Wednesday, November 20, 2024

DALAM RINDUNYA AKU

DALAM RINDUNYA AKU

(Tien Kumalasari)


Dalam rindunya aku, 

burung sampaikan rinduku melalui kicaumu

Dalam sayangnya aku, 

angin sampaikan cintaku melalui bisik lembutmu

Agar ketika terbangun pagi ini, 

aku bisa mencium wangi  cinta dari taman hatiku

Haiiii

Selamat malaaamm semuaaaaa....


-----







KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 17

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  17

(Tien Kumalasari)

 

Mbok Truno keluar masuk rumah, mengitari kebun belakang, tapi tak menemukan Arumi. Kemudian ia pergi ke sungai, barangkali Arumi mandi. Tapi mbok Truno heran, sejak pagi dia memang tak melihatnya. Dan karena kesibukannya sendiri, ia tak begitu memperhatikan, apakah Arumi ada, atau tidak. Padahal biasanya dia juga membantu di dapur atau memetik sayur di kebun.

Mbok Truno sudah sampai di tepi sungai, tapi bayangan Arumi juga tak tampak.

“Kemana anak itu. Tak biasanya dia pergi tanpa pamit,” gumamnya sambil kembali ke arah rumah.

Kacang panjang di kebun sudah saatnya dipanen, harusnya Arumi memetik kacang-kacang itu, agar sang simbok membawanya ke pasar untuk dijual. Apakah Arumi memanen kacang-kacang dan dibawa sendiri ke pasar? Biasanya tidak begitu. Lagi pula kacang-kacang itu masih bergelantungan sejak kemarin, tak ada tanda-tanda ada yang memetiknya.

Dengan bingung mbok Truno masuk kembali ke rumah, dan kembali berteriak, tapi tetap saja tak ada jawaban. Rumah itu lengang, dan mbok Truno duduk di balai-balai dengan perasaan tak tenang.

Keadaan ini sungguh aneh. Tadi suaminya juga tak menanyakan keberadaan Arumi, barangkali dikira Arumi sedang mencuci atau apapun, dibelakang rumah.

Mungkinkah Arumi menyusul ayahnya ke sawah? Sepertinya tak mungkin. Bukankah ayahnya baru saja berangkat dan Arumi sudah tidak kelihatan batang hidungnya?

Mbok Truno tak pernah merasa segelisah ini. Ingin ia menyusul suaminya ke sawah, tapi nanti malah mengganggu yang sedang bekerja.

Apakah dia ke pasar? Untuk apa? Dia tak membawa uang, dan tak minta uang kepadanya.

Beribu pertanyaan memenuhi benaknya. Lalu mbok Truno masuk ke kamar Arumi, tempat tidurnya tampak tak rapi. Biasanya Arumi melipat selimutnya, dan merapikannya. Tapi kenapa selimutnya masih berantakan?

Hati mbok Truno tercekat. Berarti Arumi pergi dengan tergesa-gesa. Tergesa-gesa? Kenapa? Baru pagi ini, atau semalam? Pemikiran buruk tiba-tiba menghantuinya. Dirasa tak mungkin, tapi seperti mungkin. Arumi minggat? Kenapa?

Dengan perasaan gundah mbok Truno keluar rumah, entah kemana kakinya melangkah, ia tak merasakannya, karena ia juga tak tahu harus kemana mencari anaknya.

Sebelum sampai pasar, tba-tiba Wahyuni menyapanya.

“Lik, mau ke mana? Ke pasar? Bareng yuk, saya mau ke toko, membantu bapak.”

“Wahyuni, sebenarnya aku sedang mencari Arumi,” katanya dengan bibir bergetar, karena kegelisahan yang memenuhi perasaannya.

Wahyuni heran.

“Mencari Arumi? Memangnya Arumi pergi ke mana?” tanya Wahyuni yang kemudian berjalan berjajar dengan mbok Truno.

“Entahlah, sejak pagi dia tak kelihatan. Pergi tanpa pamit.”

“Kok aneh, masa Arumi pergi tanpa pamit?”

“Iya Yun, aku tuh nggak sadar, dari pagi nggak melihat Arumi, setelah bapaknya pergi ke sawah, aku cari dia, ternyata nggak ada. Aku bingung. Sepertinya dia pergi dengan tergesa-gesa. Kamarnya biasanya rapi, tapi selimutnya juga tidak sempat dilipat. Aku bingung, kemana dia?”

“Apa sampeyan habis memarahinya?”

“Tidak, aku tidak pernah marah pada dia, dia itu penurut, tidak pernah berbuat yang aneh-aneh. Jadi tidak pernah aku marah. Demikian juga bapaknya.”

“Kok aneh. Kemarin saya ketemu dia, omong-omong di bawah pohon sukun, dia kelihatannya baik-baik saja.”

“Semalam juga tidak ada apa-apa, dia makan bersama kami, ngoceh macam-macam, tidak ada yang aneh pada sikapnya.”

“Ke mana ya Arumi? Jangan-jangan diculik orang jahat.”

“Apa? Diculik orang jahat? Kenapa menculik Arumi? Apa yang diharapkannya dari orang miskin seperti Arumi?”

“Yah, itulah Lik, aku juga bingung.”

Mereka terus berjalan ke arah pasar, dan Wahyuni juga memperlihatkan rasa prihatinnya.

“Nanti setelah membantu bapak di toko, saya bantu mencarinya Lik.”

“Terima kasih ya Yun.”

“Sudah sampai di toko, saya pamit dulu. Sebaiknya Lik pulang saja, nanti saya coba bantu mencari.”

“Iya, aku mau jalan sampai ke pasar dulu, siapa tahu ada yang melihat Arumi.”

“Baiklah Lik, hati-hati, semoga segera mendapat berita tentang Arumi, dan bisa segera diketemukan.”

Mbok Truno mengangguk, lalu ia terus melangkah. Semua pertanyaan yang ada dibenaknya tak ditemukan jawabannya.

Ia terus berjalan sampai ke pasar, bertanya kepada setiap orang yang pernah menjadi langganannya, dan yang mengenal Arumi. Tapi tak seorangpun tahu, di mana Arumi berada.

Mbok Truno putus asa. Ia kembali pulang karena matahari semakin tinggi. Suaminya harus dikirim makan.

Ketika melewati rumah pak Carik, ia melihat bu Carik sedang mengambil nangka muda di halaman rumahnya. Ia melihat mbok Truno dan menyapanya.

“Yu Truno, dari mana? Sudah siang baru pulang dari pasar?”

Mbok Truno terpaksa berhenti.

“Sedang mencari Arumi, bu Carik.”

“Lhoh, Arumi ke mana, kok sampai dicari?”

“Entahlah Bu, sejak pagi dia tidak ada di rumah. Sepertinya pergi entah ke mana,” jawab mbok Truno dengan mata sembab, karena sepanjang jalan dia meneteskan air mata.

“Pergi entah ke mana? Tidak pamit?”

“Tidak Bu, kalau pamit masa saya mencarinya.”

“Habis kamu marahin ya Yu?”

“Tidak, saya tidak pernah marah sama Arumi. Bapaknya juga begitu.”

“Kok aneh. Lalu pergi ke mana ya dia?”

“Entahlah Bu, ya sudah, saya pamit dulu, mau mengirim makan bapaknya,” kata mbok Truno sambil berlalu.

Bu Carik menatapnya prihatin. Sungguh aneh kalau Arumi pergi tanpa pamit, padahal ayah dan simboknya tidak memarahinya.

Bu Carik membawa nangka muda yang baru saja dipetiknya. Di depan pintu dapur, dia melihat Sutris.

“Tris, kasihan mbok Truno.”

“Memangnya kenapa?”

“Arumi hilang.”

Sutris terbelalak.

“Arumi hilang? Maksudnya pergi tanpa pamit?”

“Iya. Tadi mbok Truno lewat sini, tampaknya sangat sedih, dan menangis sepanjang jalan.”

“Ya ampun, kasihan benar, apa yang terjadi, kenapa sampai minggat?”

“Sepertinya tidak minggat,” dan bu Carik seperti memikirkan sesuatu.

“Bu, Sutris pamit dulu.”

“Ke mana?”

“Mau membantu mencari Arumi.”

“Ya sudah, tolonglah Tris, kasihan. Jangan-jangan ada yang menculiknya.”

