Thursday, October 17, 2019

DALAM BENING MATAMU 25

DALAM BENING MATAMU  25

(Tien Kumalasari)

Tiba-tiba Raka menghentikan sepeda motornya, membuat Dinda heran.

"Ada apa mas? Gembos?"

"Sst.. diam aku mau tilpun mas Adhit dulu.."

"Hallo Ka, " suara Adhit dari seberang.

"Mas, datang kemari deh, buruan. Nggak pake lama."

"Ada apa?"

"Aku seperti melihat perempuan bercadar, yang gerak geriknya mencurigakan, jangan-jangan itu ibunya Mirna.

"Oh ya, kamu dimana ?"

"Pasar Pon mas... eh.. Ngapeman... aku agak ke selatannya supermarket yang di peempatan itu. Cepet mas."

Adhit sudah menutup telephonenya, sepertinya ia juga buru-buru mendatangi tempat yang ditunjuk Raka. Tak lupa ia menghubungi kantor polisi, siapa tau itu diperlukan nanti.

"Ada apa sih mas?" tanya Dinda yang kemudian turun dari boncengan.

"Sebentar, kamu diam saja disini... tunggu dibawah pohon itu ya.."

"Lho mas, mau kemana? Hiih, aku ikut saja ah.."

"Sebentar, aku harus mengawasi seseorang..."

"Huh.. kaya ditektif ajaa..." sungut Dinda yang kemudian duduk disebuah bangku, mungkin milik pemilik warung pinggir jalan yang ketika itu belum buka atau memang tidak buka

Tak lama setelah Dinda duduk itu tiba-tiba seseorang mendekat dan duduk disebelahnya, tapi tidak menghadap kejalan, jadi duduk mereka berdampingan tapi muka bisa saling berhadapan. Dinda terkejut, itu seperti perempuan bercaping yang tadi diberinya uang. Wajahnya tertutup cadar.

"Kok duduk disini ?"

"Iya bu, nungguin kakak.."

"Lha kakaknya kemana ?"

"Tau tuh.. katanya mau mengawasi seseorang." jawab Dinda polos.

Perempuan itu terkekeh...

Dinda menoleh kearahnya, tak tau mengapa perempuan itu terkekeh. Dinda ingin berdiri dan mencoba menyusul Raka yang tadi kembali kearah supermarket.Sesungguhnya ia agak ngeri mendengar tawa perempuan disampingnya. Tapi tiba2 perempuan itu menarik lengannya.

"Tunggu nak, maukah menolongku ?"

"Oh, menolong bagaimana bu?"

"SEsungguhnya kakiku ini sakit sekali untuk dibuat berjalan. Maukah menuntun aku sampai ke gang didepan itu, nanti ada saudaraku yang rumahnya disitu, nggak jauh kok. Maukah nak?" perempuan itu menghiba. Dinda tak sampai hati menolaknya, jalan yang ditunjuk itu hanya kira-kira sepuluhan meter dari tempatnya duduk, dan kasihan juga kalau ada perempuan yang kesakitan ketika berjalan. Dinda mengangguk, lalu membantu perempuan itu berdiri, dan menuntunnya kearah gang yang tadi ditunjukkannya.

Dinda tak melihat ketika perempuan itu datang, sehingga dia tak tau, bagaimana dia bisa duduk disampingnya tadi.

"Naah, dijalan itu ya nak, belok sedikit.." kata perempuan itu sambil tetap mencengkeram lengan Dinda erat-erat. Dinda menahannya sedikit nyeri di lengan itu karena mengira perempuan itu berpegangan erat-erat karena takut terjatuh.

Keduanya sudah berbelok ke jalan kecil. Dinda menoleh kebelakang, berharap kakaknya melihatnya sedang mengantarkan perempuan bercadar itu. Namun Dinda tak melihat apa yang dicarinya.

"Dimana bu?" tanya Dinda yang mulai merasa ada yang tak beres.

"Sebentar, didepan itu, tolonglah nak, si orang tua ini... "

Beberapa langkah lagi, ada belokan ke arah kiri, Dinda menoleh lagi ke belakang, sekrang ia benar-benar cemas, ia merogoh tasnya dan mengambil ponsel. Diputarnya nomor Raka, namun belum sampai dijawab, perempuan itu merebutnya.

"Bu... itu ponsel saya..," teriak Dinda.

