Wednesday, November 6, 2019

DALAM BENING MATAMU 41

DALAM BENING MATAMU  41

(Tien Kumalasari)

Mirna menyukai sikap ramah Dewi, ibunya Bima, kemudian ia berpamit untuk pulang lebih dulu.

"Kenapa buru2?" tanya Dewi.

"Iya mbak, saya sama bapak, kasihan kalau nanti kecapean.

"Baiklah, hati-hati dijalan ya," kata Dewi ramah.

"Terimakasih mbak."

"Aku juga berterimakasih karena telah menolong Bima."

"Iya, kaget saja, karena nangisnya pas disam[ing saya. Hallo Bima, jangan nangis lagi ya," kata Mirna sambil menowel pipi Bima.

Anak kecil itu mengangguk senang, lalu melambaikan tangan ketika Mirna dan bapaknya berlalu.

"Anak mama tadi main kemana?" tanya Dewi sambil mencium pipi anaknya, lalu mengajaknya berjalan masuk kembali. Dari jauh dilihatnya Adhit dan Dinda sedang makan es krim disudut agak jauh dari keramaian.

"Hai Dhit.."

"Hai, Wi... ada apa anakmu? Habis nangis ya?"

"Iya, tadi lari-lari sama anak kecil lain kesebelah sana, lalu tiba-tiba nangis nyariin aku."

"Oh, iya... begitu banyak tamu sih..."

"Iya, untung tadi ada mbak-mbak yang kemudian menggendongnya lalu menemukan  aku."

"Untung kamu nggak diculik ya Bim, kalau yang diculik ibumu sih pasti ngikut aja..." Canda Adhit 

"Enak aja !! Eh.. itu  siapa? Cantik bener..." tiba-tiba Dewi melihat Dinda sedang mengawasi mereka. Diturunkannya Bima dari gendongan.

"Itu Dinda, hei.. Din.. sini.. mas kenalin sama orang cantik nih.."

Dinda meletakkan gelas es krimnya yang memng sudah habis, lalu berjalan mendekat. Dengan tersenyum disalaminya perempuan cantik teman Adhit.

"Hallo, aku temannya Adhit kuliah dulu. Ini....." Dewi bermaksud bertanya apakah dia pacar Adhit.

"Dia ini adalah..."

"Saya adiknya," jawab Dinda buru-buru karena khawatir Adhit mengakuinya sebagai pacar, seperti ketika beberapa temannya bertanya.

Adhit tertawa keras.

"Hm, adiknya atau adiknya, kan adikmu cuma Ayud?"

"Saya adk angkat mbak," kata Dinda lagi.

"Oh, gitu ya..."

"Sedih aku, nggak ada yang mau jadi pacarku.." keluh Adhit sembil merangkul Dinda.

"Kamunya aja yang sombong, dari dulu didekatin gadis cantik-cantik nggak ada yang diterima jadi pacar."

"Bukan sombong.. nelum ada yang cocok. Aku cocog sama ini, tapi ditolak.." kata Adhit sambil melirik Dinda.

"Nggak mau aku, terlalu tua," kata Dnda yang disambut tawa keduanya.

"Bagaimana kabar kamu Dewi? Masa kamu juga akan menjanda terus? Banyak bujang ganteng, banyak bujang keren.. "

"Gila kamu ya, aku belum janda, kami belum pernah bercerai."

"Oh, belum ? Dulu kamu bilang dia ninggalin kamu."

"Tapi dia nggak nyeraiin aku, aku diamin saja, akan aku balas dia pada suatu hari nanti, ketika menemukan lagi perempuan yang mau dipermainkannya."

"Dasar orang gila."

"Ya udah, lihat paa tamu sudah pada pulang, aku juga mau pulang nih."

"Pulang sama siapa?"

"Sendiri lah, memangnya mau sama siapa?"

"Hati-hati ya, kapan-kapan aku main kerumah deh."

"Bener ya?"

Dewi pergi setelah menyalami Adhit dan Dinda.

Dinda seperti teringat sesuatu..

"Mas, itu bukan Dewi yang pernah mas ceritakan itu?"

"Iya, isterinya Aji, ternyata belum dicerai, berarti masih isterinya."

"Kasihan anaknya."

