Wednesday, November 26, 2025

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 33

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA  33

(Tien Kumalasari)

 

Hasto membuka matanya perlahan. Jalannya mobil yang bergoyang-goyang membuatnya tersadar. Ia heran sedang berada di dalam sebuah mobil, bersandar di jok dengan tubuh terasa lemas. Ia menoleh ke arah samping, dan terkejut melihat siapa yang sedang menyetir mobilnya.

“Sinta?”

Sinta menoleh ke sampung dan tersenyum.

“Kamu kenapa?”

“Badanku sakit semua. Bagaimana kamu bisa membawa aku ke dalam mobil?”

“Aku sengaja datang, karena hari ini dan besok kan libur. Aku ke rumah Alisa, kata bibi pembantu semua keluarga sedang ke bukit, menjemput calon menantu keluarga Warsono. Aku pinjam mobil teman, lalu menyusul, karena aku kan juga kenal sama Kenanga, bahkan yang sudah menyembuhkan kakiku yang retak atau patah. Sekarang aku sudah baik-baik saja. Tidak disangka aku melihat kamu berjalan terhuyung-huyung, bahkan pingsan begitu aku berhenti. Beruntung kamu bisa bersandar di mobil, kalau tidak kamu bisa luka oleh batu-batu yang berserakan di jalan."

“Oh, ini mau ke mana? Mobilku tertinggal di sana.”

“Sudah jauh, sebentar lagi sampai rumah sakit.”

“Apa maksudmu rumah sakit?”

“Kamu itu sakit. Orang waras nggak mungkin pingsan kan?”

“Oh, ya Tuhan, aku sakit ya?”

“Sebenarnya ada apa? Dan di mana mereka? Kamu ketemu Alvin dan keluarganya?”

“Ada di sebuah rumah penduduk. Ada sesuatu yang luar biasa terjadi.”

“Apa sesuatu yang luar biasa?”

Lalu secara singkat Hasto menceritakan kejadian yang terjadi di rumah Kenanga, yang akhirnya membuat tubuhnya luka-luka, yang pastinya luka dalam, karena ia merasakan badannya sakit semua.

“Jadi kalian habis bertempur melawan laki-laki tua yang mau membawa Kenanga? Yah, untunglah ada Alvin yang kemudian datang. Dia kan jago taekwondo.”

“Ya, begitulah, untung ada Alvin yang membuat mereka akhirnya tak berdaya dan berhasil membawa Kenanga turun.”

“Mengapa kamu tidak mengatakan bahwa kamu terluka sehingga Kenanga bisa mengobati. Dia han ahli meramu obat dengan caranya?”

“Aku … malu mengatakannya.”

“Ya ampuun, kesakitan tapi malu mengakuinya?”

“Terus terang kemudian aku kalah bersaing dengan Alvin, tapi aku sudah memberinya selamat kepada Kenanga.”

“Jadi sekarang Kenanga akan ikut bersama keluarga Alvin?”

“Untuk menghindari orang tua tak tahu diri itu. Kalau Kenanga masih di rumahnya, bisa jadi mereka akan datang lagi dan memaksa Kenanga. Tak apa, yang penting Kenanga selamat.”

Mobil Sinta sudah sampai di rumah sakit, dan ternyata Hasto memang tidak bisa berjalan tegak. Mungkin ada tulang-tulangnya yang retak atau entahlah. Yang jelas Sinta harus meminta brankar untuk membawa Hasto ke ruang IGD.

***

Keluarga Warsono dan Kenanga sudah sampai di rumah. Kenanga terbelalak melihat rumah seindah dan semegah itu. Dibandingkan dengan rumahnya yang beratap rumbai, berdinding bambu, alangkah jauh bedanya. Ia melangkah ragu, dan harus dirangkul Alisa agar masuk ke dalam rumah.

“Kenanga, jangan sungkan. Kelak rumah ini akan menjadi rumahmu juga,” kata bu Warsono melihat keraguan yang tampak pada wajah Kenanga.

“Iya, masuk dan ajak Kenanga ke kamarmu,” lanjut pak Warsono, sedangkan Alvin hanya tersenyum-senyum bahagia.

Alisa langsung mengajak Kenanga masuk ke dalam kamar. Kamar yang sangat mewah dengan perabotan yang belum pernah dilihat sebelumnya. Kenanga mengamati ke sekelilingnya, tak ada lampu minyak seperti dirumahnya. Alisa membuka jendela kamarnya, lalu udara segar masuk ke dalamnya. Ketika Kenanga berdiri di depan jendela itu, ia melihat sebuah kebun penuh dengan tanaman bunga. Ada kolam kecil dan ikan-ikan berkecipak riang di kejauhan.

“Kamu suka?”

“Aku takut,” jawab Kenanga, membuat Alisa tertawa.

“Apa yang membuatmu takut? Oh ya, sebaiknya kamu mandi dulu, ayo ke kamar mandi,” kata Alisa sambil menarik tangannya ke kamar mandi.

“Itu apa?” katanya sambil menunjuk ke arah bathup dengana heran.

“Itu namanya bathup, kalau kamu suka berendam, kamu bisa masuk ke sana dan berendam air hangat. Kalau tidak suka, kamu bisa mengucurkan air dari sini. Ini sabun, ini handuk yang sudah disiapkan.”

Alisa mengajari Kenanga bagaimana ia harus mandi, lalu memberikan bajunya untuk dipakai oleh Kenanga, bukan kain dan kebaya seperti yang dipakainya.

“Tuh kan, badanku sama badanku itu sama. Bajuku bisa pas di badan kamu.”

Alisa mengajak Kenanga berkaca, rambutnya yang panjang tergerai lepas. Alisa menyisirinya lembut, lalu Kenanga menggelungnya dengan apik.

“Kamu cantik sekali.”

Kenanga juga heran melihat bayangan di cermin. Ketika di rumahnya, cerminnya adalah air belik yang tenang. Bayang-bayang yang terlihat tidak begitu jelas, terkadang air dalam belik bergoyang-goyang. Sekarang ia dengan jelas melihat bayangannya sendiri, dan dengan heran ia menyadari, bahwa dirinya sangat cantik.

“Itu … apakah aku?” katanya sambil menunjuk bayangannya sendiri yang berdiri sejajar dengan Alisa.

“Tentu saja kamu. Kamu sangat cantik.”

“Apa aku pantas tinggal di sini?”

“Kamu seperti putri dari kahyangan,” kata Alisa.

Kenanga teringat dongeng almarhum ayahnya. Putri dari kahyangan adalah bidadari. Ia pernah membayangkan seorang bidadari ketika melihat wajah Sinta saat ia mengobatinya. Dirinya secantik itu?

“Ayo kita keluar, bibik akan membuat minuman hangat untuk kita,” katanya sambil menggandeng Kenanga keluar dari kamar.

Baju yang dipakai hanya baju rumahan, berwarna hijau lumut berkembang putih, lengannya panjang dan baju itu juga menutupi kakinya.

Alisa mengajaknya ke ruang tengah, di mana sudah ada ayah ibu Alisa dan juga Alivin yang semuanya menatapnya takjub.

“Kenanga, kamu cantik sekali,” puji bu Warsono.

Alisa mengajaknya duduk disampingnya. Bibik pembantu menyiapkan minuman hangat dalam cangkir-cangkir yang menurut Kenanga sangat indah.

Setelah meletakkan cangkir-cangkir itu, bibik mengatakan bahwa tadi ada yang mencari Alisa.

“Siapa yang mencari aku?”

“Itu teman Non. Yang namanya Sinta.”

“Sinta kemari?”

“Iya, katanya mau menyusul Non, setelah bibik bilang seluruh keluarga menjemput calon istri tuan Alvin.”