Tiba-tiba perempuan itu melepaskan pegangannya dan berjalan cepat meninggalkan Dinda, berbelok kearah kiri.. Dinda mengejarnya, karena ponsel itu dibawanya, namun perempuan itu tak kelihatan lagi. Ada banyak gang-gang kecil dijalan itu, dan Dinda tak mampu menemukannya. Dan sayangnya tak ada orang disekitar jalan itu, ada tukang becak melintas, tapi mana mungkin ia bisa menolongnya? Dinda memilih beebalik lagi kejalan besar, lalu berjalan ketempat dimana tadi Raka meninggalkannya. Dilihatnya Raka dan Adhit ada disana.Ada beberapa polisi juga?  Dinda berlari mendekat, lalu menubruk kakaknya sambil menangis.

"Kamu ini kemana saja? Dan ada apa?" tanya Raka sambil menepuk nepuk punggung adiknya.

"Ponselku... ponselku.. dibawa lari.."

"Siapa?"

"Perempuan bercadar yang tadi aku beri uang..."

Raka dan Adhit terkejut. Mereka sedang mencari perempuan itu, dan Dinda mengatakan bahwa ponselnya dibawa lari?

Dengan terbata ia menceritakan pertemuannya lagi dengan perempuan bercadar itu, yang pada awalnya menipun dengan pura-pura kakinya sakit, lalu kemudian dilarikannya ponselnya.

"Kemana dia?"

"Masuk ke gang itu, tapi banyak belokan disana, aku mengejarnya tapi dia menghilang."

"Bodoh aku ini.." keluh Raka.

"Susah menangkap seorang perempuan seperti itu," kata Adhit yang kemudian mengikuti beberapa polisi yang kemudian menaiki mobilnya dan membawanya masuk kedalam gang kecil itu.

"Seharusnya aku tadi terus mengawasinya, tapi aku mengira dia masih minta-minta disitu."

"Ada apa sebenarnya mas? Siapa dia?"

"Dia itu penjahat, ibunya Mirna yang telah menyiksa Mirna."

"Apa" Dinda memang tak pernah dberitau tentang ibunya Mirna itu seperti apa, jadi dia juga sama sekali tak mencurigai perempuan yang telah mengecohnya. 

"Nggak tau bagaimana, tampaknya dia sadar bahwa sedang ada yang memburunya, lalu dia mempergunakanmu sebagai tameng seandainya benar-benar terkejar. Tapi bagaimana dia tau bahwa kamu ada hubungannya dengan para pemburunya? Tak mengerti aku. Beruntung kamu selamat." kata Raka sambil memeluk adiknya.

***

Ternyata Widi mrnghilang, ia tak pernah kembali ke rumahnya karena tau bahwa rumah itu selalu diawasi oleh polisi. 

Sementara itu Mirna sudah dinyatakan sehat dan boleh pulang. Tapi pulang kemana? Kalau kerumah, pasti ibunya akan datang dan berusaha membunuhnya lagi.

"Lebih baik kamu mengontrak rumah atau kost saja ditempat yang dekat dengan kantor," saran Ayud yang sudah bisa bersikap ramah pada Mirna.

"Ya bu, nanti saya akan cari, karena saya juga nggak berani lagi kembali kerumah itu."

"Aku sudah mendapat informasi tentang rumah kost itu, besok dari kantor polisi kita langsung kesana. Hari ini kamu boleh tinggal dirumah saya," lata Ayud.

"Terimakasih banyak bu."

"Kalau kamu mau mengambil barang-barang kamu, biar polisi mengawalmu, karena mereka juga masih ada disekitar sana, menunggu barangkali ibumu kembali kerumah," kata Adhit.

"Baiklah pak."

"Tapi kamu tetap harus hati-hati karena kalau ibumu tau kamu masih hidup pasti kamu tetap akan dikejarnya."

Mirna sedih sekali. Ia merasa tak punya siapa-siapa lagi. Ia sudah mendengar dari Widi bahwa bapaknya adalah laki-laki yang menyiram wajah ibunya dengan air keras. Mirna ingin mencarinya, tapi kemana? Rupanya ayahnya juga telah kabur jauh setelah melakukan kekejaman terhadap isterinya. 

"Jangan sedih, semuanya sudah lewat, semoga ibumu segera tertangkap sehingga tak akan ada lagi ancaman buat kamu."

Mirna mengangguk, tapi kesedihannya bukan cuma karena nyawanya terancam, kesedihannya adalah karena kesendirian yang kemudian sangat menyesak dadanya. Tiba-tiba ia berfikir, apakah tidak lebih baik kalau kemarin itu dia mati saja setelah diracun ibunya? Kalau dia mati, tak akan ada lagi beban yang menghimpitnya sekarang ini.

"Jangan lupa, besok penuhi panggilan dari kepolisian, katakan saja semuanya , jangan ada yang kamu tutup-tutupi walau itu perbuatan ibumu sekalipun," kata Adhitama lagi.