"Kapan-kapan kita main kesana ya?"

"Ogah, mas Adhit ngaku-ngaku  kepada semua orang kalau aku pacar mas Adhit, aku jadi nggak laku dong." keluh Dinda sambil cemberut. Lalu Adhit tertawa ngakak.

***

Sebulan perhelatan itu telah berlalu, dan Ayud dan Raka memilih mengontrak rumah sendiri. Raka menolak ketik Adhit ingin membelikan rumah. Ia ingin membeli dengan hasil kerjanya sendiri.

"Nggak mas, terimakasih banyak. Raka ingin nanti membeli dengan uang hasil jerih payah Raka sendiri. Dan Ayud menerimanya kok."

"Baiklah, terserah kamu saja, yang penting adik-adikku hidup bahagia."

"Do'akan yang mas, dan semoga mas Adhit juga segera menemukan jodoh yang cocog."

"Sebenarnya ada, cuma rintangannya agak berat diterjang."

Raka tersenyum, ia sudah mendengar dari Ayud bahwa Adhit menyukai adiknya, namun dilarang oleh kedua  orang tuanya. Raka hanya mengira kalau larangan itu disebabkan karena Dinda masih sekolah.

"Sabarlah mas, jodoh itu bukan kita yang menentukannya. Kita hanya boleh memilih, tapi keputusan tetap ada diarasNya."

"Iya aku tau."

Dan ketika Ayud dan Raka benar-benar sudah pindah kerumah kontrakannya, Adhit baru merasa kesepian sa'at dirumah.

Untunglah di kantor mereka masih selalu ketemu.

***

Siang itu ketika menjelang istirahat siang, Adhit mendengar Mirna menerima telepone dari seseorang. Pelan sekali Mirna menjawabnya, tak jelas apa yang dibicarakan dan dengan siapa. Adhit tiba-tiba teringat akan Aji yang seringkali menjemput Mirna. 

"Mirna.." panggil Adhit ketika Mirna sudaah menutup ponselnya.

"Ya pak.."

"Ma'af, sekedar ingin tau saja, apa kamu pacaran sama dia?" Adhit sengaja tak menyebut nama Aji, karena ia tak ingin Mirna tau bahwa dirinya mengenal Aji.

"Dia siapa pak?"

"Itu, yang sering menjemput kamu."

Mirna terkejut, karena ternyata pak bos gantengnya memperhatikan kedekatannya dengan Aji. Tapi Mirna sungkan mengakui adanya hubungan itu. Entah mengapa, Mirna tak ingin Adhit tau.

"Oh, nggak pak, dia itu kan yang menabrak bapak ketika bapak mau menyeberang, mungkin karena merasa bersalah dia sering mengunjungi bapak, mengajak makan bapak dan kadang-kadang saya diajaknya," runtut sekali jawaban Mirna, seperti ia telah menyusunnya baik-baik apabla suatu waktu Adhit menanyakannya.

"Oh, ya sudah..." kata Adhit singkat. Ia tak ingin melaanjutkan kata-katanya, atau bercerita tentang siapa Aji sesungguhnya kalau memang tidak ada apa-apa,

Ketika makan siang itu Mirna pamit untuk keluar, tapi Adhit tak menanyakan juga apakah dia bersama Aji. Tiba-tiba Adhit ingin sekali kerumah Dewi. Pertemuan sebulan lalu yang kemudian Dewi mengatakan bahwa belum bercerai dari Aji, membuatnya ingin berbincang lebih jauh tentang laki-laki itu.

"Hallo..." sapa Adhit menelpon Dewi.

"Hai, tumben menelpon, ada apa nih?" jawab Dewi renyah.

"Lagi dimana kamu?"

"Di toko lah, kan itu pekerjaanku..Ada apa?"

"Pengin ngobrol, tokonya masih didepan rumah kamu kan?"

"Iya lah Dhit, dimana lagi, Ayuk main kerumah, aku masak enak siang ini."

"Wauw, ini yang aku suka, memang jam nya makan siang kan?"

"Sudah jangan banyak ngomong, segera datang atau aku akan menghabiskan sendiri semua masakan aku."

"Ya..ya, aku segera datang."

