Tuesday, November 5, 2019

DALAM BENING MATAMU 40

DALAM BENING MATAMU  40

(Tien Kmalasari)

Adhit berlari kearah ayahnya, tapi tangannya sambil menggandeng Dinda. Berkerut kening Galang melihat tangan Adhit masih memegang erat tangan Dinda ketika sampai dihadapannya. Adhit memang  sengaja melakukannya, ia sudah berjanji dalam hati, akan terus memperjuangkan cintanya. Kalau tak berhasil, ia harus tau apa penyebabnya.

"Dinda, sepertinya Ayud mencari kamu," tegur Galang masih dengan wajah tak suka. Dinda yang merasa tak bersalah tak bisa menangkap arti pandangan itu, ia berlari kebelakang, untuk menemui Ayud.

Galang menghela nafas.

"Adhit, tolong antar ibumu untuk ngepas pakaian. Bukan begitu bu?" tanya Galang kepada isterinya.

"Iya Dhit, ibu berjanji kesana hari ini," tukas Putri.

Adhit mengangguk, i mengambil kunci mobil dan menyiapkan mobil itu didepan, sambil menunggu ibunya. Ada rasa kesal melihat pandangan mata ayahnya tadi, namun ia tak berani mengucapkan apapun. Skap ayahnya sudah jelas, melarang berlanjutnya hubungan Adhit dan Dind kearah percintaan. 

Dalam perjalanan mengantar ibunya itu Adhit tak banyak bicara. Ia hanya menjawab ketika ibunya bertanya. Putri bukannya tak mengerti atas sikap anaknya. Ia tau Adhit sedang kesal.

"Adhit, lihat, wajahmu jelek kalau cemberut begitu," canda Putri.

"Adhit nggak cemberut, memang wajah Adhit seperti ini kok."

"Nggak, ibu tau kamu lagi kesal."

Adhit menghela nafas. Pasti ibu dan bapaknya harus tau kalau dirinya sedang kesal. Sangat kesal.  Tapi Adhit tak mengatakan apapun. Ia yakin tak akan mendapat jawabannya seandainya ia bertanya sekalipun. Mendesak.. Itu sudah sering dilakukannya.

"Adhit, kau harus percaya bahwa jodoh itu bukan kita yang bisa menentukannya. Nanti akan tiba sa'atnya kamu akan mendapatkan jodoh yang sangat baik dan bisa membahagiakanmu.

"Apa menurut ibu Dinda itu gadis yang tidak baik?" penasaran akhirnya Adhit bertanya juga, barangkali akan ada jawab yang diharapkannya kali itu.

"Bukan begitu, ibu tak mengatakan dia bukan gadis yang kurang baik, dia baik cantik, pintar, ibu percaya itu."

"Lalu...?"

"Tapi dia bukan gadis yang pantas untuk kamu."

"Mengapa dan kenapa, itu yang selalu Adhit ingin tau tapi tak pernah ada jawaban yang memuaskan. Dan percayalah ibu, Adhit akan terus memperjuangkan cinta Adhit, sampai kapanpun." tegas kata Adhit.

"Adhit...!!"

"Kita sudah sampai ibu, bukankah disitu butiknya?"

Adhit menghentikan mobilnya didepan butik langganan ibunya, lalu turun dan membukakan pintu samping, mempersilahkan ibunya turun. Putri turun dengan perasaan gelisah. Sudah dua kali didengarnya bahwa Adhit akan terus memperjuangkan cintanya.

***

Perhalatan itu digelar dengan sangat meriah, dihadiri oleh teman, sahabat, dan saudara dari fihak mempelai laki-laki dan perempuan. 

 Rona bahagia tampak memancar dari kedua mempelai, diantara gemerlap pesta dan ucapan selamat yang tak kunjung henti. Disebuah sudut, duduk Mirna disertai ayahnya yang juga mendapat undangan. Kadir menatap mempelai dengan mata berbinar. Tak lama lagi ia akan menikahkan buah hatinya, bersama seorang laki-laki baik yang sangat penuh perhatian. Diam-diam Kadir menyesal, mengapa Mirna melarangnya mengajak Aji datang ke pesta itu.

"Sebenarnya nggak apa-apa seandainya adi kita mengajak nak Aji juga ta nduk," kata Kadir.

