ADA MAKNA 30
(Tien Kumalasari)
Guntur sangat terkejut. Bukan hanya seorang yang berdiri di depan pintu, tapi dua orang. Emmi dan Reihan.
“Emmi?” kata dokter Dian pelan.
“Bapaaak,” panggilan itu terdengar dari Reihan, dan kali ini diiringi dengan keduanya yang menghambur mendekati sang ayah, lalu bersimpuh di hadapannya, dan menelungkupkan kepalanya dipangkuan sang ayah.
Guntur menatap dokter Dian, yang menggelengkan kepalanya sambil menggoyang-goyangkan tangannya, sebagai pertanda bahwa dia tak tahu tentang kedatangan mereka.
“Bapak, maafkan Reihan dan mbak Emmi,” kata Reihan pelan.
Tak urung luluh hati Guntur melihat dua orang darah dagingnya menubruk pangkuannya. Bahkan air mata sempat merebak di pelupuknya, lalu kedua tangannya mengelus kepala masing-masing dari mereka.
“Berdiri, dan duduklah dengan baik,” kata Guntur dengan suara bergetar.
Dokter Dian hanya terpaku menatap mereka.
“Tapi kok tubuh Bapak terasa panas, tadi?” kata Emmi.
“Benar, apa Bapak merasakan sakit?” sambung Reihan.
“Tidak, bapak baik-baik saja,” jawab Guntur.
“Sungguh?” tanya Emmi. Dokter Dian juga menatap Guntur lekat-lekat. Ketika bersalaman dia juga merasa bahwa telapak tangan calon mertuanya terasa panas.
“Ini sudah biasa, jangan dipikirkan. Bagaimana kalian bisa datang bersama-sama?” tanya Guntur.
“Maaf Pak, Reihan berkencan dengan mbak Emmi untuk datang kemari.”
FLASH BACK :
“Mbak Emmi tahu nggak? Seorang bernama Reihan?” tanya Emma pada suatu ketika.
”Reihan? Kamu bisa mengenal nama itu?”
“Dia adik setingkat aku.”
“Ah yaaaa, kenapa aku lupa? Dia dulu pernah mengatakan ingin melanjutkan ke perguruan tinggi. Aku lupa, apa dia ingin jadi dokter juga ya .. tapi dia bersemangat sekali untuk melanjutkan kuliah. Iya, benar, Reihan pernah mengatakan kalau ingin menjadi dokter seperti bapak.”
“Mbak sudah sangat mengenalnya?”
“Ya, waktu bapak di rumah sakit, dia datang. Bapak menyuruh aku memberikan uang untuk Reihan, membuka rekening untuknya, agar gampang kalau bapak ingin mengirimkan uang. Dia juga sangat santun. Kami berhubungan sangat baik. Tapi kemudian aku lupa berkabar karena kemudian memacu kuliah agar bisa cepat selesai.”
“Supaya segera dilamar dokter Dian kan?” ledek Emma.
“Hei, kamu bicara tentang Reihan, kok ngelantur kemana-mana,” sungut Emmi.
Emma tertawa. "Iya, tadi tuh aku terkejut, dia mengatakan kalau wajahku mirip seseorang. Ketika aku tanya, seseorang siapa? Dia bilang namanya Emmi. Setelah ia menunjukkan foto Mbak, aku berteriak, itu kakakku, dia juga berteriak bahwa mbak adalah kakaknya.”
“Ya Tuhan, aku belum sempat bercerita ya, dia putra ayah Guntur dari … itu … perempuan yang… aduuh, aku nggak bisa mengatakan dia seperti apa.. pokoknya nyebelin. Namanya Wanda.”
“Ibunya nyebelin ya?”
“Iya, kalau masalah dia kan aku pernah cerita. Tapi untunglah anaknya yang bernama Reihan itu baik, santun. Jauh pokoknya kalau sama ibunya.”
“Nah, dia itu adik setingkat aku, ya ampuun. Mbak tahu nggak, dia bilang hampir jatuh cinta sama aku,” kata Emma sambil terkekeh.
