Tuesday, April 16, 2024

M E L A T I 20

 M E L A T I    20

(Tien Kumalasari)

 

 

Daniel terengah-engah. Belum sampai dia melakukan apapun, dia sudah jatuh terbanting. Bukan sembarang terbanting. Orang yang membantingnya tinggi besar dan berotot. Tubuhnya terhempas, beradu dengan lantai yang keras. Tapi dia tak sempat mengaduh. Dengan sigap dia bangkit, lalu melihat ke arah depan. Hatinya sakit melihat mobil yang membawa Melati tak lagi kelihatan bayangannya. Kemarahan Daniel memuncak. Ia menerjang laki-laki kuat di depannya, dengan amarah yang meluap. Tapi sekali lagi Kabul bisa menahan amukannya, dan kembali membantingnya.

“Mana dia? Ke mana dia membawanya?”

“Apa urusanmu?”

“Dia temanku. Mau di bawa ke mana Melati?” Daniel berteriak. Ia tak menghiraukan tubuhnya yang terluka.

“Diam dan pergilah. Kalau tak ingin aku menghajarmu sampai mampus!”

“Katakan, kemana dia membawa Melati?”

“Itu bukan urusan kamu. Melati sudah menjadi milik tuan Harjo.”

Daniel kembali bersiap menghajar Kabul, kali ini karena Kabul meremehkannya, maka pukulannya berhasil menghantam pelipis kirinya, membuatnya terhuyung.

Kabul marah bukan alang kepalang. Ia menerjang Daniel dengan semua kekuatan yang dimilikinya. Tapi Daniel yang sudah bersiap berhasil menghindar. Pukulan keras yang dilakukan dengan sekuat tenaga, membuatnya kemudian tersungkur. Daniel memburunya dan menendangnya, membuat Kabul terguling-guling.

“Setan, jahanam kamu. Aku akan membunuhmu!!”

Tak sabar bertarung dengan tangan kosong, Kabul mencabut belati yang di simpan di saku celananya.

Dengan tatapan kejam, ia mengacungkan belati ditangannya, kearah tubuh Daniel. Daniel waspada, ia bersiap bertarung, demi Melati yang dicintainya. Pikirannya kacau, separuh hatinya ia bertarung, tapi separuh hatinya mengkhawatirkan Melati yang dibawa si tua tambun itu entah ke mana.

Serangan yang kesekian berhasil menggores lengannya, lalu darah mengucur membasahi baju lengan panjangnya.

Mata Daniel berkunang, tapi ia tak hendak menyerah. Ia ingin segera mengakhiri pertarungan lalu segera menyusul si tua tambun yang membawa kabur Melati. Ia harus mendapat jawaban, kemana Melati di bawanya.

Tapi darah yang mengucur, dan pikiran yang tidak fokus, membuatnya kemudian terguling di tanah. Kabul terbahak kegirangan. Belati yang berkilat-kilat, dengan ujungnya berhiaskan darah kemerahan, kemudian siap dihunjamkan ke dada Daniel yang terkapar di lantai.

Tapi tiba-tiba, sebuah mobil meluncur dan berhenti di dekat arena pertarungan itu.

Seseorang melompat turun.

“Hentikan!”

Suara menggelegar itu membuat Kabul menghentikan aksinya. Didepannya berdiri tuan muda Ramon, diikuti oleh pak Samiaji yang menatapnya marah.

“Apa yang kamu lakukan?” hardik Ramon, terdengar sangat berwibawa.

“Maaf Tuan Muda, dia laki-laki pendatang yang sangat kurangajar, berani menentang tuan Harjo. Dia teman Melati.”

“Mana bapakku?”

“Beliau sudah pergi.”

“Mana Melati?”

“Pergi bersama tuan Harjo.”

“Pergi ke mana?” suara Ramon terdengar semakin meninggi.

“Saya … tidak tahu, Tuan muda.”

“Tidak tahu? Jangan bohong kamu? Kamu tidak lupa siapa aku bukan?”

“Kalau saya mengatakannya, saya akan mendapat marah, dan mendapat hukuman,” kata Kabul pelan.

“Ramon, anak muda itu harus segera dibawa ke rumah sakit, dia luka parah,” tiba-tiba Samiaji mengingatkan.

“Kabul, angkat dia, masukkan ke dalam mobilku.”

“Baik.”

Mau tak mau Kabul menurutinya. Ia mengangkat Daniel yang terkulai lemah, ke dalam mobil yang dibawa Ramon.

“Ke rumah sakit dulu, lalu memburu Harjo, kemana dia pergi membawa Melati,” titah pak Samiaji geram.

“Kamu juga ikut!” perintah Ramon kepada Kabul, yang kemudian diturutinya.

Di dekat gerbang, Ramon memerintahkan penjaga agar memasukkan sepeda motor yang tadi masih tersandar di luar pagar, yang diyakininya, pastilah milik anak muda yang terluka.

“Sebenarnya kamu siapanya Melati?” tanya Samiaji sambil menoleh ke belakang, dimana Daniel terkulai, dengan baju yang semakin basah memerah.

“Saya … temannya …”

“Teman, atau pacar?” sambung Ramon.

“Saya … baru … baru … pendekatan.”

“Bagus sekali Melati kalau punya pacar segagah kamu, siapa namamu, anak muda?” sambung Samiaji.

"Saya.. Daniel."

Suara Daniel semakin lemah.

Begitu sampai di rumah sakit, Ramon menyelesaikan urusan administrasi dan menyerahkan kepada dokter agar Daniel di rawat dengan baik, lalu mereka bergegas pergi.

Sebelum pergi, Samiaji menepuk bahu Daniel dan membesarkan hatinya.

“Aku akan membawa Melati kembali kepadamu,” ucapnya sambil tersenyum.

Senyuman teduh itu sedikit membesarkan hati Daniel, yang kemudian mendapat perawatan sesuai perintah Ramon.

***

Kabul diperintahkan agar duduk di samping Ramon, sedangkan pak Samiaji duduk di belakang.

“Kemana ayahku membawa Melati?”

“Tuan Muda, sesungguhnya … saya tidak tahu …”

“Jangan bohong, ayahku sangat mempercayai kamu,” kata Ramon dengan nada mengancam. Kabul bungkam. Kalau bukan Ramon yang mengancamnya, dia pasti sudah naik pitam dan menghajarnya.

“Jawab!”

“Sebenarnya … tuan Harjo tidak mengatakan mau membawa Melati ke mana, tapi ….”

“Tapi apa?”

“Mungkin di vilanya yang baru. Tuan muda belum tahu vila tuan Harjo yang baru?”

“Tunjukkan jalannya, awas, jangan coba-coba mempermainkan aku.”

Mobil yang dikendarai Ramon melaju cepat, menuju ke arah luar kota.

***

Melati terduduk di sofa dengan lunglai. Sudah sejak tadi sumpal sapu tangan bau itu dilepas dari mulutnya. Tapi dia tak kuasa mengucapkan sepatah katapun juga. Harjo duduk di depannya, menyodorkan segelas minuman hangat ke arahnya.

“Minumlah, agar kamu merasa lebih tenang.”

Melati memalingkan wajahnya. Dari pintu kaca ia bisa melihat, bahwa suasana di luar sudah gelap. Malam sudah mulai merangkak.

“Biarkan saya pulang,” katanya lirih.

“Mengapa terburu-buru. Ini adalah juga salah satu dari tugas kamu.”

“Tuan membohongi saya. Biarkan saya pergi.”

“Kemana kamu akan pergi? Bisakah kamu mengetahui ke mana jalan pulang? Ini ada di luar kota. Lebih baik sekarang minumlah dulu, agar kamu merasa lebih tenang.”

“Saya tidak mau minum, saya hanya mau pulang.”

“Apa kamu takut aku memasukkan sesuatu ke dalam minuman kamu? Aku berbeda sama kamu. Aku tak perlu membubuhkan minuman berisi obat untuk kamu minum, karena kamu toh juga akan menuruti semua kemauan aku.”

Mata Melati terbelalak.

“Apa yang akan tuan lakukan?”

Harjo tertawa, sangat memuakkan. Melati memalingkan wajahnya, jijik dan takut. Amat sangat takut.

