KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 15
(Tien Kumalasari)
Ketika Bachtiar memarkir mobilnya, tampak rumah itu sepi. Rupanya ayahnya belum pulang dari kantor. Tapi mobil ibunya juga tak tampak. Pintu rumah terbuka lebar. Bachtiar langsung masuk, dan melihat bibik pembantu sedang mengambil gelas kotor untuk dibawa ke belakang.
“Tuan muda, ternyata? Saya kira tamu siapa.”
“Kok sepi Bik?”
“Tuan belum pulang, nyonya sedang keluar arisan.”
“Yang di rumah siapa?”
“Ada Non Luki di kamarnya.”
“Tolong suruh dia keluar, aku menunggu di ruang tamu.”
“Baik, Tuan muda ingin minum apa?”
“Teh saja.”
“Baik.”
Bibi pembantu menuju ke kamar Luki terlebih dulu, kemudian baru ke belakang untuk membuatkan teh hangat untuk majikan muda.
Bachtiar duduk menunggu, lalu tak lama kemudian Luki muncul. Ia langsung duduk di samping Bachtiar, sangat dekat, sehingga membuat Bachtiar harus beringsut menjauh.
“Tiar, syukurlah kamu datang.” katanya dengan nada kecewa.
Bachtiar menerima minuman yang dibuatkan bibik.
“Aku juga buatkan lagi Bik.”
“Non mau minum apa?”
“Sama.”
Bibik mengangguk dan berlalu.
“Dulu kita sangat dekat. Kamu ingat Tiar, kita sering duduk di bawah pohon sawo kecik, memunguti bunga-bunga putih yang tersebar, lalu kamu meroncenya dengan setangkai rumput, lalu memberikannya padaku. Aku pakai roncean kembang wangi itu untuk gelang di tanganku. Tapi sekarang kamu seperti bintang, jauh di langit dan aku seperti tak mampu meraihnya.
Bachtiar meneguk minumannya.
“Kedekatan masa kanak-kanak itu berbeda. Dulu kita dekat sebagai teman main, tapi sekarang kita sudah dewasa. Sebuah kedekatan akan menjadi berbeda.”
“Maksudmu, kita tak lagi bisa dekat?”
“Dekat sebagai teman, oke. Tapi tidak lebih. Perasaan yang kamu inginkan sekarang ini berbeda dengan apa yang aku rasakan. Tidak ada ikatan secara emosional, apalagi sampai kamu mengatakan kepada banyak orang bahwa kita adalah calon suami istri.”
“Gadis itu melaporkannya pada kamu?”
“Istilah melaporkan itu terlalu kejam. Dia hanya mengatakannya bahwa calon istriku datang. Ucapannya ringan dan riang. Bukan hanya dia, ada orang-orang lain yang bertemu dan kamu mengatakan hal yang sama. Aku tidak suka.”
Luki tampak menunduk. Dia diam, bahkan tak ingin meraih gelas yang diletakkan bibik di depannya.
Ada rasa sakit yang sangat menggigit. Bachtiar tak suka dia menyebutnya sebagai calon istri. Luki merasa terlalu lancang, tapi ia tak punya jawaban lain ketika orang menanyakannya. Apa ia harus mengatakan bahwa dirinya adalah teman? Saudara? Ada yang menuntun hati kecilnya sehingga dia mengatakan calon istri Bachtiar, dan itu adalah keinginannya. Tapi ketika Bachtiar menegurnya dengan nada marah dan wajah gelap, Luki merasa kesal. Barangkali Bachtiar sudah mengatakan kepada semua orang bahwa dia hanya mengaku-aku. Dan itu memang dilakukannya, pasti.
“Aku tidak suka kamu mengatakan itu,” lanjut Bachtiar.
“Aku tahu.”
“Untuk apa kamu melakukan itu? Pergi ke tempat kerja, mencari sampai ke rumah Arumi … dan menebarkan berita bohong itu?”
“Kalau kamu tidak suka, aku minta maaf. Aku mencari kamu karena ingin bicara. Kata ibumu, tak ada kesempatan bicara kalau aku tidak mencoba mencari kamu dan mengajaknya bicara.”