Kenanga menunduk tersipu, Bahkan pembantu rumah menyebutnya calon istri Alvin?

“Sinta menyusul? Tidak tuh, kok aku tidak ketemu ya.”

Alisa mengambil ponsel dan menelponnya dan langsung dijawab oleh Sinta.

“Alisa, tadi aku menyusul kalian.”

“Kok nggak ketemu?”

“Sekarang aku di rumah sakit.”

“Apa? Kamu sakit?”

“Bukan. Hasto yang sakit.”

“Mas Hasto sakit? Kok kamu bisa ketemu dia? Sakit apa?”

Semua yang hadir mendengarkan Alisa bertelpon. Terkejut mendengar Hasto sakit.

Lalu Sinta mengatakan tentang pertemuannya dengan Hasto yang kemudian pingsan saat mobilnya berhenti didekatnya.

“Rumah sakit mana?” tanya Alvin.

“Berikan alamat rumah sakitnya. Mas Alvin mau ke sana.”

***
Alvin berangkat sendiri ke rumah sakit yang dimaksud. Bersaing dalam memperebutka seorang gadis bukan berarti membunuh rasa persahabatan. Bergegas dia masuk, lalu melihat Sinta duduk di ruang tunggu.

“Alvin, akhirnya kamu datang,” sapa Sinta.

“Apa yang terjadi?”

“Aku sudah cerita sama Alisa, apa dia tidak mengatakannya padamu?”

“Ya, sekilas, tapi aku kan juga ingin mendengar dari kamu.”

Sinta pun mengatakan semuanya.

“Apa kata dokter?”

“Masih diadakan pemeriksaan secara keseluruhan. Seperti ada tulangnya yang patah.”

“Kok dia kuat berjalan ya?”

“Mungkin tadinya hanya retak, karena dipaksa berjalan lalu patah.”

“Aku heran, ketika sebelum turun dari bukit aku melihat dia kesakitan, tapi ketika aku bertanya, katanya tidak apa-apa. Aku mau memapah dia turun, dia menolaknya, jadi dia berjalan sendiri.”

“Dia bilang, malu mengakui kalau dia kesakitan.”

“Ketika aku datang dia sedang dikeroyok oleh anak buah pak tua itu. Tampaknya dia berhasil menjatuhkan pak tua, tapi anak buahnya ada lima orang. Tampaknya Hasto juga jatuh bangun ketika itu. Heran, mengapa dia tidak mengatakan yang sebenarnya. Kalau Kenanga tahu, barangkali Kenanga bisa memberikan obatnya, paling tidak untuk mengurangi sakitnya.”

“Benar, aku juga sembuh karena Kenanga. Sekarang Kenanga ada di rumahmu? Kata Hasto dia kamu bawa pulang.”

“Benar, orang-orang dusun menyarankan agar Kenanga diungsikan dulu, agar tidak diganggu oleh pak tua itu.”

“Apakah sekiranya Kenanga bisa membantu mengobati Hasto ya?”
”Entahlah, apa sebaiknya aku panggil dia?”

“Kamu telpon Alisa, lalu kamu bicara sama Kenanga.”

Lalu Alvin akhirnya bisa bicara dengan Kenanga. Tapi Kenanga mengatakan kalau obat-obatnya tertinggal di rumah.

“Apa aku harus mengambilnya? Aku tidak tahu sakitnya seperti apa, tapi barangkali bisa mengurangi atau membantu menyembuhkannya. Hanya membantu, aku bukan orang pintar yang bisa membuat orang sakit bisa sembuh, Nanti aku pulang dulu,” kata Kenanga.

“Jangan kamu. Baiklah, nanti kita atur caranya. Aku akan menemui Hasto dulu.”

Alvin menutup pembicaraan, dan merasa lega Kenanga mau membantunya.

“Bagaimana?” tanya Sinta.

“Kenanga mau mengambil ramuan-ramuan yang ada di rumahnya, tapi lebih baik jangan dia yang pergi. Bahaya bisa setiap saat mengintainya. Pak Tua itu kabarnya punya banyak anak buah. Yang berani menentangnya bisa celaka. Kalau Kenanga pulang lalu dia tahu, bisa bahaya.”

“Jadi kamu yang akan pergi ke sana?”

“Ya, sebaiknya begitu, aku akan mengajak beberapa orang kantor, barangkali ada barang yang susah di bawa, sehingga mereka bisa membantu.”

“Syukurlah.”

***

Alvin memarahi Hasto karena tidak mau mengaku kalau dia kesakitan. Hasto yang masih merasa lemah hanya tersenyum. Mana bisa Alvin merasakan apa yang dirasakannya? Sakit hatinya lebih berat dari sakit di tubuhnya.

“Aku sudah bilang pada Kenanga, dia bersedia membantu.”

“Aku sudah ditangani dokter, tidak usah repot karena aku.”

“Hasto, aku masih sahabatmu bukan? Jadi tenang saja. Siapa tahu obat yang diberikan Kenanga bisa mengurangi sakit kamu, atau bisa mempercepat penyembuhan di samping penanganan dokter.”

“Aku harus dioperasi, dokter sudah mengatakannya.”

“Kenanga bilang hanya membantu. Biar dioperasi, siapa tahu obatnya bisa mempercepat kesembuhan kamu?”

Hasto hanya diam. Sedikit sungkan ketika Alvin akhirnya tahu bahwa dirinya kesakitan karena dihajar anak buah Lurah lawas.

***

Keesokan harinya, dengan petunjuk Kenanga tentang di mana ramuan obatnya disimpan, Alvin berangkat bersama anak buahnya, karena ramuan inti yang dibuat oleh kakek bersorban ada di sebuah kotak besar.

Mereka sudah sampai di bawah bukit dan bersiap naik, tapi betapa terkejutnya ketika mereka melihat asap hitam membubung tinggi, tanda ada kebakaran di atas sana.

***

Besok lagi ya.

Tuesday, November 25, 2025

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 32

 RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA  32

(Tien Kumalasari)

 

Seseorang bergegas mendekat, dan wanita yang berdiri di depan Kenanga melambaikan tangannya sambil berteriak.

“Mas, sini! Tolong Kenanga.”

“Apa ini? Siapa dia?”  Lurah lawas berteriak marah.

“Kenanga, apa yang terjadi?”

Yang datang adalah Hasto. Ia langsung mendekat ke arah kenanga, tapi salah seorang anak buah lurah lawas menghadang.

“Mau apa kamu?” hardiknya.

“Minggir. Kenanga adalah calon istri Lurah lawas, kamu tidak boleh mendekat."

“Lurah lawas yang mana? Calon istri apa? Kenanga adalah calon istriku,” Hasto gantian berteriak.

“Minggir Mas, kamu bukan lawannya,” Kenanga juga berteriak.

“Kamu siapa, anak muda masih ingusan, mengaku sebagai calon suami Kenanga? Berani sekali kamu mengorbankan nyawa kamu.”

Seorang anak buah Lurah lawas mendorong tubuh Hasto sehingga terhuyung-huyung.

Kenanga menjerit.

“Mas, kamu bukan lawannya. Mundurlah.”

“Kenanga, kamu bersedia menjadi istrinya?”

“Tidak, lebih baik aku mati.”

“Kenanga, kamu tidak boleh mati, kamu akan bahagia menjadi istriku. Kamu aku jadikan ratu di rumahku, Kenanga,” kata Lurah lawas lembut, membuat Kenanga bertambah muak.

“Cepat bawa dia, mengapa kalian malah seperti mendapat tontonan? Singkirkan anak muda itu!”

Walau tak segagah Alvin, tapi Hasto adalah laki-laki. Ia pantang menyerah. Demi cintanya kepada Kenanga, bahkan nyawa akan dikorbankannya. Ia melompat ke dekat Kenanga, lalu tiba-tiba sudah berdiri menghadang di depan gadis pujaannya, seperti melindunginya.