“Ibu kebanyakan nonton sinetron. Mana ada di desa ini orang menculik anak gadis.”

“Entahlah, aku hanya kasihan. Coba kamu bantu, semoga bisa menemukannya.”

Sutris berlalu. Walaupun tahu bahwa Arumi tidak menyukainya, tapi hilangnya Arumi membuatnya khawatir. Entah ke mana akan mencarinya, Sutris tidak tahu. Ia pergi ke toko untuk meminjam motor ayahnya.

***

Tapi di toko ia tak melihat ayahnya. Hanya ada Wahyuni dan para pegawainya, yang begitu melihatnya langsung melambaikan tangannya memanggil.

“Ada apa? Bapak pergi ya?”

“Iya, begitu aku datang langsung pergi, entah mau pergi ke mana. Mendekat sini, aku mau bilang.”

Sutris mendekat, dan Wahyuni langsung menceritakan perihal hilangnya Arumi. Ia bercerita dengan menggebu-gebu, tak tahu bahwa Sutris sudah mengetahuinya.

“Aku sudah tahu, tadi lik Truno lewat depan rumah, ketemu ibu, lalu menceritakannya.”

“Ya ampuun, apa tidak aneh. Benarkah ada yang menculik Arumi? Sungguh, aku tadi berpikir bahwa Arumi diculik oleh orang yang menyukainya, dan bayanganku hanya satu, kamu.”

“Ngawur. Aku di rumah berhari-hari, baru tadi keluar kamar lalu ibu bercerita. Aku datang kemari sebenarnya mau pinjam sepeda motor bapak. Bagaimanapun aku harus mencari Arumi. Kasihan. Tapi benarkah ada yang menculiknya? Untuk apa? Kalau minta tebusan juga tidak mungkin, Arumi itu anak orang miskin.”

“Aku juga bingung. Kok tiba-tiba dia menghilang.”

“Bapak pergi ke mana?”

“Aku tidak tahu. Tadi hanya pergi begitu saja, tidak mengatakan mau ke mana.”

“Sebenarnya kalau pakai sepeda motor kan bisa mencari ke tempat yang agak jauh. Tapi ya sudah, aku jalan kaki saja.”

“Kamu mau mencari ke mana?”

“Entahlah, namanya mencari ya kemana saja, yang penting bisa ketemu.”

“Aku tadi juga bertanya pada orang pasar yang kebetulan mampir, katanya, lik Truno sudah menanyakan ke setiap orang di pasar itu tentang Arumi. Tapi tak ada yang tahu.”

“Ya sudah, aku pergi dulu.”

“Menurutmu, apa benar Arumi diculik?”

“Entahlah, selama ini di desa ini belum pernah terdengar ada gadis diculik. Tapi aku akan mencoba mencarinya,” katanya sambil keluar dari toko ayahnya.

Wahyuni menatapnya sendu. Ia baru sadar, bahwa Arumi yang dulu dibencinya, ternyata gadis yang baik. Perginya yang tiba-tiba dan membingungkan, membuatnya merasa prihatin.

“Semoga tidak terjadi apa-apa yang membahayakan kamu, Rumi,” bisiknya lirih.

***

Di sawah, pak Truno kebingungan melihat yang mengirim makan untuknya adalah sang istri. Lalu tiba-tiba saja sang istri ambruk di pematang dan menangis, setelah mengulurkan rantang berisi makanan.

“Lho … lho … ada apa mbokne? Datang-datang kok nangis sambil ngelesot begitu. Lihat, nanti kainmu kotor kena lumpur. Mana Arumi? Kenapa kamu yang ngirim makan untuk aku?”

Disebutnya nama Arumi membuat tangis mbok Truno semakin menjadi-jadi, membuat pak Truno kebingungan.

“Ada apa ini? Ke mana Arumi?” tanya pak Truno sambil menggoyang-goyangkan bahu istrinya. Beberapa teman petani ikut mendekat, mendengar tangisan mbok Truno yang membuat hati miris.

Lalu dengan terbata-bata, mbok Truno menceritakan tentang hilangnya Arumi. Tentu saja bukan hanya pak Truno, tapi petani-petani yang lain juga terkejut.

“Bagaimana bisa hilang?”

“Dia pergi ke mana?”

“Kalau marah ke anak jangan terlalu keras, tuh, anak sekarang kalau dimarahi minggat.”

Celetuk banyak orang membuat pak Truno semakin linglung.

“Aku sudah mencarinya ke mana-mana, menanyakan ke setiap orang yang mengenal Arumi, tapi tidak ada yang tahu,” tangis mbok Truno.

“Digondol wewe … barangkali?”

Celetukan terdengar semakin aneh.

“Ya sudah, ayo kita pulang dulu, kita pikirkan di rumah,” kata pak Truno sambil membantu istrinya berdiri.

Pak Truno segera pamit kepada teman-temannya, yang masih saja nyeletuk dengan pendapat yang beragam.

“Tabuh kentongan saja, nanti dikembalikan.”

Pak Truno dan istrinya semakin bingung mendengar celetukan temannya yang mengira Arumi dibawa mahluk halus. Tapi keduanya tak menghiraukannya.

***

Walau begitu, pendapat tentang mahluk halus itu lama-lama termakan juga oleh pak Truno dan istrinya.

“Sampeyan percaya pada pendapat itu? Bahwa Arumi diculik oleh mahluk halus?” tanya mbok Truno sambil masih saja menangis.

“Aku jadi bingung. Tiba-tiba anak itu lenyap.”

“Sepertinya dia pergi dengan tergesa-gesa. Aku melihat kamarnya masih berantakan. Biasanya kalau dia bangun, pasti langsung merapikan kamarnya. Melipat selimut, membersihkan meja, membuka jendela. Tapi jendela itu masih tertutup. Benarkah hanya mahluk halus yang bisa melakukannya?” kata mbok Truno.

“Kalau begitu kita mencari orang pintar saja Mbokne.”

Rasa bingung dan sedih yang menindih hati dan rasa, membuat iman dan kepercayaannya kepada Yang Maha Esa menjadi goyah. Mencari orang pintar, adalah perilaku orang yang sudah melupakan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Tapi dalam kalut dan bingung, pak Truno bersama istrinya segera bertanya-tanya, mencari tahu di mana adanya orang pintar yang bisa mengetahui di mana Arumi berada.

***

Sebuah tungku dari tanah penuh dengan arang, mengepulkan asap berbau kemenyan yang membubung tinggi, berputar-putar memenuhi ruangan yang tak begitu besar dan remang-remang.

Sebuah jambangan berisi air dan bertaburkan kembang tujuh rupa juga menebarkan aroma magis yang mendirikan bulu roma.

Pak Truno dan istrinya duduk bersimpuh, dan sudah mengutarakan maksud kedatangannya, dengan membawa sebungkus bunga telon dan dua bungkus rokok, serta uang yang dimasukkan ke dalam plastik. Itu petunjuk dari seseorang yang ditanya, dan yang pastinya menjadi pelanggan pak dukun yang katanya amat sakti itu.

Laki-laki tua dengan rambut putih dan janggut yang terurai panjang sampai menyentuh pangkuannya ketika dia bersila, tampak berkomat kamit sambil tangannya digerak-gerakkan di atas tungku berasap itu.

Sejenak pak Truno ragu-ragu. Ia sadar bahwa ini bukan tempat yang semestinya. Ia menyentuh istrinya, memberi isyarat untuk keluar dari tempat itu. Tapi kemudian pak Truno terkejut ketika sang dukun tiba-tiba berdehem keras.

“Anakmu bisa ditemukan, bisa ditemukan …,” ucapnya seperti bergumam.

"Cari ayam cemani, bawa kemari, nasi janganan lengkap, dan uang sebanyak tujuh puluh tujuh ribu tujuh ratus tujuh puluh tujuh rupiah. Kalau sudah dapat, datanglah kemari."

Pak Truno saling pandang dengan istrinya.

***

Besok lagi ya.

 

Tuesday, November 19, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 16

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  16

(Tien Kumalasari)

 

Wahyuni berlari-lari membawakan bungkusan tetangganya yang jatuh, sambil tersenyum cerah, lalu mengulurkannya.

“Tadi nggak mau,” gerutu si tetangga.