“Bicara tentang apa? Masalah hubungan kita, aku sudah mengatakan kepada ibu, tentang apa dan bagaimana perasaanku. Apa kamu tidak paham?”
“Kamu belum memikirkannya, karena ibu mengatakan itu dengan tiba-tiba. Kata ibu kamu baru akan memikirkannya.”
“Berhentilah mengucapkan ‘kata ibu-kata ibu’. Kamu bukan anak kecil dan kamu harus bisa mengerti apa yang ada di dalam perasaanku. Kamu seorang berpendidikan, jadi kamu tahu bagaimana harus bersikap ketika mendengar apa yang aku katakan saat itu.”
“Intinya adalah, kamu tetap menolakku?”
“Maaf Luki. Iya,” kata Bachtiar tandas, sambil menghabiskan sisa tehnya.
“Bachtiar, benar-benar kamu tak ada perasaan sedikitpun untuk aku? Kamu membenciku?”
“Aku tidak membencimu. Aku hanya tidak menyukai hubungan yang lebih dari seorang teman. Tapi kamu tidak perlu khawatir, kita tetaplah menjadi teman.”
Bachtiar berdiri, kemudian berlalu. Luki bahkan tidak mengantarkan sampai kemudian mobil Bachtiar lenyap dari halaman.
Luki menatap gelas yang masih utuh di depannya, yang diharapkan bisa menemaninya berbincang lebih lama. Tak terasa, air matanya menetes. Dia gadis cantik yang tak ada cacat celanya, dia pintar dan berpendidikan, dia banyak dikejar laki-laki, yang tampan yang tidak terlalu tampan, yang kaya dengan harta berlimpah, tapi impiannya hanya satu, Bachtiar, sahabat masa kecil yang dulu begitu manis dan baik. Hanya saja mimpi itu hanyalah mimpi.
Luki masuk ke kamarnya dan menghempaskan tubuhnya di ranjang.
***
Pagi itu Bu Wirawan terkejut, ketika melihat Luki menarik kopornya dari dalam kamarnya. Ia tahu kemarin sore Bachtiar datang, karena bibik mengatakannya, lalu Luki tidak keluar kamar setelahnya, bahkan menolak makan malam bersama mereka. Tapi ia tidak mengira Luki seperti bersiap untuk pergi.
“Luki, kamu mau ke mana?”
“Saya mau pulang, Bu.”
“Mengapa tiba-tiba?”
“Sudah terlalu lama berada di rumah ini, Luki rindu sama papa dan mama Luki.”
“Apa kemarin Bachtiar mengatakan sesuatu?”
Luki tak menjawab. Bu Wirawan pasti sudah bisa menduga apa yang dikatakan Bachtiar ketika datang dan bertemu dengannya. Ia tahu akan sulit membuat hati Bachtiar luluh. Bachtiar sudah jelas mengatakan semua yang ada di dalam hatinya, dan Luki sangat mengerti bahwa ia tak akan berhasil memiliki Bachtiar seperti yang selalu diimpikannya.
“Bu, Luki pamit sekarang.”
“Tunggu, biar sopir mengantarkan kamu.”
“Luki sudah memanggil taksi,” katanya sambil melangkah ke arah teras. Bu Wirawan mengikutinya.
“Bapak sedang mandi, apa kamu tidak ingin pamitan? Kamu juga harus sarapan dulu. Bibik sudah menatanya, tinggal menunggu bapak.”
“Ibu saja nanti yang memamitkannya. Takut ketinggalan pesawat.”
“Luki, kamu harus bersabar. Bachtiar itu agak keras kepala. Tapi sebenarnya dia baik. Suatu hari hatinya pasti luluh.”
Luki tak menjawab. Hatinya sekeras batu, ia tahu, dan ia juga tahu bahwa apa yang dikatakan Bachtiar adalah apa yang ada di dalam hatinya.
Luki putus asa. Masihkah ada cara?
Mereka berpisah ketika taksi sudah datang. Bu Wirawan memeluk Luki penuh sesal.
“Kamu harus bersabar.”
Luki tersenyum tipis, kemudian melangkah mendekati taksi. Bu Wirawan terus menatap punggungnya sampai taksi itu keluar dari halaman.