***

Adhit senang bertemu teman lamanya. Dulu mereka sangat dekat, tapi setelah Dewi menikah kemudian Adhit jarang mendengar beritanya.

"Aku kira kamu sudah bercerai," kata Adhit disela sela makan siang itu. Ada kakap asam manis yang dulu sering mereka makan disebuah warung disela sela waktu kuliah mereka.

"Aku nggak minta cerai, dan dia juga nggak pernah datang kemari.

"Mengapa kamu nggak minta cerai saja?"

"Nggak, keenakan dia."

"Kok gitu, kebanyakan perempuan memilih untuk bercerai apabila suaminya tak lagi memperhatikannya. "

"Aku bukan perempuan kebanyakan," canda Dewi.

"Apa kamu nggak ingin menikah lagi? Kamu masih muda, dan anakmu pasti butuh sosok seorang ayah."

"Belum terpikirkan.."

"Apa maksudmu?"

"Aku ingin membalas perlakuan Aji apabila dia ingin mendekati perempuan lain. Bukankah aku masih isterinya? Aku yakin di mana-mana dia mengaku bujang. Nanti aku akan menghancurkan hubungan dia apabila dia serius dengan perempuan lain."

"Oh, itu rencana kamu?"

"Setelah itu baru aku mau bercerai."

"Iya, kamu kan masih muda, dan cantik, pasti banyak pangeran ganteng yang akan melamar kamu."

"Kamu itu aneh, menyuruh aku mencari pangeran ganteng, kamu sendiri bagaimana? Apa ingin jadi perjaka tua?" 

"Nanti lah.. katanya jodoh itu dikasih dari Sana," kata Adhit sambil menunjuk keatas.

"Benar..."

Selesai makan siang itu Dewi mengajak Adhit melihat tokonya.

Toko itu terbilang kecil, tapi ada hampir semua kebutuhan se hari-hari disana. Beras, gula, menteka, kecap, bermacam makanan instan, permen sabun..dan juga alat-alat kecantikan disudut agak kebelakang,  Bedak, lipstik sabun mandi..  ada air mineral.. es krim.. tiba-tiba Adht teringat Dinda yang sangat suka es krim. seandainya ada Dinda pasti langsung melahap beberapa rasa pilihan yang disukainyaa. Hm, gadis itu benar-benar membuatnya gemas. Apakah suatu hari nanti dia akan jatuh hati juga padanya? Entahlah, Adhit juga masih bingung. Ya ampun, mengapa dimanapun dia berada selalu ada saja yang mengingatkannya pada Dinda?

"Mengapa senyum-senyum Dhit? Ini toko kecil, bukan seperti perusahaan kamu yang besar dan hebat." Kata Dewi yang mengira Adhit mentertawakan toko nya.

"Bukan, aku teringat temen yang suka sekali es krim, kalau ada dia pasti sudah dihabiskan sekotak es krim itu."

"Wah, kenapa nggak diajak? Itu ya, yang katanya adik angkat kamu?"

"Iya.. Tapi Wi, ini sebuah mini market, semuanya ada, kamu hebat bisa mengelolanya.

 " Ada dua orang karyawan yang menunggui toko ini."

"Ini sebuah mini market, semua ada disini."

"Aku hidup dari sini Dhit, untuk makan aku, menyekolahkan anakku .."

"Oh ya, mana anakmu?" 

"Besok kan libur, biasanya kalau libur dia dijemput oleh kakeknya. Baru besok sore dia kembali."

"Bapak ibu masih sehat ya Wi?"

"Masih Dhit.. kapan-kapan tengoklah dia, pasti mereka senang."

"Iya, kalin kali aku kesana, masih di Penumping?"

"Masih lah.. " 

"Aji nggak pernah kemari, sekalipun?"

"Lhah, kembali ke Aji lagi kamu tuh. Ya nggak pernah, dia sudap pergi dan nggak mungkin kembali. Kamu tau Dhit, aku mendengar dia mau menikah."

"Oh ya, dengar dari siapa?"

"Tetangganya yang dulu ada yang pindah kedekat rumahnya bapak, dia cerita kalau mendengar bahwa Aji mau menikah."

"Benar kurangajar dia."

"Aku menunggu kapan hari pernikahan itu, biar aku buka semua kedoknya."

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


4 comments:

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...