“Eh, bukan nggak mau, tadi saya sedang melamun, nggak sadar kalau ada yang minta tolong. Setelah sadar langsung aku ambilkan. Maaf ya lik,” katanya sambil memegangi lengan tetangganya yang sedang memegangi sepedanya, lalu menggantungkan lagi bungkusan yang dibawa Wahyuni ke stang sepedanya.

“Terima kasih ya.”

“Eh, lik, apa kabarnya mas Miran? Lama nggak pernah ketemu.”

“Dia mengajar di kota, jarang pulang. Nanti sebentar lagi pasti ketemu.”

“Benar? Kabari saya kalau dia pulang ya lik. Nanti aku bawakan buah nangka, dirumah sudah tua-tua.”

“Ya, nanti pasti aku kabari. Bahkan pak Carik dan bu Carik juga.”

“Lho, kok bapak sama ibuku juga?”

“Sambil memberikan undangan. Miran mau menikah dengan teman sesama gurunya.”

Wahyuni terbelalak. Ia merasa jatuh dari ketinggian, dan senyumnya menjadi surut.

“Ya sudah, aku langsung pulang ya Yun,” kata sang tetangga tanpa mempedulikan apa yang dirasakan Wahyuni.

Lalu kebaikan untuk menemukan jodoh itu terbang entah ke mana. Sangat naif Wahyuni, karena ternyata mau berbuat baik karena ingin mendapatkan jodoh. Pengertian yang diterima dari sang ibu hanya berhenti pada berbuatlah baik, lalu diteruskan olehnya sendiri, agar mendapatkan jodoh.

Wahyuni melanjutkan langkah kakinya, ketika matahari terasa menyengat kulitnya yang hitam manis.

Harapan untuk menggaet Miran luruh lalu jatuh berkeping.

Wahyuni mencari-cari, apa yang salah pada dirinya. Ia mencoba mengingat-ingat lagi apa kata ibunya, sambil berjalan bak menghitung langkah.

Wahyuni menyadari bahwa wajahnya tidak mendukung. Dan seperti kata ibunya, dia juga memiliki tabiat yang kurang baik. Karena itu dia jauh dari jodoh. Lalu ia berusaha melakukan hal baik. Tapi kata ibunya pula, melakukan hal baik itu bukan berarti lalu akan mendapatkan jodoh. Wahyuni menepuk kepalanya. Padahal dia kan ingin menemukan jodoh? Kalau sudah melakukan hal baik, tapi tidak mendapatkan jodoh? Baru saja dia juga kecewa. Hal baik yang dilakukan, bukan mendapatkan Miran yang diharapkan bisa menjadi jodohnya, justru kekecewaan.

Karena sambil melamun, ia terus berjalan walau telah melewati rumah pak Truno. Ia terkejut ketika mendengar Arumi berteriak memanggilnya.

Wahyuni berhenti, menunggu Arumi yang mengejarnya.

“Mbak Yuni mau ke mana?”

Wahyuni kembali menepuk kepalanya.

“Aku ingin main ke rumahmu, kok jadi kebablasan.”

“Sambil melamun pasti. Ya kan?”

Bukannya kembali, Wahyuni malah ngelesot di rerumputan yang tumbuh rimbun di bawah pohon sukun. Arumi mengikutinya, ngelesot di depannya. Semilir angin menghilangkan rasa gerah akibat terik yang menyengat.

“Kamu kok kelihatan seperti orang bingung sih Mbak.”

“Iya, aku seperti orang linglung.”

“Ada apa? Nggak jadi ke rumahku? Ada perlu?”

“Hanya ingin main saja. Tapi di sini enak, udaranya sejuk.”

Tapi Arumi menatap wajah yang penuh gelisah pada gadis di depannya.

“Katakan saja, barangkali dengan berbagi, akan bisa mengurangi beban yang Mbak rasakan.”

“Bukan beban. Apa ya, entahlah. Susah mengatakannya.”

Karena didera oleh perasaannya yang galau, Wahyuni lupa bahwa kedatangannya membawa pesan Sutris untuk menanyakan apakah Arumi suka pada adiknya itu.

“Kok susah sih. Kalau memang itu rahasia, aku berjanji tidak akan mengatakannya pada orang lain.”

“Aku sebenarnya sedang menyesali diriku ini.”

“Memangnya kenapa?”

“Kamu itu cantik, pasti banyak yang suka. Sedangkan aku, wajahku jelek, tidak ada manis-manisnya. Karenanya tak ada yang suka,” katanya sambil menundukkan wajahnya. Tapi Arumi menanggapinya sambil tertawa.

“Mengapa Mbak Yuni merasa bahwa tak ada yang suka?”

“Mbak Yuni bukannya jelek kok. MBak Yuni itu manis. Coba senyum … senyum … jangan dibuat-buat. Senyum lepas, nah … itu manis.”

“Bohong.”

“Sungguh.”

Wahyuni mengusap wajahnya. Benarkah kalau dia tersenyum maka wajahnya menjadi manis?

“Disukai itu bukan karena wajah yang cantik, tapi karena perilaku yang cantik, yang baik, yang manis.”

Lhoh, Arumi yang jauh lebih muda kok bisa berkata seperti ibunya? Tidak persis, tapi artinya sama kan?

“Apakah kalau aku berbuat baik, maka akan mendapat jodoh?”

“Jodoh itu kan Allah yang memberi. Bukan melakukan hal baik karena ingin mendapat jodoh. Kalau ingin berbuat baik, ya berbuatlah baik, dengan sungguh-sungguh, lahir batin baik. Jangan karena ingin mendapat jodoh. Lha nanti kalau sudah mendapat jodoh, apa Mbak akan berhenti berbuat baik?”

Wahyuni menatap Arumi, yang baru beberapa saat dekat dengan dirinya, saat dirinya ingin memulai berbuat baik, tapi ragu karena bukan berbuat baik lalu mendapat jodoh. Arumi jauh lebih muda darinya, mengapa bisa mengatakan hal seperti itu? Wahyuni tidak tahu, karena sudah lama menjadi orang yang tidak punya, mbok Truno selalu membekalinya dengan nasehat-nasehat yang selalu diingat oleh Arumi, bahwa orang miskin itu bukan sesuatu yang hina. Justru perbuatan baik itu adalah hal yang mulia.

“Jadi aku harus bagaimana?”

“Teruslah berbuat baik, jangan pernah berhenti. Karena perbuatan baik itu lebih cantik dari wajah yang cantik.”

“Yang aku sedih Rumi, aku sudah tua, tapi belum ada yang mau mengambilku menjadi istri.”

“Selalu mohon kepada Allah Yang Maha Kuasa. Permohonan yang bersungguh-sungguh, insyaaAllah akan dikabulkan olehNya.”

Lhoh, Arumi bisa bicara begitu, seperti ibunya mengatakannya. Apa Arumi menguping ketika ibunya berkata-kata? Ya tidak mungkin.

“Kamu seperti ibuku.”

“Ya ampuuun, aku sudah setua bu Carik ya?”

“Bukan, kamu bisa berkata-kata begitu, seperti apa yang dikatakan ibuku.”

“Lakukan apa yang ibu katakan.”

“Arumi, kamu bukan hanya cantik, tapi juga baik. Aku sekarang mengerti. Berbuat baik tidak boleh berhenti. Teruslah berbuat baik, begitu kan?”

“Betul, Mbak. Allah akan mengasihi orang yang berbuat baik, dan selalu memohon kepadaNya, apa yang Mbak inginkan.”

“Ya sudah, aku mau pulang. Aku harus ke toko,” katanya sambil berdiri.

“Tidak jadi ke rumahku?”

“Tidak, kita sudah bertemu dan bicara,”tanya sambil menjauh. Tapi beberapa puluh langkah sudah berlalu, Wahyuni baru teringat pesan adiknya. Lalu ia kembali mendekati Arumi yang masih berdiri di depan pagar rumahnya.

“Ada yang lupa,” kata Wahyuni.

“Apa?” kata Arumi sambil menoleh ke arah di mana tadi keduanya duduk, barangkali ada barang Wahyuni yang tertinggal.

“Ada satu pertanyaan untuk kamu. Apakah kamu mau seandainya Sutris melamar kamu?”
Arumi terbelalak. Ia tak pernah suka pada Sutris. Kecuali itu ia tak pernah membayangkan akan dilamar seseorang.