“Melati, aku berlaku sangat lembut sama kamu. Mengapa kamu selalu tampak ketakutan? Lihatlah aku, jangan kamu kira aku bisa berbuat hal yang jahat kepadamu.”

Melati masih memalingkan wajahnya.

“Dengar Melati, kalau kamu bisa menyenangkan aku, menuruti apa kemauanku, semua hutang ayah kamu akan lunas. Lalu … lihatlah rumah ini … vila ini … indah, dan menyenangkan. Besok kalau hari terang, kamu akan melihat ada taman indah dibelakang vila, ada kolam renang, aku yakin kamu akan menyukainya. Dan satu lagi, kelak vila ini akan menjadi milik kamu.”

Melati bergidik ngeri. Iming-iming yang memabokkan, bagi penyuka harta dan kemewahan. Tapi Melati adalah gadis lugu yang hanya bisa melakukan hal-hal baik. Ia tak peduli segala gemerlap kemewahan. Ia hanya ingin hidup tenang dan tenteram.

“Kamu tidak tertarik?”

“Saya hanya ingin pulang.”

“Melati, kamu tidak punya pilihan. Baiklah, kamu bisa menenangkan diri dulu, aku mau mandi, agar kamu menatapku lebih sedap,” Harjo meringis dan lagi-lagi gigi yang bolong satu itu tampak menjijikkan. Untunglah dari tadi Melati tak ingin menatapnya. Tapi diam-diam Melati merasa lega. Ada harapan yang melintas, setelah Harjo pergi, maka dia akan berusaha kabur.

Melati menoleh, dan merasa lega karena bayangan Harjo tak kelihatan. Ia berdiri, dan mengendap-endap seperti maling. Ia langsung menuju ke arah pintu dengan hati berdebar-debar. Tangannya sudah memegang gerendel pintu, dan merasa yakin bahwa dia akan berhasil kabur.

Tapi wajah Melati kemudian pucat pasi. Pintu itu dikunci. Tak ada kunci tergantung di sana. Melati lupa, Harjo pasti bukan orang bodoh. Mana mungkin dia membiarkan pintu terbuka sementara dia ada di kamar mandi?

Melati panik, ia berlari ke pintu samping, sama saja. Ke pintu belakang? Sia-sia saja. Semuanya terkunci. Melati merasa seperti  sedang dikurung di dalam sangkar, tak mampu keluar. Air mata mulai merembes keluar. Ia terduduk di lantai dengan putus asa. Air matanya bercucuran. Ia terkejut ketika tiba-tiba bahunya disentuh dari belakang. Melati memekik keras.

“Jangan sentuh saya.”

“Melati, mengapa kamu tidak pintar memilih? Bukankah aku sangat baik dan menawan? Aku bisa memperlakukan kamu dengan lembut. Sungguh.”

“Menjauhlah. Jangan mencoba menyentuh saya.”

“Melati, apa maksudmu? Di sini hanya ada kita berdua. Apa kamu ingin aku berbuat kasar. Lihat aku, sebagai laki-laki aku tidak mengecewakan.”

“Ini tidak ada dalam perjanjian kita. Menjauhlah.”

“Bukankah kamu berjanji melayani aku?”

“Bukan dengan menyentuh saya. Tolong mengertilah.”

Harjo penasaran. Ia sudah berusaha berlaku lembut, dan berusaha meluluhkan hati Melati, tapi Melati benar-benar menolaknya.

“Melati, tahukah kamu bahwa aku bisa memaksamu?”

“Tuan telah mengingkari janji. Saya tetap tidak mau.”

Harjo tertawa panjang. Merasa aneh karena seorang gadis tidak mau menuruti kemauannya, sementara selama ini dengan iming-iming uang ia bisa mendapatkan pelayanan yang memuaskan dari perempuan yang diinginkannya. Hal ini membuatnya penasaran. Tapi kesabaran ada batasnya. Apa yang bisa dilakukan Melati kalau dia memaksanya?

“Melati ….”

Tiba-tiba Harjo mengangkat tubuh Melati yang masih bersimpuh di lantai. Melati meronta. Harjo memang sudah tidak muda lagi. Mengangkat tubuh yang meronta-ronta membuatnya terhuyung-huyung.

Keduanya terjatuh di lantai. Melati merasa jijik, dengan sekali tendang, Harjo terlempar sambil mengaduh, karena Melati menendang bagian bawah perutnya. Ia berguling-guling dilantai. Melati kembali berlari ke arah pintu, tapi lagi-lagi ia tak mampu membukanya. Padahal sementara Harjo membungkukkan badan sambil mengaduh-aduh, dia bisa punya banyak waktu untuk kabur.

Haa... Melati kemudian melihat ke arah jendela. Ia bisa membukanya. Ada harapan, tapi harapan itu pupus ketika dia melihat terali besi mengungkung jendela itu.

Melati mengucurkan air matanya kembali. Keadaannya sangat menyedihkan. Wajahnya pucat pasi, tak ada harapan untuk terlepas. Haruskah dia menyerah kepada takdir? Hidupnya harus berakhir dibawah kuasa Harjo yang tiba-tiba tampak seperti iblis pemangsa yang sangat kejam?

Melati terkulai lemas. Ia benar-benar putus asa.

“Apakah aku akan berakhir di sini? Ya Allah, demikian besar kuasaMu, tak ada yang bisa mengalahkanMu. Apapun yang terjadi, ini adalah kehendakMu. Ya Allah, kalau memang ini adalah takdirku, aku berserah kepadaMu. Aku akan menerimanya dengan sepenuh rasa syukur yang bisa aku lakukan. Tapi aku mohon Ya Allah, lindungilah ibuku, bahagiakanlah hidupnya, walau tanpa diriku. Aku sungguh berserah kepadaMu, Ya Allah,” Melati menutupi wajahnya, dan dari sela-sela jari tangannya, air matanya mengucur deras.

Sementara di tempat yang agak jauh, Harjo masih meringkuk memegangi bawah perutnya yang terasa nyeri.

“Setan alas kamu, perempuan keparat kamu. Awas, setelah ini aku akan membuat kamu lumat menjadi debu. Auugh… benar-benar jahanam. Awas kamu… tak mungkin kamu bisa terlepas dari tanganku. Apapun yang kamu lakukan.”

Harjo bangkit perlahan. Rasa sakit sudah agak berkurang. Ia melihat Melati duduk merangkul lututnya di bawah jendela. Tak ada suara terdengar. Jangan-jangan Melati pingsan?

Dengan menyeret tubuhnya, Harjo beringsut mendekati Melati. Dua atau tiga langkah lagi tangannya akan berhasil menjangkau tubuh mungil itu. Melati mengangkat wajahnya yang semakin pucat. Dia bangkit dan menjauh dari sana.

“Kamu tak akan lepas dariku, mengapa tidak menyerah saja? Setelah ini aku akan membuat kamu bahagia. Mengguyurmu dengan segudang harta. Kamu tidak akan kekurangan, Melati. Jangan mengecewakan aku. Kalau aku marah, kamu akan hancur. Bukan hanya kamu, tapi juga seluruh keluarga kamu,” ancam Harjo sambil masih menahan sakit.

Harjo berusaha berdiri. Lalu tertatih melangkah. Melati sudah menjauh. Harus mengitari sofa yang lumayan besar kalau Harjo ingin menjangkaunya.

Tapi tiba-tiba terdengar sirene mobil polisi. Semula Harjo mengira bahwa mobil itu hanya lewat di depan vila miliknya, tapi ternyata suara itu semakin dekat, dan berhenti di halaman rumahnya.

Harjo melongok ke arah luar.

“Polisi? Apa mereka sudah gila? Tapi apa yang harus aku takutkan? Uangku tak terhitung. Demi mendapatkan Melati akan aku guyur kalian dengan uangku,” lalu Harjo terkekeh.

Tertatih ia mendekati pintu. Ia akan menyiapkan berapapun jumlah uang yang mereka inginkan, agar segera enyah dari hadapannya. Tapi Harjo tertegun, diantara mobil polisi itu dia melihat Ramon, dan juga Samiaji, bahkan ada Kabul.

“Keparat kamu Kabul. Kamu mengkhianatiku?”

