Tuesday, April 8, 2025

ADA MAKNA 30

 ADA MAKNA  30

(Tien Kumalasari)

 

 

Guntur sangat terkejut. Bukan hanya seorang yang berdiri di depan pintu, tapi dua orang. Emmi dan Reihan.

“Emmi?” kata dokter Dian pelan.

“Bapaaak,” panggilan itu terdengar dari Reihan, dan kali ini diiringi dengan keduanya yang menghambur mendekati sang ayah, lalu bersimpuh di hadapannya, dan menelungkupkan kepalanya dipangkuan sang ayah.

Guntur menatap dokter Dian, yang menggelengkan kepalanya sambil menggoyang-goyangkan tangannya, sebagai pertanda bahwa dia tak tahu tentang kedatangan mereka.

“Bapak, maafkan Reihan dan mbak Emmi,” kata Reihan pelan.

Tak urung luluh hati Guntur melihat dua orang darah dagingnya menubruk pangkuannya. Bahkan air mata sempat merebak di pelupuknya, lalu kedua tangannya mengelus kepala masing-masing dari mereka.

“Berdiri, dan duduklah dengan baik,” kata Guntur dengan suara bergetar.

Dokter Dian hanya terpaku menatap mereka.

“Tapi kok tubuh Bapak terasa panas, tadi?” kata Emmi.

“Benar, apa Bapak merasakan sakit?” sambung Reihan.

“Tidak, bapak baik-baik saja,” jawab Guntur.

“Sungguh?” tanya Emmi. Dokter Dian juga menatap Guntur lekat-lekat. Ketika bersalaman dia juga merasa bahwa telapak tangan calon mertuanya terasa panas.

“Ini sudah biasa, jangan dipikirkan. Bagaimana kalian bisa datang bersama-sama?” tanya Guntur.

“Maaf Pak, Reihan berkencan dengan mbak Emmi untuk datang kemari.”

FLASH BACK :

“Mbak Emmi tahu nggak? Seorang bernama Reihan?” tanya Emma pada suatu ketika.
”Reihan? Kamu bisa mengenal nama itu?”

“Dia adik setingkat aku.”

“Ah yaaaa, kenapa aku lupa? Dia dulu pernah mengatakan ingin melanjutkan ke perguruan tinggi. Aku lupa, apa dia ingin jadi dokter juga ya .. tapi dia bersemangat sekali untuk melanjutkan kuliah. Iya, benar, Reihan pernah mengatakan kalau ingin menjadi dokter seperti bapak.”

“Mbak sudah sangat mengenalnya?”

“Ya, waktu bapak di rumah sakit, dia datang. Bapak menyuruh aku memberikan uang untuk Reihan,  membuka rekening untuknya, agar gampang kalau bapak ingin mengirimkan uang. Dia juga sangat santun. Kami berhubungan sangat baik. Tapi kemudian aku lupa berkabar karena kemudian memacu kuliah agar bisa cepat selesai.”

“Supaya segera dilamar dokter Dian kan?” ledek Emma.

“Hei, kamu bicara tentang Reihan, kok ngelantur kemana-mana,” sungut Emmi.

Emma tertawa. "Iya, tadi tuh aku terkejut, dia mengatakan kalau wajahku mirip seseorang. Ketika aku tanya, seseorang siapa? Dia bilang namanya Emmi. Setelah ia menunjukkan foto Mbak, aku berteriak, itu kakakku, dia juga berteriak bahwa mbak adalah kakaknya.”

“Ya Tuhan, aku belum sempat bercerita ya, dia putra ayah Guntur dari … itu … perempuan yang… aduuh, aku nggak bisa mengatakan dia seperti apa.. pokoknya nyebelin. Namanya Wanda.”

“Ibunya nyebelin ya?”

“Iya, kalau masalah dia kan aku pernah cerita. Tapi untunglah anaknya yang bernama Reihan itu baik, santun. Jauh pokoknya kalau sama ibunya.”

“Nah, dia itu adik setingkat aku, ya ampuun. Mbak tahu nggak, dia bilang hampir jatuh cinta sama aku,” kata Emma sambil terkekeh.

Emmi pun tertawa. Aduh, aku akan menelpon dia sekarang, sampai lupa kalau punya adik tiri Reihan.

Setelah itu Emmi menelpon Reihan.

“Hei mbak aku tadi ketemu mbak Emma. Lucu sekali, aku hampir jatuh cinta sama dia, soalnya dia cantik dan mirip mbak Emmi. Nggak tahunya dia kakak aku,” Reihanpun tertawa.

“Baru saja Emma ngomong kalau punya adik kelas yang ganteng dan baik, ternyata kamu.”

“Eh, aku nggak bilang ganteng dan baik lhoh,” protes Emma ketika mendengar perkataan kakaknya di telpon. Emmi hanya tertawa, tapi Reihan mendengarnya.

“Ada mbak Emma di situ?”

“Ada. Mau ngomong? Tapi tidak, aku belum selesai. Ternyata kamu malah kuliah di sini? Biayanya banyak kan?”

“Iya, bapak memberi Rei uang. Sementara cukup. Tapi mas Wahyu akan membantu. Nanti kalau ada kesempatan aku juga akan kuliah sambil bekerja seperti mas Wahyu. Dia juga kan kuliah sambil bekerja, sehingga tidak memberatkan ibu.”

“Bagus sekali. Kesempatan itu pasti ada, karena kamu punya semangat yang besar.”

“Aamiin.”

“Kalau butuh sesuatu, bilang sama mbak.”

“Iya, gampang. Besok pagi aku mau ke rumah bapak.”

“Kamu? Tahu di mana rumah bapak?”

“Akhirnya bapak memberi tahu.”

“Aku ikut boleh?”

“Beneran, mbak mau ikut?”

“Iya, aku mau pinjam mobil bapak Ardi.”

“Mbak setir sendiri? Jauh lhoh.”

“Ada sopir di kantor bapak, aku mau bilang nanti sama bapak.”

“Baiklah, kita berangkat jam berapa?”

“Nanti aku kabari kalau mobil dan sopirnya siap.”

“Senang sekali kalau kita bisa bersama ke sana. Tapi sebenarnya bapak bilang agar Rei tidak mengatakannya kepada siapa-siapa tentang alamat rumah bapak.”

“Aku juga putri bapak. Nanti kalau bapak marah, biar aku yang tanggung jawab. Lagi pula aku juga mau mohon doa restu karena mau menikah.”

***

Nah, itu sebabnya maka Reihan dan Emmi bisa datang bersama-sama, bahkan tidak tahu bahwa dokter Dian sudah lebih dulu ada di sana.

“Rei mengajak mbak Emmi, Bapak tidak marah kan?” kata Reihan.

“Ya sudah, mau bagaimana lagi,” kata Guntur pelan.

“Emmi, tadi dokter Dian sudah mengatakan bahwa kalian akan menikah," lanjutnya.

“Iya Pak. Bapak akan datang kan? Bapak yang harus menikahkan Emmi kan?”

“Bukankah kamu punya bapak yang lain?”

“Mengapa Bapak berkata begitu? Bapak adalah ayah kandung Emmi. Apa Bapak mau mengingkarinya?”

Dokter Dian hanya menatap tak bersuara. Dia sudah mengutarakannya dan tampaknya Guntur enggan melakukannya. Dokter Dian hanya berharap agar ayah Guntur mau memenuhi kewajibannya sebagai ayah, untuk menikahkan anak gadisnya, setelah Emmi ada di hadapannya.

Guntur menatap Emmi dengan wajah sendu. Yang terberat baginya adalah menatap wajah Kinanti, istri yang disia-siakannya. Tapi dia tahu bahwa menikahkan Emmi adalah kewajibannya selagi dia masih hidup.

“Bukankah ayah kandung yang berhak menikahkan anak gadisnya?” sambung Reihan yang dari tadi hanya diam.