Lurah lawas yang tak menduga gerakan Hasto begitu cepat, menjadi terkejut lalu berubah sangat marah. Ia menerjang ke arah Hasto, tapi ternyata tulang tuanya kalah gesit dengan gerakan Hasto. Ia justru jatuh tersungkur, lalu sambil mengaduh-aduh ia memaki-maki anak buahnya.

Kesempatan itu dipergunakan Hasto untuk membawa pergi Kenanga dari tempat itu. Wanita yang tadi membantu Kenanga, merasa sedikit lega, berharap Hasto berhasil membawa pergi Kenanga.

Tapi Lurah lawas yang tak mampu berdiri memaki-maki anak buahnya.

“Bodoh! Bodoh kalian! Kejar dia! Kalian mau mati?”

Kelima anak buahnya bergerak, dan tiba-tiba sudah berada di depan Hasto, menghalangi Hasto yang menggandeng erat tangan Kenanga.

“Jangan harap kalian bisa lepas dari sini,” hardik salah seorang dari mereka.

Lalu tiba-tiba kelimanya serentak menyerang Hasto, yang kemudian mendorong Kenanga ke arah pinggir. Mana mampu Hasto melawan kelima anak buah Lurah lawas yang semuanya berbadan kekar dan berwajah bengis?

Berkali-kali Hasto terkena pukulan, tapi ia terus bertahan. Perempuan yang tadi menemani Kenanga mendekati Kenanga dengan wajah pucat. Tampaknya mereka akan berhasil menjatuhkan Hasto.

Tapi tiba-tiba seseorang muncul. Kenanga berteriak.

“Mas Alvin!!”

Alvin terkejut, melihat Hasto dikeroyok. Ia segera maju dan berhasil memukul salah seorang sehingga jatuh berguling-guling.

Masih ada empat orang, dan walau lemah tapi Hasto masih sempat mempertahankan diri. Ketika SMA, Alvin pernah mengikuti sekolah taekwondo, dengan gerakan secepat kilat kakinya menendang lawannya sehingga jatuh terjerembab mencium tanah. Gerakan yang tak terduga dan bisa mematikan, membuat empat orang anak buah Lurah lawas menjadi keder.

Dari jauh, Lurah lawas yang masih terduduk tak mampu bangun terus berteriak memaki-maki.

“Bodoh! Musuh dua orang bocah saja kalian tak berdaya? Dasar bodoh! Percuma aku membayar kalian!! Salah satu kemari, bantu aku bangun.”

Tinggal seorang yang masih berdiri, itupun sebelah lengannya terasa lemas setelah terkena tendangan Alvin. Iapun kemudian jatuh terduduk. Barangkali lengan kirinya patah.

Kenanga menatap kagum. Ia bersyukur atas kedatangan Alvin yang mampu melawan anak buah Lurah lawas, dan membuat mereka tak berdaya.

Sementara itu Alvin menatap Hasto yang tampak kelelahan.

“Kamu tidak apa-apa?”

“Aku baik-baik saja,” jawab Hasto walaupun wajahnya tampak pucat. Ada luka di kakinya yang tak dikatakannya. Mungkin malu, atau sungkan karena tanpa Alvin ia tak mampu berbuat apa-apa.

“Sebaiknya Mas ajak Kenanga pergi dulu dari tempat ini,” kata perempuan yang sejak tadi menggenggam tangan Kenanga.

“Baiklah, ayo turun  dulu, supaya Kenanga merasa tenang,” kata Alvin.

“Hasto, kamu masih kuat berjalan turun? Mari aku papah,” kata Alvin tulus, tapi Hasto menolaknya.

“Tidak, aku bisa.”

“Ya sudah, pelan-pelan kalau ada yang terasa sakit.”

“Benarkah kamu tidak terluka?” tanya Kenanga.

“Tidak, aku tidak apa-apa,” katanya sambil mengikuti mereka turun.

“Kenanga, ada ayah dan ibuku menunggu di bawah,” kata Alvin tiba-tiba, membuat Kenanga terkejut.

“Apa?”

“Mereka ingin mengenal kamu lebih dekat.”

“Tidak, aku malu, lihat pakaianku,” kata Kenanga yang kemudian berhenti melangkah.

“Hei, ada apa denganmu. Apa kamu memilih menjadi istri aki tua itu?”

Hasto mendengar apa yang dikatakan Alvin. Kejadian itu membuatnya mundur selangkah. Dia bukan apa-apa dibanding Alvin, apalagi sudah ada orang tua Alvin yang katanya menunggu di bawah, dan itu berati bahwa mereka bisa menerima Kenanga. Benarkah begitu? Keluarga kaya raya, dan Kenanga berani mengambil resiko untuk direndahkan nantinya?

Alvin tersenyum senang melihat Kenanga kemudian mengikutinya turun.

Di bawah, sebuah mobil tampak diparkir di tepi jalan. Begitu melihat beberapa orang turun, lalu ada seorang gadis berkulit putih, berkain dan berkebaya dengan diikatkan pada perutnya, bu Warsono dan pak Warsono segera turun. Ada Alisa bersama mereka, yang kemudian berlari mendekati Kenanga, lalu menariknya ke dekat ayah ibunya.

“Ini Kenanga, Pak, Bu. Gadis cantik calon menantu Bapak dan Ibu.”

Kenanga terkejut. Calon menantu? Tapi ia tak bisa lama-lama berpikir, karena tiba-tiba bu Warsono memeluknya.

Kenanga kebingungan mendapat sambutan hangat. Pak Warsono juga menjabat tangannya dan menepuk punggungnya hangat.

“Ini … ba … bagaimana?”

Alvin tersenyum.

“Aku sudah mengatakan pada bapak dan ibu aku, mereka akan menjadi mertua kamu.”

“Ta … tapi ….”

Tiba-tiba Kenanga menoleh ke arah Hasto yang diam sedari tadi. Menyadari situasi yang membuat dirinya kehilangan harapan, Hasto berusaha untuk menerima dengan  tabah. Berjiwa besar akan lebih mengangkat derajatnya, bukan kelihatan sebagai manusia terpuruk dalam kekalahan. Ia mendekat dan menjabat tangan Kenanga hangat.

“Selamat Kenanga, kamu sudah menemukan pasangan yang tepat. Semoga kalian berbahagia,” katanya tulus.

Kenanga hanya tersipu, menatap Alvin yang juga sedang menatapnya hangat.

“Itu kan Hasto, teman kuliah Alvin?” kata pak Warsono.

Hasto mendekat, kemudian menyalami ayah dan ibu Alvin, dan mencium tangannya.

“Kenapa diam saja? Kamu dulu sering datang ke rumah kan?” sambung bu Warsono.

“Iya Bu, Pak, tapi saya mau pamit dulu.”

“Mengapa buru-buru?”

“Saya lupa membawa kunci rumah, bapak dan ibu saya sedang bepergian, takutnya ketika pulang lalu tidak bisa masuk rumah,” kata Hasto memberi alasan, padahal sebenarnya ia memang merasa lebih baik tidak melihat kehangatan mereka, agar batinnya tidak semakin terluka.

“Baiklah Hasto, terima kasih banyak ya, apa harus aku antar?” tanya Alvin.

“Tidak, aku membawa mobil.”

“Daripada berbincang di sini, ayo singgah di rumah saya saja. Itu, rumah saya di depan, hanya gubug, maklum, rumah orang dusun, tapi lebih baik daripada berbincang di sini.”

Mereka setuju, lalu mengikuti perempuan dusun tadi yang bergegas mendahului. Perempuan itu menceritakan apa yang baru saja terjadi di atas, dan berharap mereka membawa Kenanga dulu ke kota, agar Lurah lawas tidak mengganggu lagi. Kedua orang tua Alvin setuju. Alisa sangat senang akan mendapat teman.