***

Besok lagi ya.



 

 

 

 

Monday, April 15, 2024

M E L A T I 19

 M E L A T I    19

(Tien Kumalasari)

 

Perlahan Daniel mendekat, lalu menyapa dengan lembut.

“Ibu ….”

Karti menurunkan kedua belah tangannya. Matanya yang buram karena basah, tidak bisa melihat jelas siapa yang datang. Ia mengusapnya dengan ujung baju, dan melihat seorang anak muda berdiri berpegang pada sandaran kursi.

“Nak?”

“Saya Daniel, teman Melati.”

“Oh, iya … ttappi … Melati sedang tidak ada di rumah.”

“Apa yang terjadi, mengapa ibu menangis? Melati membuat ibu marah?” tanya Daniel yang kemudian duduk, tanpa dipersilakan.

Karti menggoyang-goyangkan kedua belah tangannya.

“Tidak … tidak … Melati tidak pernah membuat saya marah.”

“Di mana dia?”

“Dia sedang … pergi.”

“Bu, kalau ada sesuatu yang membuat ibu sedih, katakan saja. Siapa tahu saya bisa membantu.”

“Tidak ada … tidak ada … “

“Mengapa ibu menangis?”

Air mata kembali merebak, Karti tak kuasa menahannya. Tapi ia tak ingin mengatakan apapun kepada orang lain tentang permasalahannya. Tidak, Melati tidak akan suka. Semua pedih perih akan mereka tanggung sendiri.

“Bu, saya adalah sahabat Melati. Percayalah saya akan membantu, apapun yang menjadi beban ibu. Tolong katakan Bu, saya bersungguh-sungguh ingin membantu, sebisa saya mampu melakukannya."

“Ini terlalu berat. Tolong berhentilah bertanya.”

“Bu, apakah ibu tidak percaya kepada saya?”

“Saya hanya tidak ingin membebani orang lain dengan permasalahan saya.”

“Saya adalah sahabat Melati. Saya mencintai Melati,” akhirnya Daniel mengatakan perasaan hatinya kepada Karti.

Karti menatap laki-laki ganteng yang duduk dan bersikap seperti penuh perhatian kepada dirinya.

“Oh, apakah nak Daniel tahu, bahwa Melati anak orang tak punya?”

“Siapapun dia, saya mencintainya. Saya belum pernah mengatakan ini kepada Melati. Baru kepada Ibu saya berterus terang.”

Karti hanya diam. Walaupun Daniel mengatakan bahwa dia mencintai Melati, tetap saja dia bukan apa-apanya.

“Maukah ibu mengatakan, kenapa ibu menangis? Dan kemanakah perginya Melati?”

Karti terdiam beberapa saat lamanya.

“Katakan Bu.”

“Saya … hanya sedang teringat kepada suami saya … yang … sudah meninggal,” katanya terbata.

“Hanya karena itu?”

“Iya Nak, dia meninggal, dan karena itu Melati harus bekerja keras.”

“Di mana Melati?”

“Dia … sedang bekerja.”

“Bekerja? Dia baru pulang sore hari, lalu bekerja lagi? Di mana? Masih di tempat katering itu?”

“Tidak …,” Karti ingin mengatakan ‘iya’, tapi pasti Daniel akan menyusul ke sana, sementara kantor katering itu tutup di sore harinya. Kecuali ada pesanan untuk malam, tapi kalau itu terjadi, pasti kesibukannya bukan ada di kantornya.

“Bekerja di mana lagi Bu? Mengapa Melati harus bekerja sekeras itu?”

“Iya Nak, untuk … mencukupi kebutuhan hidup … “

Tapi Daniel tidak percaya begitu saja. Karti sedang berbohong. Hal itu kelihatan dari perkataannya yang agak terbata-bata, dan jawaban yang seperti dibuat-buat. Daniel semakin curiga.

Ketika Daniel ingin mengucapkan sesuatu, tiba-tiba terdengar ponsel berdering. Karti berdiri, mengambil ponsel itu.

“Sebentar Nak, ada yang menelpon, biar saya menjawabnya dulu.”

“Ya, saya ibunya. Melati sedang pergi. Dia … dia … pergi bekerja ... dia … iya, pak Samiaji, saya … saya … apa? Bagaimana pak Samiaji tahu bahwa Melati bekerja di sana? Apa Melati mengatakannya? Apa? Berbahaya? Iya … iya, saya tahu … tapi … tapi … apa? Bapak tahu semuanya? Tapi … ya Allah … bagaimana ini … apa yang harus saya lakukan? Baiklah, tolonglah Pak, kalau Bapak bisa menolongnya … saya sudah merasa tidak enak sejak sore … di mana alamatnya, saya malah tidak tahu, saya akan menyusul ke sana … Bagaimana? Tidak perlu…?”

Daniel bingung, Karti meletakkan ponsel sambil kembali menangis.

“Bu, saya benar-benar ingin menolong. Ibu bicara tadi, bahwa Melati dalam bahaya? Tolong katakan, saya akan melakukan apa saja.”

“Dia … dia … “

Lalu akhirnya dengan terpaksa Karti menceritakan sekilas tentang sesuatu yang menimpa. Daniel segera bangkit.

“Saya tahu rumah tuan Harjo, namanya Harjono, pemilik dealer kan? Jadi Melati bekerja di sana?”

“Tampaknya tuan Harjo punya niat kurang baik, saya sangat khawatir.”

“Saya akan ke sana sekarang. Sebisa saya akan saya bantu Melati,” kata Daniel yang segera beranjak keluar, lalu memacu sepeda motornya keluar dari halaman.

Karti terpaku di tempat, bingung harus melakukan apa. Ia ingin pergi, tapi pak Samiaji melarangnya. Bagaimana pak Samiaji bisa mengetahui semuanya? Benarkah dia akan menolongnya?

“Nak Daniel pergi ke sana? Ya Allah, bahaya apa yang mengancam anakku?”

Tangis Karti kembali pecah.

“Tolong selamatkan Melati, Ya Allah …”

***

“Bapak jangan pergi sendiri, biar saya mengantarkan Bapak,” kata Ramon yang juga sudah bersiap ketika melihat ayah mertuanya akan pergi.

“Aku menunggu berita dari ayah kamu, berapa sebenarnya hutang Melati kepadanya, tapi dia tidak mengindahkan permintaanku. Sampai sekarang tidak ada kabarnya. Aku sudah menelponnya, tapi tidak diangkat,” omel Samiaji.

“Sebaiknya ditemui lagi saja. Ayah saya hanya sungkan sama Bapak. Saya tidak akan berhasil membujuknya.”

“Baiklah, ayo kita pergi sekarang.”

Raisa tidak mau ikut, karena dia sudah tahu bahwa akan terjadi perdebatan sengit diantara ayah dan mertuanya, mengingat pertemuannya sejak siang belum juga menemukan titik temu.

“Semoga berhasil,” katanya ketika ayah dan suaminya berangkat.

“Non Raisa tidak ikut?” tiba-tiba bibik yang akan menutup pintu heran melihat Raisa ternyata masih ada di rumah.

“Tidak Bik, menemani Bibik saja. Aku jadi penasaran tentang gadis bernama Melati itu. Bibik pernah melihatnya?”

“Ya pernah Non, waktu datang kemari kan bibik yang membukakan pintu. Dia itu cantik, tapi sederhana. Dan walaupun kelihatannya bukan orang berada, tapi dia sangat jujur, dengan mengembalikan dompet bapak.”

“Jaman sekarang jarang ada orang jujur, walaupun ternyata ada.”

“Kalau mau, bisa saja uang di dalam dompet dikuras, baru kemudian dompetnya dikembalikan, dengan alasan hanya nemu dompet dan surat-suratnya saja. Nah gadis itu mengembalikan semuanya, padahal bapak bilang uangnya sangat banyak.”

“Iya, benar. Suatu hari aku ingin bertemu dia.”

***

Ketika Melati menyandarkan sepedanya, dilihatnya Harjo sedang duduk di teras. Barangkali menunggu kedatangannya. Mungkin juga baru saja datang, karena ia melihat mobilnya masih terparkir di halaman. Melati merasa bahwa Harjo akan memarahinya, karena pagi harinya dia pulang sebelum bertemu dengannya. Tapi bukankah tuan muda Ramon yang menyuruhnya?

