Tuesday, August 20, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 33

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  33

(Tien Kumalasari)

Galang melompat dari atas tempat tidur, membetulkan letak bajunya yang awut2an, lalu melangkah maju dan menampar wajah Widi sekeras kerasnya.

"Aauuww.." jerit Widi kesakitan, sambil memegangi pipinya yang memerah.

"Perempuan apa kamu ini?Perempuan rendah, bobrok,kotor, menjijikkan !!" seru Galang sambil melangkah keluar. Kepalanya masih terasa pusing.

"Galang! Tapi kamu melakukannya !!" jerit Widi lagi.

"Melakukan apa?" tanya Galang sambil berhenti melangkah.

"Kamu menikmatinya, kamu menodai aku Galang."

"Bohong!! Busuk kamu!! Aku tidak melakukan apa2!" 

"Kamu lupa? Kamu memang tidak ingat apa2, tapi kamu telah melakukannya."

"Bohong !"

"Galang.. !!" Kamu melakukannya, mungkin kamu nggak sadar tapi kamu melkukannya. Entah kenapa kamu seperti terbius.Tapi kamu melakukannya, jangan ingkar Galang."

"Bohong kamu!! Perempuan laknat!!"

"Galaang!!"

Tapi Galang sudh menghilang dibalik pintu. Ia memasuki kamarnya, mandi dan berkemas. Ia hanya akan menelpon pak Haris untuk mengatakan bahwa laporan akan diberikan setelah ia sampai di Jakarta.

"Kamu pulang bersama Widi?" tanya pak Haris dari seberang.

"Nggak pak, Saya harus kembali pagi ini, Widi masih ingin tinggal. Terimakasih pak, saya harus buru-buru"

Galang menutup ponselnya lalu memesan tiket untuk pulang sa'at itu juga.

***

Ketika ponsel Widi berdering, ia masih tiduran diatas tempat tidur. Warna kemerahan pada pipinya masih tampak dan terasa perih. Sebenarnya ia segan menerima telepon dari siapapun, namun ketika terbaca olehnya dari om Haris maka terpaksa ia mengangkatnya.

"Hallo om.."

"Lagi dimana kamu?"

"Masih di hotel om,"

"Kenapa kamu nggak pulang sekalian bareng Galang?"

"Ooh, itu om.. masih males pulang, badan terasa kurang enak."

"Ya, kemarin Galang juga bilang kalau kamu sakit. Kakimu terkilir? Herannya aku mengapa Galang malah meninggalkan kamu." kata pak Haris dengan nada kurang suka.

"Oh, sudah baikan kok om, cuma Widi masih ingin tinggal sebentar lagi. Mungkin besok Widi baru kembali ke Jakarta."

"Baiklah, tentang tugas kamu, Galang sudah melaporkan semuanya. Begitu sampai di Jakarta dia akan melaporkannya secara lisan."

"Ya om, semua sudah Widi serahkan sama Galang."

"Baiklah, pintar anak itu. Aku suka. Baiklah, segera kembali ya, ada tugas lain menunggu kamu."

"Baiklah om."

Ketika pembicaraan itu selesai. Widi kembali merebahkan tubuhnya ditempat tidur. Penolakan Galang sungguh menyakitkan. Ia benci pada dirinya sendiri karena selalu mengejar kejar cinta Galang, bahkan sejak masih sama-sama kuliah dulu.Namun Widi tak pernah mau berhenti. Ia tak mengira, sebotol minuman yang ia tinggalkan kemarin sore ternyata sempat terminum oleh Galang. Sebutul air mineral yang telah dibubuhinya obat tidur dengan dosis besar. Semalam ia berhasil membuat Galang tak berkutik. Widi senang bisa memeluknya semalaman, walau sesungguhnya tak melakukan apa-apa. Ia akan mengecoh Galang sehingga Galang akan kalang kabut dibuatnya.

