Monday, June 30, 2025

MAWAR HITAM 01

 MAWAR HITAM  01

(Tien Kumalasari)

 

Di sebuah rumah mewah dengan perabotan cantik dan artistik, seorang nyonya duduk bersilang kaki di depan sebuah televisi. Matanya menatap ke layar televisi, sedangkan tangan kirinya memegang ponsel. Sambil meletakkan ponsel di pangkuannya, sekali-sekali ia mengotak-atiknya, sedangkan tangan kanannya rajin merogoh ke dalam setoples, dimana ada ceriping pisang yang hanya tinggal separuh, karena tangan sang nyonya tak berhenti mencomotnya.

Tubuhnya yang bulat membuat orang-orang bertanya, bagaimana sepasang kakinya mampu menopang tubuh bulat berisi, yang kalau berjalan terseok-seok karena keberatan beban.

Walau begitu, hobi makan tak pernah bisa dihilangkannya. Ketika teman-temannya melakukan diet ketat untuk membuat tubuhnya langsing, sang nyonya kaya mengacuhkannya. Mana tahan ketika melihat makanan enak ia harus menahan keinginannya menikmati? Karena itulah, seribu kali berusaha diet, seribu kali pula dia gagal. Kemudian dia tak peduli lagi dengan berat badannya dan lekuk tubuhnya yang mirip sebuah bola yang sedang menggelinding. Walau begitu dia begitu memelihara kecantikannya. Segala macam perawatan kecantikan diikutinya dengan rajin, sehingga pipinya yang sudah seperti kue bak pao, terlihat kenyal dan berseri-seri. Barangkali kalau ada lalat hinggap di situ, pasti akan terpeleset jatuh karena tampak licin dan berkilat-kilat. Dulu dia memang seorang gadis yang cantik, sehingga mampu menjatuhkan hati seorang pengusaha yang kemudian mengambilnya sebagai istri. Tapi karena tak bisa menahan kegemarannya makan maka sang tubuh langsing jadi menggelembung seperti balon.

Dia adalah nyonya Andra Kusuma, istri seorang pengusaha kaya yang hidup bergelimang harta.

Ia memiliki seorang pembantu yang rajin dan cekatan, tapi juga pesolek karena mengikuti kebiasaan majikannya. Hanya saja sang pembantu itu memang tergolong cantik, tubuhnya bagus, masih gadis pula. Dengan pakaian yang modis walau bukan dari produk mahal, ia kelihatan seperti seorang nona muda. Kalau ia sedang mengikuti sang majikan belanja, maka orang akan mengira bahwa dia adalah adiknya. Nyonya Andra tak begitu peduli pada penampilan sang pembantu. Yang penting dia dilayani, disiapkan semua kebutuhannya, dimengerti semua kesukaannya, tidak pernah dibantah apa yang dikatakannya.

“Sinaaaah,” teriaknya kencang.

Tergopoh Sinah yang sedang dandan lari keluar untuk menemui majikannya, karena kalau tidak segera datang saat dipanggil maka sang nyonya majikan akan mencak-mencak.

“Yaaa, Nyonyaa …”

“Ini bagaimana, kamu mengisi kripiknya terlalu sedikit, lihat hampir habis.”

“Tadi penuh, Nyonya.”

“Kamu itu jangan ngeyel, lihat, ini tinggal sedikit.”

“Kalau begitu biar saya isi lagi, di almari makan masih banyak.”

“Jangan yang keripik pisang, ada emping tidak?”

“Nyonya kalau kebanyakan makan emping nanti asam uratnya kumat lagi, bagaimana?”

“Kamu ini jangan cerewet, aku kan tidak suka ada pembantu cerewet.”

“Saya kan hanya mengingatkan, supaya Nyonya tidak sakit.”

“Tidak apa-apa. Kalau asam urat kumat tinggal ke dokter, dikasih obat, beres kan? Ayo cepat ambilkan, kok malah melongo, kemasukan lalat mulut kamu nanti.”

“Baik, baiklah,” jawab Sinah sambil bergegas ke belakang, lalu mengambil setoples emping seperti perintah sang majikan.

Dalam hati Sinah berpikir, kapan ya mulutnya berhenti mengunyah? Tapi tak ada yang bisa dilakukannya selain menuruti apa kemauannya. Kalau tidak, maka habislah mata pencahariannya enak yang didapat secara kebetulan, ketika dia sedang melamar di setiap perusahaan atau toko-toko dimana dia singgah.

Waktu itu dia sedang menatap sebuah toko souvenir, yang barangkali mau menerimanya sebagai pelayan toko. Tiba-tiba seorang nyonya melihatnya dan bertanya. Mau apa dia datang seperti sedang mencari-cari sesuatu. Sinah bilang mau mencari pekerjaan. Lulusan kamu apa, SMA. Hanya SMA mau melamar jadi apa? Di sini karyawannya minimal sarjana muda atau lulusan D3. Kalau mau menjadi asisten pribadiku di rumah, ya silakan, mumpung aku sedang butuh. Asisten pribadi yang dikira Sinah adalah pekerjaan kantor, ternyata asisten di rumah untuk disuruh-suruh. Sinah yang tadinya bersedia, kemudian merasa bahwa ini kan jadi pembantu. Apa nasibnya memang begini, di mana-mana harus jadi pembantu? Tapi karena gajinya besar dengan catatan pekerjaannya harus memuaskan majikan, maka Sinahpun menikmati pekerjaannya dengan suka cita. Apalagi ketika sang nyonya majikan membiarkannya berdandan, mengenakan baju-baju trendi kala itu, berdandan meniru majikan walau dengan make up yang murah, maka Sinah merasa nyaman dengan pekerjaannya. Seminggu setelah bekerja ia baru tahu, bahwa suami sang nyonya adalah Andra, orang yang pernah menabraknya. Agak kurang senang sebenarnya ketika Andra melihat Sinah bekerja di rumahnya, tapi sang istri yang sudah merasa cocok melarangnya ketika suaminya ingin memecatnya.