“Nanti tidur di kamarku, ceritakan tentang bukit-bukit berhantu yang ada di sana,” kata Alisa senang. Kenanga tersenyum, tak ada penolakan, karena ia mendapat sambutan hangat, tidak seperti yang pernah dia bayangkan.

***

Hasto berjalan dengan langkah lunglai, sesungguhnya tubuhnya terasa sakit semua. Ia jatuh bangun dihajar anak buah Lurah lawas, tapi sungkan mengatakan hal yang sebenarnya. Ia memilih segera pulang dan istirahat di rumah.

Langkahnya yang terhuyung-huyung membuat seorang pengendara mobil kemudian berhenti di dekatnya.

“Hasto?”

Bukannya menoleh, Hasto malah ambruk, bersandar pada mobil yang berhenti di dekatnya.

“Hasto, kamu kenapa?”

Dengan susah payah dia membuka mobil dan memapah Hasto ke dalam mobilnya, lalu dilarikannya ke rumah sakit.

***

Besok lagi ya.

Monday, November 24, 2025

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 31

 RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA  31

((Tien Kumalasari)

 

Dari beberapa warga yang ikut duduk bersama di depan rumah Kenanga, tak satupun yang menyukai Lurah lawas. Ia arogan, sombong dan semena-mena. Karena punya banyak uang, maka ia ingin agar semua orang tunduk padanya.

Karenanya begitu dia turun bersama anak buahnya, tak kurang yang mengumpat dan memaki-makinya.

“Dasar tua bangka tak tahu diri.”

“Jangan sampai ia berhasil memiliki Kenanga. Kita harus menghalanginya.”

“Bagaimana caranya? Kalau dia datang bersama anak buahnya yang kejam itu, kita bisa mati kutu karena mereka kejam dan tak punya peri kemanusiaan.

“Makanya harus ada upaya untuk menghalanginya.”

“Bagaimana caranya?”

“Kita sembunyikan Kenanga.”

“Disembunyikan di mana?”

“Mari kita pikirkan bersama. Bersembunyi di mana supaya aman?”

“Tak mungkin di rumahku yang sempit itu.”

“Bagaimana kalau biar dibawa itu … temannya dari kota yang guanteng-guanteng itu.”

“Nah, kalau begitu baru aman.”

“Tapi bagaimana menghubungi mereka?”

“Pasti susah. Orang kota rumahnya mana, nggak ada yang tahu.”

“Apa Kenanga tahu ya? Besok pagi kalau dia bangun kita sarankan saja untuk ikut salah satu diantaranya.”

Dengar-dengar kang Suto juga mau mengambil Kenanga menjadi menantu. Anaknya juga sudah mapan, jadi guru sekolah yang dekat terminal itu.”

“Wah, nggak bakalan berani dia, karena sudah mendengar kalau Lurah lawas mau memboyong dia.”

“Lalu bagaimana baiknya?”

“Besok pagi biar kita ajak Kenanga bicara. Dia pasti juga tak mau dipaksa mengikuti kemauan Lurah lawas.”

Banyak usulan tapi yang paling banyak disetujui adalah ikut ke kota.

“Mana berani dia menyusul ke kota dan ngamuk di sana seperti kepada kita.”

“Masalahnya adalah kita tidak tahu ke mana mencari salah satu diantara mereka.”

“Mereka sering datang, semoga bisa datang lebih cepat sebelum Lurah lawas memaksakan kehendaknya.

***

Dua hari setelah minum jamu pemberian Kenanga, bu Warsono merasa dirinya lebih sehat. Perawat yang membuka pembalut luka terkejut ketika melihat luka itu sudah mengering.

“Ini diberi apa ya Bu, seperti warna kehijauan begini.”

“Maaf suster, anak saya memberi kompres obat dari kampung. Apakah nanti dokter akan marah?”

“Tidak Bu, luka ibu sudah mulai mengering. Ini pertanda bagus. Mulai hari ini sudah tidak perlu diperban lagi. Saya hanya membersihkan kulit-kulitnya yang mengering. Saya kira dokter tidak akan keberatan kalau masih diberikan kompres yang dari kampung itu lagi, karena memang ternyata menyembuhkan.”

“Syukurlah suster.”

“Dari apa ya obatnya ini Bu?”

“Saya juga tidak tahu, yang memberi itu rumahnya jauh di hutan sana. Saya juga minum obat ramuannya.”

“Bagus sekali, tensi ibu sudah normal. Sebentar lagi akan kami cek gula darahnya Bu. Kalau benar sudah stabil, ibu pasti boleh segera pulang.”

“Senang mendengarnya, suster.”

Bu Warsono memang benar-benar senang. Ia sudah merasa nyaman. Nyaman hatinya, nyaman badannya. Sepertinya tak ada keluhan. Ia merasa lebih segar.

***

Dan keesokan harinya bu Warsono benar-benar diijinkan pulang, membuat seisi rumah menjadi bahagia.

“Walaupun aku juga minum obat dari dokter, tapi obat yang diberikan calon mantuku benar-benar membantu,” kata bu Warsono dengan gembira.

“Ibu sudah menyebutnya calon mantu, apakah Ibu benar-benar sudah merasa mantap?”

“Sudah Pak, sekarang ibu hanya memikirkan kebahagiaan anak-anak kita. Kita sudah memiliki harta yang cukup, tidak usah memikirkan besan yang kaya dan lebih terhormat. Yang penting kita tidak membuat anak kita menderita,” kata bu Warsono tulus.

“Apakah Bapak tidak setuju?” tanya bu Warsono ketika melihat suaminya terdiam.

“Aku tidak akan memaksakan kehendak, terserah Ibu saja. Aku tidak suka Ibu bersedih atau kecewa. Dulu aku kira bukan gadis dari desa atau dari hutan itu yang Ibu harapkan. Tapi setelah Ibu merasa mantap, aku juga senang.”

“Segera minta Alvin agar segera membawanya kemari Pak, kasihan anak itu setelah ayahnya meninggal.”

“Nanti ibu katakan saja pada dia. Dengar-dengar dia akan sering mengunjunginya, dan tidak akan memaksa seandainya Kenanga belum mau diajak turun. Alvin maklum, karena pastinya dia masih berduka.”

“Seandainya tidak harus naik bukit yang katanya terjal itu, ibu mau kok ikut menjemput Kenanga.”

“Nanti kalau Alvin sudah siap, kita menunggu di bawah saja, biar yang muda-muda naik.”

“Begitu ya Pak. Ibu setuju. Rasanya ibu ingin segera berangkat ke sana.”

“Ibu itu kalau sudah punya keinginan kok susah sekali dikendalikan. Ibu kan baru saja pulang dari dirawat di rumah sakit. Ibu harus pulih dulu, bari bisa bepergian jauh.”

“Rasanya sudah sembuh kok Pak.”

“Rasanya, tapi kan belum benar-benar sehat. Sebaiknya istirahat dulu sehari dua hari, baru bisa bepergian jauh.”

***

Orang-orang kampung sudah berbincang dengan Kenanga selama dua hari ini. Keputusan terbaik memang sebaiknya Kenanga ikut antara Hasto dan Alvin. Tapi Kenanga masih bingung memikirkannya. Kalau menurut kata hati, ia memang menyukai Alvin, apalagi sang ayah juga sudah mengatakan secara tersamar, bahwa jodohnya akan datang hari di mana ayahnya mengatakannya. Dan yang datang ketika itu adalah Alvin. Lagipula sang ayah sudah menitipkan dirinya pada Alvin. Tapi mengingat Alvin yang menurut Hasto adalah keluarga kaya raya yang tak mungkin mau bermenantukan gadis desa seperti Kenanga, hati Kenanga diliputi perasaan bimbang. Benarkah yang pas untuk dirinya adalah Hasto? Yang kata Hasto pula bahwa orang tuanya juga berasal dari desa, dan kemungkinan besar pasti mau menerimanya. Tapi mengapa hati terasa berat untuk codong kepada Hasto? Ia sama sekali tidak menyukai Hasto yang terlalu mendesaknya. Ia juga tidak suka ketika Hasto berbohong tentang Sinta yang katanya tunangan Alvin.