Dengan wajah aneh, Arumi menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kamu tidak mau menjadi iparku? Tidak suka pada adikku?”

Arumi kembali menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Oh, ya sudah. Aku hanya ingin tahu.”

Lalu Wahyuni membalikkan tubuhnya. Sedikit lega bisa menyampaikan pesan Sutris yang nyaris terlupa.

***

Ia tampak kelelahan ketika sampai di toko ayahnya, yang kemudian menegurnya karena terlalu lama datang menyusulnya.

“Kenapa baru datang? Aku mau pergi karena ada perlu,” kesal sang ayah.

“Tadi mampir ke rumah Arumi.”

“Mampir ke rumah Arumi? Ada apa sebenarnya kamu itu?”

“Wahyuni bertanya pada Arumi, apa dia suka pada Sutris.”

“Bodoh. Hal itu tidak usah ditanyakan. Siapa yang akan menolak anakku? Tapi aku tidak akan mengijinkan anakku menjadikan Arumi sebagai istri. Suruh dia bermimpi,” kata pak Carik dengan congkaknya.

“Bapak salah. Arumi tidak suka pada Sutris.”

Pak Carik yang sudah sampai di luar toko berhenti melangkah. Mendengar sang anak ditolak, tiba-tiba perasaan marah bergemuruh di dadanya.

“Dia mengatakan itu?”

“Iya. Dua kali Yuni bertanya, dua kali dia menggelengkan kepalanya.”

“Kurangajar.”

“Mengapa Bapak marah? Dia tidak suka, ya sudah. Suruh Sutris berhenti memikirkannya.”

”Tidak tahu diri. Masa anak pak Carik ditolak?”

“Bukankah Bapak memang tidak suka pada Arumi? Mengapa marah? Bapak kan tidak akan melamarnya?”

”Arumi itu merendahkan kita. Dia hanya anak orang miskin, berani menolak anak orang kaya?”

“Aku tidak mengerti, mengapa Bapak marah? Barangkali Arumi sudah ada yang punya,” kata Wahyuni yang kemudian membiarkan sang ayah pergi dengan tergesa-gesa, yang pastinya tidak mendengar sepenuhnya apa yang dia katakan. Lalu ia teringat pada perhatian Bachtiar yang sangat besar kepada Arumi. Mungkin Arumi lebih suka kalau Bachtiar yang melamarnya.

Wahyuni duduk sambil melayani pembeli. Ia tak mempedulikan lagi tentang ayahnya yang marah mendengar Arumi menolak adiknya. Ia justru teringat akan apa yang dikatakan Arumi, yang kembali terngiang di telinganya. Berbuat baik tidak boleh berhenti. Selamanya harus menjadi orang baik. Dia akan memohon saat bersujud, agar Allah memberikan jodoh yang baik pula untuk dirinya. Ibunya juga mengatakan itu kan?

“Rokok.”

Wahyuni menatap laki-laki tinggi besar yang menyodorkan selembar uang untuk membeli rokok.

“Masih merokok terus sih Mas, ingat paru-parunya,” katanya sambil meminta pegawai mengambilkan rokok pesanan Suyono.

“Aku sudah menguranginya. Biasanya habis dua pak. Sekarang tinggal satu pak sehari.”

“Benar lhoh, lama-lama harus dihilangkan sama sekali.”

Suyono menatap Wahyuni. Ia melihatnya seperti berbeda. Lalu ia pergi sambil meninggalkan sebuah senyuman. Barangkali untuk mengucapkan terima kasih karena Wahyuni sudah mengingatkannya.

Wahyuni heran. Mengapa Suyono tersenyum kepadanya?

***

Sutris yang masih betah meringkuk di dalam kamar, terkejut ketika pintu kamarnya dibuka dengan keras, sehingga mengeluarkan suara bergedubrak karena ujung pintu menyentuh meja di dekatnya.

Serta merta Sutris duduk, dan menatap sang ayah yang berdiri di depannya dengan mata merah menyala.

“Kamu sudah tahu? Si miskin itu menolak kamu?”

“Bapak mengatakan apa?”

“Susah payah kamu menentang ayahmu ini, tapi gadis miskin itu menolak kamu. Kamu mau berkata apa?”

“Maksud Bapak, Arumi menolak Sutris? Bapak sudah berbicara dengan keluarganya?”

“Apa? Mana sudi aku berbicara dengan mereka.”

“Mengapa Bapak mengatakan bahwa Arumi menolak Sutris?”

“Kakakmu sudah kesana.”

“Bapak sudah bertemu mbak Yuni?”

“Dasar tidak tahu diri. Beraninya menolak orang kaya seperti kita.”

“Bapak belum melamarnya, kok marah-marah? Itu kan baru kata mbak Yuni. Harusnya bicara dengan orang tuanya.”

“Tidak sudi aku bicara dengan orang tuanya.”

“Lalu maksud Bapak apa?”

“Dia sudah menghina kita, harus diberi pelajaran,” kata pak Carik sambil berlalu.

Sutris menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia keluar dari kamar, ingin mengejar sang ayah, tapi ayahnya sudah pergi.

“Ada apa? Mengapa ayahmu berteriak-teriak?” tanya bu Carik dari arah belakang.

“Bapak marah, karena tahu bahwa Arumi menolak Sutris.”

“Jadi kakakmu sudah ketemu Arumi? Ya sudah. Kamu sudah tahu jawabannya, jadi hentikan keinginanmu yang tidak pada tempatnya itu.”

“Kenapa tidak pada tempatnya? Orang cinta itu kan tidak salah.”

“Kalau cinta ditolak, apa yang ingin kamu katakan? Nggak bisa kan memaksa anak orang?”

Bu Carik tidak tahu, kalau suaminya tidak terima mendengar anak laki-lakinya ditolak gadis miskin seperti Arumi.

***

Bachtiar membeli beberapa galon air untuk keluarga pak Truno, sambil mengatakan kalau ia akan sibuk selama beberapa hari, dan tidak sempat mampir karena dia akan memulai membangun saluran air dari sumber, yang akan di salurkan ke beberapa tempat, di mana kekurangan air bersih.

“Sebenarnya mas Tiar tidak perlu membawakan air bergalon-galon begini, aku sudah biasa mengambil di sumber,” kata Arumi.

“Tidak apa-apa, badan kecil begini mengangkut air enam literan setiap hari, nanti kamu tidak bisa tumbuh besar lhoh,” canda Bachtiar.

“Masa, buktinya aku sudah lama mengambil air hampir setiap hari, tapi aku sudah lebih tinggi dari simbok lhoh.”

“Benarkah?”

“Iya.”

“Ya sudah, sambil menunggu tandon-tandon air itu jadi, biar saja aku membawakan air dalam galon ini untuk keluarga ini.”

“Mengapa Mas Tiar baik kepada kami?”

“Karena kalian juga orang-orang baik.”

“Banyak orang baik di dunia ini, apa Mas juga akan melakukan hal yang sama?”

“Kalau mereka membutuhkan aku, dan aku bisa melakukannya, mengapa tidak?”

Arumi tersenyum manis, ia mengantarkan Bachtiar sampai laki-laki tampan itu masuk ke mobilnya, tapi ia tidak mendengar ketika Bachtiar berbisik pelan.

“Karena kamu istimewa buat aku.”

Arumi hanya melambaikan tangannya sambil tersenyum, dan lagi-lagi Bachtiar seperti melihat matahari terbit di ufuk timur.

***

Pagi hari itu mbok Truno sudah menyiapkan sarapan untuk sang suami, karena ia sudah dua hari ini mulai bekerja lagi di sawah.

Pak Truno makan dengan lahap, dan selalu bersemangat setiap kali bekerja, karena ia adalah tulang punggung keluarga. Sang istri hanya kadang-kadang menjual sayuran ke pasar, kalau tanaman sayur yang bermacam-macam di kebun belakang sudah siap dipanen.

Ketika pak Truno berangkat ke sawah, mbok Truno baru menyadari bahwa sejak bangun tidur ia tak melihat Arumi.

“Arumiiii!” teriakan demi teriakan terdengar memenuhi rumah, tapi Arumi tak tampak batang hidungnya.

***

Besok lagi ya.