"Ya nggak enak pak, yang diundang kan cuma bapak sama Mirna," jawab Mirna sedikit kurang suka. 

"Tapi kan dia calon suami kamu ta nduk, bapak kira nggak apa-apa, sekalian memperkenalkan dia kepada nak Adhit .."

"Ah, bapak itu... Mirna masih sungkan mengatakannya."

"Lho, kan sebentar lagi dia juga akan menjadi suami kamu to nduk.."

"Iya, tapi bukan sekarang pak, ada sa'atnya nanti kita memperkenalkan dia kepada semua kenalan Mirna," kata Mirna sambil menatap kearah sebelah kanan pelaminan. Dilihatnya Adhit berdiri, mengenakan pakaian Jawa, dengan beskap berwarna kehijauan. Berdesir hati Mirna, alangkah tampannya dia, alangkah mempesona, seandainya Mirna bisa bersanding nanti bersama dia di pelaminan, bisik batin Mirna. 

"Itu siapa nduk?" tanya Kadir ketika dilihatnya Mirna selalu memandangi pria berpakaian Jawa didekat pelaminan itu.

"Itu? Itu pak Adhit, bis nya Mirna," jawab Mirna tanpa mengalihkan pandangannya dari bos gantengnya.

"Oh, itu ya,.. tadi bapak sudah bersalaman, kok belum tau siapa dia."

"Iya," jawab Mirna singkat.

"Besok kalau kalian menikah, apakah juga akan semewah ini?"

"Mirna nggak suka pak, Mirna hanya ingin menikah secara sederhana, tak usah mengundang banyak tamu, hanya kerabat atau teman dekat saja. Nggak usah di gedung, cukup di KUA." kata Mirna dengan wajah muram.

"Tapi mana mungkin nak Aji mau menikah sederhana? Dia kan punya uang... dan.."

"Nanti Mirna akan bilang, yang penting kan sah, tidak usah ber mewah-mewah, ya kan pak? Kita ini kan selamanya orang-orang yang sederhana. Apa bapak ingin perhelatan semewah ini?"

"Nggak juga, kamu benar nduk, yang penting sah, dan asalkan kamu bahagia.

Mirna me longok-longok.. bayangan priya pakai beskap ke hijauan tadi lunyap diantara kerumunan tamu. Banyak perempuan-perempuan cantik berebut menyalami bis gantengnya, ada yang merangkulnya dan menciumnya ber-lama-lama.. aduuh ternyata banyak juga penggemar pak Adhit, kayak artis saja, keluh Mirna yang kehilangan pandangan manisnya.

Telephone Mirna berdering, dari Aji, Mirna segan mengangkatnya, tapi sungkan sama bapaknya.

"Hallo...," jawabnya.

"Masih ramai sekali, belum mau pulang?" tanya Aji dari seberang sana.

"Oh, belum, masih lama.." jawab Mirna.

"Mau dijemput jam berapa?" tanya Aji mendesak.

"Nggak usah, belum tau mau pulang jam berapa, nanti kami naik taksi saja."

"Aku tungguin didepan sampai kamu pulang ya?"

"Jangan, masih lama..."

"Apa kita pulang sekarang saja?" tanya pak Kadir menyela.

"Nggak pak, nggak enak.. nanti saja.." jawab Mirna sambil memandang ayahnya.

"Bagaimana?"

"Mas Aji pulang saja dulu, saya sama bapak nanti naik taksi. Oke mas." lalu Mirna menutup ponselnya.

"Mengapa menolak, nanti nak Aji kecewa," tegur pak Kadir.

"Nggak enak pak, masa dia mau nungguin diluar sampai kita selesai."

"Tapi kalau kita pulang sekarang kan nggak apa-apa ?"

"Jangan pak, nggak enak pulang duluan, Mirna ini kan bawahannya pak Adhit, barangkali  nanti akan dirusuh apa atau apa," jawab Mirna beralasan, padahal tugasnya hanya menggandeng Ayud keluar dari kamar rias ke kursi pelaminan, dan itu sudah dilakukannya pada awal acara tadi.

Pak Kadir hanya diam. Bagaimanapun ia tak tau tentang urutan acara semeriah itu, karenanya tak banyak yang bisa dikatakannya.