“Apa kamu tahu di mana rumah teman kamu itu, Kenanga? Salah satu saja diantara mereka, kalau kamu tahu rumahnya, kami akan mendatanginya dan mengatakan bahwa kamu akan segera dibawa Lurah lawas,” kata salah seorang warga dusun yang selalu menemani Kenanga setelah kakek bersorban meninggal.

“Aku tidak tahu Lik, dua-duanya rumahnya di mana, aku tidak tahu,” kata Kenanga sedih.

“Kalau begitu kita tinggal berharap, semoga mereka datang sebelum Lurah lawas memaksakan kehendak untuk segera membawa Kenanga.”

***

Tapi ternyata sebelum Hasto atau Alvin datang, Lurah lawas sudah mendahuluinya. Ia datang bersama beberapa orang bawahannya.

Kenanga yang hanya ditemani seorang wanita dusun sangat terkejut melihat kedatangan mereka. Tanpa basa basi mereka duduk di atas tikar yang memang selalu digelar di depan rumah Kenanga. Lurah lawas berdiri dengan angkuh, menatap Kenanga yang berdiri memandangi mereka dengan wajah kesal, disertai takut.

“Kenanga, aku kira sudah lebih dari sepekan ayah kamu meninggal. Tidak baik seorang gadis hidup sendirian. Sekarang aku sedang menjemput kamu, agar kamu tidak kesepian. Aku kan sudah bilang kalau punya rumah baru yang belum pernah aku tempati, dan itu aku akan memberiikannya untuk kamu. Rumahnya bagus. Kamu akan tinggal di sana dengan lebih nyaman. Lagipula jadi istriku itu enak, kamu tidak akan kekurangan,” kata Lurah lawas panjang lebar.

Wajah Kenanga gelap bagai langit tertutup mendung.

“Pak Lurah kan tahu, belum lama bapak meninggal, mana mungkin aku memikirkan punya suami? Lebih baik biarkan aku tenang. Masalah suami aku belum memikirkannya.”

“Jangan begitu Kenanga. Maksudku begini, kamu tinggal dulu di rumah aku itu, aku akan menunggu sampai kamu benar-benar siap menerima aku sebagai suami.”

“Maaf pak Lurah, aku tidak mau.”

Mendengar jawaban Kenanga, wajah pak Lurah berubah merah padam. Belum pernah ada yang menentangnya. Semua keinginannya harus terlaksana. Oh ya, Lurah lawas lupa, ia belum memberikan apa-apa pada orang tua Kenanga. Tapi kan Kenanga tidak punya orang tua lagi? Baiklah, Lurah lawas punya banyak barang berharga, bahkan yang menempel pada tubuhnya. Orang setua dia, laki-laki pula, ia tak sungkan memakai kalung dan gelang emas. Ia segera melepasnya, lalu dengan gelang dan kalung dalam genggaman, ia mendekati Kenanga, yang kemudian melangkah mundur melihat Lurah lawas mendekatinya.

“Kenanga, jangan menjauh, aku ingin memberikan sesuatu untuk kamu. Ini, lihat apa yang aku bawa ini. Ini adalah kalung rantai yang tak ternilai harganya. Juga gelang bermata berlian ini, setara dengan sebuah rumah mewah. Ini untuk kamu Kenanga, sudah aku persiapkan. Memang tidak aku bungkus atau aku letakkan di sebuah kotak perhiasan, karena perjalanan yang sulit, kemudian aku malah memakainya agar mudah dibawa. Ini, terimalah, ini untuk kamu, Kenanga,” kata Lurah lawas sambil mengulungkan benda di dalam genggamannya.

“Tidak, maaf, aku tidak mau. Bawa saja kembali, aku tidak mau.”

Kenanga melangkah semakin menjauh.

“Kenanga, apa maksudmu? Kamu menolak pemberianku sementara semua orang mengincar barang-barang ini?”

“Atas dasar apa pak Lurah memberikan barang-barang ini?”

“Jangan bodoh Kenanga, tentu saja karena kamu akan menjadi istriku. Masih bertanya lagi?”

“Aku tidak mau. Bawa kembali barang-barang itu, aku tidak mau.”

Sudah sejak tadi pak Lurah menahan kemarahannya, dan mendengar penolakan Kenanga yang dengan tegas diucapkannya, ia tak bisa lagi menahannya. Ia menoleh kepada anak budahnya, yang siap menerima perintah sang majikan.

“Paksa dia!” titahnya.

Serentak lima orang yang semula ngelesot di tikar, kemudian berdiri.

Seorang wanita yang menemani Kenanga, berdiri menghalang di depan Kenanga.

“Pak Lurah, mohon pengertiannya, saat ini Kenanga masih berduka. Mohon pak Lurah bersabar ya,” katanya pelan, sesungguhnya dia juga takut.

“Aku itu hanya akan membawa dia dan menyuruhnya tinggal di rumah bagus. Bukan di rumah beratap tembikar seperti ini. Minggir kamu!”

Tiba-tiba seseorang datang dari arah bawah.

“Ada apa ini?” ia berteriak.

***

Besok lagi ya.

Saturday, November 22, 2025

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 30

 RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA  30

(Tien Kumalasari)

 

Kenanga termenung gelisah. Mengapa juga ada lurah lawas sudah tua masih pengin istri muda? Ingin sekali Kenanga menangis menggerung-gerung, memanggil sang ayah yang telah meninggalkannya. Begitu rumit hidupnya sekarang. Bukan masalah mengobati orang, tapi masalah jodoh. Kalau berpegang pada wasiat sang ayah, mestinya yang harus menjadi jodohnya adalah Alvin. Tapi mengapa kemudian muncul Hasto, Lurah lawas, dan masih ada lagi orang dusun yang pernah berkata ingin mengambilnya sebagai menantu.

“Kenanga, makanlah dulu, nanti kamu sakit,” kata seorang wanita dusun yang sedari tadi menemaninya.

“Aku bingung Lik.”

“Masalah Lurah lawas itu?”

“Iya. Ada-ada saja, sudah tua masih pengin punya istri lagi.”

“Dia itu sudah berkali-kali kawin cerai. Semuanya yang dipilih perawan. Mentang-mentang uangnya banyak, lalu dipakai untuk memberi iming-iming uang pada orang tua si gadis. Namanya uang, ya banyak yang suka.”

“Aku takut sekali Lik.”

“Kalau kamu takut, lebih baik kamu ikut salah satu diantara anak muda yang sering datang kemari itu. Yang kemarin itu ganteng banget lho Nduk.”

“Orang kaya Lik.”

“Memangnya kenapa kalau kaya? Kamu harus senang dong, bisa hidup sebagai orang kaya.”

“Begitukah? Tidak Lik, kaya atau miskin itu hanya sandangan. Kalau kita mengabdi kepada kekayaan, yang kita dapatkan adalah sandungan. Karena itu aku takut memilih. Hanya saja sebenarnya aku belum ingin memikirkannya. Aku belum bisa melupakan bapak,” kata Kenanga sedih.

“Kami bisa memaklumi, tanah pemakaman kakek belum kering, kamu pasti tidak ingin memikirkan jodoh. Hanya saja kami semua prihatin, kalau kamu terus sendirian kan ya kasihan.”

