SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 18
(Tien Kumalasari)
Galang terkejut. Ia seperti mengenali suara itu. Ia melongok kearah spion. Perempuan itu melepas topinya dan tersenyum kearah kaca spion.
"Widi ? Kamu disini?"
Gadis bernama Widi itu tersenyum.
"Berhenti dulu, aku mau duduk disamping kamu."
Galang menghentikan mobilnya dan Widi dengan seenaknya melompat kedepan, duduk disamping kemudi.
"Ini aneh.. aku sudah sebulan di Jakarta dan tiba2 ketemu kamu hari ini. Ini jodoh bukan?"
"Kamu ngapain disini?"
"Kuliahku udah selesai, aku mendapat kepercayaan dari om ku untuk membantu diperusahaannya disini."
"Oh, syukurlah.."
"Kamu sendiri.. ngapain jadi driver taxi on line? Mana isteri kamu"
"Aku lagi cari pekerjaan sambil cari uang dengan cara ini. Isteriku ada dirumah, kapan2 mampirlah, biar kenal sama isteriku."
"Jadi kamu lagi cari pekerjaan?" tanya Widi tanpa memperhatikan ajakan mampir yang ditawarkan Galang.
"Ya, lagi ngelamar2 nih."
"Nanti aku bilang sama om ku. Barangkali bisa ikutan bekerja disana."
"Diperusahaan apa?"
"Import eksport.. nih kartu namaku, aku minta nomor telpone kamu ya," kata widi sambil mengangsurkan karu namanya.
"Ok, nanti aku kirimkan lewat WA kamu ini."
Hari itu karena masih ada waktu menurut Widi, diajaknya Galang makan siang disebuah restoran. Galang menolaknya tapi Widi setengah memaksa.
"Ini pertemuan tak terduga Galang, aku ingin merayakannya, tolong jangan menolak."
Terpaksa Galang menurutinya.
Mereka duduk disebuah meja disudut ruangan yang ramai pengunjung karena memang sa'atnya makan siang.
"Kamu masih suka mie bukan? Atau mau nasi.. coba pilihlah di daftar menu."
"Terserah kamu saja, aku nggak lapar sih karena isteriku membawakan bekal makan siangku."
"Hm... isterimu pasti sangat sayang sama kamu."
Galang tersenyum senang. Memang setiap mau berangkat kerja Putri selalu membawakan bekal makan dan minum untuk Galang.
"Disini makanan mahal, supaya nggak boros ya mas," kata Putri waktu itu, yang di iyakan oleh Galang.
Bahagia rasanya mendapat perhatian Putri walau ia belum mau menjamahnya.
"Oke mie aja ya, aku juga. Minum lemon tea? Aku masih ingat kesukaanmu lho."
Widi langsung memesan makanan dan minuman yang dikehendakinya. Galang hanya terdiam. Sungguh ia sebenarnya tak ingin bertemu Widi yang dulu mengejar kejarnya, bahkan tanpa malu2 menyatakan cintanya.
Pertemuan ini membuatnya tak enak.
"Galang, sesungguhnya aku merasa patah hati."
Tuh kan.. mulai lagi, ini kata2 yang pasti menjurusnya kearah sana, padahal sudah tahu kalau aku sudah menikah. Batin Galang tanpa memandang kearah Widi.
"Heeiii... diajak ngomong kok malah ngelamun," tegur Widi sambil menepuk tangan Galang yang memang berada diatas meja.
"Ngomong apa sih.. ? Kamu itu kalau lapar ya udah.. mau aku temenin ya oke.. tapi nggak usah ngomong yang neka2," kata Galang sambil menjauhkan tangannya dari Widi.
"Oke.. aku tak akan bicara apapun, aku tau bahwa sejak dulu kamu tak pernah tertarik sama aku," kata Widi sambil memandang Galang lekat2. Ada genangan telaga bening pada mata yang sebenarnya indah itu.
Galang merasa serba salah. Dalam hati ia berjanji bahwa akan segera mengajaknya pergi begitu selesai makan.
"Kita bersahabat baik Widi, jangan merusak persahabatan karena kita tak bisa bersatu."
Widi terdiam. Bahkan ia masih saja terdiam ketika mereka menghabiskan makanan mereka kemudian Galang mengajaknya segera pergi.
Galang mengantarkan kealamat yang tadi dituju, sebuah kantor besar dengan nama KARISMA.
"Oke kita sampai," seru Galang sambil tersenyum.
Widi mengulurkan 3 lembar uang ratusan ribu lalu turun dari mobil dan melambaikan tangan kearah Galang.
"Tunggu, ini terlalu banyak Widi, teriak Galang ketika menerima uang itu.
"Biarin saja, buat kamu. Jangan lupa hubungi aku kalau kamu tertarik bekerja diperusahaan om ku."
Widi berlalu dan lupa menanyakan nomor kontak Galang ketika makan bersama tadi.
Widi menyesal ketika sudah memasuki kantornya dan teringat belum menanyakannya. Ya kalau Galang mau menghubunginya, kalau tidak ?
Widi mencoba menghubungi nomor yang dulu ia pernah punya tapi nomor itu rupanya sudah tidak aktif.
Dalam hati Widi berdo'a semoga Galang tertarik pada tawarannya. Oh ya, Widi harus menghubungi om Haris lebih dulu, pemilik purusahaan itu, tentang Galang yang akan diajaknya bekerja disitu. Barangkali, siapa tau Galang mau. Maka kemudian ditemuinya pak Haris diruang doreksi.
***
Hari itu Galang pulang agak sore karena harus mengantar Putri ke dokter kandungan yang praktek di klinik tak jauh dari rumah.
"Sebenarnya mas nggak perlu pulang secepat ini kalau hanya karena ingin mengantar aku. Aku kan bisa sama simbok," protes Putri ketika melihat Galang pulang lebih cepat.
"Lho, aku kan punya kewajiban untuk melihat kesehatan isteri dan bayiku. Masa simbok yang harus mengantar," jawab Galang sambil menyentuh perut Putri yang semakin membesar. Senang hati Putri merasakan perhatian Galang untuk bayinya juga, bukan hanya untuk dirinya.
"Ya sudah.. mas mandi dulu, sementara aku bersiap siap."
"Baiklah ibu," jawab Galang bercanda.
"Ih kok ibu?"
"Sebentar lagi kan kamu mau jadi ibu, jadi aku harus membiasakan diri memanggil kamu ibu."
Putri tersenyum lebar dan Galang melangkah kebelakang dengan wajah bahagia."
***
Setiap tiba giliran Putri untuk diperiksa, Galang selalu ikut masuk kedalam. Ia harus mengetahui perkembangan kesehatan Putri dan bayinya secara langsung.
Selesai diperiksa, dokter Hany.. sang dokter kandungan mwnggeleng gelengkan kepala. Galang dan Putri menatapnya dengan perasaan was2.
"Bagaimana dokter?"
"Bayi anda letaknya sungsang."
Galang dan Putri terkejut.
"Sungsang itu bagaimana?" tanya Galang.
"Karena sudah mendekati kelahiran, harusnya letak kepala bayi ada dibawah, tapi ini masih diatas."
"Lalu bagaimana dokter?"tanya Galang khawatir.
"Kemungkinan isteri anda.harus dioperasi."
Keduanya terkejut.
***
besok lagi ya
No comments:
Post a Comment