 

INDAHNYA



INDAHNYA

(Tien Kumalasari)


Hai pagiii

apa kabarmu hari ini

udara dingin memelukku dengan manis

bunga dan dedaunan kuyup bermandikan embun 

bukankah akan kau biarkan mentari tersenyum hangat?

agar jiwakupun hangat

tubuhku hangat

langkahku juga hangat

heiiii..indahnya....

selamat pagiiii...


-----







Monday, November 18, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 15

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  15

(Tien Kumalasari)

 

Ketika Bachtiar memarkir mobilnya, tampak rumah itu sepi. Rupanya ayahnya belum pulang dari kantor. Tapi mobil ibunya juga tak tampak. Pintu rumah terbuka lebar. Bachtiar langsung masuk, dan melihat bibik pembantu sedang mengambil gelas kotor untuk dibawa ke belakang.

“Tuan muda, ternyata? Saya kira tamu siapa.”

“Kok sepi Bik?”

“Tuan belum pulang, nyonya sedang keluar arisan.”

“Yang di rumah siapa?”

“Ada Non Luki di kamarnya.”

“Tolong suruh dia keluar, aku menunggu di ruang tamu.”

“Baik, Tuan muda ingin minum apa?”

“Teh saja.”

“Baik.”

Bibi pembantu menuju ke kamar Luki terlebih dulu, kemudian baru ke belakang untuk membuatkan teh hangat untuk majikan muda.

Bachtiar duduk menunggu, lalu tak lama kemudian Luki muncul. Ia langsung duduk di samping Bachtiar, sangat dekat, sehingga membuat Bachtiar harus beringsut menjauh.

“Tiar, syukurlah kamu datang.” katanya dengan nada kecewa.

Bachtiar menerima minuman yang dibuatkan bibik.

“Aku juga buatkan lagi Bik.”

“Non mau minum apa?”

“Sama.”

Bibik mengangguk dan berlalu.

“Dulu kita sangat dekat. Kamu ingat Tiar, kita sering duduk di bawah pohon sawo kecik, memunguti bunga-bunga putih yang tersebar, lalu kamu meroncenya dengan setangkai rumput, lalu memberikannya padaku. Aku pakai roncean kembang wangi itu untuk gelang di tanganku. Tapi sekarang kamu seperti bintang, jauh di langit dan aku seperti tak mampu meraihnya.

Bachtiar meneguk minumannya.

“Kedekatan masa kanak-kanak itu berbeda. Dulu kita dekat sebagai teman main, tapi sekarang kita sudah dewasa. Sebuah kedekatan akan menjadi berbeda.”

“Maksudmu, kita tak lagi bisa dekat?”

“Dekat sebagai teman, oke. Tapi tidak lebih. Perasaan yang kamu inginkan sekarang ini berbeda dengan apa yang aku rasakan. Tidak ada ikatan secara emosional, apalagi sampai kamu mengatakan kepada banyak orang bahwa kita adalah calon suami istri.”

“Gadis itu melaporkannya pada kamu?”

“Istilah melaporkan itu terlalu kejam. Dia hanya mengatakannya bahwa calon istriku datang. Ucapannya ringan dan riang. Bukan hanya dia, ada orang-orang lain yang bertemu dan kamu mengatakan hal yang sama. Aku tidak suka.”

Luki tampak menunduk. Dia diam, bahkan tak ingin meraih gelas yang diletakkan bibik di depannya.

Ada rasa sakit yang sangat menggigit. Bachtiar tak suka dia menyebutnya sebagai calon istri. Luki merasa terlalu lancang, tapi ia tak punya jawaban lain ketika orang menanyakannya. Apa ia harus mengatakan bahwa dirinya adalah teman? Saudara? Ada yang menuntun hati kecilnya sehingga dia mengatakan calon istri Bachtiar, dan itu adalah keinginannya. Tapi ketika Bachtiar menegurnya dengan nada marah dan wajah gelap, Luki merasa kesal. Barangkali Bachtiar sudah mengatakan kepada semua orang bahwa dia hanya mengaku-aku. Dan itu memang dilakukannya, pasti.

“Aku tidak suka kamu mengatakan itu,” lanjut Bachtiar.

“Aku tahu.”

“Untuk apa kamu melakukan itu? Pergi ke tempat kerja, mencari sampai ke rumah Arumi … dan menebarkan berita bohong itu?”

“Kalau kamu tidak suka, aku minta maaf. Aku mencari kamu karena ingin bicara. Kata ibumu, tak ada kesempatan bicara kalau aku tidak mencoba mencari kamu dan mengajaknya bicara.”

“Bicara tentang apa? Masalah hubungan kita, aku sudah mengatakan kepada ibu, tentang apa dan bagaimana perasaanku. Apa kamu tidak paham?”

“Kamu belum memikirkannya, karena ibu mengatakan itu dengan tiba-tiba. Kata ibu kamu baru akan memikirkannya.”

“Berhentilah mengucapkan ‘kata ibu-kata ibu’. Kamu bukan anak kecil dan kamu harus bisa mengerti apa yang ada di dalam perasaanku. Kamu seorang berpendidikan, jadi kamu tahu bagaimana harus bersikap ketika mendengar apa yang aku katakan saat itu.”

“Intinya adalah, kamu tetap menolakku?”

“Maaf Luki. Iya,” kata Bachtiar tandas, sambil menghabiskan sisa tehnya.

“Bachtiar, benar-benar kamu tak ada perasaan sedikitpun untuk aku? Kamu membenciku?”

“Aku tidak membencimu. Aku hanya tidak menyukai hubungan yang lebih dari seorang teman. Tapi kamu tidak perlu khawatir, kita tetaplah menjadi teman.”

Bachtiar berdiri, kemudian berlalu. Luki bahkan tidak mengantarkan sampai kemudian mobil Bachtiar lenyap dari halaman.

Luki menatap gelas yang masih utuh di depannya, yang diharapkan bisa menemaninya berbincang lebih lama. Tak terasa, air matanya menetes. Dia gadis cantik yang tak ada cacat celanya, dia pintar dan berpendidikan, dia banyak dikejar laki-laki, yang tampan yang tidak terlalu tampan, yang kaya dengan harta berlimpah, tapi impiannya hanya satu, Bachtiar, sahabat masa kecil yang dulu begitu manis dan baik. Hanya saja mimpi itu hanyalah mimpi.

Luki masuk ke kamarnya dan menghempaskan tubuhnya di ranjang.

***

Pagi itu Bu Wirawan terkejut, ketika melihat Luki menarik kopornya dari dalam kamarnya. Ia tahu kemarin sore Bachtiar datang, karena bibik mengatakannya, lalu Luki tidak keluar kamar setelahnya, bahkan menolak makan malam bersama mereka. Tapi ia tidak mengira Luki seperti bersiap untuk pergi.

“Luki, kamu mau ke mana?”

“Saya mau pulang, Bu.”

“Mengapa tiba-tiba?”

“Sudah terlalu lama berada di rumah ini, Luki rindu sama papa dan mama Luki.”

“Apa kemarin Bachtiar mengatakan sesuatu?”

Luki tak menjawab. Bu Wirawan pasti sudah bisa menduga apa yang dikatakan Bachtiar ketika datang dan bertemu dengannya. Ia tahu akan sulit membuat hati Bachtiar luluh. Bachtiar sudah jelas mengatakan semua yang ada di dalam hatinya, dan Luki sangat mengerti bahwa ia tak akan berhasil memiliki Bachtiar seperti yang selalu diimpikannya.

“Bu, Luki pamit sekarang.”

“Tunggu, biar sopir mengantarkan kamu.”

“Luki sudah memanggil taksi,” katanya sambil melangkah ke arah teras. Bu Wirawan mengikutinya.

“Bapak sedang mandi, apa kamu tidak ingin pamitan? Kamu juga harus sarapan dulu. Bibik sudah menatanya, tinggal menunggu bapak.”

“Ibu saja nanti yang memamitkannya. Takut ketinggalan pesawat.”

“Luki, kamu harus bersabar. Bachtiar itu agak keras kepala. Tapi sebenarnya dia baik. Suatu hari hatinya pasti luluh.”

Luki tak menjawab. Hatinya sekeras batu, ia tahu, dan ia juga tahu bahwa apa yang dikatakan Bachtiar adalah apa yang ada di dalam hatinya.

Luki putus asa. Masihkah ada cara?

Mereka berpisah ketika taksi sudah datang. Bu Wirawan memeluk Luki penuh sesal.

