Monday, August 12, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 25

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  25

(Tien Kumalasari)

"Galang, aku senang akhirnya kamu mau menerima undanganku untuk bekerja disini," kata Widi begitu Galang menemuinya dikantor.

"Katamu ada yang dari Solo juga baru bekerja disini, siapa dia?"

"Ada, dua orang tapi belum datang, mungkin minggu depan. Yang satu cewek, cantik lho, itu sepupuku, namanya Retno, dia akan menjadi sekretaris om Haris, satunya cowok, namanya Raharjo siapa, gitu, temannya Retno atau pacarnya entahlah, tapi belum datang."

"Senang ada teman yang sama2 datang dari Solo."

"Kamu kan orang Semarang?"

"Isteriku kan putri Solo.."

"Oh.. iya.. iya.. lupa aku. Lalu kapan kamu akan mulai bekerja?"

"Terserah kamu saja, aku siap kapanpun juga."

"Kalau begitu besok pagi saja, ini ruangan kamu, itu meja kamu."

"Jadi satu sama kamu?"

"Ya iyalah, kan kita satu divisi, emang kenapa? Kamu takut sama aku? Apa aku menakutkan? Aduuh... wajah begini cantik kenapa membuat kamu takut Galang..," canda Widi sambil tertawa.

"Kuntilanak juga cantik, tapi kan semua orang takut."

"Asem kamu! Samakan aku sama kuntilanak?" kata Widi sambil cemberut.

"Biarin, marah aja, aku nggak takut sama kemarahan kamu," jawab Galang tanpa senyum.

"Baiklah, rupanya aku harus sabar dalam menghadapi kamu ya. Oke, aku tunggu kamu besok pagi, jangan terlambat, jam delapan harus sudah duduk dikursi itu." kata Widi sambil menunjuk kearah meja diseberangnya.

***

 Sebenarnya bukan karena ada karyawan baru yang datang dari Solo itu yang membuat tiba2 Galang bersedia bekerja dikantor Widi, tapi lebih dari pada anjuran Putri  yang mengingatkan bahwa ia tak akan bisa sering menimang Adhitama kalau tetap menjadi driver taksi on line. Lagipula perhatian isterinya yang mengingatkan bahwa dia jangan bekerja sampai kecapean, sangat menyentuh hatinya. Ia kesampingkan godaan2 Widi, yang penting hatinya tak akan tergiur, karena dirumah ada isteri yang sangat dicintainya. Dan yang mungkin juga mencintainya. Mungkin.. karena Galang belum yakin akan hal itu. 

"Bagaimana mas? Kapan mulai bekerja?" tanya isterinya ketika Galang sampai dirumah.

"Besok pagi."

"Secepat itu? Syukurlah mas.. aku seneng mendengarnya. Nggak enak juga mengecewakan mbak Widi yang sudah sangat  baik sama kita."

"Ada berita apa? Tampaknya Putri senang sekali," tiba2 bu Broto sudah ada diantara mereka. Rumah yang sempit, bicara apapun pasti mudah didengar orang lain.

"Ini Bu, mas Galang besok pagi sudah mulai bekerja dikantornya mbak Widi."

"Oh ya, bude senang mendengarnya Galang, seringkali isterimu bilang, kasihan mas Galang bekerjanya seharian.. pasti capek... gitu."

"Oh ya?  Itu kan pertanda cinta seorang isteri kepada suaminya bude," kata Galang, sekaligus memancing reaksi isterinya mendengar kata2nya yang setengah bercanda. Dan reaksi itu ada kok, Putri tersenyum, tersipu lalu mencubit lengan ibunya.

"Aduh, Putri kok pake mencubit lengannya ibu segala, sakit tau," kata bu Broto sambil tersenyum. Beberapa hari tinggal dirumah kontrakan anaknya, tiba2 bu Broto menyadari bahwa bahagia itu bukan karena melimpahnya harta. Ia melihat hidup anak menantunya yang cukup hangat menyenangkan, walau hidupnya tidak berkecukupan. 