“Bapak, tolonglah. Biarkan Emmi merasakan bahagia karena dinikahkan  oleh Bapak,” kata Emmi sambil berlinang air mata.

“Bapak, nanti Reihan akan menemani Bapak saat ijab kobul.”

Guntur menatap Reihan yang begitu besar perhatiannya kepada kakaknya.

“Sebenarnya bapak merasa agak kurang sehat. Tapi bapak akan berusaha datang,” akhirnya kata Guntur, membuat Emmi kemudian berdiri dan kembali memeluk sang ayah.

“Terima kasih Pak,” katanya dengan suara bergetar karena haru.

Dokter Dian menarik napas lega.

“Nanti Bapak akan dijemput oleh sopir yang bertugas, Bapak tidak usah khawatir,” kata dokter Dian pada akhirnya.

Dokter Dian dan Emmi saling bertatap mata sambil tersenyum senang. Mereka tidak berkencan untuk datang, tapi ternyata bisa bertemu di rumah sang ayah.

“Reihan, bagaimana kuliah kamu? Kamu tidak pernah bilang apa kekurangannya untuk biaya kuliah kamu.”

“Tidak ada yang kurang Pak, mas Wahyu membantu saya, dan Bapak sudah memberikan uang yang cukup.”

Emmi ingin menawarkan bantuan lagi, tapi diurungkannya. Pengalaman mengusulkan bantuan diwaktu sang ayah masih di rumah sakit, sudah cukup membuat ayahnya kesal. Dia tak ingin kehilangan suasana manis saat bertemu sang ayah. Karena itulah dia diam saja.

“Bapak masih punya uang. Nanti akan bisa meringankan beban kakakmu Wahyu.”

“Iya, Reihan tahu.”

Pertemuan itu membuahkan rasa puas dan menyenangkan diantara mereka, dan tanpa seorangpun tahu, ketika mereka pulang, Guntur merasa lemas seakan tak bertenaga. Ia hanya bisa melangkah pelan ke dalam kamar, lalu membaringkan tubuhnya di tempat tidur.

***

Bu Simah yang mengantarkan irisan buah naga ke rumah Guntur, melihat ada pasien menunggu, tapi dokter Guntur belum kelihatan keluar. Karena sudah biasa, bu Simah mengetuk pintu kamar Guntur.

“Pak Dokter … pak Dokter …”

Guntur sudah mandi, tapi masih berbaring di tempat tidur. Tentu saja dia mendengar suara bu Simah.

“Ya Bu,” jawabnya sambil bangkit.

“Ada pasien di depan tuh, pak Dokter.”

”Iya, saya segera keluar.”

“Baiklah. Ada buah naga sudah saya potong-potong, saya taruh di meja makan ya.”

“Iya Bu, terima kasih banyak.”

Lalu Guntur melangkah keluar, melayani pasien yang sudah mengantri. Tubuhnya terasa lelah, tapi ia punya kewajiban untuk melayani pasien, jadi dia terpaksa melakukannya.

***

Seminggu lagi perhelatan itu diadakan. Baik di keluarga Ardi maupun keluarga dokter Dian sudah mulai diadakan persiapan.

Emmi senang sekali karena sang ayah kandung mau hadir. Kegembiraan itu disampaikan kepada ayah ibunya.

“Ayah Guntur akhirnya bersedia menikahkan Emmi,” katanya dengan riang.

“Bapak dan ibu pasti juga senang. Sudah lama tidak bertemu, apalagi ibumu, pasti pertemuan itu akan menyenangkan semua pihak.”

“Itu memang menjadi kewajibannya,” kata Kinanti singkat.

Tapi sesungguhnya pertemuan itu pasti akan membuatnya kikuk. Bekas suami yang berpuluh tahun tak ketemu, apa yang akan dikatakannya nanti?

“Mengapa Ibu tidak kelihatan senang?” tegur Ardi yang melihat wajah istrinya tampak datar.

“Apa maksud Bapak? Tentu aku senang, sebentar lagi anak kita akan menikah.”

“Nanti kita siapkan saja hotel untuk Guntur menginap, agar tidak capek karena resepsinya kan malam.”

“Terserah Bapak saja, bagaimana mengaturnya.”

“Kalau yang sanggup menjemput, dokter Dian, karena dia kan lebih dekat.”

“Masa pengantinnya menjemput sendiri?” tanya Emma yang ikut nimbrung.

“Bukan pengantinnya, tapi ada sopir yang bertugas untuk itu.”

“Emma dan Reihan akan menjadi pengiring pengantin, bukan?” kata Emmi.

“Eh, aku belum bilang sama Reihan.”

“Kamu sudah dikasih tahu, malah belum bilang sama dia, gimana sih?”

“Kalau aku yang ngomong, pasti dia nggak mau. Mbak tahu nggak, dia itu kan agak pemalu. Mau nggak didandanin lalu berjalan diantara tamu yang banyak?”

“Nanti aku saja yang bilang, kalau begitu.”

“Nah, begitu lebih bagus.”

***

Wahyu baru saja datang dari kantor, ketika Reihan mengatakan akan menjadi pengiring pengantin.

“Kamu? Menjadi pengiring pengantin?”

“Sebenarnya aku malu Mas. Bagaimana kalau Mas saja?”

“Apa maksudmu? Mereka berharap kamu, kenapa jadi aku?”

“Nanti aku  bilang sama mbak Emmi, yang jadi pengiring mas Wahyu sama mbak Emma saja.”

“Nggaaaak. Ada-ada saja kamu.”

“Aku malu Mas, beneran.”

“Kenapa malu? Kan ada Emma?”

“Aku harus dandan dengan pakaian Jawa lalu berjalan diantara tamu, aduuh, nggak kebayang bagaimana malunya.”

“Aneh, kamu ini. Pada suatu hari nanti, kalau kamu jadi pengantin, juga harus dandan dan semua tamu pasti memandang ke arah kamu.”

“Iyakah?”

“Ya iyalah. Anggap saja kamu latihan. Jadi besok-besok kalau jadi pengantin tidak kaku lagi.”

Reihan hanya tersenyum simpul. Dia memang pemalu, jadi dibayangkannya terus kalau nanti benar-benar dandan dan berjalan diantara tamu-tamu.

***

Pagi hari itu, bu Simah datang ke rumah Guntur, mengantarkan wedang jahe hangat yang baru saja dibuatnya. Ia melihat sang dokter tampak lemas, duduk di ruang tengah.

“Dokter pasti kecapekan. Ini, saya bawakan wedang jahe,” kata bu Simah sambil meletakkan gelas berisi irisan jahe dan gula batu. Ada daun jeruk purut juga di dalamnya.

“Terima kasih Bu, mengapa bu Simah selalu repot untuk saya?”

“Tidak repot Dokter, kan kita tetanggaan, dokter sendirian, saya juga sendirian. Kalau ada keluhan, dokter juga pasti memberi saya obat. Lha ini cuma wedang jahe, tidak harus beli, tinggal mengambil di kebun. Pokoknya semua-semua yang saya berikan itu hasil kebun Dok.”

“Bagus banget ya Bu, buah sayur, jamu, semua hasil kebun.”

“Iya Dok, untuk kesibukan, dan untuk menyambung hidup,” kata bu Simah sambil ikut duduk di depan Guntur.

“Bu, saya mau minta tolong, apa Ibu mau?”

“Kok dokter bilang begitu, saya kan juga sering minta tolong pada dokter. Tentu saja apa yang dokter mau, saya akan lakukan.”

“Rumah saya ini akan saya jual.”

“Lhoh, dijual? Lha dokter mau tinggal di mana? Lagian kenapa dijual Dok?”

“Uangnya nanti akan saya berikan pada anak laki-laki saya.”

“Oh, yang beberapa waktu yang lalu datang kemari?”

“Iya. Uang itu nanti saya serahkan bu Simah, agar bu Simah memberikannya kepada dia, untuk biaya kuliah.”