“Kamu harus bersabar.”

Luki tersenyum tipis, kemudian melangkah mendekati taksi. Bu Wirawan terus menatap punggungnya sampai taksi itu keluar dari halaman.

“Siapa naik taksi?” tanya pak Wirawan yang sudah selesai mandi dan rapi.

“Luki pulang pagi ini.”

“Pulang? Akhirnya dia menyerah?”

“Bachtiar keterlaluan. Pasti dia telah melukai hati Luki,” kata bu Wirawan sambil menemani sang suami ke ruang makan.

“Orang yang jatuh cinta itu kan harus siap patah hati,” kata pak Wirawan enteng, sambil duduk di depan meja makan.

“Bapak tidak suka punya menantu Luki? Bukankah dia cantik, pintar ….”

“Yang menjalani bukan bapak kan?”

“Tapi dia pantas untuk Bachtiar.”

“Yang suka itu ibu, tapi yang harus menjalani kan Bachtiar?”

“Kasihan, gadis itu.”

“Tidak apa-apa. Dia itu kan cantik, pintar. Pasti gampang menemukan jodohnya.”

Bu Wirawan terdiam. Bayangan seorang gadis desa, lusuh, bau, melintas. Dan gadis itu yang akan jadi menantunya? Tapi ia tak mengucapkan apapun. Ia tahu suaminya tidak akan mencela seandainya Bachtiar lebih memilih gadis desa itu.

“Memilih jodoh itu kan yang pantas, yang serasi, yang sepadan. Bukan asal suka, lalu dicomot begitu saja,” gumamnya sambil makan.

“Kalau dia memang terpilih, pasti dia adalah pantas, serasi, dan sepadan,” jawab pak Wirawan. Dan bu Wirawan dengan terpaksa menyebut gadis yang dibayangkannya sejak tadi.

“Maksud Bapak, yang namanya Arumi, gadis desa itu, serasi, sepadan, pantas?”

“Lhoh, aku kan tidak menyebut siapa-siapa.”

“Tapi yang disukai Bachtiar itu dia.”

“Kalau begitu dia pasti gadis pilihan.”

Bu Wirawan merengut. Dia sudah menduga apa jawab suaminya, dan itu membuatnya kesal. Itu sebabnya dia tak menghabiskan sarapannya.

“Jangan terlalu memikirkan anak. Dia itu bukan anak kecil. Dia sudah bisa memilih mana yang baik untuk dirinya.”

Bu Wirawan tak menjawab. Perkataan itu sudah berulang kali didengarnya. Keinginan untuk tetap memilih Luki sebagai menantu tetap memenuhi hatinya.

***

 Pak Carik memasuki kamar Sutris pagi itu. Beberapa hari tidak bangun dari tempat tidur, akhirnya membuat pak Carik harus melihatnya, walau sebelumnya menganggapnya acuh, dan mengira bahwa sakitnya adalah karena dua hari pergi dari rumah tanpa makan dan minum.

“Hei, sebenarnya kamu sakit apa?”

Sutris menggeliat.

Pak Carik memegang kening anaknya.

“Tidak panas. Apanya yang sakit?”

Sutris mengusap wajahnya dengan kedua tangan, tapi tak hendak bangkit dari tempat tidurnya.

“Yang terasa sakit apanya? Kemarin aku belikan kamu obat. Kamu minum tidak?”

“Tidak.”

“Bodoh. Kenapa tidak diminum? Susah-susah dibelikan obat kok tidak diminum?”

“Sakit apa obatnya apa, kenapa Bapak asal beli obat?”

“Jadi sebenarnya kamu sakit apa? Yang kamu rasakan itu apa?”

“Badanku lemas, tak bertenaga.”

“Pergi ke pak mantri, biar disuntik.”

“Nggak mau.”

“Kalau sakit ya harus mau berobat.”

Sutris membalikkan tubuhnya, memunggungi ayahnya, membuat sang ayah kesal, lalu keluar dari kamar anaknya.

“Kenapa Sutris Pak?” tanya sang istri.

“Katanya badannya lemas, aku suruh pergi ke pak mantri supaya disuntik, tidak mau, maksudnya apa?”

“Aku juga bingung memikirkan Sutris.”

“Apa karena gadis itu?”

“Entahlah. Aku sudah menasehatinya, tapi masuk ke pikirannya atau enggak ya nggak tahu, aku.”

“Dicarikan calon istri yang baik, anak pak lurah itu lhoh, kok tidak tertarik? Arumi itu apa, ya benar dia cantik, tapi kan tidak sepadan dengan kita?”

“Menurut aku, belum tentu juga Arumi mau sama Sutris.”

“Kalau nggak mau ya nggak mungkin, masa mau menolak sama anak pak Carik. Sutris itu guanteng lhoh, anak orang kaya.”

“Jangan sombong. Orang suka itu kan tidak karena wajah atau kekayaannya.”

“Halaaaaah, mana ada orang tidak pengin kaya.”

“Bapak terlalu merendahkan orang lain. Kalau ternyata Arumi menolak, bagaimana?”

“Menurutku nggak mungkin,” kata pak Carik sambil berangkat ke tokonya.

Bu Carik memasuki kamar anak laki-lakinya. Sutris masih meringkuk membelakangi pintu.

“Tris, kamu itu kenapa? Sakit kok terus-terusan.”

“Dia itu nggak sakit Bu, orang sakit kok makannya banyak,” tiba-tiba Wahyuni menyusul masuk ke kamar.

“Tris.”

Sutris membalikkan tubuhnya.

“Aku tuh sakit Bu, beneran sakit. Badanku lemas semua. Nggak ada tenaga.”

“Itu sakit wuyung namanya Bu.”

“Tris, kalau memang benar kamu seperti ini karena memikirkan Arumi, apa kamu sudah berpikir bahwa Arumi pasti mau sama kamu? Kamu sudah minggat dua hari, terus menjadi sakit, lha kalau dia tidak suka sama kamu, bagaimana?”

“Masa Arumi menolak aku Bu, pak Truno itu orang biasa, bapakku kaya.”

“Kamu itu seperti bapakmu, menghitung dan menilai orang dari kekayaannya. Itu tidak baik Tris. Kaya atau miskin itu dimata Allah sama. Yang membedakan bukan kekayaan harta benda tapi amalannya.”

“Mbak, coba kalau memang kamu baik sama Arumi, tanyakan sama dia, apa dia mau aku jadikan istri?”

“Gitu ya? Baiklah, nanti sebelum ke toko aku mau mampir dulu ke rumah Arumi.”

“Benar ya?”

“Tapi janji ya, kalau Arumi menolak, kamu tidak usah lagi memikirkannya. Jodoh itu tidak usah dikejar, kalau sudah waktunya dia akan datang sendiri,” sambung ibunya.

“Dan harus berbuat baik kan Bu?”

Bu Carik tersenyum tipis, lalu keluar dari kamar anaknya, perdebatan tentang berbuat baik dan hubungannya dengan jodoh itu tetap dipegang oleh Wahyuni.

“Mbak, kalau mau pergi, bawakan sarapan dulu untuk aku.”

“Nggak mau, kayak orang sakit berat saja,” kata Wahyuni sambil berlalu, membuat Sutris mengomel panjang pendek.

***

Wahyuni sedang berjalan ke rumah Arumi, agak jauh, tapi Wahyuni kemana-mana selalu jalan kaki. Ia tak bisa naik sepeda, apalagi sepeda motor, padahal ayahnya memilikinya.

Ketika ia berjalan, tiba-tiba seorang pengendara sepeda melewatinya. Ia tetangga dari kampung sebelah.

Ketika ia menyapa, Wahyuni hanya menjawab sambil mendengus.

Tiba-tiba sebuah bungkusan jatuh dari sepeda yang lewat itu.

Wahyuni terus berjalan, enggan mengambilnya.

Sepeda itu berhenti agak jauh di depan.

“Yuni, tolong, bungkusanku itu.”

“Enak saja, nyuruh-nyuruh,” gerutunya tanpa mempedulikannya.

Rupanya Wahyuni sudah lupa pada pesan ibunya tentang berbuat baik. Tapi tiba-tiba Wahyuni teringat bahwa tetangga yang lewat itu punya seorang anak laki-laki yang menjadi guru sekolah. Sebuah harapan melintas. Lalu Wahyuni teringat pada pesan ibunya.