Melati melangkah perlahan kearah teras. Harjo menatapnya tajam.

“Siapa menyuruh kamu pulang sebelum aku bangun?”

“Saya sudah menyiapkan minum dan sarapan untuk Tuan.”

“Tapi kan kamu belum bertemu aku?”

“Maaf, Tuan. Tuan muda Ramon yang menyuruh saya pulang. Saya tidak berani membantahnya.”

“Dia itu memang lancang. Lain kali kamu hanya boleh melakukan sesuatu yang aku perintahkan, bukan orang lain.”

Melati mengangguk, dan bermaksud beranjak ke belakang, untuk membuatkan minuman.

Tapi Harjo menahannya.

“Tidak usah masuk. Kamu harus ikut aku.”

Melati berhenti melangkah.

“Ikut … ke mana?”

“Pokoknya ikut, di sini banyak pengganggu.”

Melati berdebar.

“Ayo, mobilnya sudah siap.”

“Tidak Tuan, di dalam perjanjian tidak ada yang mengatakan bahwa Tuan akan mengajak saya pergi. Saya hanya akan melakukan pekerjaan di rumah ini.”

“Bodoh. Aku yang berkuasa memerintah, kamu tidak boleh protes.”

Melati mundur, turun dari teras. Ia menolak untuk ikut.

“Melati, dengar. Ini sebagai hukuman, karena kamu mau menyampurkan obat tidur ke dalam jus yang kamu  buat,” kata Harjo dengan senyum mengejek.

Melati terkejut. Bagaimana si tuan tua itu bisa tahu tentang obat itu?

“Kamu heran, kenapa aku bisa tahu? Apapun yang dilakukan semua orang di rumah ini, aku bisa mengetahuinya.”

Melati baru sadar. Bibik pembantu pernah mengatakan bahwa banyak kamera dipasang di rumah itu. Melati menyesal melakukannya. Usaha untuk membuat si tuan tua itu tertidur, sia-sia saja, malah dirinya yang dipaksa meminumnya, dan membuatnya terlelap hampir semalaman. Untunglah tidak terjadi apa-apa. Tuhan melindunginya. Tapi sekarang si tua itu akan mengajaknya pergi? Lalu apa yang akan dilakukannya nanti? Melati benar-benar ketakutan.

“Hei, kamu mau ke mana?”

“Saya … tidak mau ikut … saya … di sini saja,” kata Melati dengan gemetar.

Tapi tiba-tiba Harjo berdiri, dan turun dari teras, melangkah mendekatinya.

Melati mundur, sampai ke depan mobil. Ia harus menolaknya, ia ingin lari, tapi kakinya gemetaran.

“Kamu tidak akan bisa lari, Melati. Kamu sudah berjanji akan melayani aku. Atau kamu bisa melunasi semua hutang itu?”

Melati tak bisa berpikir jernih, ia harus kabur, entah bagaimana nanti ia harus mengembalikan uangnya, ia akan meminjam dari perusahaan katering tempatnya bekerja. Biarpun tak mungkin bisa berhutang sebanyak itu, dia harus mencobanya. Dia tak sanggup lagi bekerja semacam yang diinginkan Harjo. Serba tidak jelas, dan selalu membuatnya takut. Ia membalikkan tubuhnya, bermaksud kabur. Tapi tiba-tiba Harjo berhasil mendekapnya dari belakang.

“Tooolooong, lepaskan, aku tidak mau,” jeritnya.

“Kenapa kamu bandel Melati, bukankah kamu sudah berjanji?”

“Saya tidak pernah berjanji untuk mengikuti Tuan pergi, tolong lepaskan, saya akan berusaha mencari uangnya, saya akan berusaha ….”

“Hahaahahaaahhh …. waktumu sudah habis Melati. Lagi pula aku sudah tidak butuh uang itu lagi. Janji yang kamu ucapkan dan tertulis, cukup untuk aku, agar bisa mengikatmu, tidak ada pilihan lain.”

Melati meronta. Pada saat itu ponsel Harjo berdering. Ia memberi isyarat kepada Kabul yang sejak tadi berjaga di sana, agar mengambil ponsel yang tertinggal di meja teras. Kabul berlari mengambilnya.

“Dari tuan Samiaji.”

“Abaikan saja. Oh, tidak, bawa kesini, aku harus menjawabnya, supaya dia berhenti menggangguku.”

Kabul menyerahkan ponselnya. Sebelah tangan Harjo memegangi Melati, sebelahnya lagi mengangkat panggilan telpon.

“Ya Pak. Ada apa?”

“Tolooong ….”

“Harjo, siapa berteriak?”

“Oh, dia pembantu saya,” kata Harjo sambil memberi isyarat kepada Kabul agar membungkam mulut Melati.

Kabul dengan cekatan mengerjakan tugasnya. Ia menarik sapu tangan dekil dari saku celananya, dan menyumpalkannya ke mulut Melati.

“Aku menunggu kabar dari kamu. Berapa hutang Melati?”

“Maaf Pak, saat ini Melati sudah terikat dengan sebuah perjanjian yang dia buat. Jadi saya sudah tidak lagi menginginkan uang.”

“Apa kamu tidak mendengar? Melati adalah kerabatku. Kamu harus melepaskannya.”

“Maaf, Pak.”

“Harjo, kamu melawan hukum, dengan memeras seseorang dan menindas dengan perbuatan kejam.”

“Hukum? Kenapa saya harus takut? Selama saya masih punya uang, tak akan ada yang bisa menentang saya.”

“Harjo!”

“Dan maaf pak Samiaji, hubungan diantara kita tentang modal yang pernah Bapak pinjamkan, sudah saya bayar lunas, bukan? Jadi saya mohon Bapak tidak lagi mengintimidasi saya.”

“Harjo!”

Tapi Harjo sudah menutup ponselnya, lalu melemparkannya ke arah Kabul yang segera menangkapnya.

***

“Ramon, bisakah kamu mempercepat laju mobilnya? Tampaknya Melati dalam bahaya. Aku mendengar teriakan minta tolong.”

“Iya Pak, tapi jalanan macet begini.”

“Hmmmh, kenapa di jam segini jalanan macet sih?”

“Sabar Pak, saya akan masuk ke jalan kecil di depan itu, barangkali bisa cepat sampai di sana.”

“Iya, aku percaya kamu bisa melakukannya.”

Lalu Ramon mencari jalan ke arah kiri, agar bisa masuk di sebuah gang kecil di depannya.

“Perasaanku tak enak. Aku menyesal tidak menyelesaikannya sejak siang tadi. Soalnya aku pikir dia masih mau mendengarkan apa kata saya.”

“Tenang Pak, kita sudah terlepas dari kemacetan, biarpun jalannya tidak rata, tapi barangkali kita bisa lebih cepat sampai.”

***

Harjo dengan sekuat tenaga menarik Melati yang meronta-ronta. Pada saat itulah di pintu gerbang berdiri seseorang, yang kemudian menerobos masuk karena gerbangnya terbuka. Penjaga membukanya karena Harjo mau keluar dengan mobilnya saat itu.

“Mmppphh…mmmmh …” Melati melambaikan tangannya melihat siapa yang datang. Ia tak harus bertanya bagaimana Daniel bisa datang, yang jelas dia berharap Daniel bisa menolongnya.

“Lepaskan gadis itu!” teriaknya.

“Kamu siapa? Gadis ini milikku.”

Harjo memberi isyarat kepada Kabul agar membuka pintu mobil, lalu Harjo melemparkan Melati ke dalamnya.

"Jaga dia, jangan sampai kabur," perintahnya kepada Kabul, sebelum kemudian dia masuk ke dalamnya  dan mengunci pintunya.

“Hentikaaan!!!” Daniel berteriak. Tapi Kabul dengan tubuh kekarnya kemudian mendekat dan menariknya, lalu  membantingnya ke arah samping.

Harjo yang sudah ada di belakang setir, lalu memacu mobilnya keluar dari halaman.

***

Besok lagi ya.