"Saya?" bu Simah sampai berteriak.

***

Besok lagi ya.

Monday, April 7, 2025

ADA MAKNA 29

ADA MAKNA  29

(Tien Kumalasari)

 

Reihan terkejut. Sang ibu begitu nekat. Bagaimana kalau nanti ayahnya bilang tentang uang itu?

“Bu, jangan Bu.”

“Apa maksudmu? Minggir. Masalah pendidikan kamu adalah tanggung jawab ayahmu, soalnya dia sudah ketemu. Jadi tidak ada jalan lain kecuali meminta tanggung jawabnya.”

“Tapi Bu, dengar dulu ….”

“Sudah, jangan ikut campur.” katanya kemudian masuk ke dalam kamar, lalu memutar nomor kontak Guntur, yang di ponsel Reihan tertulis ‘bapak’.

Dengan tersenyum simpul, Wanda menunggu jawaban dari seberang sana. Tak mungkin Guntur tak mengangkatnya, soalnya ini nomor kontak Reihan yang pasti sudah dikenalnya.

Dan benar saja, tak lama kemudian Guntur mengangkat panggilannya.

“Assalamu’alaikum, Rei,” sapa Guntur dari seberang.

“Hallo, ini aku.”

“Apa? Kamu siapa?”

“Guntur, kamu lupa pada suara bekas istrimu sendiri? Ini Wanda, aku ingin bicara tentang ….”

Tapi kemudian Guntur menutup ponselnya tanpa merespon ucapan Wanda.

Wanda terkejut.

“Kok dimatikan sih? Aku kan belum bicara?”

Lalu ia mencoba lagi menelpon, dan ternyata ponsel Guntur sudah dimatikan. Tentu saja Wanda mencak-mencak seperti cacing kepanasan.

“Apa maksudmu Guntur? Aku mau bicara tentang biaya kuliah Reihan! Ini tanggung jawab kamu! Mengapa dimatikan? Dasar laki-laki tak bertanggung jawab. Apa kamu tidak mau menganggap Reihan sebagai anakmu? Apa kamu tidak peduli pada pendidikannya? Dasar menyebalkan! Sejak dulu kamu memang menyebalkan! Kamu pembohong. Kamu jahat!!”

Masih banyak umpatan yang dikeluarkannya, seakan-akan Guntur ada di depannya. Tapi di luar kamar itu, Reihan terkejut. Ia mengira sang ibu mengumpat ayahnya ketika bertelpon. Ia segera mengetuk pintunya keras. Khawatir sang ayah marah karena umpatan-umpatan itu.

“Ibuu …. Buuuu, buka pintunya Bu.”

Wanda membuka pintunya sambil masih mengomel.

“Dasar tidak bertanggung jawab. Laki-laki pembohong.”

“Bu, ibu marah pada bapak?”

“Tentu saja, pada siapa lagi?”

“Ibu ngomong apa pada bapak?”

“Ngomong apa? Baru saja ibu bilang bahwa ini ibumu, dia langsung menutup ponselnya.”

“Ibu tadi marah-marah sama siapa?”

“Ya sama dia lah, orang dia yang buat kesal ibu.”

“Untuk apa ibu marah-marah kalau dia tidak mendengarnya.”

“Ayahmu itu tidak bertanggung jawab. Dia pasti sudah tahu kalau ibu mau meminta uang untuk biaya sekolah kamu, jadi dia kabur. Ibu marah-marah dong. Masa ibu diam saja dibuat kesal seperti itu.”

“Sudahlah Bu, nanti juga semuanya beres, ibu tidak usah memikirkannya. Kalaupun ibu marah-marah, juga tidak ada gunanya. Toh dia tidak mendengar.”

“Dasar laki-laki tidak berguna!” katanya sambil mengembalikan ponsel anaknya.

“Jangan begitu Bu, bapak juga sudah memberi uang juga kan?”

“Uang segitu bisa untuk biaya kuliah kamu? Dan kamu mendiamkannya, bukannya protes kepada ayah kamu?”

“Nanti pasti bisa. Mas Wahyu akan memikirkannya.”

“Lancang. Wahyu itu bekerja juga untuk membantu ibu. Bukan untuk kamu.”

Reihan diam. Ia baru mengerti, betapa egoisnya sang ibu. Sebenarnya kebutuhan apa saja yang harus dicukupi oleh ibunya, sehingga penghasilannya mengajar seakan tidak cukup baginya?

“Karena ibu tidak bisa terhubung dengan ayahmu, maka kamu yang harus mengatakan tentang semua kebutuhan kamu.”

“Nanti Rei akan bicara.”

“Tidak nanti. Sekarang!”

“Bukankah ibu bilang ponselnya dimatikan? Kalau ponselnya mati, mana bisa dihubungi?”

“Ayah dan anak sama saja.” kesal Wanda sambil kembali masuk ke dalam kamarnya, lalu menutupkan pintunya keras-keras.

Di dalam kamar, Wanda menelpon Wahyu, tapi dengan kesal dia membuang ponselnya yang beruntung ke atas kasur sehingga tidak pecah berantakan. Ternyata Wahyu juga tak mau mengangkat panggilannya.

Reihan bernapas lega ketika sang ibu masuk ke kamar. Setidaknya dia tidak harus melanjutkan perdebatan dengan ibunya, yang sudah pasti tak akan berujung sampai dirinya kelelahan.

***

Malam hari itu Wahyu menelpon Reihan. Dia mengatakan bahwa tadi sang ibu menelpon, tapi tidak diangkatnya karena dia masih bekerja.

“Apa ibu mau bicara tentang uang?” tanya Wahyu.

“Pastinya.”

“Bicara apa lagi tadi, ibu?”

“Menelpon bapak tapi ponsel bapak dimatikan, sehingga ibu marah-marah.”

“Untuk apa menelpon bapak?”

“Ketika ibu tahu berapa biaya masuk ke fakultas kedokteran, ibu mau minta agar bapak memikirkannya. Aku sudah ketakutan tadi, kalau sampai bapak mengatakan perihal uang itu. Bukan apa-apa, tapi ibu akan lebih marah lagi kalau sampai aku dikirimi uang oleh bapak tapi tidak mengatakannya pada ibu.”

“Ternyata  bapak tidak mengatakan apa-apa.”

“Untunglah, karena ibu belum sempat bicara, dan bapak rupanya enggan bicara dengan ibu. Entah karena apa, lalu ibu mencak-mencak marah sekali.”

“Kamu bilang apa tentang biaya kuliah kamu?”

“Aku bilang pada ibu bahwa ibu tidak usah memikirkannya. Nanti mas Wahyu yang akan memikirkannya. Tapi ibu bilang, bahwa mas Wahyu harus membantu kebutuhan ibu.”

Wahyu menghela napas panjang.

“Ya sudah Rei, segera kamu urus kuliah kamu, kamu bayarkan sekalian, kalau ada yang kurang bilang sama Mas ya.”

“Besok aku ke Solo lagi ya.”

“Baiklah. Pokoknya persyaratan yang ada hubungannya dengan uang, kamu selesaikan saja dulu. Yang lain bisa dipikirkan nanti.”

Nyatanya semuanya bisa selesai, dan Wahyu merasa lega karena sang ibu tak mengganggu soal uang lagi. Tapi tidak. Setiap kali Wahyu menerima gaji, Wahyu harus menyisihkan juga untuk sang ibu, karena sang ibu mengeluh dan selalu merasa kurang.

Tapi diam-diam Wanda heran, mengapa Reihan tidak meminta uang yang dibawanya, sementara kartu ATM juga ada padanya. Hal itu membuatnya senang. Ia sudah tahu nomor pin Reihan karena dia sudah bertanya ketika Reihan menyerahkan kartunya. Tak apa kan kalau dia mengambilnya sedikit. Tapi Reihan tahu yang sedikit itu bukan benar-benar sedikit, tapi sedikit demi sedikit.