Wahyuni berbalik, mengambil bungkusan itu dan berlari mendekat, sambil tersenyum ramah.

“Ini, Lik.”

***

Besok lagi ya.

 

MATAHARI TELAH TINGGI


MATAHARI TELAH TINGGI

(Tien Kumalasari)


Apakah aku mendengar suara berdering?

Apakah aku mendengar burung bernyanyi nyaring?

Aku menggeliat, mengusir sisa kantuk yang masih menyengat

Oo..pagi..kau kembali menjelang mengusik tidur yang semula lelap...

Hai semuaaaa....

lihatlah matahari telah tinggiiiii

Selamat pagiiii



-----



Saturday, November 16, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 14

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  14

(Tien Kumalasari)

 

Mbok Truno heran melihat barang-barang yang dibeli Arumi. Ia membuka keresek yang diletakkan di meja dapur, setelah Arumi membawa bungkusan grontol ke depan, di mana ayahnya duduk, lalu kebelakang lagi dengan membawa bungkusan itu untuk dirinya sendiri dan simboknya.

“Ini Mbok, sudah lama tidak makan grontol. Gurih,” kata Arumi sambil mencomot grontolnya dengan suru.

“Nanti dulu. Ini kamu beli barang-barang sebanyak ini dari mana? Apa kamu membawa duit banyak? Simbok kan hanya memberi kamu sepuluh ribu, limaribuan dua, itupun hanya untuk beli bumbu sedikit.”

“Memangnya kenapa Mbok? Arumi juga membeli sesuai yang simbok pesan, tadi. Kalau grontolnya ini, memang dibelikan mbak Wahyuni, katanya untuk Arumi, untuk bapak dan Simbok.”

“Bukan grontol ini saja. Lihat, bawang merah segini banyak, bawang putih segini banyak, minyak satu botol, lalu apa lagi nih, kok kamu belinya banyak sekali, memangnya kamu membawa duit berapa?”

“Ya ampuun Mbok, berarti tadi Arumi dikasih murah.”

“Dikasih murah bagaimana?”

“Itu tadi belinya di toko pak Carik.”

“Tumben kamu beli di sana, hanya beli sedikit-sedikit, apa mau mereka melayani? Simbok tidak pernah beli di sana.”

“Tadi kan Arumi ketemu mbak Wahyuni, terus ditanya mau beli apa, ketika Arumi mengatakan mau beli bumbu-bumbu, mbak  Wahyuni mengajaknya ke toko ayahnya, katanya di toko itu juga menjual bumbu-bumbu.”

“Memang, simbok tahu. Tapi kalau ke toko itu, tidak bisa membeli sedikit. Paling harus satu ons, seprapat kilo, gitu.”

“Mbak Wahyuni yang ngajak. Arumi juga bilang beli ini itu seribuan, minyak tiga ribu, nggak tahu diberi segini banyak.”

“Apa dia nggak keliru melihat uangmu, lima ribuan dikira seratus.”

“Ya enggak Mbok, kan Arumi ngomong, bukan menunjukkan duitnya. Ya berarti memang diberi murah. Arumi juga heran, sikap mbak Wahyuni tadi aneh sekali. Dari yang biasanya acuh tak acuh kalau ketemu Arumi, tadi sikapnya sangat baik, malah ketika ada yang jual grontol Arumi dibelikannya tiga bungkus.”

“Oh ya? Barangkali Wahyuni sadar akan kesalahannya waktu itu, lalu sebagai permintaan maaf dia bersikap baik sama kamu.”

“Entahlah Mbok, nanti kalau ketemu lagi aku harus mengucapkan terima kasih. Semoga saja sikap baiknya itu benar-benar tulus.”

“Orang jahat menjadi baik itu mulia, kalau orang baik menjadi jahat, itu tidak terpuji. Semoga Wahyuni bisa merubah sikap buruknya, dan bisa berbaik hati kepada semua orang.”

“Iya Mbok.”

“Ya sudah, habiskan dulu grontolnya, lalu nyalakan apinya, dari tadi susah menyala, gara-gara kayunya belum kering benar.”

“Biar Arumi yang menyalakannya,” kata Arumi yang kemudian menuju ke arah tungku.

***

Bachtiar menegur Suyono yang sedang merokok. Entah sudah habis berapa batang rokok dihabiskannya, padahal Bachtiar ingin mengajaknya bicara.

“Berhentilah merokok, Yono. Aku ingin bicara.”

Suyono membuang puntung rokoknya lalu masuk ke dalam kantor Bachtiar.

“Ya Pak, saya kira Bapak sedang sibuk menelpon tadi.”

“Saya peringatkan kamu, jangan terlalu banyak merokok. Ingat paru-paru kamu.”

Suyono tiba-tiba teringat Wahyuni, yang juga mengingatkan dirinya tentang paru-parunya. Sejak kapan gadis itu punya perhatian terhadap orang lain?

“Sekarang masih belum terasa, tapi nanti saat kamu tua, baru tahu rasa,” lanjut Bachtiar.

“Iya Pak. Akan saya kurangi sedikit demi sedikit.”

“Bagus. Harus dikurangi supaya tidak keterusan.”

“Oh ya Pak, kemarin bapak dicari calon istri Bapak. Cantik sekali, serasi sekali kalau bersanding sama Bapak,” kata Suyono.

“Jangan bicara aneh-aneh, aku belum punya calon.”

“Kemarin itu ….”

“Bukan, sudah, jangan pikirkan dan jangan bicara tentang dia lagi. Sebentar lagi akan ada tamu. Kami akan membicarakan proyek baru yang akan segera kami mulai, mungkin bulan depan.”

“Tentang air bersih yang akan disiapkan di beberapa tempat di dusun ini?”

“Ya. Jadi kamu lihat berapa pekan lagi kira-kira proyek ini akan selesai. Aku tidak bisa meninggalkan kantor saat ini.”

“Baik, saya akan bicarakan dengan mandor yang lain,” kata Suyono sambil bangkit. Ketika ia akan meraih bungkusan rokok yang tertinggal di meja, Bachtiar lebih dulu meraihnya dan menyembunyikannya ke dalam laci.

***

Wahyuni tertegun melihat sikap Suyono. Ia merasa, Suyono menatapnya dengan tatapan yang aneh. Tapi kemudian dia disibukkan dengan pekerjaannya yang lain, menjadi kasir, menerima pesanan dan membayar semua piutang pembelian barang oleh sang ayah.

Ketika pak Carik datang dan membawa barang-barang dengan mobil pickupnya, beberapa pegawai menurunkan semuanya.

Pak Carik langsung masuk dan menegur Wahyuni, kenapa tadi membawa Arumi ke toko.

“Arumi mau belanja, apa salahnya membeli barang-barang yang dijual di sini.”

”Apa dia membawa uang banyak?”

“Bukan banyak, tapi ya cukup, dan bisa membayar.”

“Kamu tidak usah terlalu baik pada Arumi. Nanti dia dekat-dekat sama kamu, lalu Sutris melihatnya. Aku tidak suka Sutris mendekati dia.”

“Sutris cinta berat sama Arumi. Nanti kalau dia minggat lagi, Bapak juga bingung kan?”

“Mengapa kamu jadi berpihak pada Sutris? Bukankah tadinya kamu juga tidak suka pada Arumi?”

“Kata ibu, jadi orang itu harus baik kepada siapa saja. Wahyuni melihat, Arumi juga baik, ramah kepada siapa saja.”

“Maksudmu kamu suka, kalau gadis itu menjadi adik iparmu?”

“Nggak tahu lah Pak, setelah Wahyuni pikir-pikir, tidak aneh kalau Sutris menyukai Arumi. Dia kan cantik. Lagipula sekarang ini Sutris sakit, apa Bapak tidak berpikir bahwa itu karena cintanya kepada Arumi tidak tersampaikan.”

“Diam kamu. Kamu kira bapak ini anak kecil apa? Sutris sakit karena minggat dua hari. Kurang makan kurang minum. Ya sudah, kamu pulang saja sana, ini berikan pada adikmu. Tadi bapak beli obatnya di apotek kota, katanya untuk panas, pusing, capek, dan lain-lain.”

Wahyuni menerima obat yang diberikan ayahnya, lalu melangkah keluar menuju pulang sambil mengomel.