Saturday, April 13, 2024

M E L A T I 18

 M E L A T I    18

(Tien Kumalasari)

 

Samiaji menatap Ramon tak berkedip, seperti menunggu jawaban, apakah si penemu dompet dan gadis yang ditemuinya dan bernama Melati adalah orang yang sama.

“Yang menemukan dompet Bapak? Namanya Melati juga?”

“Ya, dia masih muda, cantik, lembut, baik. Dia luar biasa, tadinya menolak bapak berikan upah sebagai tanda terima kasih. Lalu setelah sampai di rumahnya, dia menelpon bapak, apakah benar uang yang bapak berikan senilai seribu dolar?”

Samiaji terkekeh lucu, mengingat sikap Melati yang kebingungan mendapat uang banyak darinya.

“Dia gadis yang jujur. Baru semalam bapak menelpon, tapi hanya ketemu ibunya. Katanya dia sedang keluar. Bapak ingin mengganggunya, menggodanya, sudah dibelanjakan apa saja uang pemberian bapak itu, tapi ibunya bilang tidak tahu. Ya sudah, nanti bapak mau menelponnya lagi. Tapi … apa benar Melati yang dipekerjakan oleh Harjono adalah Melati si baik hati itu?”

“Ramon kan sudah bilang, dia terlilit utang, entah dia Melati yang sama atau bukan. Saya kesal pada bapak saya, dia tidak mau kalau Melati mencicilnya.”

“Pasti bapakmu yang doyan perempuan itu ingin menguasai Melati. Kalau benar, kasihan sekali.”

“Saya sudah membujuk bapak supaya mau menerima permintaan Melati untuk mencicil hutang ayahnya itu, tapi tampaknya susah sekali mengendalikan bapak,” sesal Ramon dengan wajah muram.

“Maaf Ramon, aku sudah tahu bagaimana tabiat ayahmu. Kalau saja aku tidak tahu bahwa kamu laki-laki yang baik, mana mungkin aku mengijinkan Raisa menikah sama kamu. Takutnya watak Harjono menurun ke kamu.”

“Saya sangat mengecam tindakan ayah saya.”

“Sebentar, aku harus menegurnya nanti. Tapi aku mau mengurus masalah gadis bernama Melati itu. Aku akan menelpon dia.”

Samiaji mengambil ponselnya dan menelpon Melati, yang langsung diangkat, karena saat itu Melati sedang bersiap untuk berangkat bekerja, bahkan sudah menuntun sepedanya keluar halaman.

“Wa’alaikumussalam pak,” sambut Melati ketika Samiaji mengucapkan salam.

“Kamu di mana sekarang?”

“Saya mau berangkat bekerja, Pak.”

“Oh, yang kamu pernah bilang bahwa kamu bekerja di sebuah perusahaan katering itu?”

“Ya, Pak. Ibu bilang, semalam Bapak menelpon saya.”

“Hanya iseng saja, kamu sudah belanja apa saja dengan itu? Aku berharap kamu bisa bersenang-senang.”

Melati diam membisu. Ia harus berkata apa, sementara uangnya sudah dibuatnya untuk mencicil hutangnya kepada Harjo.

“Melati, kamu masih di situ?”

“Iy … iya, Pak. Itu … uangnya … uangnya … masih … masih ada,” katanya gugup.

Sikap itu membuat Samiaji curiga. Mengapa Melati kelihatan gugup menjawab gurauannya?

“Melati, apakah kamu baik-baik saja?”

“Ya Pak, saya baik-baik saja.”

“Aku tidak bermaksud apa-apa, aku ingin agar kamu bisa bersenang-senang dengan uang itu.”

“Yy.. ya, tentu saja, terima kasih banyak ya Pak. Saya akan bekerja dulu, takut terlambat.”

“Baiklah, nanti aku mau menelpon lagi. Selamat bekerja, dan berhati-hatilah, Nak.”

Melati mengangguk. Tak sadar bahwa tentu saja Samiaji tak bisa melihat bahwa dia mengangguk. Samiaji hanya merasa, Melati tiba-tiba menutup ponselnya.

“Tampaknya aneh,” gumam Samiaji sambil meletakkan ponselnya kembali ke atas meja.

“Aneh bagaimana Pak?” tanya Raisa.

“Ketika aku menanyakan, apakah uang pemberian aku sudah dibelanjakan apa saja, dan berharap dia mempergunakannya untuk bersenang-senang, dia tampak sangat gugup."

“Jangan-jangan ….” sambung Ramon.

“Jangan-jangan apa Mas?”

“Melati bilang bahwa dia sudah mencicil hutangnya pada bapak sebanyak lima belas juta, apakah itu uang pemberian dari Bapak ya?”

“Apa? Itu kan senilai hampir seribu dolar dari uang yang aku berikan? Dia mengatakan uang itu dari mana?”

“Sayangnya tidak, masa saya juga menanyakan dari mana uang sebanyak itu?”

“Pasti dia adalah Melati yang sama. Nanti siang aku akan menelpon lagi. Berapa juta uang yang dipinjam oleh ayah Melati?”

“Ayahnya sudah meninggal. Melati dan ibunya tidak tahu bahwa almarhum berhutang sama bapak. Jumlahnya enam puluh juta, berikut bunganya.”

“Hutang berapa, sehingga menjadi enam puluh juta?”

“Katanya sih, lima puluh juta.”

“Ayahmu benar-benar keterlaluan. Nanti aku mau bicara sama dia. Akan aku samperin dia di kantornya, siang ini.”

“Apa yang akan Bapak lakukan?” kata Raisa yang merasa khawatir sang ayah akan ribut dengan besannya.

“Kamu diam saja. Dia pernah bilang tidak akan lagi menjadi rentenir, tapi kenyataannya apa. Bapak juga akan membantu Melati melunasi hutangnya. Kalian setuju kan?”

“Terserah apa yang akan Bapak lakukan. Raisa percaya bahwa Bapak akan melakukan hal baik,” kata Raisa.

“Ayah mertuaku memang luar biasa. Ramon akan mendukung, Pak.”

“Baiklah, ayo kita sarapan, sampai dingin nasi goreng buatan Raisa.”

“Apa perlu Raisa hangatkan lagi?”

“Tidak usah, bapak percaya masakan kamu, hangat ataupun dingin, pasti enak,” kata Samiaji sambil menyendok nasinya.

***

Di tempat kerja, Melati tampak lebih banyak melamun. Telpon dari Samiaji yang diterimanya, amat sangat mengganggunya. Pastinya Samiaji tidak bermaksud apa-apa. Ia hanya ingin, agar uang yang diberikannya bisa membuat Melati bersenang-senang, membeli apapun yang disukai dan diinginkannya. Mana mungkin dia mengatakan bahwa uang itu dipergunakan untuk membayar hutang? Bahkan masih kurang banyak?

Bagaimana nanti, kalau Samiaji menelpon lagi? Bukankah tadi dia bilang akan menelpon lagi? Apa yang harus dijawabnya? Atau dia berbohong saja? Sudah dibelikan baju, dan makanan enak, lalu sisanya ditabung. Itu lebih baik. Bohong sedikit tidak apa-apa kan, yang penting Samiaji akan senang karena uang pemberiannya dipergunakan untuk membeli sesuatu yang bermanfaat.

Dengan pemikiran itu, Melati mulai mengerjakan tugasnya. Hari itu kosong, tidak ada pesanan, tapi dua hari mendatang mulai lagi banyak pesanan. Kata orang Jawa, ini bulan baik untuk menikahkan anak.

“Mbak Melati, transfer untuk uang muka dari keluarga Sularso sudah masuk,” kata Ana mengejutkannya.

“Baiklah, aku sudah menerima bukti transfernya juga kok. Kamu siapkan semuanya, ya. Aku akan melihat lagi catatan menu yang dipilih.”

“Ya Mbak.”

Melati sedang fokus pada laptopnya, sehingga tak sadar ada seseorang yang memperhatikannya di balik kaca. Melati baru mengangkat wajahnya ketika mendengar suara menyebut namanya.

“Melati.”

“Mas Daniel?”

Daniel tertawa.

“Aku sudah lama berdiri di situ, memperhatikan kamu yang sedang bekerja. Sibuk ya?”

“Tidak, silakan duduk Mas.”