“Siapa naik taksi?” tanya pak Wirawan yang sudah selesai mandi dan rapi.
“Luki pulang pagi ini.”
“Pulang? Akhirnya dia menyerah?”
“Bachtiar keterlaluan. Pasti dia telah melukai hati Luki,” kata bu Wirawan sambil menemani sang suami ke ruang makan.
“Orang yang jatuh cinta itu kan harus siap patah hati,” kata pak Wirawan enteng, sambil duduk di depan meja makan.
“Bapak tidak suka punya menantu Luki? Bukankah dia cantik, pintar ….”
“Yang menjalani bukan bapak kan?”
“Tapi dia pantas untuk Bachtiar.”
“Yang suka itu ibu, tapi yang harus menjalani kan Bachtiar?”
“Kasihan, gadis itu.”
“Tidak apa-apa. Dia itu kan cantik, pintar. Pasti gampang menemukan jodohnya.”
Bu Wirawan terdiam. Bayangan seorang gadis desa, lusuh, bau, melintas. Dan gadis itu yang akan jadi menantunya? Tapi ia tak mengucapkan apapun. Ia tahu suaminya tidak akan mencela seandainya Bachtiar lebih memilih gadis desa itu.
“Memilih jodoh itu kan yang pantas, yang serasi, yang sepadan. Bukan asal suka, lalu dicomot begitu saja,” gumamnya sambil makan.
“Kalau dia memang terpilih, pasti dia adalah pantas, serasi, dan sepadan,” jawab pak Wirawan. Dan bu Wirawan dengan terpaksa menyebut gadis yang dibayangkannya sejak tadi.
“Maksud Bapak, yang namanya Arumi, gadis desa itu, serasi, sepadan, pantas?”
“Lhoh, aku kan tidak menyebut siapa-siapa.”
“Tapi yang disukai Bachtiar itu dia.”
“Kalau begitu dia pasti gadis pilihan.”
Bu Wirawan merengut. Dia sudah menduga apa jawab suaminya, dan itu membuatnya kesal. Itu sebabnya dia tak menghabiskan sarapannya.
“Jangan terlalu memikirkan anak. Dia itu bukan anak kecil. Dia sudah bisa memilih mana yang baik untuk dirinya.”
Bu Wirawan tak menjawab. Perkataan itu sudah berulang kali didengarnya. Keinginan untuk tetap memilih Luki sebagai menantu tetap memenuhi hatinya.
***
Pak Carik memasuki kamar Sutris pagi itu. Beberapa hari tidak bangun dari tempat tidur, akhirnya membuat pak Carik harus melihatnya, walau sebelumnya menganggapnya acuh, dan mengira bahwa sakitnya adalah karena dua hari pergi dari rumah tanpa makan dan minum.
“Hei, sebenarnya kamu sakit apa?”
Sutris menggeliat.
Pak Carik memegang kening anaknya.
“Tidak panas. Apanya yang sakit?”
Sutris mengusap wajahnya dengan kedua tangan, tapi tak hendak bangkit dari tempat tidurnya.
“Yang terasa sakit apanya? Kemarin aku belikan kamu obat. Kamu minum tidak?”
“Tidak.”
“Bodoh. Kenapa tidak diminum? Susah-susah dibelikan obat kok tidak diminum?”
“Sakit apa obatnya apa, kenapa Bapak asal beli obat?”
“Jadi sebenarnya kamu sakit apa? Yang kamu rasakan itu apa?”
“Badanku lemas, tak bertenaga.”
“Pergi ke pak mantri, biar disuntik.”
“Nggak mau.”
“Kalau sakit ya harus mau berobat.”
Sutris membalikkan tubuhnya, memunggungi ayahnya, membuat sang ayah kesal, lalu keluar dari kamar anaknya.
“Kenapa Sutris Pak?” tanya sang istri.
“Katanya badannya lemas, aku suruh pergi ke pak mantri supaya disuntik, tidak mau, maksudnya apa?”
“Aku juga bingung memikirkan Sutris.”
“Apa karena gadis itu?”
“Entahlah. Aku sudah menasehatinya, tapi masuk ke pikirannya atau enggak ya nggak tahu, aku.”