Emmi pun tertawa. Aduh, aku akan menelpon dia sekarang, sampai lupa kalau punya adik tiri Reihan.
Setelah itu Emmi menelpon Reihan.
“Hei mbak aku tadi ketemu mbak Emma. Lucu sekali, aku hampir jatuh cinta sama dia, soalnya dia cantik dan mirip mbak Emmi. Nggak tahunya dia kakak aku,” Reihanpun tertawa.
“Baru saja Emma ngomong kalau punya adik kelas yang ganteng dan baik, ternyata kamu.”
“Eh, aku nggak bilang ganteng dan baik lhoh,” protes Emma ketika mendengar perkataan kakaknya di telpon. Emmi hanya tertawa, tapi Reihan mendengarnya.
“Ada mbak Emma di situ?”
“Ada. Mau ngomong? Tapi tidak, aku belum selesai. Ternyata kamu malah kuliah di sini? Biayanya banyak kan?”
“Iya, bapak memberi Rei uang. Sementara cukup. Tapi mas Wahyu akan membantu. Nanti kalau ada kesempatan aku juga akan kuliah sambil bekerja seperti mas Wahyu. Dia juga kan kuliah sambil bekerja, sehingga tidak memberatkan ibu.”
“Bagus sekali. Kesempatan itu pasti ada, karena kamu punya semangat yang besar.”
“Aamiin.”
“Kalau butuh sesuatu, bilang sama mbak.”
“Iya, gampang. Besok pagi aku mau ke rumah bapak.”
“Kamu? Tahu di mana rumah bapak?”
“Akhirnya bapak memberi tahu.”
“Aku ikut boleh?”
“Beneran, mbak mau ikut?”
“Iya, aku mau pinjam mobil bapak Ardi.”
“Mbak setir sendiri? Jauh lhoh.”
“Ada sopir di kantor bapak, aku mau bilang nanti sama bapak.”
“Baiklah, kita berangkat jam berapa?”
“Nanti aku kabari kalau mobil dan sopirnya siap.”
“Senang sekali kalau kita bisa bersama ke sana. Tapi sebenarnya bapak bilang agar Rei tidak mengatakannya kepada siapa-siapa tentang alamat rumah bapak.”
“Aku juga putri bapak. Nanti kalau bapak marah, biar aku yang tanggung jawab. Lagi pula aku juga mau mohon doa restu karena mau menikah.”
***
Nah, itu sebabnya maka Reihan dan Emmi bisa datang bersama-sama, bahkan tidak tahu bahwa dokter Dian sudah lebih dulu ada di sana.
“Rei mengajak mbak Emmi, Bapak tidak marah kan?” kata Reihan.
“Ya sudah, mau bagaimana lagi,” kata Guntur pelan.
“Emmi, tadi dokter Dian sudah mengatakan bahwa kalian akan menikah," lanjutnya.
“Iya Pak. Bapak akan datang kan? Bapak yang harus menikahkan Emmi kan?”
“Bukankah kamu punya bapak yang lain?”
“Mengapa Bapak berkata begitu? Bapak adalah ayah kandung Emmi. Apa Bapak mau mengingkarinya?”
Dokter Dian hanya menatap tak bersuara. Dia sudah mengutarakannya dan tampaknya Guntur enggan melakukannya. Dokter Dian hanya berharap agar ayah Guntur mau memenuhi kewajibannya sebagai ayah, untuk menikahkan anak gadisnya, setelah Emmi ada di hadapannya.
Guntur menatap Emmi dengan wajah sendu. Yang terberat baginya adalah menatap wajah Kinanti, istri yang disia-siakannya. Tapi dia tahu bahwa menikahkan Emmi adalah kewajibannya selagi dia masih hidup.
“Bukankah ayah kandung yang berhak menikahkan anak gadisnya?” sambung Reihan yang dari tadi hanya diam.
“Bapak, tolonglah. Biarkan Emmi merasakan bahagia karena dinikahkan oleh Bapak,” kata Emmi sambil berlinang air mata.
