Saturday, July 6, 2019

SA'AT HATI BICARA 44

SA'AT HATI BICARA  44

(Tien Kumalasari)

Dita gemetaran ditempatnya, sementara laki2 itu tak cukup hanya mengintip. Dia kemudian mengetuk ketuk pintu. Rupanya ia melihat sosok Dita yang diam tak bergerak.

"mBak... mbak..." laki2 itu memanggil manggil, Suaranya berat, 

Dita tak berani menjawab. 

"mBak, aku yang punya rumah ini... tolong bukakan pintunya mbak..." lanjut laki2 itu. Dita menegakkan tubuhnya. Laki2 itu pemilik rumah ini? Ia belum pernah melihatnya karena begitu datang lalu Santi mengeramnya didalam dan tak pernah keluar dari rumah ini.

"mBak, tolong bukakan pintunya." 

Dita bangkit dan melangkah perlahan kearah pintu.Tapi ia hanya tegak didepan pintu. Dita tak tau harus bagaimana.

"mBak, saya pak Badrun pemilik rumah ini, tolong dibuka pintunya mbak. Lampu dibelakang mati, harus dinyalakan dari dalam."

"Tapi saya nggak membawa kuncinya pak, dibawa oleh teman saya, dan belum pulang."

"Oh, gitu ya?" 

"Apakah bapak nggak punya serepnya?" pikiran ini tiba2 saja terbersit dibenak Dita. Harap2 cemas ia menunggu jawaban laki2 yang mengaku bernama Badrun.

"Sebentar, saya cari dulu dirumah barangkali isteri saya menyimpannya," kata laki2 itu yang kemudian berlalu.

Dita kembali duduk dan diam2 berdo'a. Kalau kunci serep itu ada, selesailah pengasingan ini, dan Dita bisa kabur dengan suka cita. 

"Ya Tuhan, ampunilah dosaku, tolonglah hambamu kali ini.. Tuhan, dengarlah jeritku.." bisiknya disertai linangan air mata.

Tak sampai sepuluh menit, pak Badrun sudah datang. Suara gemericik kunci yang terdengar, membuatnya hampir bersorak kegirangan. Lalu suara klik.. klik.. terdengar.. dan terbukalah pintu itu. Dita tersenyum lebar.

"Ma'af merepotkan pak." kata Dita gemetaran karena menahan harapan yang membubung kelangit tingkat limabelas.

"Nggak apa2 mbak, saya akan melihat tombol lampu dibelakang, soalnya kalau tidak dinyalakan, dibelakang gelap sekali. Sudah dari kemarin mati, saya lupa menanyakan." kata pak Badrun sambil terus berjalan kearah belakang.

Detak jantung Dita berdentam dentam, ia sudah bersiap keluar dari rumah itu, ketika tiba2 pak Badrun sudah kembali kedepan. Dita menghela nafas... sabaaar..sabaaar... bisik hatinya.

"Ternyata bohlamnya yang mati mbak, tombolnya tidak berubah, saya akan beli saja dulu."

Pak Badrun keluar, dan Dita menahannya ketika pak Badrun sudah memegang daun pintu, yang pastinya akan ditutup lalu dikuncinya lagi.

"Eh pak.. tolong pak, bagaimana kalau kunci serep ini saya pinjam dulu?"

"Ini? Jadi..." pak Badrun tampak ragu2.

"So'alnya teman saya suka pergi dan mengunci pintunya dari luar, terkadang saya bingung kalau saya ingin keluar atau mau beli sesuatu." pinta Dita, dengan sejuta do/a..

"Oh, begitu ya... sebaiknya teman mbak nggak usah membawa kuncinya kalau pergi. Kasihan mbak. Baiklah mbak, kunci serepnya saya tinggal juga. Tapi nanti kalau teman mbak kembali, suruh meninggalkan kuncinya, dan kembalikan kunci serepnya ya."

"Baiklah pak, siap," jawab Dita mirip sebuah nyanyian yang mendayu karena gembira yang tak terhingga.'Pak Badrun pergi setelah mencopot kuncinya dan menyerahkannya pada Dita.

Dita benar2 ingin bersorak.

 "Selamat tinggal sangkar burukku !!"

Dita melenggang keluar rumah, setelah mengunci kembali pintu itu. Tapi tiba2 dilihatnya sebuah sorot lampu mendekati pagar rumah.

"Celaka," bisik Dita ketakutan. Ia membalikkan tubuhnya dan berlari kerumah, cepat2 membuka pintunya dan menguncinya lagi. Lalu ia terbaring di sofa seperti semula. Tapi kunci serep itu masih dibawanya, yang kemudian disimpannya disakunya. Oh tidak, kalau didalam saku, setiap kali dia bergerak pasti akan terdengar gemerincingnya. Dita memasukkannya kedalam jok sofa. Lalu diam menunggu. Belum sekarang, tapi nanti pasti bisa, karena bukankah kunci serep sudah ditangannya?

Terdengar suara klik..klik.. dan pintu itu terbuka,lalu Dita terkejut karena mendengar suara tangisan anak kecil juga.

"Haaaa? Ini anak dokter?" tak tahan Dita untuk tidak bertanya.

"Ini Sasa, anakku. Cuup.. nggak boleh nangis karena ada mama ya,"

Tapi Sasa masih tetap menangis.

"Papaaaa... aku mau papaaa...." teriaknya sambil meronta dari gendongan Santi.

"Sasa, apa kamu nggak sayang sama mama?"

