindar dari kejaran Anggi. Mana mungkin ia mau dinikahi seorang laki-laki yang sudah punya isteri, biar bagaimanapun besar rasa cintanya. Tidak, Mirna tidak sejahat itu. Dan beruntung ia bisa mendapat pekerjaan baru, disebuah keluarga yang membutuhkan pengasuh buat anaknya. Tidak apa-apa, itu kan pekerjaan halal. 

"Segarnya setelah mandi..," kata pak Kadir sambil duduk dikursi didekat Mirna, dan langsung menghirup teh hangatnya.

"Hm, selalu enak teh buatan kamu."

"Ah, Mirna kira juga sama saja semua teh dimanapun. Itu sukunnya pak, tadi beli di tempat orang jual gorengan."

"Iya, iya.. masih hangat. Oh ya Mirna, kamu pernah cerita tentang isterinya nak Adhit, itu namanya siapa ya?"

"Oh, bu Anggi, memangnya kenapa? tanya Mirna dengan hati ber debar-debar.

"Tadi bapak ketemu dia.."

"Apa?"

"Dia sedang menunggu taksi. tiba-tiba seperti orang mau pingsan begitu, lalu aku menolongnya, memberinya tempat duduk dan minum teh hangat. Bapak menungguinya sampai taksi yang ditunggu tiba."

"Darimana bapak tau bahwa namanya Anggi? Kan bapak belum pernah melihatnya?"

"Dia mengatakan siapa namanya, dan bapak juga memperkenalkan diri.

"Ya Tuhan, lalu bagaimana?"

"Taksinya kemudian datang, lalu dia pergi naik taksi. Aku mencoba meng ingat ingat, kapan pernah mendengar nama itu. Benar kan, itu isterinya nak Adhit.

"Pak, lain kali kalau bapak ketemu dia, apalagi sampai dia menanyakan nama Mirna, bapak jangan menjawab apapun. Pura-pura tidak tau saja."

"Begitu ya?"

"Napak kan tau, alasan apa yang membuat Mirna mengajak pindah dari rumah kontrakan kita yang lama?"

"Iya, iya... aku tau.. tapi mungkinkah dia masih akan mengejarmu?"

"Entahlah pak, Mirna tidak tau, tapi Mirna takut sekali."

"Iya, semoga dia tidak datang kembali. "

***

 besok lagi ya

 

 

 

 

 

 ,

 

 

 

 

 


10 comments:

  1. Smg happy ending ya mb tien.. nggak sabar nunggu the end..

    ReplyDelete
  2. Anggi istri yg baik, dan mirnapun perempuan yang bsik bingung bu tien .... Moga jangan sampai keduanya tersakiti .....

    ReplyDelete
  3. Di tunggu kelanjutannya seru banget

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah yg di tunggu keluar

    ReplyDelete
  5. Penasaran.. lanjutannya lg mbak

    ReplyDelete
  6. Lanjut ya mba tien. Jgn tamat hehehe

    ReplyDelete
  7. Hehe tiap hr ngecek cerbung ... Bikin penasaran aja

    ReplyDelete
  8. Penasarannnnnnnnn ditunggu kelanjutannya

    ReplyDelete
  9. Dah ga sabaaarr smoga happy ending . . Terutama buat mirna kasian dari sekretaris jd baby sitter

    ReplyDelete
  10. Mba tien lanjut dong udah kangen nih maaf agak memaksa hehe

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 31

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  31 (Tien Kumalasari)   Sinah terkejut. Pandangan mata simboknya sangat terasa menghujam di dadanya. Ia tah...