“Saya sudah membawa catatan pesanan untuk Minggu depan. Daftar menunya sudah tercatat di sini,” kata Daniel sambil menyodorkan selembar kertas catatan.

“Oh, iya Mas. Lumayan banyak ya, untuk limaratus porsi. Sebentar, sebenarnya Mas Daniel ini bagian apa, kok pesan makanan juga mas Daniel yang mengerjakan?”

“Sebenarnya ini tugas temanku, tapi aku yang minta supaya aku yang mengurusnya. Mengurus pesanannya sih, cuma, nanti teman aku juga mau datang sendiri kemari.”

“Kenapa Mas repot-repot sih, kepala perawat mengurus katering.”

Daniel tertawa.

“Kan aku sudah bilang bahwa memang aku yang ingin.”

“Karena Mas banyak mengerti tentang menu?”

“Bukan, yang memilih menu juga bukan aku. Nanti teman aku juga mau datang kemari untuk berbicara tentang detailnya.”

“Lalu kenapa Mas sendiri yang datang kemari?”

“Kan aku senang, bisa ketemu kamu,” canda Daniel, membuat Melati tersipu, sampai-sampai wajahnya bersemu merah. Entah mengapa, ucapan Daniel membuatnya berdebar.

“Kamu nggak suka ya, kalau aku menemui kamu?”

“Apa? Eh, siapa bilang … suka kok ….” katanya sambil membaca pilihan menu yang tertulis di catatan itu.

“Baiklah, kalau suka, nanti sore aku ke rumah kamu ya. Boleh kan?”

“Boleh … tentu saja boleh.”

“Baiklah, aku sungkan terlalu lama mengganggu kamu, aku pamit dulu ya.”

Melati mengangkat wajahnya, kemudian mengangguk malu.

Ketika Daniel pergi, Melati baru ingat, bahwa sore harinya dia harus pergi bekerja di rumah Harjo. Melati ingin mengabarinya, tapi enggan. Nanti Daniel malah bertanya banyak hal tentang pekerjaan yang dilakukan di rumah Harjo. Melati tak ingin orang tahu tentang keadaan menyedihkan yang menimpa keluarganya.

Lalu Melati membaca selembar kertas yang diterimanya dari Daniel. Sebenarnya hanya tulisan menu-menu yang dipilih, dan jumlahnya. Harusnya Daniel tak usah memberikan catatan itu, kalau toh yang berkewajiban mengatur suguhan tamu akan datang sendiri nanti. Melati tersenyum mendengar alasan Daniel yang membuatnya harus memberikan catatan itu. Supaya bertemu dengannya? Senyuman Melati melebar. Ia memasukkan catatan itu ke dalam laci dan melanjutkan bekerja.

***

 Harjono sedang berada di ruang kerjanya, ketika Kabul yang kepalanya masih diikat perban memasukinya.

“Kamu sudah keluar dari rumah sakit?” tanya Harjo.

“Saya hanya luka ringan, Memalukan kalau terlalu lama dirawat, seperti orang sakit berat saja.”

“Bagus, sekarang kerjakan tugas kamu seperti biasa.”

“Saya ingin mengatakan, bahwa ada tamu ingin bertemu tuan Harjo.”

“Tamu, siapa? Terima saja seperti biasa kalau dia akan membayar hutang, mengapa harus melapor ke aku sih?”

“Bukan, saya bilang ada tamu ingin bertemu Tuan. Memang harus bertemu Tuan.”

“Siapa?”

“Tuan Samiaji.”

“Oh, si tua itu, pasti akan mengomeli aku. Ramon sudah mengadu rupanya kepada mertuanya. Dasar anak tak mau kompak dengan bapaknya,” omel Harjo, yang lalu memberi isyarat agar Kabul mempersilakannya masuk.

“Pak Sam, rupanya. Silakan duduk,” kata Harjo dengan senyum sumringah yang dibuat-buat, lalu mendahului duduk di sofa yang biasa dipergunakan untuk menerima tamu.

“Kamu seperti pejabat saja. Mereka tahu siapa aku, tapi menyuruh aku menunggu sementara mereka harus melapor dulu sama kamu.”

“Maaf Pak, mereka menjaga formalitas yang sudah saya tentukan. Maaf kalau membuat Bapak terganggu.”

Samiaji memang lebih tua dari Harjo. Dulunya Samiaji adalah pengusaha besar yang dihormati dan disegani oleh Harjo, karena pada awalnya, Samiaji lah yang memberikan modal ketika dia membuka usaha dealer mobil. Hanya saja kemudian Harjo menyelewengkan sebagian modal itu untuk dijadikan alat untuk mencari keuntungan yang lebih besar. Ia sangat nyaman menjadi rentenir, karena uang bisa mengalir lebih cepat dan keuntungannya lebih besar. Bukan rentenir biasa, rentenir yang mencekik leher.

“Sudah lama kita tidak ketemu, ya Pak. Bapak sehat-sehat saja kan?”

“Alhamdulillah saya sehat. Badanku kecil, tapi sehat. Badan kamu agak gemuk, aku yakin kamu punya banyak penyakit.”

Harjo tertawa.

 “Bapak, kenapa mendoakan saya banyak penyakit?”

“Aku tidak mendoakan, tapi melihat badan tambun, banyak lemak, mustahil tidak banyak penyakit. Ditambah kelakuan yang tidak bener. Wah, justru itu penyakit yang tidak ada bandingannya.”

Wajah Harjo mendadak muram. Dia tahu kemana arah tujuan perkataan sang besan, yang selalu mencela apa yang dilakukannya.

“Saya hanya mencari makan.”

“Jadi kamu kekurangan makan?”

“Bukan begitu, makan yang saya maksud bukan untuk saya sendiri. Saya punya karyawan, dan mereka butuh makan, untuk anak istri, mungkin orang tua, ya kan?”

“Kata-katamu itu sekilas seperti perkataan orang yang memiliki hati mulia. Tapi sesungguhnya kamu adalah orang yang kejam.”

“Pak Sam, apa maksud Bapak?”

“Kamu ternyata masih menjadi rentenir, dulu aku sudah memperingatkan kamu kan? Sekarang masih saja kamu lakukan. Dengar, memakan keringat orang itu sangat nista. Buruk. Dosa.”

“Rupanya Ramon sudah mengadu kepada ayah mertuanya.”

“Terserah kamu mau bilang apa. Aku bilang, lepaskan Melati.” kata Samiaji tandas.

“Maksud pak Sam apa?”

“Melati adalah orangku. Jangan sampai kamu memperlakukannya dengan tidak manusiawi.”

“Melati … siapanya Bapak?”

“Dia masih kerabatku. Berikan padaku catatan hutangnya. Aku menunggu di rumah.”

***

Melati merasa lega, karena sampai dia pulang, pak Samiaji tidak juga menelponnya. Kebohongan yang sudah dirancangnya tak jadi diungkapkannya.

Ketika sore hari dia berangkat ke rumah Harjo, ia sengaja meninggalkan ponselnya di rumah.

“Bu, nanti kalau pak Samiaji menelpon lagi, ibu bilang saja bahwa ibu tidak tahu, seperti semalam ya Bu?”

Karti mengangguk. Sore hari itu, entah mengapa. Melihat kepergian Melati, hatinya terasa seperti disayat-sayat.

“Firasat buruk apa yang aku rasakan ini?” gumamnya pilu.

Karti masuk ke dalam rumah, duduk di ruang tamu, dan manangis terisak-isak.

“Sungguh berat sekali beban yang kamu pikul Melati, mengapa harus begini hidup kita ini?”

Daniel turun dari sepeda motornya, melangkah mendekati rumah, dan sayup ia mendengar suara isak.

Daniel naik keteras, dan tangis itu semakin nyata. Ia nekat masuk, melongok ke dalam ruang tamu, dan melihat Karti sedang menutupi wajahnya sambil menangis.

Batin Daniel terasa tersayat. Apa yang sebenarnya terjadi?

***

Besok lagi ya.

 

Friday, April 12, 2024

M E L A T I 17

 M E L A T I    17

(Tien Kumalasari)

 

Harjo meringis kesakitan. Dahinya terantuk lantai, kaki kiri dan kanannya mengikutinya. Menimbulkan suara berdebum, berbarengan dengan teriakan histerisnya karena kesakitan.