“Bapak, nanti Reihan akan menemani Bapak saat ijab kobul.”
Guntur menatap Reihan yang begitu besar perhatiannya kepada kakaknya.
“Sebenarnya bapak merasa agak kurang sehat. Tapi bapak akan berusaha datang,” akhirnya kata Guntur, membuat Emmi kemudian berdiri dan kembali memeluk sang ayah.
“Terima kasih Pak,” katanya dengan suara bergetar karena haru.
Dokter Dian menarik napas lega.
“Nanti Bapak akan dijemput oleh sopir yang bertugas, Bapak tidak usah khawatir,” kata dokter Dian pada akhirnya.
Dokter Dian dan Emmi saling bertatap mata sambil tersenyum senang. Mereka tidak berkencan untuk datang, tapi ternyata bisa bertemu di rumah sang ayah.
“Reihan, bagaimana kuliah kamu? Kamu tidak pernah bilang apa kekurangannya untuk biaya kuliah kamu.”
“Tidak ada yang kurang Pak, mas Wahyu membantu saya, dan Bapak sudah memberikan uang yang cukup.”
Emmi ingin menawarkan bantuan lagi, tapi diurungkannya. Pengalaman mengusulkan bantuan diwaktu sang ayah masih di rumah sakit, sudah cukup membuat ayahnya kesal. Dia tak ingin kehilangan suasana manis saat bertemu sang ayah. Karena itulah dia diam saja.
“Bapak masih punya uang. Nanti akan bisa meringankan beban kakakmu Wahyu.”
“Iya, Reihan tahu.”
Pertemuan itu membuahkan rasa puas dan menyenangkan diantara mereka, dan tanpa seorangpun tahu, ketika mereka pulang, Guntur merasa lemas seakan tak bertenaga. Ia hanya bisa melangkah pelan ke dalam kamar, lalu membaringkan tubuhnya di tempat tidur.
***
Bu Simah yang mengantarkan irisan buah naga ke rumah Guntur, melihat ada pasien menunggu, tapi dokter Guntur belum kelihatan keluar. Karena sudah biasa, bu Simah mengetuk pintu kamar Guntur.
“Pak Dokter … pak Dokter …”
Guntur sudah mandi, tapi masih berbaring di tempat tidur. Tentu saja dia mendengar suara bu Simah.
“Ya Bu,” jawabnya sambil bangkit.
“Ada pasien di depan tuh, pak Dokter.”
”Iya, saya segera keluar.”
“Baiklah. Ada buah naga sudah saya potong-potong, saya taruh di meja makan ya.”
“Iya Bu, terima kasih banyak.”
Lalu Guntur melangkah keluar, melayani pasien yang sudah mengantri. Tubuhnya terasa lelah, tapi ia punya kewajiban untuk melayani pasien, jadi dia terpaksa melakukannya.
***
Seminggu lagi perhelatan itu diadakan. Baik di keluarga Ardi maupun keluarga dokter Dian sudah mulai diadakan persiapan.
Emmi senang sekali karena sang ayah kandung mau hadir. Kegembiraan itu disampaikan kepada ayah ibunya.
“Ayah Guntur akhirnya bersedia menikahkan Emmi,” katanya dengan riang.
“Bapak dan ibu pasti juga senang. Sudah lama tidak bertemu, apalagi ibumu, pasti pertemuan itu akan menyenangkan semua pihak.”
“Itu memang menjadi kewajibannya,” kata Kinanti singkat.
Tapi sesungguhnya pertemuan itu pasti akan membuatnya kikuk. Bekas suami yang berpuluh tahun tak ketemu, apa yang akan dikatakannya nanti?
“Mengapa Ibu tidak kelihatan senang?” tegur Ardi yang melihat wajah istrinya tampak datar.
“Apa maksud Bapak? Tentu aku senang, sebentar lagi anak kita akan menikah.”
“Nanti kita siapkan saja hotel untuk Guntur menginap, agar tidak capek karena resepsinya kan malam.”