***

Waktu terus berjalan. Reihan sudah mulai kuliah. Dengan begitu sang ibu sendirian di rumah, hanya dengan pembantu yang bertugas membersihkan rumah, mencuci dan memasak. Hal itu membuatnya tak perlu memikirkan kebutuhan anak-anaknya. Wahyu sudah bekerja dan Reihan ada di dekatnya. Jadi semua kebutuhan Reihan pasti juga sudah tercukupi.

***

Emma kuliah setingkat lebih tinggi sebelum Reihan memulainya. Seperti janjinya ketika bertemu dokter Dian, Emma juga masuk ke sekolah kedokteran. Tentu saja dia mengenal Reihan yang dianggapnya sebagai adik tingkat yang baik hati. Reihan merasa aneh, Emma sangat mirip dengan ‘kakaknya’ yang dikenal kan oleh ayahnya di rumah sakit, dan bersikap sangat baik kepada dirinya.

“Mengapa kamu menatap aku terus?” tanya Emma pada suatu ketika.

“Kamu mirip sekali dengan kakakku.”

“Masa?”

“Apa kakak kamu cantik?”

“Cantik sekali.”

“Kalau begitu aku juga cantik dong,” kata Emma girang. Gadis mana yang tidak suka dibilang cantik?

“Kamu memang cantik. Sungguh, bagaimana mungkin kalian bisa semirip ini?”

“Saudara aku ‘kali,” kata Emma seenaknya.

“Mungkin. Tunggu, aku punya fotonya, kamu lihat ya, benarkah kamu mirip atau tidak.”

Reihan mengeluarkan ponselnya, lalu menunjukkan sebuah foto profil Emmi. Tentu saja Emma berteriak.

“Ini kakakku.”

“Apa?”

“Ini mbak Emmi, kakak aku.”

“Ini juga kakak aku,” Reihan juga berteriak.

“Bagaimana bisa kamu mengaku kakakku adalah kakakmu?”

“Jadi kamu itu adiknya mbak Emmi?”

“Iya. Gimana sih, aku bingung. Kamu dianggap adik oleh mbak Emmi? Kamu adik angkatnya?”

“Ayah mbak Emmi itu juga ayahku.”

“Apa? Kamu anak ayah Guntur?”

“Lhoh, kok kamu tahu?”

“Aku juga anak ayah Guntur.”

“Astaga naga,” Reihan diam untuk beberapa saat lamanya.

“Aneh.”

“Kita bersaudara seayah. Ya Tuhan, aku sebenarnya jatuh cinta sama kamu,” kata Reihan enteng.

“Apa?”

“Beneran. Biarpun kamu kakak tingkat aku, tapi aku suka sama kamu, nggak tahu kenapa. Tapi ternyata kamu saudaraku. Ternyata rasa cinta ini adalah cinta kepada saudara bukan pada kekasih hati.”

“Ya Tuhan, bagaimana ini ceritanya…” kata Emma yang masih sedikit  bingung.

“Aku tidak bisa cerita banyak. Ceritanya juga sedikit membingungkan. Aku jauh dari ibuku yang tinggal di Semarang. Kemungkinan ketemu masih belum tahu kapan.”

“Nanti aku mau tanya pada bapak atau ibuku,” kata Emma yang masih termangu.

Mereka diam dalam pikiran mereka  masing-masing. Pertemuan ini serasa aneh.

“Sebentar lagi mbak Emmi akan menikah,” lanjut Emma.

“Oh ya? Calon suaminya dokter?”

“Kok kamu tahu?”

“Aku kan pernah dirawat di rumah sakit, dimana ayah Guntur juga dirawat. Aku pernah melihat mbak Emmi bersama salah seorang dokter yang aku tahu bahwa dia adalah dokter di rumah sakit itu.”

“Dia dokter Dian, yang merawat ayah Guntur waktu itu. Tidak menyangka kalau kemudian jatuh cinta pada mbak Emmi."

“Syukurlah. Aku ikut senang.”

Emmi tidak banyak bercerita tentang Reihan. Ia mengatakan ketemu salah seorang laki-laki yang putra ayahnya, tapi tidak menceriterakannya secara detail.

Emmi juga tidak selalu memantau kelanjutan pendidikan Reihan, takut kalau suatu ketika harus bertemu ibu Reihan yang bukan main anehnya. Karena itulah dia juga tidak tahu kalau ternyata Reihan kuliah di fakultas kedokteran, di mana berada setingkat di bawah Emma.

Saling tidak tahu itulah yang menyebabkan kemudian mereka terkejut karena ternyata saudara seayah.

***

Wahyu terkejut mendengar penuturan Reihan. Ia juga tidak begitu mengerti tentang keluarga bekas suami ibunya. Semuanya serba tidak terbuka dan kemudian anak-anak mereka yang kemudian kebingungan.

“Entahlah. Aku dan kamu juga seibu tapi beda ayah. Lalu kamu ketemu Emmi yang seayah denganmu, kemudian ketemu adiknya Emmi yang berarti juga saudara kamu seayah. Sangat rumit.”

“Mas tahu nggak, aku hampir jatuh cinta pada dia.”

“Maksudmu Emma?”

“Dia cantik dan baik, seperti mbak Emmi. Tapi aku sebelumnya tidak tahu kalau ternyata kami adalah saudara seayah.”

“Untunglah segera ketahuan. Kalau cinta kamu sudah lebih mendalam, dan ternyata kalian saudara, maka akan lebih kacau jadinya.”

“Mbak Emmi mau menikah,” kata Reihan setelah terdiam beberapa saat lamanya.

“Apa?” Wahyu tentu saja sangat terkejut.

“Dengan yang kita lihat waktu kita makan itu. Dia dokter, seperti perkiraanku. Ah ya, mengapa aku begitu tidak perhatian? Aku pernah tahu dokter itu di ruang rawat bapak. Hanya sekilas, sehingga aku lupa, tapi aku tahu bahwa dia dokter di rumah sakit itu.”

“Dasar kamu. Waktu melihat di rumah makan itu pastinya kamu sudah tahu kalau dia yang merawat bapak.”

“Iya, aku lupa. Soalnya aku melihat hanya sekilas. Tapi yang jelas, Mas nggak boleh patah hati.”

“Apa katamu?”

“Mas pasti patah hati kan? Tapi jangan khawatir, Mas itu kan ganteng, pasti akan banyak gadis-gadis cantik yang mau.”

“Kamu anak kecil tahu apa.”

“Enak aja. Aku sudah besar tahu, sudah ngerasain bagaimana rasanya jatuh cinta.”

“Tapi luput kan?” kata Wahyu sambil tertawa.

Tapi tidak terlalu salah kalau Reihan mengatakan tentang patah hati itu. Cinta itu masih ada, dan harapan belum sepenuhnya pupus. Tapi sekarang, gadis yang dicintainya sudah mau menikah. Apa boleh buat. Patah hatilah. Memang iya. Lalu bayangan Tia melintas. Masihkah ada harapan untuk itu? Sikap yang manis dan baik bukan berarti suka. Ia tahu Tia sudah kecewa pada dirinya, gara-gara kelakuan sang ibu.

“Sudah, jangan sedih. Banyak teman aku yang cantik-cantik, nanti aku carikan,” ledek Reihan.

Wahyu hanya tersenyum. Gadis cantik memang banyak, tapi yang suka pada dirinya … entahlah. Ia teringat pada kelakuan ibunya, yang menurutnya sangat berlebihan.

***

Hari itu dokter Dian ada di rumah Guntur. Ini ada hubungannya dengan lamaran dokter Dian kepada kedua orang tua Emmi yang sudah dilakukan. Hanya saja dokter Dian merasa perlu mengabarkannya kepada Guntur, karena Gunturlah ayah kandungnya yang sejati, dan dialah yang nanti berhak menikahkannya.

“Saya kira tidak perlu saya, Nak Dian, sudah ada bapaknya di sana.”