Galang melirik isterinya dengan lirikan nakal, dan Putri menyembunyikan wajahnya dipunggung ibunya. Sa'at itu Galang merasa, alangkah indah kehidupannya.

"Mana Adhi, aku lupa belum menggendongnya," kata Galang sambil melangkah kekamar, tapi ketika melewati isterinya Galang sempat mengelus pipi isterinya mesra.

"Galang, nggak boleh dari bepergian langsung memegang bayi ya, cuci kaki tangan dulu, baru boleh menimang anakmu,"kata2 bu Broto itu menyurutkan langkah Galang yang sudah sampai dipintu kamar. Ia meleletkan lidahnya lalu  pergi kekamar mandi.

"Ma'af bude, Galang lupa."

Tiba2 ponsel bu Broto berdering.

"Bu, ada telpone, kayaknya dari bapak," kata Putri sambil meraih ponsel ibunya.

"Pasti bapakmu menyuruh ibu segera kembali ke Solo," gerutu bu Broto  yang kemudian menerima ponsel itu.

"Hallo, bapak.."

"Bu, kamu itu apa mau selamanya tinggal di Jakarta?" suara dari seberang, tampak kesal.

"Ini lagi nungguin cucu pak, bapak nggak liat, kalau bapak tau, ya ampun pak, cucu bapak lucu sekali. Dia tampan, dan manis. Nggak suka rewel kayak eyang kakungnya," canda bu Broto, maksudnya agar kekesalan suaminya hilang.

"Apa ibu bilang? Bapak suka rewel?"

"Pak, kan bapak sudah ibu kirimi foto cucu kita, Galang memberinya nama Adhitama. Bagus kan? Bapak kalau dikasih foto, diceritain banyak hal, kok nggak pernah jawab? Bapak nggak suka sama cucu kita?"

"Bu, bapak menelpon ibu itu bukan karena ingin mendengar ocehan ibu. Bapak mau ibu segera pulang. Ibu seneng2 disini, meninggalkan bapak kesepian, tau?"

"Salahnya sendiri, bapak nggak mau ikut kemari."

"Jangan mengomelin bapak lagi bu, cepet pulang, hari ini juga"

"Ya nggak bisa pak, umur Adhi baru dua mingguan, ibu pulang kalau dia sudah selapan."

"Apa? Selapan itu kan tigapuluh lima hari? Ya masih lama ta bu... "

"Ibu nggak bisa cepet2 pulang, ibu masih ingin bercanda sama cucu kita."

"Bu..."

"Kalau bapak mau menjemput ibu, baru ibu mau pulang, tapi kalau nggak, ya tunggu selapan harinya Adhi." bu Broto tersenyum senyum sendiri, karena mendengar nada suara suaminya semakin melunak. Tak mudah meluluhkan kesombongan pak Broto. Berkali kali dikiriminya foto cucunya, pak Broto tak bergeming. Sekarang bu Broto memberinya iming2 tentang cucunya yang lucu, lewat lisan, pak Broto merasakan kegembiraan dari nada suara isterinya, dan rupanya tergiur oleh ancaman bu Broto.

Ketika telepone ditutup, sedikitpun bu Broto tak mau mengindahkan perintah suaminya untuk segera pulang. Bu Broto meletakkan ponselnya dan tersenyum senang. Siapa tau suaminya mau menyusul kemari.

"Bapak marah2 ya bu?" tanya Putri.

"Biarin saja dia marah2. Ibu bilang, kalau bapak nggak mau jemput ibu nggak mau pulang cepat."

"Aduh bu, kalau bapak benar2 datang kemari, bagaimana nanti tidurnya bapak, kamar cuma satu2nya. Mana mungkin ditambah bapak. Lagian bapak pasti marah2 melihat rumah kontrakan ini.

"Tenang saja Putri, kalau nanti bapakmu marah.. biar ibu yang menghadapi. Lagian kalau masalah tidur nggak usah direpotkan, bapakmu biar menginap di hotel."

"Putri takut bu, kalau bapak marah2 bagaimana?"

"Kalau bapakmu mau datang kemari, berarti marahnya sudah hilang, sudahlah jangan takut."