***

Adhit yang merasa gerah setelah menyalami kerabat dan teman-temannya kemudian tampak men cari-cari. Tadi dilihatnya Dinda dandan cantik sekali. Dengan kebaya merah berpadu kembang-kembang hijau, dan dengan konde ala puteri Solo .. dan kain sidamukti yang membalut ketat tubuhnya, alangkah mempesona, tapi Adhit belum sempat mendekatinya. Ia hanya melihat ketika Dinda menggandeng Ayud keluar, lalu Adhit punya banyak tugas yang lain, yang membuatnya harus kesana kemari, sambil melayani salam teman dan kerabatnya. Dimana si centhil itu, pikirnya. Ia melihat ayah dan ibunya duduk disamping pelaminan sebelah kanan, dan ayah ibunya Raka disebelah kiri. Pasti tak ada alasan waktu bagi mereka untuk melarangnya mendekati Dinda, Tapi dimana gadis itu? Astaga, Adhit kehilangan senyum dan harapannya ketika melihat Dinda duduk disamping bu Broto. Hm.. eyang putrinya ini juga termasuk penghalang baginya. Tapi Adhitama nekat. Ia mendekati Dinda dan melambaikan tangannya kearahnya.

"Ada apa?" tiba-tiba bu Broto bertanya. Tangannya memegang lengan Dinda, seakan melarang Dinda memenuhi panggilan Adhit.

Adhit mendekat.

"Penting eyang..." bisik Adhit yang kemudian menarik Dinda menjauh. Bu Broto hanya bisa memandanginya, karena disampingnya duduk bu Marsih yang sama-sama nenek dari mempelai.

Dinda berjalan ter saruk-saruk karena kainnya sempit, dan Adhit menariknya tanpa ampun.

"Adhuuh mas, aku nggak bisa jalan cepat nih..." keluh Dinda."

"Apa mau aku gendong?"

"Idiiih... mas Adhit kumat deh. Ada apa sih ... penting apanya?"

Adhit membawa Dinda ketempat yang agak jauh dari keramaian. Ia mengambil seglas minuman lalu diberikannya pada Dinda.

"Aku haus, temani aku minum."

"Tapi aku lapar.."

"Nanti saja... kan para tamu lagi pada makan.."

"Tadi bilang penting ... penting apa?"

"Penting lihat kamu.. dari tadi belum ketemu sih.. hm.. cantiknya kamu.." 

"Mas Adhit.. kayak orang lagi pacaran saja..  "

"Emangnya nggak pacaran ?"

"Ih.. nggak mau..."

"Awas ya, jangan bilang aku orang tua lagi..." ancam Adhit sambil menutup bibir Dinda dengan jarinya.

Dinda tertawa...

"Ayo mas, ambilin aku makan dong, kita makan disini juga nggak apa-apa, jadi kalau nambah nggak malu-maluin."

"Dasar gembul !!"

Adhit melambai kearah pelayan yang sedang menghidangkan makanan.

***

"Setelah ini kita pulang ya, kayaknya setelah keluar es krim lalu pesta pasti bubaran," kata pak Kadir.

"Iya pak, kita bisa pulang lebih dulu.. kalau nanti bareng sama tamu-tamu yang lain malah kelamaan..

Namun ketika Mirna mau berdiri, disebelahnya dilihatnya seorang anak kecil berumur empat tahunan sedang menangis.

"Mama... mamaa..." tangis anak itu.

"Eh... adik ganteng.. dimana mamanya?"

"Mama dimana... mama...?"

Mirna berdiri, digendongnya anak kecil itu, lalu ia mencoba men cari-cari barangkali ana seorang ibu yang kehlangan anaknya. Mirna berjalan diantara tamu yang juga bersiap pulang.

"Mamaa... mamaa..."

"Diamlah sayang, kita cari mama ya... sudah.. jangan nangis... ayuk kita cari mama.."

Mirna terus men cari-cari.. lalu dilihatnya seorang wanita cantik bergegas mendekatinya.

"Mamaaaaa..." anak itu berteriak, ketika melihat wanita yang datang mendekat.

"Bima... ya ampuun.. kamu tadi kemana?"  Lalu wanita itu mengambil anaknya dari gendongan Mirna..

"Ma'af ya, merepotkan.."

"Nggak apa-apa mbak, syukurlah sudah ketemu."

"Oh ya, kenalkan, nama saya Dewi..."

"Saya Mirna.."

***

besok lagi ya

 

 


2 comments:

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...