"Besok aku akan menemani kamu Mirna karena mas Adhit sedang ada urusan penting besok pagi," sambung Ayud.

"Terimakasih banyak bu Ayud, kalau itu tidak merepotkan, tapi sesungguhnya saya sendiri juga tak apa-apa."

"Jangan sendirian, harus ada teman di sa'at-sa'at seperti ini. Biarkan Ayud menemani kamu," sambung Adhit.

Mirna senang, karena Ayud bersikap sangat baik sekarang ini. Ada sedikit kesedihan yang terobati karena kebaikan orang-orang disekelilingnya.

***

 Pemeriksaan atas Mirna berjalan agak lama, karena Mirna menceritakan semua yang dilakukan ibunya, juga tentang serbuk yang ada didalam tasnya. Dan beruntungnya Mirna, karena serbuk yang membunuh orang itu sama seperti serbuk yang ditemukan polisi diruang rumah sakit ketika Mirna dipaksa meminum racun. 

Mirna dan Ayud keluar dari kantor polisi ketika lewat tengah hari. Mereka mampir disebuah warung makan.

Mirna sedikit tenang karena ia luput dari tuduhan menyimpan serbuk pembunuh itu. 

"Sekarang kamu harus lebih merasa tenang, walau nanti masih akan ada pemeriksaan lanjutan, atau sampai ke sidang pengadilanpun, kamu tak perlu takut, karena sebelumnya kamu telah menceritakan perihal ibumu kepada banyak orang, terutama kepada pak Haris. Kalau terjadi sesuatu pasti pak Haris tak akan keberatan menjadi saksi." kata Ayud  di sela-sela makan siangnya.

"Terimakasih banyak bu Ayud," jawab Mirna pelan.

"Apakah masih ada yang kamu fikirkan?"

"Saya sekarang seorang diri, saya ingin mencari bapak saya."

Ayud bisa merasakan kesedihan Mirna, ia memandanginya dengan iba.

"Kamu tidak sendiri, karena kami akan selalu membantu kamu. Tapi kalau kamu ingin mencari bapak kamu, kemana akan mencarinya?"

"Entahlah, bapak saya dulu seorang mandor bangunan."

"Masih tinggal di Solo kah?"

"Nggak tau bu, bapak lari setelah menyiram air keras ke wajah ibu Widi. Mungkin takut dilaporkannya ke polisi. Sampai sekarang entah berada dimana dia.Tapi sungguh saya berharap bisa ketemu, agar saya merasa masih punya keluarga."

"Kamu benar, saya akan berdo'a untuk kamu."

"Terimakasih ibu."

"Rumah kost itu sudah aku temukan, aku sudah bicara sama pemiliknya. Kalau ke kantor kamu cukup berjalan kaki."

"Oh, benarkah?"

"Sehabis makan kita sekalian kesana, supaya kamu bisa melihatnya dan langsung bisa tinggal disana. Tempatnya enak, nyaman."

"Terimakasih bu Ayud."

Selesai makan siang mereka menuju ke rumah kost yang kata Ayud tak jauh dari kantor.  Dan itu benar, mereka berhenti didepan sebuah rumah yang bersih dan rapi. Ketika masuk, dilihatnya sebuah taman yang asri, dan didepannya tampak berderet deret kamar yang disetiap kamar ada sebuah ruang depan yang mungkin bisa dipergunakan untuk menerima tamu.

Mirna diketemukan dengan pemilik rumah kost itu. Lalu dipersilahkan masuk kesebuah kamar paling depan yang kebetulan baru kosong seminggu ini.

Sebuah kamar yang nyaman, ada sebuah ranjang, ada almari pakaian, rak tempat menyimpan barang-barang dan kamar mandi didalam.

"Pasti mahal ya bu," bisik Ayud ketika berada berdua saja dengan Ayud."

"Jangan khawatir, akan ada vasilitas dari perusahaan untuk tempat kost kamu, nanti aku bisara sama pak Adhit."

"Jadi...?"

"Jadi segera usung barang-barang kamu, biar pak Sarno membantu kamu."

Mirna sangat terharu atas kebaikan itu. Ketika ia menaiki mobil lalu hanya kira-kira duaratus meter lagi adalah kantor tempat dia bekerja, Mirna merasa bahwa tak akan capai berjalan setiap hari kesana.

Namun keduanya tak menyadari, dibalik sebuah pohon besar, sepasang mata sedang mengawasi mereka, sejak keluar dari rumah kost itu.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 


No comments:

Post a Comment

ADA MAKNA 43

  ADA MAKNA  43 (Tien Kumalasari)   Reihan kebingungan. Ia berjalan ke arah samping, tapi semua pintu tertutup. Tak ada orang di tempat itu....