“Bapak adalah ayah kandungnya. Lebih baik Bapak yang menikahkannya. Emmi juga berharap begitu, nanti dia akan kecewa kalau Bapak menolaknya.”

“Bukankah aku bisa memberinya surat kuasa kepada siapapun yang mau menikahkannya?”

Tapi tiba-tiba ...

"Bapaaakk"

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Saturday, April 5, 2025

ADA MAKNA 28

ADA MAKNA  28

(Tien Kumalasari)

 

Wanda terus mengamati buku itu, dan kemarahan kemudian menyergap batinnya. Ia merasa dikhianati oleh sang anak. Bisa-bisanya punya tabungan tanpa sepengetahuan sang ibu. Beruntung transferan yang lebih besar belum tercatat di buku itu, karena Reihan tidak mencetakkan laporan rekeningnya di buku itu. Tapi pemberian sang ayah sejak awal, sudah lumayan banyak. Ada sepuluh juta lebih tertera di buku itu. Itu pemberian sang ayah yang pertama, ketika Reihan akan membayar uang ujian dan sesambat pada sang ayah karena sang ibu sakit dan kakak Wahyu sedang wawancara di luar kota sehingga tidak bisa dihubungi. Kalau saja transferan berikutnya yang hampir menghabiskan seluruh tabungan Guntur sudah tercatat di buku itu, maka entah apa lagi yang akan dilakukan Wanda. Yang jelas sekarang dia sangat marah karena merasa ditinggalkan sang anak dalam kepemilikan rekening di bank.

Reihan sedang bersiap pulang ketika itu, dan Wahyu akan mengantarkannya ke stasiun sambil berangkat kerja, ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Baru saja dia mengangkatnya, suara sang ibu yang terdengar garang menghardiknya.

“Rei! Benar-benar kamu menyepelekan ibu. Ibu kecewa sama kamu!”

Reihan terkejut bukan alang kepalang. Tentu saja Reihan tidak mengerti mengapa sang ibu menghardiknya tiba-tiba.

“Ada apa Bu?”

“Ada apa … ada apa … kamu tidak merasa berbuat salah pada ibu?”

“Rei tidak mengerti, ini ada apa?”

“Sejak kapan kamu punya rekening di bank?”

Reihan terkejut. Bagaimana ibunya bisa tahu?

“Jawab! Sejak kapan??”

“Ibu, dari mana ibu tahu?”

“Dasar pembohong! Buku tabungan kamu ada di almari kan?”

“Iya … iya, maaf Bu. Reihan belum bicara sama ibu tentang tabungan itu.”

“Bagus sekali. Bukankah kamu memang ingin menyembunyikannya  dari ibu?”

“Tapi Bu, maksud Rei ….”

“Dari mana uang itu?”

“Dari … dari bapak … untuk … “

”Dari bapakmu ya?”

“Itu untuk membayar_”

“Untuk apapun harus ibu tahu. Mulai sekarang, ibu yang akan memegang uangmu!”

“Bu, itu hanya ….”

“Pokoknya kalau ayahmu memberi kamu uang, ibu harus tahu. Karena itu biar ibu yang memegang uangmu. Nanti kalau pulang, serahkan ATM itu pada ibu.”

“Tapi Bu.”

Belum sempat Reihan menjawab lagi, ibunya sudah mematikan ponselnya.

“Ada apa?” tanya Wahyu.

“Ibu marah-marah, Rei punya rekening di bank tanpa sepengetahuan ibu.”

“Ibu menemukan buku tabungan kamu?”

“Ya. Di almariku. Ibu minta kartu ATM Reihan, minta agar dia yang mengelola uang Reihan kalau bapak sewaktu-waktu mengirim lagi uang.”

“Kamu sudah mencatatkan pengiriman bapak ke buku itu?”

“Yang terakhir belum.”

“Untung belum. Pengiriman terakhir berapa?”

“Ada sembilan puluh lima juta.”

“Kamu harus menyembunyikan uang itu. Kamu sendiri tahu, ibu itu kebutuhannya banyak, bukan hanya kebutuhan rumah.”

“Arisan … belanja-belanja …”

“Betul. Jadi kamu harus hati-hati dengan uang itu.”

“Apa yang harus Rei lakukan? ATM ini diminta ibu.”

“Apakah kamu percaya pada kakakmu ini?”

“Maksudnya …”

“Pindahkan pengiriman bapak yang terakhir ke rekening Mas. Itu kalau kamu percaya. Mas akan menjaganya dan tidak akan membohongi kamu.”

“Mas sangat menjaga aku, bahkan akan membiayai kuliah aku. Baguslah. Saya kira itu yang terbaik.”

“Benar. Jadi ketika kamu pulang dan ibu meminta ATM kamu, maka uang dari bapak yang terakhir akan aman di rekening Mas. Tapi Mas tidak memaksa.”

“Itu bagus. Sekarang saja Rei mengirimkannya. Aku minta nomor rekening Mas sekarang.”

“Sebaiknya kamu melakukannya sekarang. Mas akan membuka rekening baru, jadi yang nanti akan kamu pakai, tidak tercampur dengan uang Mas.”

“Sekarang? Sebelum pulang?”

“Aku ijin sebentar untuk terlambat masuk kantor, aku antarkan kamu ke bank. Atau ke ATM bank kamu itu.”

“Baiklah, terima kasih Mas.”

***

Reihan sudah sampai di rumah, dan sudah menyerahkan kartu ATM nya begitu sang ibu pulang dari mengajar, tapi tetap saja sang ibu mengomelinya panjang pendek.

“Dasar anak tidak tahu diri. Kamu pikir kamu itu jatuh dari langit? Tidak terlahir dari rahim ibumu ini? Bagaimana kamu bisa menyepelekan ibumu dan menyembunyikan hal keuangan dari ibumu? Kamu tidak percaya pada ibumu?”

“Percaya Bu, hanya saja Rei belum sempat.”

“Belum sempat? Sudah sejak lama kamu memiliki rekening ini, bagaimana mungkin kamu mengatakan belum sempat.. belum sempat?”

“Namanya juga lupa Bu.”

“Jangan seenaknya kamu sama ibu ya,” kata Wanda sambil memasukkan kartu ATM itu ke dalam tasnya.

“Jadi kalau Rei butuh sesuatu harus minta pada Ibu kan?”

Wanda tak menjawab, langsung masuk ke dalam kamarnya.

Reihan menghela napas. Saat itu ia benar-benar kesal pada sang ibu. Beruntung sekali kakak Wahyu memberi jalan terbaik untuk bisa menyimpan rapat agar terhindar dari gangguan sang ibu. Bukan karena pelit, tapi uang itu kan dari sang ayah untuk biaya kuliah.

***

Dalam sebuah pertemuan antar pengusaha, di mana Tia hadir mewakili perusahaan, tanpa diduga ia melihat Wahyu. Ia tak mengira Wahyu sudah bekerja dan ternyata berada di dalam satu atap dengan perusahaannya.

Wahyu yang semula merasa rendah diri karena pernah berbuat salah karena ulah ibunya, merasa sungkan untuk menegurnya. Tapi Tia yang merasa tak ada gunanya membenci, tetap menyapanya.

“Apa kabar, Wahyu?”

“Baik, atas doamu.”

“Senang akhirnya kamu bisa bekerja. Kita akan sering bertemu setelah ini, karena kita bekerja dibawah bendera yang sama.”

“Ya.”

“Kamu kost di sini?”

“Ya.”

“Di mana?

“Agak jauh.”

“Kamu luar biasa. Banyak dipuji atasan. Aku tak mengira bahwa Wahyu yang mereka sebut adalah dirimu. Kamu sudah diangkat menjadi wakil manager karena kepintaran kamu. Aku ikut senang,” sapa Tia yang berusaha ramah.

“Terima kasih,” jawab Wahyu, masih dengan nada sungkan.