"Aku mau papa... papaaaa...." Sasa terus meronta.

"Besok kalau hari sudah nggak lagi gelap, kita akan mencari papa. Sekarang Sasa harus diam. Oh ya, mana es krimnya tadi? Ya ampuun sudah meleleh sayang.. masih mau diminum?"

Tapi Sasa melemparkan cup es krim itu sehingga berhamburan dilantai.

"Hmm... anak nakal.."

"Maukah digendong tante Dita? Yuk.. sama tante.." Dita mengulurkan tangannya, dan herannya Sasa tidak menolak. Barangkali Sasa berharap bahwa perempuan yang satunya akan membawanya pergi dari rumah ini.

"Diam ya sayang.. besok kita mencari papa...ya.."

Sasa terdiam, tangannya menunjuk nunjuk kearah pintu.

"Diluar masih gelap sayang.. besok kalau sudah nggak gelap lagi kita akan pergi," hibur Dita.

Dita belum pernah punya adik kecil, tapi ia sering bermain dengan cucunya pak Karsono, jadi sedikit banyak ia tau bagaimana membuat anak kecil menghentikan tangisnya.

"Tuh.. lihat.. gelap kan?" Dita menyingkapkan korden, agar Sasa bisa melihat keluar.

"Ini susunya, tolong kamu minumkan Dit," pinta Santi sambil mengulurkan botol berisi susu.

Tapi Sasa menolaknya. Ia merebahkan kepalanya dibahu Dita.

"Mengantuk dia," bisik Santi.

"Mengapa dokter nekat membawanya? Pasti dia akan rewel dan itu menyusahkan," kata Dita pelan. Ia merasa kasihan pada Sasa, mengapa anak sekecil ini harus ikut didera takut dan ketidak nyamanan?

"Dia itu anakku, apa salah kalau aku membawanya?"

Tapi ini bukan suasana yang nyaman, apa tidak kasihan Sasa?"

"Diamlah , itu urusanku, pada awalnya boleh jadi dia rewel, tapi lama kelamaan pasti tidak."

Sasa sudah memejamkan mata, barangkali letih menangis sejak dibawa ibunya.

"Mungkin lampu rumah ini terlalu gelap. Aku akan keluar sebentar membeli bohlam yang nyalanya lebih terang," kata Santi sambil beranjak keluar.

"Tolong titip dia dulu Dita, aku keluar sebentar."

Santi keluar dan mengunci pintu seperti biasanya. Tapi kali itu Dita tak takut. Ia sedang mengira ira, kalau lari.. mau kemana.. karena dalam suasana malam begini pasti susah cari angkutan umum, apalagi daerah ini tampak sepi begitu setelah isya.

Sasa tampak pulas bersandar dibahunya. Dita membawanya duduk sambil terus menepuk nepuk punggungnya. Santi hanya akan membeli bohlam lampu, apakah jam segini masih ada toko yang buka? Dita ingin nekat lari dari rumah itu, tapi dia ragu2. Kalau Santi tiba2 kembali, dan dia belum sempat berlari jauh, pasti dia akan dipaksanya mengikutinya lagi. Harus ada banyak waktu untuk bisa pergi jauh dari sini. Dita bingung, tapi setidaknya dia sudah punya kunci serep, dia bisa dengan mudah pergi kalau Santi tidak ada dirumah. Tapi bagaimana kalau tiba2 Santi pergi membawa Sasa serta sedangkan dia ditinggalkannya? Kasihan Sasa, tampaknya dia dipaksa. Tidak, Dita tak bisa memikirkan dirinya sendiri. Kalau dia pergi, maka dia harus membawa serta Sasa. Dita terus berfikir, sambil berdo'a. 

"Ya Tuhan, tunjukkanlah jalan, lepaskanlah kami dari penderitaan ini," bisiknya lirih.

***

Endang terus menerus menangis, sementara Agus juga tak henti2nya menyesali diri sendiri. Ia begitu bodoh, ia hanya minta orang2 mengawasi anaknya sa'at siang dan memang itu hanya untuk memancing Santi, tapi dia lupa bahwa Santi bisa memasuki rumahnya karena ia juga punya kuncinya. Dan celakanya, Endangpun tak pernah berfikir tentang hal ini.

"Tenangkan hatimu Pras, yang jelas anakmu pasti selamat, tak mungkin Santi mencelakai anaknya sendiri," hibur Panji yang terus menemani Agus dirumahnya.

"Aku akan lapor pada polisi, sekarang juga."

"Jangan dulu Pras, Dita ada ditangannya, Dita bisa celaka."

"Kamu hanya memikirkan Dita, bagaimana dengan anakku?"sergah Agus dengan nada tinggi.

"Ma'af Pras, bukan aku menyepelekan anakmu, bukan, tapi kita harus bertindak hati2 karena Santi sudah mengancam."

"Menurutmu apa yang sebaiknya kita lakukan? Menyuruh orang2 bodoh itu lagi kemudian menangkap orang yang salah lagi?"

"Sabar Pras, mari kita pikirkan ini dengan kepala dingin."

Tiba2 ponsel Panji berdering. Panji mengangkat bahunya.

"Nggak kenal, tapi akan aku jawab."

Panji mengangkatnya.:"Hallo.."

"Hallo, ini dengan mas Panji?" suara dari seberang

"Ya, saya sendiri, anda siapa?"

"Nama saya Badrun..."

***

 besok lagi ya

 


No comments:

Post a Comment

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...