***

Galang sudah sampai di Jakarta. Tiba-tiba ia merasa takut untuk menelpon Putri. Bayangan bahwa semalam ia tidur bersama Widi sangat membuatnya terganggu. Benarkah aku melakukan perbuatan kotor itu? Tidak, aku tidak merasakan apa-apa.. tapi kata Widi aku terbius dan lupa segalanya... tidaak.. itu bohong... bisik batin Galang.  Tiba-tiba Galang merasa dirinya kotor, dan tak pantas mendekati Putri. Ya Tuhan... apa yang harus aku lakukan.. jerit Galang dalam hati.

Ketika menapakkan kakinya dikantor, ia berpapasan dengan Raharjo yang menyambutnya dengan riang.

"Hai, mas.. sudah kembali? Kok sendirian?"

"Kamu sudah sembuh? Katanya kamu sakit."

"Cuma sehari kemarin. Oh ya, mobil mas Galang sudah dikembalikan ke rumah oleh pak Darman."

"Ya, aku tau. Ayo ikut aku sebentar." kata Galang sambil menarik lengan Raharjo. Ia menitipkan kopernya pada satpam, lalu mengajak Raharjo keluar dari sana, kesebuah warung  yang terdekat. Raharjo mengikutinya dengan heran, tapi ia tak membantah sampai keduanya duduk berhadapan disebuah meja.

"Ada apa mas? Mas pucat sekali, sakitkah?"

"Hatiku yang sakit. Sebentar, mau minum apa?"

"Terserah mas Galang saja."

"Lemon tea mau?" Raharjo mengangguk. Ia tak perduli akan dipesankan minuman apa, karena ia lebih tertarik pada keadaan Galang yang berbeda dari biasanya.

"Aku tak tau harus berkeluh pada siapa Jo, aku benar-benar kacau," kata Galang setelah memesan minum dan makanan.

"Ini masalah pekerjaan?"

"Bukan Jo, pekerjaan sudah beres. Kamu kan tau aku kembali tanpa Widi. Segan saja aku seperjalanan sama ular itu."

"Ular?"

"Taukah kamu apa yang diperbuatnya terhadapku disana? Hari pertama ia tiba-tiba memasuki kamarku dengan dalih akan bicara so'al pekerjaan. Aku usir dia dengan alasan capek. Trus paginya dia terkilir, entah benar-benar terkilir atau pura-pura, yang jelas ia bilang nggak bisa jalan lalu minta aku menggendongnya kekamarnya. Karena segan, aku memanggil dua orang petugas untuk mengangkatnya kekamar. Dia tampak marah."

Raharjo tersenyum simpul, membayangkan Widi kecewa karena Galang tak jadi menggendongnya.

"Tapi semalam Jo, ya ampuun.. ini sudah keterlaluan.

Raharjo mendengarkan dengan seksama. Galang berhenti berbicara dan meneguk minuman yang dipesannya setelah diletakkannya dimeja.

"Semalam itu, entah karena apa ya, aku mau istirahat, setelah minta ijin pak Haris agar aku diijinkan pulang pagi ini. Tiba-tiba aku haus lalu meneguk setengah botol minuman yang terletak dimeja. Haa... apakah minuman itu penyebabnya? Aku tak merasa membeli minuman botol dengan merk itu... 

"Memangnya kenapa mas?"

"Tak lama aku ingin mandi tapi tiba-tiba merasa pusing. Sa'at itulah ponselku berdering dan Widi memanggilku. Katanya penting, ada pesan pak Haris yang dikirimkan lewat ponselnya. Tapi dia tak mau mengirimkannya padaku, dia minta aku datang agar bisa bicara. Alasannya kakinya masih sakit. Dengan kepala semakin terasa berat aku kesana, dengan janji sebentar saja."

Galang meneguk kembali minumannya. Ia tampak gelisah.

"Jo, begitu sampai dikamar dia, aku tak tahan lagi, aku nggak ingan apa-apa, entah apa yang terjadi aku nggak tau. Ketika aku bangun, Widi ada disampingku dengan pakaian yang ... ya Tuhan.. perempuan apakah dia itu.."

"Telanjang?" seru Raharjo tanpa sadar.

"Hampir, dan pakaianku juga acak2an."

"Ya Tuhan... ya Tuhan... "

"Aku tidak ingat apa-apa, tapi dia bilang aku melakukannya. Aku berteriak tidak.. tapi dia nekat. Aku bingung Jo."