Ramon terkejut. Ia bangkit, lalu meraih tombol lampu yang ada di atasnya. Ia merasa seperti bermimpi, sedang diserang oleh entah siapa, dia menendangnya sebagai perlawanan. Ketika lampu menyala. Ramon melongok ke bawah, dan sangat terkejut melihat sang ayah yang hampir telanjang sedang merintih kesakitan.

“Bapak?” katanya sambil turun untuk membantu ayahnya bangun.

“Kk … kamu? Kamu ada di sini?”

“Saya baru datang tadi, ketika Bapak tidak di rumah.”

Dengan bingung, Harjo mencari bajunya yang bertebaran di lantai. Lalu mengenakannya dengan tergesa-gesa. Ia masih heran, karena ia mengira yang terbaring di ranjang itu adalah Melati.

“Kamu … mengapa … mengapa?”

“Apa yang sebenarnya ingin Bapak lakukan?”

Harjo memijit keningnya yang benjol  sebesar telur, Ramon menarik laci meja di sampingnya dan menemukan obat gosok di sana. Ia membalurkannya ke dahi ayahnya. Harjo meringis kesakitan. Belum kedua lututnya yang entah terluka atau tidak, tapi nyerimya bukan alang kepalang.

“Di mana dia? Di mana dia? Kamu mengusirnya?”

“Maksud Bapak Melati? Gadis pembantu itu?”

“Kamu sudah tahu dia itu siapa? Apa yang kamu lakukan padanya?”

“Tentu saja saya mengusirnya keluar dari kamar ini. Mengapa Bapak menyuruhnya tidur di sini? Bukankah ini kamar saya yang selamanya tidak pernah ada yang berani menempatinya?”

“Ayo, bawa aku keluar, aku harus minum obat penghilang rasa sakit.”

“Bapak mabuk, baru saja minum minuman keras, mana bisa minum obat sembarangan?”

Ramon menuntun ayahnya keluar dari kamar. Mereka duduk di sofa. Harjo terbaring di sofa panjang, sambil masih meringis kesakitan.

“Sial benar … kamu tiba-tiba datang … menggagalkan rencanaku … sial …!”

Ramon membuka celana panjang ayahnya, dan melihat kedua lututnya yang membiru. Ia kembali menggosoknya dengan obat yang masih digenggamnya.

“Siapa Melati?”

“Gadis itu … bukankah sangat menarik? Kamu jangan menentangku.”

“Bapak masih suka melakukan itu? Gadis itu kelihatannya masih lugu, mau Bapak apakan dia?”

“Kamu laki-laki, bagaimana bisa bertanya ‘mau bapak apakan’?”

“Saya sama Bapak itu berbeda. Saya tidak suka main perempuan.”

“Itu karena kamu punya istri? Lhah aku?”

“Kenapa Bapak tidak mencari istri saja, daripada main perempuan nggak karuan?”

“Ya itu, dia itu yang akan bapak jadikan ibu sambung kamu nanti.”

“Apa? Bapak memperlakukannya sangat kotor, belum jadi istri sudah mau dibuat mainan. Istri macam apa yang Bapak cari?”

“Dia bukan gadis sembarangan. Bapak akan menjadikannya ratu di rumah ini?”

“Omong kosong apa yang Bapak katakan. Ramon tidak suka kelakuan Bapak. Apalagi Melati gadis yang masih polos, dan kelihatannya bukan gadis murahan.”

“Memang bukan, itu sebabnya Bapak suka.”

“Tidak. Bapak ingin mempermainkannya semalam, Bapak memperlakukan gadis itu seperti perempuan lain.”

“Kamu tidak usah ikut campur. Itu urusan bapakmu ini, jadi lebih baik diam dan urus semua yang menjadi urusanmu sendiri.”

“Karena saya adalah anak Bapak, maka saya ingin memperingatkan Bapak, bahwa sudah saatnya Bapak istirahat. Saya juga mendengar bahwa Bapak masih suka menghutangkan uang dengan bunga yang tinggi. Mengapa Bapak melakukannya? Kekayaan Bapak dengan membuka usaha dealer itu sudah cukup. Untuk apa menimbun materi, apalagi dengan cara yang sangat kejam?”

“Kamu itu kalau pulang, selalu itu saja yang kamu bicarakan. Kembalilah tidur, dan mana Melati?”

“Sudah saya suruh tidur di kamarnya. Saya mohon Bapak jangan mengganggunya. Kasihan dia.”

“Apa katamu? Kasihan? Jangan-jangan kamu juga suka sama dia. Ingat, dia itu milikku.”

“Mana mungkin saya suka? Istri saya sudah cukup bagi saya. Dia cantik, dan juga pintar. Tak akan ada duanya.”

“Hm, baguslah kamu bisa menjalani menjadi laki-laki dan suami yang baik. Bapak juga ingin segera berhenti mencari perempuan. Melati sudah cukup.”

“Mengapa Melati? Dia masih sangat muda, pantasnya menjadi cucu Bapak.”

“Jangan mengejek bapakmu ini, sudah, bapak mau tidur. Kepala pusing, kamu pikir tadi kamu tidak menyakiti bapak? Tiba-tiba saja menendang sekuat tenaga, tidak ingat kalau tulang bapakmu ini adalah tulang tua.”

“Sekarang Bapak mengakui kalau tulangnya sudah tua, tadi waktu mau memperkosa Melati, merasa masih muda, begitu?”

“Diam kamu! Sudah menyakiti, masih mengomel pula.”

Harjo berdiri dan dengan tertatih berjalan menuju kamarnya. Agak kesal karena Ramon telah menghalangi niat yang sudah menjadi angan-angannya sejak hari masih sore.

Ramon mengangkat bahu, lalu kembali lagi ke kamarnya. Malam sudah sangat larut, bahkan sudah menjelang pagi. Tapi melihat sikap ayahnya, tampaknya besok pagi Ramon ingin segera meninggalkan rumah ayahnya.

***

Pagi-pagi sekali, Melati sudah keluar dari kamarnya. Ia langsung pergi ke dapur, untuk menyiapkan minum dan sarapan untuk tuan Harjo. Ketika ia menghidangkan minuman ke meja makan, ia melihat laki-laki muda itu sudah duduk di sana.

“Tuan … tuan muda yang semalam itu kan?”

“Namaku Ramon. Bagaimana keadaan kamu?”

“Saya baik. Saya akan membuatkan minum untuk Tuan.”

“Pasti bibik sudah membuatkannya,” kata Ramon. Dan tak lama kemudian, bibik pembantu memang sudah keluar dengan membawa segelas coklat susu dan sepiring roti bakar, seperti kesukaan ayahnya.

“Terima kasih Bik.”

“Apa tuan mau dibuatkan sarapan? Nasi goreng, atau apa?”

“Tidak Bik, saya akan pamit setelah bapak bangun. Menyusul istri ke rumah orang tuanya.”

“Oh, baiklah kalau begitu.”

“Melati,” panggilnya.

Melati yang akan kembali ke dapur, menghentikan langkahnya.

“Biasanya kamu pulang jam berapa?”

“Nanti setelah tuan Harjo bangun dan sarapan.”

“Pulanglah sekarang saja.”

“Sekarang? Bagaimana kalau tuan Harjo marah?”

“Aku nanti yang akan menjawabnya.”

“Terima kasih Tuan Muda. Dan kalau mungkin, tolong bicaralah pada tuan Harjo, bahwa saya mohon diijinkan untuk mencicil hutang ayah saya, tanpa harus bekerja malam di sini.”

“Pertama-tama, panggil saya pak Ramon, bukan tuan muda.”

“Oh, baiklah, pak Ramon.”

“Kedua, aku akan mencoba bicara dengan bapak tentang hal itu, tapi aku tidak janji, karena susah sekali mengendalikan orang tua yang satu itu.”

“Yang penting adalah, saya tidak akan mengingkari hutang itu.”

“Baik, sekarang kamu boleh pulang. Sudah sarapan?”

“Tidak usah, saya biasa sarapan di rumah, karena ibu saya selalu menunggu untuk sarapan bersama.”