Tia meninggalkannya, membiarkan Wahyu yang masih duduk termangu dengan seribu satu pertanyaan, mengapa Tia bersikap seramah itu. Apakah pak Suryawan tidak menceritakan kepadanya tentang kedatangan ibunya, bahkan dirinya sendiri?

“Aku akan menanyakannya, agar tidak terlalu sungkan nantinya, setelah Tia mengetahui lalu menetapkan sikap selanjutnya,” kata batin Wahyu.

***

Sudah agak sore ketika pertemuan bisnis itu berakhir. Tia melihat Wahyu seperti sedang menunggu sesuatu. Barangkali taksi. Tia mendekatinya. Melihat sikap Wahyu yang seperti sungkan, Tia justru merasa bersalah. Pasti tentang kedatangan ibunya ke rumah itu yang membuatnya sungkan. Tia mencoba mencairkan suasana canggung itu dengan menyapanya baik-baik. Bagaimanapun mereka akan sering ketemu. 

"Mau pulang?"

"Eh.. iya. Sedang menunggu ojol."

"Ojol?"

"Ya. Hanya sendirian. Nggak apa-apa."

"Bareng aku saja."

"Terima kasih. Sudah pesen ojol. Mungkin sudah hampir sampai. Tuh, sudah datang."

"Ya sudah. Baiklah."

Tia menghampiri mobilnya, dan memacunya menuju pulang. Tak disangka ia melihat ojol yang ditumpangi Wahyu berhenti di sebuah gang sempit.

Tia berhenti di depan gang itu dan melihat Wahyu memasuki rumah yang sederhana. Sepertinya memang rumah kost tapi yang biasa-biasa saja.

Tia melanjutkan perjalanannya sambil berpikir tentang Wahyu. Dia seorang pintar yang  wakil manager yang gajinya lumayan, mengapa menempati sebuah rumah kost yang sederhana ?

Sementara itu sebenarnya Wahyu melihat mobil Tia berhenti di depan gang sebelum dia masuk ke rumah. Wahyu merasa pasti Tia heran dia tinggal di rumah kost yang sederhana. Tapi Wahyu mengacuhkannya. 

"Memangnya kenapa kalau rumah kostku sederhana dan buruk menurut kamu? Aku tidak perlu merasa malu," gumamnya sambil masuk ke dalam kamarnya.

Tapi Wahyu juga heran, mengapa Tia begitu baik terhadapnya? Padahal dia merasa sungkan setelah Wanda menemui ayah Tia dan berbicara macam-macam.

***

Malam hari itu Reihan menelpon. Ia mengatakan bahwa begitu pulang sang ibu memarahinya habis-habisan.

"Ya sudah, kamu yang sabar. Kartu ATM sudah diminta?"

"Langsung diminta. Aku pikir setelah kartu aku serahkan, ibu tidak marah lagi. Ternyata sama saja."

"Kamu jawab apa?"

"Aku hanya minta maaf dan bilang lupa. Tapi jawaban itu semakin membuatnya marah."

"Ya sudah. Yang penting uang kamu yang banyak bisa diselamatkan."

"Iya Mas. Aku bersyukur untuk itu. Ya sudah, aku mau bilang itu saja. Ini sudah malam. Mas istirahat ya."

"Kamu juga harus segera istirahat. Jangan lupa cari informasi untuk kelanjutan sekolah kamu."

Baik. Besok aku akan mengurusnya."

Wahyu menghela napas lega sebelum kemudian merebahkan tubuhnya di pembaringan. Tapi bayangan Tia yang bersikap sangat baik selalu mengganggunya.

“Ada apa ini? Jangan bilang kamu mulai memikirkan dia lagi. Harapan untuk kamu sudah tumpas. Yang dia dan keluarganya pasti membencimu. Hilangkan pikiran yang membuat hatimu kusut, Wahyu, sadar diri, baginya, juga bagi keluarganya, kamu itu bukan laki-laki idaman. Lihat ibu kamu yang suka memfitnah, dan sifat itu jangan-jangan juga menurun kepadamu. Tidaaak, aku tidak suka memfitnah, aku justru mencela kelakuan ibuku,” gumamnya berkali-kali, sebelum akhirnya ketiduran karena lelah.

***

Pagi hari itu Wahyu terkejut ketika Tia masuk ke kantornya. Padahal kantor mereka berbeda tempat. Tia di kantor pusat sedangkan dia di kantor cabang.

“Selamat pagi,” sapa Tia.

“Pagi. Kamu di sini?”

“Ada urusan dengan pimpinan, beliau belum datang, jadi aku mampir dulu kemari.”

“Ohh ….”

“Sibuk?”

“Belum.”

“Aku sudah tahu di mana rumah kost kamu.”

“Aku tahu kamu mengikuti aku, kemarin.”

“Bukan mengikuti, kebetulan arah kita sama, lalu aku melihat ojol yang kamu tumpangi berhenti di situ.”

“Iya. Memangnya kenapa?”

“Kamu mengapa kost di situ? Ada tempat kost yang lebih baik di dekat kantor. Aku  bisa membantu kamu mencarikannya.”

“Memangnya kenapa? Biar saja, aku lebih nyaman di situ.”

“Wahyu, ada tempat yang lebih baik. Milik teman kita juga.”

“Aku harus berhemat, Tia. Adikku mau masuk perguruan tinggi, aku berjanji akan membiayainya. Karena itu aku tidak memilih tempat yang labih layak, demi bisa menyisihkan uang untuk membantu biaya adikku.”

“O, adik kamu yang bernama … aduh … pernah dengar, tapi lupa. Mm.. ya, Reihan ya?”

“Iya, benar, Reihan. Dia ingin masuk fakultas kedokteran.”

“Iya, lumayan mahal. Tapi aku salut sama kamu, karena mau berkorban demi membiayai adik kamu.”

“Hanya sekedar membantu, karena dulu aku juga kuliah sambil bekerja. Tidak bisa menggantungkan orang tua terus menerus.”

“Bagus. Kamu kakak yang baik. Semoga adik kamu berhasil mencapai cita-citanya, agar kakaknya tidak kecewa.”

“Aku hanya ingin membantu.”

Ketika Tia ingin meninggalkan ruangannya, Wahyu memanggilnya.

Tia membalikkan tubuhnya, berjalan mendekati meja kerja Wahyu.

“Dulu ibuku pernah ke rumah kamu, bertemu ayah kamu. Apa kamu tahu?”

“Oh itu, tahu. Bapak cerita padaku. Selang beberapa hari kamu juga datang kan?”

“Maafkan, itu bukan kemauan aku.”

“Aku tahu, lupakan saja. Jangan hal itu membuat kamu berpikir bahwa aku kesal sama kamu.”

“Terima kasih, Tia.”

“Aku ke pimpinan dulu,” Tia akhirnya berpamit.

Wahyu menarik napas lega. Tia tidak membencinya. Tapi jangan berharap apapun. Dia sudah punya calon, bukan?

Wahyu membuka laptop untuk mulai bekerja.

***

Reihan sudah wisuda, urusan masuk ke perguruan tinggi sudah di urus.

Sore hari itu dengan gembira Reihan  mengatakan kalau dia diterima di fakultas kedokteran, tapi swasta. Sang ibu terkejut mendengar biaya yang harus dikeluarkannya.

“Rei, jangan katakan ini pada ibu. Bilang pada ayahmu, bahwa kamu butuh biaya. Bukankah kamu punya nomor kontaknya?”

Reihan terdiam. Uang itu sudah ada, sebenarnya dia tak minta kepada ibunya.

“Ayo bilang, mana ponselmu. Biar ibu telpon dia melalui ponsel kamu saja. Kalau membaca nomor kontak ibu, dia tak akan mengangkatnya,” katanya sambil merebut ponsel Reihan.

***

Besok lagi ya.