“Dicarikan calon istri yang baik, anak pak lurah itu lhoh, kok tidak tertarik? Arumi itu apa, ya benar dia cantik, tapi kan tidak sepadan dengan kita?”
“Menurut aku, belum tentu juga Arumi mau sama Sutris.”
“Kalau nggak mau ya nggak mungkin, masa mau menolak sama anak pak Carik. Sutris itu guanteng lhoh, anak orang kaya.”
“Jangan sombong. Orang suka itu kan tidak karena wajah atau kekayaannya.”
“Halaaaaah, mana ada orang tidak pengin kaya.”
“Bapak terlalu merendahkan orang lain. Kalau ternyata Arumi menolak, bagaimana?”
“Menurutku nggak mungkin,” kata pak Carik sambil berangkat ke tokonya.
Bu Carik memasuki kamar anak laki-lakinya. Sutris masih meringkuk membelakangi pintu.
“Tris, kamu itu kenapa? Sakit kok terus-terusan.”
“Dia itu nggak sakit Bu, orang sakit kok makannya banyak,” tiba-tiba Wahyuni menyusul masuk ke kamar.
“Tris.”
Sutris membalikkan tubuhnya.
“Aku tuh sakit Bu, beneran sakit. Badanku lemas semua. Nggak ada tenaga.”
“Itu sakit wuyung namanya Bu.”
“Tris, kalau memang benar kamu seperti ini karena memikirkan Arumi, apa kamu sudah berpikir bahwa Arumi pasti mau sama kamu? Kamu sudah minggat dua hari, terus menjadi sakit, lha kalau dia tidak suka sama kamu, bagaimana?”
“Masa Arumi menolak aku Bu, pak Truno itu orang biasa, bapakku kaya.”
“Kamu itu seperti bapakmu, menghitung dan menilai orang dari kekayaannya. Itu tidak baik Tris. Kaya atau miskin itu dimata Allah sama. Yang membedakan bukan kekayaan harta benda tapi amalannya.”
“Mbak, coba kalau memang kamu baik sama Arumi, tanyakan sama dia, apa dia mau aku jadikan istri?”
“Gitu ya? Baiklah, nanti sebelum ke toko aku mau mampir dulu ke rumah Arumi.”
“Benar ya?”
“Tapi janji ya, kalau Arumi menolak, kamu tidak usah lagi memikirkannya. Jodoh itu tidak usah dikejar, kalau sudah waktunya dia akan datang sendiri,” sambung ibunya.
“Dan harus berbuat baik kan Bu?”
Bu Carik tersenyum tipis, lalu keluar dari kamar anaknya, perdebatan tentang berbuat baik dan hubungannya dengan jodoh itu tetap dipegang oleh Wahyuni.
“Mbak, kalau mau pergi, bawakan sarapan dulu untuk aku.”
“Nggak mau, kayak orang sakit berat saja,” kata Wahyuni sambil berlalu, membuat Sutris mengomel panjang pendek.
***
Wahyuni sedang berjalan ke rumah Arumi, agak jauh, tapi Wahyuni kemana-mana selalu jalan kaki. Ia tak bisa naik sepeda, apalagi sepeda motor, padahal ayahnya memilikinya.
Ketika ia berjalan, tiba-tiba seorang pengendara sepeda melewatinya. Ia tetangga dari kampung sebelah.
Ketika ia menyapa, Wahyuni hanya menjawab sambil mendengus.
Tiba-tiba sebuah bungkusan jatuh dari sepeda yang lewat itu.
Wahyuni terus berjalan, enggan mengambilnya.
Sepeda itu berhenti agak jauh di depan.
“Yuni, tolong, bungkusanku itu.”
“Enak saja, nyuruh-nyuruh,” gerutunya tanpa mempedulikannya.
Rupanya Wahyuni sudah lupa pada pesan ibunya tentang berbuat baik. Tapi tiba-tiba Wahyuni teringat bahwa tetangga yang lewat itu punya seorang anak laki-laki yang menjadi guru sekolah. Sebuah harapan melintas. Lalu Wahyuni teringat pada pesan ibunya.
Wahyuni berbalik, mengambil bungkusan itu dan berlari mendekat, sambil tersenyum ramah.
“Ini, Lik.”
***
Besok lagi ya.