“Terserah Bapak saja, bagaimana mengaturnya.”
“Kalau yang sanggup menjemput, dokter Dian, karena dia kan lebih dekat.”
“Masa pengantinnya menjemput sendiri?” tanya Emma yang ikut nimbrung.
“Bukan pengantinnya, tapi ada sopir yang bertugas untuk itu.”
“Emma dan Reihan akan menjadi pengiring pengantin, bukan?” kata Emmi.
“Eh, aku belum bilang sama Reihan.”
“Kamu sudah dikasih tahu, malah belum bilang sama dia, gimana sih?”
“Kalau aku yang ngomong, pasti dia nggak mau. Mbak tahu nggak, dia itu kan agak pemalu. Mau nggak didandanin lalu berjalan diantara tamu yang banyak?”
“Nanti aku saja yang bilang, kalau begitu.”
“Nah, begitu lebih bagus.”
***
Wahyu baru saja datang dari kantor, ketika Reihan mengatakan akan menjadi pengiring pengantin.
“Kamu? Menjadi pengiring pengantin?”
“Sebenarnya aku malu Mas. Bagaimana kalau Mas saja?”
“Apa maksudmu? Mereka berharap kamu, kenapa jadi aku?”
“Nanti aku bilang sama mbak Emmi, yang jadi pengiring mas Wahyu sama mbak Emma saja.”
“Nggaaaak. Ada-ada saja kamu.”
“Aku malu Mas, beneran.”
“Kenapa malu? Kan ada Emma?”
“Aku harus dandan dengan pakaian Jawa lalu berjalan diantara tamu, aduuh, nggak kebayang bagaimana malunya.”
“Aneh, kamu ini. Pada suatu hari nanti, kalau kamu jadi pengantin, juga harus dandan dan semua tamu pasti memandang ke arah kamu.”
“Iyakah?”
“Ya iyalah. Anggap saja kamu latihan. Jadi besok-besok kalau jadi pengantin tidak kaku lagi.”
Reihan hanya tersenyum simpul. Dia memang pemalu, jadi dibayangkannya terus kalau nanti benar-benar dandan dan berjalan diantara tamu-tamu.
***
Pagi hari itu, bu Simah datang ke rumah Guntur, mengantarkan wedang jahe hangat yang baru saja dibuatnya. Ia melihat sang dokter tampak lemas, duduk di ruang tengah.
“Dokter pasti kecapekan. Ini, saya bawakan wedang jahe,” kata bu Simah sambil meletakkan gelas berisi irisan jahe dan gula batu. Ada daun jeruk purut juga di dalamnya.
“Terima kasih Bu, mengapa bu Simah selalu repot untuk saya?”
“Tidak repot Dokter, kan kita tetanggaan, dokter sendirian, saya juga sendirian. Kalau ada keluhan, dokter juga pasti memberi saya obat. Lha ini cuma wedang jahe, tidak harus beli, tinggal mengambil di kebun. Pokoknya semua-semua yang saya berikan itu hasil kebun Dok.”
“Bagus banget ya Bu, buah sayur, jamu, semua hasil kebun.”
“Iya Dok, untuk kesibukan, dan untuk menyambung hidup,” kata bu Simah sambil ikut duduk di depan Guntur.
“Bu, saya mau minta tolong, apa Ibu mau?”
“Kok dokter bilang begitu, saya kan juga sering minta tolong pada dokter. Tentu saja apa yang dokter mau, saya akan lakukan.”
“Rumah saya ini akan saya jual.”
“Lhoh, dijual? Lha dokter mau tinggal di mana? Lagian kenapa dijual Dok?”
“Uangnya nanti akan saya berikan pada anak laki-laki saya.”
“Oh, yang beberapa waktu yang lalu datang kemari?”
“Iya. Uang itu nanti saya serahkan bu Simah, agar bu Simah memberikannya kepada dia, untuk biaya kuliah.”
"Saya?" bu Simah sampai berteriak.
***
Besok lagi ya.