Ramon mengangguk. Dan dengan wajah suka cita, Melati berpamit pada bibik pembantu, lalu mengambil tas yang masih ditinggalkannya di kamar, kemudian berlalu.

Ramon menggelengkan kepalanya dengan wajah kusut. Sesungguhnya ada yang ingin dibicarakannya dengan sang ayah tentang sebuah usaha, tapi diurungkannya ketika melihat kelakuannya.

Ia menghirup minumannya pelan, sambil menyuapkan roti bakar yang dihidangkan, sepotong demi sepotong.

Tiba-tiba terdengar teriakan dari arah depan.

“Melatiii!!”

Ramon mendiamkannya. Ketika sang ayah masih juga berteriak saat memasuki ruang makan, barulah Ramon menjawabnya.

“Melati sudah pulang,” katanya sambil menyuapkan sepotong roti terakhirnya.

Harjo melotot menatap anaknya.

“Siapa yang menyuruhnya pulang? Dia belum melakukan apa-apa, pagi ini.”

“Ramon yang menyuruhnya.”

“Apa? Lancang sekali kamu ini. Siapa memberi kuasa kamu untuk menyuruhnya pulang?”

“Bapak duduk dulu, dan silakan minum minuman ini. Melati yang menyiapkannya lhoh.”

“Tapi dia belum boleh pulang kalau belum mendapat ijinku.”

Harjo duduk dengan wajah marah. Ramon tersenyum setelah melihat sang ayah menghirup minumannya.

“Siapa sebenarnya Melati itu, dan mengapa dia harus bekerja malam di sini? Bayarannya lumayan mahal juga, tuh.”

“Darimana kamu tahu tentang Melati dan bayarannya juga? Melati menceritakan semuanya sama kamu?”

“Ramon yang bertanya, dan Melati mengatakan semuanya.”

“Berarti sudah jelas kan? Mengapa kamu masih menanyakannya?”

“Pertama-tama, saya ingin mengingatkan Bapak, agar berhenti menjadi rentenir. Apalagi rentenir yang sangat kejam.”

“Punya hak apa kamu mengatur hidupku?”

“Ramon adalah putra Bapak, dan sudah menjadi kewajiban seorang anak untuk mengingatkan apabila sang ayah melakukan kesalahan.”

“Aku tidak merasa melakukan kesalahan. Aku tuh menolong orang yang membutuhkan, dan wajar dong, kalau aku meminta imbalan atas semua yang aku lakukan? Aku tuh pengusaha, pengusaha itu pekerjaannya berusaha, agar bisa mendapatkan untung. Kalau semuanya cuma-cuma, habis dong modal kita.”

 “Mencari imbalan, bukan dengan mencekik leher. Itu pembunuhan namanya. Tidak mati orangnya, tapi mati kehidupannya. Bapak itu sudah tua, ada baiknya Bapak berhenti melakukan hal-hal seperti itu.”

“Kamu ngomong begitu, karena kasihan pada Melati? Atau jangan-jangan kamu mulai suka sama dia?”

“Sekali lagi Ramon bilang, Ramon sudan punya Raisa, dan tidak ada wanita lain yang bisa menggantikannya. Ramon hanya mengingatkan Bapak, bahwa apa yang Bapak lakukan itu tidak benar.”

“Ah, sudahlah. Jangan ikut campur kamu.”

“Baiklah, sekarang tentang Melati. Ramon sudah tahu bahwa Melati bersedia bekerja malam hari di rumah ini, karena terbelit hutang ayahnya yang sudah meninggal.”

“Ya, dan aku cukup membuatnya ringan dengan bekerja di sini, jadi dia tak perlu mencari uang lagi. Mencari uang itu kan  susah.”

“Bukankah Melati sudah mengatakan sanggup mencicilnya? Mengapa Bapak tidak mengijinkannya?”

“Bodoh, bukankah kamu sudah tahu alasannya?”

“Karena ingin menjadikannya istri? Sangat tidak pantas.”

“Sudah, kamu diam saja, jangan ikut campur.”

“Baiklah, Ramon mengatakan itu semua, dan berharap Bapak segera bertobat. Bapak sudah tua, bukankah lebih baik menabung pahala daripada menabung dosa?”

“Diam!! Aku tidak ingin anakku mendikte jalanku.”

Ramon menghela napas panjang. Dan karena tampaknya susah sekali berbicara dengan sang ayah, maka dia segera berpamit pulang ke rumah mertuanya.

***

Karti merasa senang, pagi itu Melati sampai di rumah lebih pagi dari hari kemarin.

Dengan wajah berseri, dia segera membuat teh hangat untuk anak gadisnya.

“Tumben pulang lebih awal, Nak.”

Melati tersenyum. Selalu menampakkan senyuman setiap kali bertemu ibunya, karena tak ingin sang ibu mengkhawatirkannya.

“Pekerjaan Melati sudah selesai. Melati beli nasi sayur urap untuk sarapan, ibu mau kan?” kata Melati sambil meletakkan beberapa bungkusan di meja makan, kemudian mengambil piring dan sendok yang disiapkannya sekalian.

“Apa kabar semalam? Baik-baik saja?”

“Baik Bu.”

“Matamu kelihatan sayu, seperti masih mengantuk.”

“Semalam Melati tidur larut.”

“Bekerja apa, sampai larut begitu?” tanya sang ibu curiga dan tentu saja khawatir.

“Bukan bekerja apa-apa. Melati saja yang tidak bisa tidur.”

“Ya sudah, mandilah biar tubuh terasa segar.”

Melati masuk ke dalam kamar, mempersiapkan baju kerja, kemudian beranjak ke kamar mandi.

Karti tak pernah bisa berhenti mengkhawatirkan anak gadisnya., walaupun selama dua malam bekerja, Melati tampak biasa-biasa saja. Baru dua malam, padahal nantinya akan sampai sembilan puluh malam.

“Alangkah masih lamanya,” keluh Karti sambil duduk di kursi sambil menunggu Melati selesai mandi.

Tak lama menunggu, Melati sudah keluar dengan baju seragam kerjanya.

“Sudah rapi sekalian, Mel?”

“Supaya tidak tergesa-gesa Bu.”

“Semalam ibu membaca surat perjanjian kerja kamu dengan tuan Harjo.”

“Oh, ibu membacanya?”

“Benarkah itu semua?”

“Semoga saja benar, itu adalah satu-satunya jalan yang bisa kita jalani, ibu tak usah khawatir.”

“Semalam pak Samiaji juga menelpon.”

“Pak Samiaji? Ada apa ya? Iya, ponsel Melati memang ketinggalan.”

“Tidak apa-apa, entahlah. Dia bertanya, kamu sudah belanja apa saja dari uang yang dia beri. Cuma itu.”

“Ibu tidak mengatakan bahwa uang itu untuk membayar hutang kan?”

“Tidak, ibu bilang tidak tahu.”

“Nanti kalau senggang, Melati mau menelponnya.”

***

Raisa, istri Ramon menyiapkan makan pagi untuk suaminya yang ternyata sudah kembali pagi-pagi sekali. Agak heran dia ketika menanyakannya.

“Katanya, Mas mau bicara tentang bisnis.”

“Nggak jadi, agak kesal sama bapak," sungutnya.

“Memangnya kenapa?”

“Ketika aku datang, di kamar yang biasa kita tidur itu, tiba-tiba ada yang tidur di sana.”

“Ada tamu?”

“Bukan tamu. Bapak punya pembantu baru, yang dipekerjakannya setiap malam untuk membayar hutang.”

“Gimana maksudnya tuh?” tanya Raisa heran, sementara sang ayah hanya mendengar saja sambil mencomot telur ceplok yang terhidang.

Lalu Ramon menceritakan perihal Gadis bernama Melati yang dipekerjakan sang ayah demi membayar hutang.

Tiba-tiba sang ayah nyeletuk.

“Namanya Melati? Kok sama dengan nama gadis yang menemukan dompet bapak yang berisi uang ribuan dolar?”

***

Besok lagi ya.

M E L A T I 20

  M E L A T I    20 (Tien Kumalasari)     Daniel terengah-engah. Belum sampai dia melakukan apapun, dia sudah jatuh terbanting. Bukan sembar...