“Sakit wuyung dikasih obat.”

***

Begitu sampai di rumah, Wahyuni langsung masuk ke kamar adiknya. Ia meletakkan obatnya di meja dekat tempat tidur, karena Sutris tampak pulas tertidur.

Ketika ia keluar, dilihatnya sang ibu sudah selesai memasak.

“Kok kamu sudah pulang?”

“Bapak sudah ada di toko, Wahyuni disuruh pulang. Tadi bapak juga memberikan obat untuk Sutris. Katanya beli di apotek kota.”

“Sudah kamu berikan?”

“Dia tidur.”

“Ya sudah, nanti saja.”

“Bu, aku mau makan ya, lapar nih.”

“Ya sudah, itu sudah ada di meja semuanya. Setelahnya nanti bawakan makanan untuk adikmu. Bawa ke kamarnya saja.”

Wahyuni duduk di kursi, mengambil piring dan menyendok nasi.

“Ibu makan sekalian?”

“Menunggu bapakmu saja. Tapi aku mau menemani kamu sambil mencicipi sayur bening,” kata bu Carik sambil duduk.

“Bu, tadi aku sudah berbuat baik.”

Bu Carik mengangkat wajahnya.

“Tadi ketemu Arumi, mau belanja bumbu, Wahyuni suruh beli di toko kita, lalu Wahyuni beri sangat murah. Wahyuni juga bersikap baik kepada semua orang, membelikan camilan untuk pagawai toko, untuk Arumi juga. Lalu Wahyuni juga menyapa tetangga-tetangga dengan ramah.”

“Bagus kalau kamu bisa melakukannya. Ibu senang, baru semalam ibu bicara, kamu sudah bisa melakukannya.”

“Apakah dengan sikap baik itu, lalu Wahyuni akan segera mendapat suami yang baik?”

“Yuni, apa kamu melakukan semua kebaikan karena kamu menginginkan sesuatu?”

“Bukankah ibu yang menyuruh?”

“Berbuatlah baik, tanpa berharap mendapat imbalan.”

“Kalau begitu percuma Wahyuni berbuat baik kalau tidak mendapat kebaikan,” kaya Wahyuni cemberut.

“Kalau kamu berbuat baik, bersikap baik, maka Allah akan mencatatnya. Bukankah siapa yang menanam maka dia akan menuai? Kamu melakukannya karena suatu tujuan. Betul kan? Kamu ingin segera mendapat jodoh, maka kamu berbuat baik. Jadi kebaikan yang kamu lakukan itu mempunyai sebuah tujuan. Jelasnya kamu menuntut sebuah imbalan.”

“Jadi harus bagaimana Bu?”

“Teruslah berbuat baik, dan tetap memohon kepada Yang Maha Kuasa. Maka Dia lah yang akan memberi. Tidak ada perbuatan baik kok jadi percuma.”

“Aku tidak mengerti,” gumamnya sambil mengunyah tahu goreng yang masih hangat.

“Begini saja, berbuatlah baik, jangan memikirkan apa-apa.”

“Ibu gimana sih, kan Wahyuni ingin segera mendapat suami, lalu ibu menyuruh Wahyuni berbuat baik.”

“Perbuatan baik bukan untuk mencari suami.”

“Tuh, kan?”

“Perbuatan baik akan membuat kamu menjadi orang baik. Kamu akan dicatat oleh semua orang bahwa kamu gadis yang baik.”

“Lalu banyak orang yang akan meminta Wahyuni agar menjadi istrinya?”

Bu Carik menghela napas panjang. Sesungguhnya Wahyuni memang tidak hanya kurang cantik, tapi juga sedikit bodoh. Tapi bu Carik seorang ibu yang sabar. Harus dengan cara yang berbeda kalau ingin memberi pengertian kepada anak gadisnya.

“Kok kesitu lagi ….” gumam bu Carik sambil menyendok sayur beningnya.

“Ibu membuat Wahyuni bingung,” keluh Wahyuni sambil menyendok lagi nasinya.

“Ya sudah, kamu jangan memikirkan jodoh dulu.”

“Lho, ibu gimana sih?”

“Jodoh itu yang memberi Allah Yang Maha Kuasa. Jadi setiap kamu bersujud, kamu bisa memohon apa yang kamu inginkan.”

“Tidak usah berbuat baik, asalkan memohon kepada Allah Yang Maha Kuasa. Betul kan Bu?”

“Apa kamu merasa rugi ketika telah melakukan hal baik? Misalnya memberi barang murah kepada Arumi, memberikan makanan kepada orang-orang? Menyapa tetangga dengan ramah?”

“Ya tidak rugi, kan itu pakai uangnya bapak, barangnya bapak?”

“Maksud ibu perasaan kamu bagaimana setelah melakukan kebaikan?” kata bu Carik sedikit gemas.

“Perasaan Wahyuni? Senang tuh.”

“Bagus sekali Nak. Jadi berbuat kebaikan, hati kita menjadi senang. Kamu merasakannya kan?”

“Iya.”

“Nah, teruslah berbuat baik.”

“Lalu_”

“Lalu terus berbuat baik ,”

“Lalu bagaimana dengan_”

“Dan jangan memikirkan jodoh dulu,” potong sang ibu sambil membawa piring kotornya ke dapur.

Wahyuni melanjutkan makan sambil masih saja berpikir. Berbuat baik tapi tidak usah memikirkan jodoh.

“Tapi aku kan semakin tua?” gumamnya pelan.

Bu Carik tidak lagi muncul di dekatnya, sehingga tidak mendengar keluhan anak gadisnya. Ia sedang berpikir untuk memberi pengertian agar si anak bisa memahami apa yang sebenarnya diinginkannya. Ia ingin merubah perilaku Wahyuni yang kurang disukai banyak orang. Tapi Wahyuni menerimanya berbeda.

***

Sutris masih berbaring di tempat tidurnya. Ia membuka matanya ketika Wahyuni membawakan makan ke dalam kamar dan meletakkannya di meja.

“Sebenarnya kamu sakit apa?”

“Pokoknya aku sakit, badanku sakit, hatiku sakit,” gumamnya, tapi kemudian ia bangkit, dan mengeluh lapar.

“Ya sudah, makanlah. Sama minum obatnya.”

“Obat apa?”

“Itu, dari bapak. Katanya bisa menyembuhkan sakit apa saja. Panas, pusing, apa saja, tapi tidak bisa menyembuhkan penyakit wuyung,” ledek Wahyuni.

“Aku tidak mau minum.”

“Tadi aku ketemu Arumi.”

“Di mana? Kamu jangan sekali-sekali menyakiti hati Arumi. Kamu boleh benci, tapi jangan mengusiknya.”

“Aku malah jalan bareng sambil bercanda.”

“Bohong.”

“Aku sudah tahu kalau Arumi itu gadis yang baik.”

“Bagus. Kalau begitu dukung aku.”

“Dukung ke mana? Mana aku kuat?”

“Maksudku bantu aku membujuk bapak supaya mau menjadikan Arumi menantu.”

“Tidak mudah. Kamu kan tahu sendiri bapakmu seperti apa? Kamu sudah minggat dua hari, bahkan sudah mengancam ingin mati, bapak tetap bergeming kan?”

“Masa bapak akan membiarkan aku mati.”

“Mungkin saja, bapak itu keras kepala. Hanya mau melakukan apa yang dia suka. Barangkali ancaman mati yang kamu lakukan juga tidak akan bisa membuat bapak menuruti kemauan kamu.”

“Aku tidak percaya,” kata Sutris sambil meraih piring yang diletakkan di meja.

Sutris makan dengan lahap. Rupanya dia punya taktik yang lain agar bisa meluluhkan hati bapaknya.

***

Hari itu Bachtiar pulang ketika hari masih sore. Ia langsung ke rumah orang tuanya, karena ingin menegur Luki yang dianggapnya lancang telah datang ke tempat kerja dan mengumumkan kepada banyak orang bahwa dia adalah calon istrinya. Bachtiar juga ingin menegaskan bahwa dirinya tidak pernah mencintai gadis itu.

***

Besok lagi ya.

DALAM RINDUNYA AKU

DALAM RINDUNYA AKU (Tien Kumalasari) Dalam rindunya aku,  burung sampaikan rinduku melalui kicaumu Dalam sayangnya aku,  angin sampaikan cin...