***

Sementara itu bu Marsih merasa sedih, ketika Teguh benar2 akan berangkat ke Jakarta.

"Kamu jadi berangkat ke Jakarta besok  ta le?"

"Iya bu, ibu kok sedih begitu. Teguh kan pergi untuk mencapai sesuatu. Dan itu yang ibu inginkan bukan?" kata Teguh sambil memeluk ibunya.

"Ibu bukannya sedih,"

"Kalau bukan sedih, mengapa wajah ibu kuyu begitu?"

"Sedihnya itu ya sedih le, sedikit, siapa orang tua yang nggak sedih ditinggal anaknya. Tapi ibu bangga sama kamu. Kamu bisa menyelesaikan kuliahmu dan bisa segera mendapat pekerjaan di Jakarta."

"Ini kan atas bantuan Retno bu, dia punya saudara yang punya perusahaan besar di Jakarta dan kebetulan kami diterima disana."

"Syukurlah le, ibu senang kok. Semoga kamu berhasil mencapai semua cita2 kamu, dan tidak mengecewakan almarhum bapakmu ya le."

"Do'akan Teguh selalu ya bu," Teguh mempererat pelukannya dan bu Marsih membalasnya dengan linangan air mata.

"Lho, ini ada apa kok bu Marsih sama mas teguh tangis2an begitu," tiba2 Naning sudah ada diantara mereka.

"Naning, kamu bikin kaget saja," tegur bu Marsih sambil mengusap air matanya.

"Bu Marsih kok menangis sih?"

"Iya, kan besok masmu Teguh mau berangkat ke Jakarta."

"Lho, jadi besok ta mas, wah.. aku sih pengin ikut, tapi ya pasti nggak boleh lah, biasa kalau Naning pengin sesuatu nggak akan dibolehin sama ibu."

"Kamu ya aneh, orang mau bekerja kok kamu ikut. Lha kan kamu sebentar lagi mau menikah, nanti Pulung kehilangan kamu bagaimana?"

"Iya, akhirnya Naning menerima lamaran Pulung, habis mas Teguh nggak mau sama Naning," kata Naning sambil cemberut.

"Kamu itu kan adikku, masa adiknya mau menikah sama kakaknya?" canda Teguh.

"Iya, aku tau, tapi besok kalau Naning menikah, mas Teguh harus datang ya, aku ingin mas Teguh menggandeng Naning pas mau ditemukan sama pengantin priyanya."

"Kok aku yang harus menggandeng kamu?"

"Iya lah mas, kan mas Teguh cinta pertama aku."

"Hiih, kamu rupanya nggak waras2 juga ya. Kalau pengantin mau dipertemukan, yang menggandeng pengantin perempuan ya harus perempuan. Sudah jangan crewet, bantuin aku mengepak barang2ku sana."

Walau merengut tapi Naning menurut apa kata Teguh. Dengan rapi ia menata baju2 yang akan Teguh bawa besok pagi. Bu Marsih memandangi dan merasa kasihan pada Naning. Dlam hati bu Marsih berdo'a, semoga Naning akan bahagia bersama suaminya nanti.

***

Sudah dua hari Galang bekerja, dan hari itu Widi mengatakan bahwa rekan barunya akan datang. "Tunggu sebentar, katanya dia sudah sampai didepan kantor. Nanti kamu akan bertemu dengan sepupuku yang cantik, awas ya, jangan terpesona melihatnya," pesan Widi sambil bercanda.

"Kamu jangan gila Widi, aku punya isteri, mana mungkin aku terpesona walau melihat bidadari sekalipun? Isteriku sudah sangat cantik kok.

"Selamat pagi," tiba2 suara merdu seorang wanita menghentikan pembicaraan mereka. Widi langsung berdiri, dan setengah berlari menghampiri pemilik suara itu dan memeluknya.

"Selamat datang Retno, senang melihatmu setelah bertahun tahun nggak ketemu."

"Aku juga senang Widi. Oh ya ini... kenalkan .. temanku.."

"Hallo...ini Prasojo..eh.. siapa..Prasetya... atau..."

***

besok lagi ya

No comments:

Post a Comment

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 01

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...