 

Friday, April 4, 2025

ADA MAKNA 27

 ADA MAKNA  27

(Tien Kumalasari)

 

Sesaat Guntur tak bisa berkata apa-apa. Bagaimanapun, Emmi adalah darah dagingnya. Kalau tega memarahinya, pasti tak tega mendengarnya sakit, apalagi operasi, yang berarti adalah sakit yang serius.

“Operasi apa?” tanyanya setelah beberapa saat lamanya.

“Ada perdarahan otak.”

“Dia jatuh? Kapan?”

“Menurut ibu Kinanti, pernah jatuh waktu masih kecil. Tapi operasi sudah selesai dan berhasil baik.”

“Alhamdulillah. Dokter Dian menungguinya?”

“Saya beberapa kali datang ke sana, ketika operasi saya menungguinya bersama kedua orang tua dan adik-adiknya.”

“Syukurlah. Mohon saya dikabari kalau ada apa-apa. Biarpun tak bertemu orangnya, tapi kalau mendengar berita baiknya, saya sudah senang.”

“Baiklah.”

“Dokter sudah bertemu keluarganya?”

“Sudah, mereka sangat baik. Adik-adiknya juga baik.”

“Saya berharap, dokter bisa menjadi keluarga mereka. Apakah Emmi sudah pernah mendengar dari dokter bahwa dokter menyukainya?” kata Guntur berterus terang.

“Saya belum pernah mengatakannya. Tapi sikapnya baik.”

“Saya pernah mengatakannya.”

“Dia menjawab apa? Semoga tidak ada penolakan,” kata dokter Dian sambil tersenyum.

“Tidak terlihat begitu. Tapi dia ingin menyelesaikan kuliahnya. Semoga dalam setahun ini bisa selesai.”

“Aamiin.”

“Saya berharap masih hidup ketika Emmi menikah.”

“Dokter jangan berkata begitu. Dokter akan sehat dan kuat.”

“Saya tahu apa yang saya derita.”

“Semangat adalah obat.”

Guntur tersenyum. Ia merasa tak ada yang bisa diharapkannya. Hidupnya adalah milik dirinya sendiri. Siapa yang peduli? Tapi kemudian dia ingat Reihan. Ia sudah memberikan hampir semua tabungannya untuk Reihan. Nanti pasti ia bisa menambahinya lagi kalau diperlukan. Untuk itulah kemudian Guntur merasa hidup.

“Saya punya anak laki-laki. Dokter pernah bertemu bukan?”

“O iya, pernah bertemu ketika dia menemui dokter. Tapi tunggu, mengapa kita tidak bisa menyebut masing-masing dengan nama saja? Seperti sangat resmi.”

“Jadi ….”

“Panggil saya Dian, saya akan memanggil Dokter dengan Bapak.”

“Begitu ya?”

“Begitu lebih baik, Bapak.”

Keduanya tersenyum. Rasanya memang lebih nyaman. Apalagi mereka berada dalam suasana seperti keluarga.

“Terima kasih, Nak.”

Mereka berbincang agak lama. Dokter Dian pergi ketika hari menjelang sore, setelah memberikan sejumlah vitamin yang berguna untuk kesehatannya.

***

Hari berjalan begitu cepat. Hubungan Emmi dengan dokter Dian sudah semakin dekat. Ketika liburan, dokter Dian selalu memerlukan datang menemui Emmi demi melepas rasa kangen yang entah dari mana datangnya rasa itu, sementara sebelumnya tak pernah mereka rasakan.

Tapi satu yang dokter Dian tidak mau mengatakannya, ialah ketika Emmi menanyakan di mana ayahnya berada.

“Mengapa Mas tidak mau mengatakannya?”

“Aku sudah berjanji pada bapak, dan tidak berani mengingkarinya.”

“Apakah bapak sangat membenci aku?”

“Bukan, mana ada seorang bapak membenci darah dagingnya? Bapak hanya ingin tenang.”

“Apakah kehadiranku membuatnya tidak tenang?”

“Ada sebuah perasaan dari seorang pria yang tidak diketahui wanita. Perasaan itu tersembunyi. Tak ingin ia mengatakannya pada siapapun, jadi aku harap, hormatilah keinginannya. Yang jelas, bapak baik-baik saja.”

“Bulan depan adalah saat aku di wisuda. Aku ingin bapak ada didekatku, melihat aku berhasil menyelesaikan studiku. Melihatku dengan sebuah kebanggaan orang tua, menampakkan senyuman cerah karena aku tidak mengecewakannya.”

“Nanti aku akan datang.”

“Bukan. Mas bukan ayahku.”

“Tapi aku calon suami kamu.”

“Mas akan melihatku dengan perasaan yang berbeda. Kebanggaan seorang tua dan kebanggaan seorang suami itu berbeda.”

“Baiklah, nanti aku akan bicara.”

“Mas punya nomor kontaknya kan? Boleh aku minta. Biarkan aku bicara sendiri dengan bapak.”

“Emmi, tolonglah. Aku tidak ingin mengecewakan bapak. Kalau ketemu, nanti aku akan menyampaikan semua keinginan kamu.”

Emmi menghela napas panjang. Berpikir sampai lelahpun ia tetap tak bisa mengerti apa yang sebenarnya dipikirkan ayahnya.

Tapi kemudian Emmi teringat sesuatu, ada seseorang yang barangkali memiliki nomor kontak ayahnya. Ia harus mencobanya.

***

Reihan sedang berada di rumah kost kakaknya hari itu, ketika ia sedang libur. Setelah ujian, ia banyak punya waktu senggang. Kamar kost Wahyu kecil dan sederhana, sementara dia memiliki jabatan di perusahaannya.

“Mengapa Mas memilih kamar kost yang kecil seperti ini?”

“Memangnya kenapa? Kamar ini bisa membuat aku istirahat atau tidur dengan nyaman.”

“Tapi Mas kan bisa menyewa tempat yang lebih bagus?”

“Ini cukup Rei. Mas harus berhemat, karena mas ingin menyekolahkan kamu, sampai kamu berhasil menjadi orang. Jadi harus selalu ada uang tersisa yang cukup untuk menabung. Bukankah kamu sudah ujian?”

Reihan memeluk sang kakak dengan penuh haru.

“Aku kan punya uang yang dari bapak. Seandainya kurang, aku kira tidak akan banyak. Mas tidak usah menyiksa diri seperti ini.”

“Apa? Menyiksa? Hanya karena sebuah kamar yang sederhana kamu mengatakan kakakmu ini tersiksa? Tidak Reihan, ini cukup untuk aku. Bapak sudah pensiun, pasti uangnya tidak lagi banyak, belum untuk kebutuhannya yang lain. Sementara ibu tidak pernah bisa memegang uang, karena kebutuhannya sendiri juga banyak. Tapi ada aku yang akan selalu mencukupi kebutuhan kamu.”

Ketika itu ponsel Reihan tiba-tiba berdering. Wajah Reihan berseri.

“Mbak Emmi?”

“Apa kabar Rei?”

”Aku baik.”

“Syukurlah. Pastinya kamu sudah selesai ujian, ya kan?”

“Iya, doakan aku lulus ya Mbak.”

“Pasti. Mbak akan selalu mendoakan kamu.”

“Apa Mbak tahu, saat ini aku ada di Solo.”

“Benarkah? Dalam rangka apa? Jalan-jalan karena banyak waktu luang?”

“Aku mengunjungi mas Wahyu. Apa Mbak tahu, mas Wahyu bekerja di sini sudah beberapa bulan ini.”

“Oh ya, syukurlah.”

“Mbak ingin ketemu?”

“Tidak Rei, mbak sedang sibuk. Kamu jadi melanjutkan kuliah kan?”

“Iya, kalau bisa. Bapak memberikan sejumlah uang di rekeningku. Kata bapak untuk membantu biaya kuliahku.”

Emmi tertegun. Akhirnya sang ayah memberikan uangnya sendiri untuk Reihan. Apakah karena keinginan itu, maka ayahnya marah ketika ada yang ingin membantu? Emmi mulai meraba-raba.