"Ya ampun pak, ini sungguh berat. Bagaimana kalau bu Galang tau.."

"Itulah yang aku takutkan Jo, aku tidak melakukan apa-apa, sungguh aku tidak merasa melakukan. Tapi dia bilang aku tak sadar, aku melakukannya. apa kamu percaya Jo?"

"Nggak mas, aku tidak percaya. Masa orang tidak sadar bisa melakukannya?"

"Jo, begitu tiba, aku ingin menelpon isteriku, tapi tiba-tiba aku takut sendiri. Apakah diriku ini bersih dari noda Jo?"

"Mas, menurut aku, dia itu bohong. Dia hanya ingin menjebak mas Galang. Ingin memaksa mas Galang agar mau menuruti kemauannya. Tenanglah mas, kalau ada apa-apa, aku akan membela mas Galang. Sekarang telpone saja bu Galang mas.. tenangkan hati mas, daripada dia menunggu nunggu berita dari mas."

Galang merasa sedikit lega. Beban yang menggayuti pikirannya agak terasa ringan setelah menceritakan semuanya pada Raharjo. Entah mengapa, walau baru sebulan berkenalan, mereka sudah seperti sahabat karib.Ia juga merasa lebih tenang karena Raharjo mendukungnya.

Galang mengambil ponselnya. Diputarnya nomor Putri.

"Hallo mas, sudah sampai di Jakarta?"

Suara bening itu terdengar seperti alunan kidung yang sangat merdu. Selalu begitu setiap kali Galang menelponnya.

"Hallo bu, sudah, baru saja. Tapi aku mau laporan ke kantor dulu."

"Ya mas, selesaikan dulu semuanya, aku sama Adhitama menunggu mas."

"Baiklah sayang."

Hanya sebentar, lalu Galang menutup ponselnya. Merinding bulu kuduk Galang setelahnya, apakah dirinya masih sesuci ketika dilepas oleh sang isteri yang mencintainya? Kalau pulang membawa noda, bagaimana perasaan Putri nanti.

"Mas, sudah, jangan dipikirkan. Saya yakin karena minuman itu. Mungkin dia telah membubuhinya obat tidur kedalamnya sehingga mas tak ingat apa-apa seperti orang tiidur pulas. Mulai sa'at ini kalau dia mendekati mas, abaikan saja Dan kalau mas Galang ingin pulang, bilang saja, nanti saya antar mas Galang pakai mobilnya Retno. Kemarin kan belum sempat bertemu dengan bu Galang."

Galang hanya mengangguk. Mereka menghabiskan minuman dan makanan yang dipesannya, kemudian beriringan ke kantor.

***

Ketika Galang minta ijin untuk pulang terlebih dulu, pak Darman tergopoh menghampirinya.

"Pak, kemarin mobil sudah saya antarkan kerumah, pembantu pak Galang yang menerima kuncinya."

"Ya pak, isteri saya sudah mengabari kok, terimakasih banyak. Ya begitulah rumahku pak, yang namanya garasi saja kan hanya sebuah lahan kecil yang saya kasih atap dari plastik."

"Nggak apa-apa pak, yang penting kan bukan rumahnya, tapi orangnya. Bapak sangat baik, dan saya sangat mengormatinya."

"Terimakasih pak. Ini saya mau pulang dulu."

"Ya, bapak pasti capek. Boleh saya antar saja pak."

"Jangan pak Darman, biar saya saja yang mengantar mas Galang. Ya kan mas." kata Raharjo yang tiba-tiba sudah ada diantara mereka.

"Kamu kan masih kerja Jo, nanti pak Haris mencari kamu."

"Aku sudah bilang Retno, kan hanya sebentar saja mengantar bapak, dan berkenalan dengan bu Galang."

"Baiklah, ya sudah pak Darman, Raharjo akan mengantar saya.."

***

besok lagi ya

 

No comments:

Post a Comment

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  02 (Tien Kumalasari)   Arumi menyandarkan tubuhnya, menikmati rasanya naik mobil bagus nan halus hampir tak ...