“Aku tidak pernah merasa sendirian, hanya saja aku tidak mau diganggu masalah jodoh terlebih dulu.”

“Ya sudah, sekarang kamu makan dulu saja, ayo aku temani. Nanti kita semua pasti ikut memikirkan keadaan kamu.”

“Bagaimana supaya Lurah lawas itu mengurungkan niatnya ya Lik?”

“Nanti kita bicarakan bersama, hanya saja entah nanti bagaimana. Kan kamu tahu sendiri, lurah lawas itu punya anak buah banyak. Dengan uangnya, dia bisa melakukan apa saja.”

“Itu membuat aku takut Lik.”

“Tapi kamu tidak usah takut, nanti kami akan membicarakan masalah itu bersama-sama.”

“Aku mau makan sedikit Lik, tapi setelah ini aku mau tidur sebentar ya, sudah berhari-hari tidak bisa tidur.”

“Ya, baiklah, ayo aku temani.”

***

Alisa dan Sinta sudah sampai di rumah, tapi beristirahat sebentar kemudian pergi ke rumah sakit untuk menemui ibunya yang sangat menghawatirkannya. Dan Sinta.walau masih tertatih segera terbang pulang ke Jakarta.

“Kamu baik-baik saja Sa?”

“Baik Bu.”

“Kenapa jalanmu pincang begitu?”

“Luka, tapi sudah diobati. Kenanga pintar mengobati orang, hanya dengan daun-daunan. Dia juga mengirim obat untuk Ibu.”

“Benarkah? Apa kamu bilang kalau ibu sakit?”

“Alisa bilang, mas Alvin nangis-nangis di rumah sakit, minta agar ibu merestui hubungannya dengan Kenanga. Lalu dia tanya, ibu sakit apa? Alisa jawab saja apa adanya. Ini obat untuk Ibu.”

“Wadahnya kok begitu?”

Ini botol dari tembikar. Sudah lama sekali. Kata mbak Kenanga, kalau ibu percaya boleh minum, kalau nggak percaya jangan diminum.”

“Mengapa begitu? Orang bisa percaya kalau sudah membuktikan bukan?”

“Kata Kenanga, kalau kita tidak percaya sesuatu berarti ragu-ragu, dan percaya adalah setengah dari kesembuhan.”

Bu Warsono tampak terdiam.

“Kenanga dan ayahnya itu sudah banyak menyembuhkan orang sakit. Ibu lihat kaki Alisa ini, juga tangan Sinta, sebenarnya patah. Tadinya digerakkan sedikit saja rasanya sakit.”

”Patah? Separah itu?”

“Iya Bu, kan Alisa dan Sinta jatuh ke dalam jurang.”

“Apa? Jatuh ke dalam jurang?”

Alisa menutup mulutnya. Ia keceplosan, padahal Alvin sudah wanti-wanti agar tidak berterus terang supaya sang ibu tidak kepikiran.

“Ini Bu, sebenarnya tidak boleh dikatakan jurang, hanya kubangan, jadi Ibu jangan khawatir. Ini … tulang yang patah sudah bisa digerakkan, dengan obat dari Kenanga. Tapi ini harus dibebat untuk beberapa hari, demikian juga Sinta.”

“Sebenarnya apa yang kalian lakukan di sana? Kamu tidak suka kakakmu menyukai Kenanga, lalu kamu membuat gara-gara?”

Lalu Alisa berterus terang kepada ibunya, bahwa dia mengatakan pada Kenanga bahwa Sinta adalah tunangan Alvin. Tapi setelah tahu kebaikan Kenanga, baik Alisa maupun Sinta kemudian bersimpati kepada Kenanga.

“Ternyata kalian ingin berbuat jahat,” sungut sang ibu.

“Alisa minta maaf. Sekarang Alisa mendukung mas Alvin. Kenanga itu baik dan cantik. Tidak heran mas Alvin tergila-gila,” kata Alisa sambil menundukkan wajahnya.

“Jangan pernah berbuat sesuatu yang buruk. Karena niat buruk kalian, maka kalian terjatuh dan terluka.”

“Alisa janji tak akan mengulanginya.”

“Baiklah, ambilkan gelas, tuangkan obatnya untuk ibu.”

Alisa bergegas mengambil gelas, menuangkan obat berwarna kehijauan itu setengah gelas, seperti anjuran Kenanga.

"Obat dari dokter yang ibu minum sudah jeda dua jam, pastinya boleh minum obat Kenanga ya,” kata bu Warsono.

Dengan ucapan ‘bismillah’ bu Warsono meneguk jamunya.

“Wangi, tapi pahit sekali.”

“Yang satu ini, harus dikompreskan pada luka Ibu.”

“Tapi luka itu dibebat, boleh tidak dibuka lalu diberikan obat itu? Semoga nanti tidak dimarahi susternya.”

“Alisa buka sebentar ya Bu, lalu dengan kapas yang dibasahi, akan Alisa tempelkan di situ. Nanti Alisa bungkus lagi.”

Pengobatan dari Kenanga sudah dijalankan.

“Di mana Sinta sekarang?”

“Sudah pulang ke Jakarta. Dia juga membawa obat dari Kenanga.”

“Semoga semuanya segera sembuh. Tapi ibu kok ngantuk ya, apa efek obat yang ibu minum tadi? Luka ibu ini setelah dikompres jadi terasa dingin, rasa sakitnya nggak ada lagi.”

“Semoga benar-benar cocok obat dari Kenanga ya Bu, sekarang Ibu tidur saja dulu, Alisa juga mau tiduran di situ, sambil menunggu bapak datang.”

Bu Warsono mengangguk, lalu memejamkan matanya.

***

Malam hari itu seperti biasa beberapa penduduk dusun menyalakan obor di sekitar rumah Kenanga, lalu mereka duduk sambil berbincang sehingga suasananya menjadi sedikit ramai. Kenanga tidur di dalam rumah, ditemani salah seorang wanita dusun. Agak terasa tenang setelah mengetahui perhatian warga dusun yang besar atas dirinya.

TIba-tiba suara bincang itu terhenti, ketika  datang serombongan orang yang juga membawa obor. Salah satu dari mereka berjalan paling depan, seorang laki-laki tua yang masih bisa berjalan tegap, dengan kumis setebal kepalan tangan, berjalan mendekat dengan pongahnya.

“Ada pak Lurah lawas,” kata seseorang.

“Aku mau bertemu Kenanga,” katanya tanpa basa basi.

“Kenanga sudah tidur, kasihan dia kecapekan.”

“Tidur? Banyak orang di sini dan dia tidur?”

“Kasihan dia Pak, lagi pula dia hampir tidak bisa tidur nyenyak setelah ayahnya meninggal.”

“Coba kalian bangunkan. Aku mau bicara sesuatu yang penting.”

“Bagaiamana kalau besok pagi saja Pak, kasihan dia.”

“Aku bersusah payah datang kemari, masa harus kembali lagi besok pagi? Aku hanya akan mengatakan satu hal saja pada Kenanga.”

Tapi tanpa harus menunggu ada yang membangunkan, Kenanga sudah berdiri di depan pintu. Ia mendengar semuanya, dan merasa yakin kalau dia tidak segera keluar maka Lurah lawas tak akan mau berhenti.

“Ada apa Bapak mencari saya?”

“Ahaaa, Kenanga. Rupanya baru mendengar suaraku saja hatimu sudah tergugah untuk menemui aku.”

“Ada apa sebenarnya? Ini sudah malam, aku harap Bapak segera mengutarakan maksud Bapak dan tidak mengganggu bapak-bapak yang ada di sini,” kata Kenanga tandas.