“Mbak Emmi masih di situ?”

“Eh, iya. Baguslah Rei, kamu punya uang untuk masuk ke perguruan tinggi nanti.”

“Semoga saja ya MBak.”

“Rei, kamu punya nomor kontak bapak kan?”

“Oh ya, aku punya, bapak memberikannya. Katanya kalau aku butuh sesuatu harus menghubunginya.”

“Boleh aku minta Rei? Aku malah tidak punya nomor kontak bapak.”

“Baiklah, nanti Rei kirimkan untuk Mbak.”

“Rei, selalu berkabar untuk Mbak ya. Kalau kamu punya waktu, boleh main ke rumah. Kamu belum kenal adik-adik Mbak, kan?”

“Tentu. Oh ya, ini ada salam dari mas Wahyu.”

“Katakan, salam kembali. Sudah dulu ya, kirimkan nomor kontak bapak segera,” kata Emmi yang kemudian menutup ponselnya.

“Hei, apa katamu? Siapa yang mengirim salam?” kata Wahyu dengan wajah kesal atas kelancangan adiknya.

Reihan hanya tertawa.

“Siapa tahu bisa bersambung, nanti,” katanya sambil menuliskan nomor kontak ayahnya yang segera dikirimkannya kepada Emmi.

“Ngawur!!”

Reihan hanya cengar-cengir didamprat kakaknya.

***

Emmi sudah berdandan sore itu, karena dokter Dian akan mengajaknya jalan-jalan. Tapi ia memerlukan waktu untuk menelpon ayah Guntur. Reihan sudah mengirimkannya tadi, tapi Emmi belum sempat menghubunginya. Ia duduk di teras, lalu memutar nomor ponsel sang ayah.

Nada panggil itu terdengar, tapi tak ada tanda-tanda panggilan itu diangkat. Berkali-kali Emmi mencobanya, dan yang terakhir ponsel sang ayah malah dimatikan.

Berlinang air mata Emmi.

“Bapak benar-benar tak mau menerima panggilan dari aku? Apa bapak tahu kalau ini adalah nomor kontakku? Sepertinya selama melayani bapak di rumah sakit aku belum pernah memberikan nomor kontakku.”

Karena terpaku pada panggilan yang tak diangkat, dia tak tahu kalau dokter Dian sudah lama berdiri di teras.

“Emmi.”

Emmi terkejut. Ia segera mengusap matanya yang berair.

“Nggak tahu ada Mas di situ. Kok nggak bilang-bilang sih?”

“Kamu kenapa? Menangis?”

“Aku mencoba menelpon bapak, tidak diangkat, ponselnya malah dimatikan. Begitu bencinya bapak padaku,” ujarnya sedih.

“Memangnya bapak tahu bahwa yang menelpon itu kamu?”

“Entahlah. Tahu nggak ya?”

“Bapak tidak pernah mau menerima telpon. Bukan karena benci sama kamu.”

“Oh ya?”

“Ya, jadi jangan sakit hati. Bapak tidak tahu siapa yang menelpon, dan memang tidak ingin berhubungan dengan siapapun.”

“Tapi bapak memberikan nomornya pada Reihan.”

“Kamu tahu nomor bapak dari Reihan?”

Emmi mengangguk.

“Reihan juga mengatakan diberi uang bapak di rekeningnya.”

“Bapak senang bisa melakukan itu.”

“Mengapa? Bukankah bapak marah ketika ada yang ingin membantunya?”

“Kamu ini calon sarjana tapi tidak bisa mengupas sebuah sikap. Karena itulah kamu selalu merasa sakit hati.”

“Aku bodoh ya?”

“Benar,” kata dokter Dian sambil tertawa, membuat Emmi cemberut.

“Nanti saja sambil jalan aku mau bicara, sekarang aku mau ketemu bapak atau ibu, kita jalan sekarang ya, lapar nih," kata dokter Dian santai.

“Baiklah, aku panggil bapak sama ibu dulu,” kata Emmi sambil beranjak masuk ke dalam.

***

Dalam perjalanan itu, Emmi mendesak dokter Dian agar mengatakan mengapa dirinya dibilang bodoh.

“Bapak itu seorang laki-laki. Bapak merasa gagal selama ini, karena sebuah kesalahan yang dibuatnya. Melihat anak-anaknya tumbuh besar dan pintar, bukan membuat dirinya bangga, karena semua itu bukan karena dia. Ia merasa menjadi kecil dan tak berdaya. Lalu ketika bapak ingin membantu biaya untuk Reihan, kamu mengatakan bahwa ayahmu, pak Ardi, ingin membantunya. Apa menurutmu semua bantuan itu menyenangkan?”

“Tidakkah? Bukankah itu juga meringankan beban bapak sendiri.”

“Itu kan menurut kamu. Tapi sebagai seorang ayah, bapak ingin melakukan sesuatu bagi anaknya. Lalu kamu membuatnya kecewa dengan janji ayahmu akan membantunya. Kamu sudah bisa mengerti?”

Emmi terdiam. Ia sudah mulai meraba-raba sejak menelpon Reihan. Sekarang ia bisa mengerti.

“Bagaimana?”

“Bapak ingin punya arti dengan memberikan biaya untuk Reihan. Bapak merasa sakit hati ketika ada orang yang ingin membantunya.”

“Kamu pintar sekarang. Itulah jawabannya. Jadi kamu tidak perlu sedih.”

Emmi mengangguk-angguk. Orang tua memang rumit, bukan?

***

Reihan sedang makan malam bersama Wahyu. Mereka berbincang tentang apa yang harus dilakukan Reihan untuk mencapai cita-citanya.

“Kamu sudah mencari informasi tentang persyaratan masuk ke perguruan tinggi?”

“Sudah. Tapi aku ingin kuliah di sini saja.”

“Bagaimana dengan ibu?”

“Ibu tak akan keberatan, apalagi kalau aku tidak perlu memberatkan ibu.”

“Terserah kamu saja. Kalau kamu kuliah di sini, kamu bisa kost bersama mas.”

“Di kamar sempit itu? Aku tidur di bawah saja, aku sudah tahu kalau Mas tidur, polahnya banyak. Bisa-bisa aku terlempar jatuh kalau tidur seranjang. Apalagi ranjang sempit seperti yang Mas pakai itu.”

Wahyu tertawa. Tapi tawa itu kemudian terhenti, ketika melihat seseorang masuk.

“Bukankah itu mbak Emmi?”

Reihan sudah ingin berteriak, ketika tiba-tiba Wahyu menutup mulutnya dengan telapak tangan.

“Mmmh.”

Wahyu mengarahkan pandangannya ke arah Emmi, dan Reihan kemudian tahu bahwa Emmi tidak sendiri.

“Itu pacar mbak Emmi?” tanya Reihan pelan.

“Menurutmu apa?”

“Itu aku seperti pernah melihatnya. Dia seorang dokter di rumah sakit, dimana aku dioperasi dulu.”

“Dokter?”

“Sepertinya ya.”

“Owh.”

“Kalau begitu bersiaplah untuk patah hati,” kata Reihan enteng. Membuat Wahyu melotot ke arahnya.

***

Wanda sedang merapikan baju-baju Reihan yang baru dikirim dari laundry, lalu akan memasukkannya ke dalam almari.

“Ini kan baju-baju sekolah, sebentar lagi tidak akan dipakai,” katanya sambil menurunkan baju-baju seragam sekolah yang menumpuk di almari Reihan.

Tiba-tiba Wanda melihat sesuatu.

“Buku tabungan?”

Wanda membukanya.

“Sejak kapan Reihan punya buku tabungan?”

***

Besok lagi ya.

ADA MAKNA 30

  ADA MAKNA  30 (Tien Kumalasari)     Guntur sangat terkejut. Bukan hanya seorang yang berdiri di depan pintu, tapi dua orang. Emmi dan Reih...