“Bagus sekali, memang aku ingin mengatakan sesuatu pada kamu Nduk. Dengar, setelah ayahmu meninggal, kamu kan hidup sendirian. Aku kasihan sekali mendengar berita menyedihkan ini. Dan prihatin melihat keadaanmu yang sebatang kara. Aku punya rumah yang tidak atau malah belum terpakai. Masih baru dibangun. Aku akan memberikan rumah itu untuk kamu. Supaya kamu tidak sendirian di belantara ini. Kasihan sekali kamu, Nduk.”

“Tidak apa-apa Pak, ini rumah saya. Setelah bapak meninggal juga tetap menjadi rumah saya. Saya tidak butuh rumah bagus atau baru, karena di sini saya merasa lebih nyaman.”

“Kamu jangan ngeyel. Kamu merasa nyaman karena mereka ini masih sanggup menemani kamu. Tapi semua itu ada batasnya. Nanti kalau mereka merasa repot atau bahkan bosan, kamu tetap akan ditinggalkannya sendirian.”

“Sebenarnya itu bukan urusan Bapak. Tapi saya berterima kasih kalau Bapak memperhatikan saya. Hanya berterima kasih saja, tidak lebih. Sekarang saya ingin beristirahat, minta maaf,” kata Kenanga sambil kembali masuk ke dalam rumah.

Pak Lurah marah bukan alang kepalang. Biarpun kata-katanya halus, tapi sangat terasa menyakiti. Ia ingin memburu ke dalam rumah, tapi beberapa orang menghalanginya.

“Pak Lurah harap bersabar dan mengerti. Saat ini Kenanga masih berduka. Besok kalau hatinya sudah tenang, bapak boleh bicara lagi,” kata salah seorang yang menjadi tetua.

Rupanya pak Lurah lawas masih punya nurani. Mendengar tentang masa berduka bagi Kenanga, hatinya sedikit luluh. Ia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk kembali pulang, tapi pak Lurah meninggalkan pesan.

“Baiklah aku pulang, tapi katakan pada Kenanga bahwa secepatnya aku akan segera menjemputnya.”

***

Besok lagi ya.

Friday, November 21, 2025

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 29

 RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA  29

(Tien Kumalasari)

 

Alisa dan Sinta saling pandang. Tidak mengira bahwa gadis alas ini menolak Alvin karena merasa tidak pantas. Bukannya sangat bersemangat karena akan hidup berkecukupan di tengah keluarga yang kaya raya.

“Bukankah kakak aku akan membuat kamu bahagia?” kata Alisa, hati-hati.

“Karena apa? Kalau itu karena harta, aku akan membantahnya. Aku tak pernah bermimpi tentang kehidupan kalian yang serba mewah, karena aku mendapatkan ketenangan diantara sunyinya hutan dan segarnya angin yang mengaliri sepanjang  napasku setiap hari. Gadis seperti Sinta inilah yang pantas mendampinginya.”

Wouw, Sinta tiba-tiba merasa seperti mendengar sebuah ejekan. Gadis seperti dirinya pantas mendampingi Alvin? Rupanya Kenanga belum benar-benar tahu bagaimana sifat Alvin sebenarnya. Wajah cantik, kulit mulus, bukan hal yang bisa menumbuhkan cinta baginya. Gadis seperti Kenanga inilah sesungguhnya yang dicari Alvin, yang tak peduli betapa keluarganya tak menyukainya.

“Alvin mencintai kamu, Kenanga,” kata Sinta dengan tulus. Ia merasa berdosa telah membohongi Kenanga dengan mengaku sebagai tunangan Alvin. Rupanya Kenanga bergeming dengan kebohongan itu. Tak ada benci atau iri setelah mendengar bahwa dirinya adalah tunangan Alvin. Dia justru menolongnya, merawatnya, dan boleh dikatakan menyelamatkannya dari luka yang entah sampai kapan dideritanya. Wajahnya cacat, tulangnya patah, belum luka-luka kecil lainnya. Sinta merasa berdosa. Sungguh.

“Apakah kamu tidak menyukai mas Alvin?” sambung Alisa. Kebenciannya terhadap Kenanga tiba-tiba berubah. Dia juga menyesal telah bersekongkol dengan Hasto untuk membohongi Kenanga agar Kenanga menolak kakaknya. Kenanga adalah batu karang yang teguh walau diterjang ombak. Bahwa laut akan menemaninya sepanjang masa, itu sangat diyakininya. Sekarang si karang itu bahkan menolak kakaknya. Lalu timbullah rasa kasihan Alisa kepada sang kakak.

“Mas Alvin sampai menangis di pelukan ibu, hanya karena minta direstui untuk bisa memiliki kamu. Padahal saat itu ibuku sakit.”

“Ibumu sakit?” bukannya tertarik pada kecintaan Alvin yang digambarkan Alisa, Kenanga justru tertarik ketika mendengar ibu Alvin sakit.

“Iya, sudah seminggu lebih di rumah sakit. Macam-macam penyakitnya. Ada luka di kakinya yang tak kunjung sembuh, karena gula darahnya tinggi.”

"Nanti kalau kalian pulang, bawakan obat untuk ibumu, kalau percaya, silakan minum. Kalau tidak, tidak usah diminum. Karena rasa percaya tentang sesuatu obat adalah separuh kesembuhan sebelum meminum obatnya."

“Obatnya berujud apa?" 

"Cairan. Agak pahit, walau aromanya harum. Siapa tahu bisa menolong mengurangi sakitnya.”

“Terima kasih, nanti akan aku bawa.”

***

Hari menjelang senja, ketika keduanya sudah bisa duduk dan mengenakan pakaian mereka. Maaf, aku tidak bisa meminjami pakaian untuk menggantikan pakaian kalian yang kotor. Adanya sarung punya almarhum, atau kain punyaku. Kalian pasti tak suka.

“Aku mau kain itu, aku akan mencobanya memakai kain dan kebaya milik kamu,” kata Sinta.

“Benarkah?”

"Benar, itu pakaian yang cantik,” kata Alisa.

Kedua gadis itu kemudian memiliki pandangan yang berbeda tentang Kenanga. Kenanga bukan gadis hutan kotor dan bau. Kenanga berkulit bersih dan cantik. Pakaian lusuh yang dikenakannya tampak rapi dan bersih.

Kenanga kemudian masuk ke dalam rumah, lalu keluar dengan membawa setumpuk pakaian.

“Ini kain dan baju aku. Masih baru. Alvin yang memberinya. Belum pernah aku pakai.”

“Ya ampun, ini dari mas Alvin?”

“Aku tidak memintanya, dia datang membawa pakaian untuk bapak dan untuk aku. Dan ketika itulah kemudian bapak meninggal,” kata Kenanga dengan raut muka sedih.

Alisa dan Sinta membuka lembaran kain itu, tapi bingung bagaimana memakainya. Ada baju seperti gaun biasa, ada kain dan kebaya. Semuanya masih baru.

Hasto yang belum pulang sore hari itu ikut duduk bersama keduanya. Ada perasaan tak suka ketika mendengar bahwa Alvin memberikan baju dan kain untuk Kenanga. Walau begitu, ada rasa tenang karena Kenanga sudah jelas akan menolak Alvin. Ia merasa bahwa akan berhasil membawanya ke kota.

“Kalian bisa berganti pakaian di dalam gubug itu, begitu masuk, sebelah kiri adalah kamar aku. Tapi kalian harus berjalan hati-hati. Kalau ingin ke kamar mandi, di belakang ada belik yang tertutup anyaman bambu, tak akan ada yang melihatnya.

Alisa dan Sinta mencoba berdiri, sambil menggendong baju dan kain yang diberikan Kenanga. Mereka memilih kain dan kebaya. Rasa sakit sudah berkurang, mereka berjalan sangat pelan.

Hasto mendekat, bermaksud memapah keduanya, tapi mereka menolak.

“Biarkan saja, aku akan mencobanya berjalan sendiri,” tolak Alisa dan Sinta.

Ketika keduanya masuk ke rumah, Kenanga menatap Hasto yang kembali duduk di atas tikar.

“Mas Hasto tidak pulang? Sudah sore, sebentar lagi gelap.”

“Iya, aku mau pamit saja dulu. Ada yang akan aku bicarakan, tapi waktunya tidak tepat. Aku pasti akan datang lagi secepatnya.”

Kenanga hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia gadis yang ramah, walau tak suka ia selalu menebarkan senyumannya.

***

Ketika Hasto turun, ia berpapasan dengan beberapa orang dusun yang naik ke atas. Hasto tahu, mereka adalah orang-orang yang akan menemani Kenanga saat malam tiba. Ia menyapa mereka, yang disambut dengan ramah oleh mereka juga.

Hasto juga merasa tenang karena ada yang menemani Kenanga, entah sampai beberapa hari ke depan.

Ketika berjalan itu Hasto sambil mereka-reka, kapan sebaiknya dia datang dan mengutarakan isi hatinya. Walau pastinya Kenanga sudah mengerti, karena sikap yang selama ini diperlihatkan Hasto, selalu menunjukkan ketertarikannya kepada gadis itu.

“Kenanga tak akan menerima Alvin, ini peluang yang bagus untuk aku. Alvin terlalu tinggi untuk Kenanga, dan Kenanga menyadarinya. Yang pantas adalah aku. Mengapa tidak?”

Hasto terus melangkah turun dengan penuh semangat.

***

Sementara itu bu Warsono sangat gelisah mendengar Alisa terjatuh ketika menuruni bukit. Untuk menjaga perasaan sang ibu, Alvin tidak mengatakan terlalu detail, apalagi tentang terjatuh ke dalam jurang. Menurut Alvin, sang adik dan temannya hanya terjatuh, kakinya luka sehingga baru bisa pulang besok.

“Apakah lukanya parah?”

“Tidak, ibu jangan khawatir. Kenanga memiliki keahlian mengobati banyak penyakit, Alisa akan pulang besok, karena pengobatan masih harus dilakukan dua atau tiga kali lagi sejak siang tadi.”

“Apa sebenarnya yang dilakukan Alisa dan Sinta sampai menaiki bukit dan bertemu Kenanga?”

“Hanya jalan-jalan saja, pastinya.”

“Aku khawatir, Alisa kan tidak suka pada Kenanga, lalu ia melakukan hal yang tidak baik di sana.”

“Tidak ada kejadian apa-apa. Mereka berbincang baik dengan Kenanga. Mungkin Alisa ingin tahu, gadis seperti apa yang disukai kakaknya,” kata Alvin sambil tersenyum.

“Apakah adikmu kecewa?”

“Sepertinya tidak. Alvin tahunya belakangan tentang kedatangan mereka. Alisa dan Sinta sudah naik duluan, dan hampir pulang, ketika terjatuh itu. Tapi ketika kemudian Kenanga mengobati kaki mereka dan luka-lukanya, mereka bersikap baik. Semoga Alisa berpikiran baik tentang Kenanga.”

“Tapi kan sebenarnya Sinta suka sama kamu?”

“O, itu sudah lama. Sudah sejak kami sama-sama kuliah. Tapi Alvin menganggapnya sebagai teman biasa saja.”

“Mengapa sih Vin, Sinta itu cantik banget lhoh. Dia juga pintar, dan orang tuanya kenal baik sama keluarga kita.”

“Lho, Ibu kok gitu? Bukankah Ibu sudah mengatakan kalau merestui keinginan Alvin?”

“Ibu kan hanya bertanya, mengapa tidak mau sama Sinta yang seperti tidak ada cacat celanya?”

“Terkadang Alvin juga heran. Mengapa tidak jatuh cinta sejak mengenal Sinta, juga teman-teman yang lain. Mereka cantik-cantik semua. Jadi intinya ya Bu, cinta itu datangnya bukan karena wajah yang cantik. Cinta itu kan datang semau dia. Dia akan datang saat dia mau datang, dan dia tak akan datang kalau belum ingin datang.”

Bu Warsono tersenyum.

“Kamu bisa saja. Lalu sekarang ini apakah kamu sudah mengutarakan isi hatimu kepada dia? Ibu ingin sekali melihatnya, seperti apa cantiknya dia sehingga membuatmu sampai menangis-nangis di depan ibu.”

Sebentar Bu, Alvin sempat memotretnya.”

“Oh ya? Mana, ibu mau lihat,” kata bu Warsono bersemangat.

“Sebentar, Alvin cari dulu … nah, ini Bu, gadis ini Alvin potret dengan mencuri-curi.”

Bu Warsono memperhatikan ponsel Alvin, di mana terpampang wajah Kenanga saat sedang berdiri di depan tungku di belakang rumahnya.

“Ini?”

“Bagaimana menurut Ibu?”

“Cantik. Dia berpakaian seperti ini? Sedang apa dia? Memasak dengan api tungku?”

“Saat itu dia sedang akan merebus ramuan jamu.”

“Dia pintar membuat jamu?”

“Ayahnya yang tadinya membuat jamu, untuk menolong orang-orang di desanya yang sakit, tapi pastinya keahlian itu diwarisi olehnya."

"Oh, begitu ya. Dia cantik. Besok kalau sudah di kota, berpakaian seperti gadis-gadis kota, pasti menarik. Kalau seperti ini, lalu tinggal dikota, sepertinya kurang pantas."

“Akan segera Alvin bicarakan Bu.”

“Kapan kamu jemput adikmu?”

“Sepulang dari kantor. Alvin akan pulang awal.”

“Baiklah, hati-hati.”

***

Ketika Alvin sampai di bukit, Kenanga sudah membebat kaki dan tangan masih-masing yang patah. Alisa dan Sinta sudah bisa berjalan pelan. Mereka juga membawa obat-obat untuk diminum dan dioleskan pada luka mereka untuk beberapa hari ke depan. Ada juga obat yang dijanjikan Kenanga untuk bu Warsono, di sebuah botol dari tanah yang tertutup rapat.

Sebelum pergi, Alisa membisikkan sesuatu di telinga Kenanga.

“Mbak Kenanga, aku ingin mas Alvin bahagia bersama kamu,” katanya lalu pergi meninggalkannya.

Kenanga tertegun. Belum hilang terkejutnya, Alvin mendekat dan berkata pelan.

“Setelah ini aku akan bicara tentang kita.”

Kenanga berdebar. Keseriusan mereka justru membuatnya takut. Ia kemudian duduk ngelesot di tikar, memikirkan apa yang harus dilakukannya.

“Kenanga, kamu menjamu tamu-tamu kamu, malah kamu sendiri belum makan.”

“Iya Lik, sebentar lagi.”

“Kamu memikirkan apa? Kamu sungguh beruntung. Banyak orang-orang kota suka sama kamu. Besok kalau kamu diboyong ke kota, kami akan kehilangan,” kata seorang ibu yang berhari-hari menemani siang dan malam.

“Entahlah, aku bingung memikirkannya. Di satu sisi aku tak tega meninggalkan bapak sendirian di sini.”

“Bapakmu sudah punya dunianya sendiri, Kenanga. Kamu harus melanjutkan hidup kamu, dan tak mungkin selamanya akan tinggal di sini. Tapi dengar-dengar pak lurah lawas akan mengambilmu sebagai istri.”

“Apa? Bukankah dia sudah punya anak besar-besar?”

“Tapi dia duda dan kaya. Sawahnya berpetak-petak.”

***

Besok lagi ya


RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 33

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA  33 (Tien Kumalasari)   Hasto membuka matanya perlahan. Jalannya mobil yang bergoyang-goyang membuatnya te...