“Memecat dengan alasan apa Mas? Bisa kena pasal memecat pekerja dengan semena-mena. Dia bekerja sangat baik. Aku suka dilayani oleh dia.”

Lalu Andra yang jarang pulangpun tak bisa melakukan apa-apa. Sudah beberapa tahun Sinah bekerja pada nyonya Andra yang nama aslinya adalah Andira.

“Ini, Nyonya,” katanya sambil meletakkan toples berisi emping di depan sang majikan.

“Hm, ini baru enak. Setelah ini kamu lihat bahan makanan yang sudah menipis, nanti kamu antarkan aku belanja.”

“Baik, Nyonya.”

Sinah pergi ke belakang dengan suka cita. Pergi belanja bersama nyonya majikan selalu menyenangkan. Dia bisa berdandan walau tugasnya membawakan belanjaan sang nyonya, dengan demikian ia bisa melihat dunia luar dan memamerkan kecantikannya.

***

Saraswati sudah kembali ke rumah suaminya, dan beberapa tahun berlalu,  kehidupan mereka aman-aman saja. Kejadian yang telah lalu, memberikan pelajaran tentang kehidupan yang membuat mereka hati-hati dalam melangkah.

Adisoma merasa bangga melihat kemajuan sang putri, yang ketika dulu ingin melanjutkan kuliah lalu dirinya melarang dengan keras. Ia bersyukur sang putri memiliki kepribadian yang kuat, dan pendirian yang kokoh dalam mencapai keinginannya. Sekarang dia tahu, bahwa apa yang akan dicapai oleh sang putri adalah sebuah prestasi dalam mengarungi masa mudanya.

Hubungan Dewi dengan Satria sudah lama diketahuinya, Adisoma tidak tampak melarangnya, karena dia sudah bertemu Satria dan melihat pribadi yang baik dari anak muda keturunan orang biasa yang tak punya pangkat ataupun derajat.

“Mengapa Dewi tidak pulang Minggu ini? Bukankah ada liburan di hari Jum’at dan berarti dia bisa libur tiga hari?” tanya Adisoma ketika sedang duduk santai dengan sang istri.

“Aku sendiri juga tidak tahu, coba saja Kangmas menelponnya.”

“Coba Diajeng saja, ponselku ketinggalan di kamar.”

Baru saja Saraswati meraih ponselnya yang terletak di atas meja, Dewi menelponnya.

“Dewi, ibunda baru saja mau menelpon.”

“Dewi mau jalan-jalan sama Aryo, sama Sekar, jadi tidak pulang Minggu ini.”

“Baru saja ayahandamu menanyakan, mengapa kamu tidak pulang padahal ada liburan. Ternyata kamu jalan-jalan. Cuma bersama anak-anak?”

“Tidak, bersama ayah dan ibunya, juga ada Satria.”

“O, ada Satria juga? Bagaimana kuliahnya?"

“Sebentar lagi dia selesai, sekarang sedang mengerjakan skripsi.”

“Syukurlah.”

“Dia bilang akan segera mencari pekerjaan.”

“Semoga lancar semuanya. Mana, anak-anak? Kok tidak ada suaranya?” 

“Belum datang, nanti mas Listyo dan keluarganya mau nyamperin Dewi. Tadi Dewi menelpon kanjeng rama, tidak diangkat.”

“Iya, ponselnya ada di kamar, kami sedang duduk di serambi depan. Sampaikan pesan ibunda pada Arum, hati-hati, dia kan sedang hamil tua?"

“Baiklah. Ya sudah Kanjeng Ibu, Minggu depan saja saya pulang ke Solo.”

“Hati-hati di jalan.”

Saraswati meletakkan ponselnya.

“Tadi Dewi menelpon Kangmas, tapi tidak diangkat.”

“Mau pergi ke mana dia?”

“Jalan-jalan bersama keluarganya Listyo. Nggak tahu mau jalan-jalan ke mana mereka. Paling ke Kaliurang atau ke pantai.”

“Aku sudah lama tidak ketemu Aryo dan Sekar.”

“Aku tadi juga mau menelpon Listyo, kalau bisa ajak anak-anak datang kemari, malah mereka pergi sendiri.”

“Ya sudah, tidak apa-apa. Yang penting mereka sehat.”

“Tadi Dewi mengatakan, kalau Satria sedang mengerjakan skripsi.”

“Lalu dia akan segera menyelesaikan kuliahnya?”

“Akan segera mencari pekerjaan setelahnya, katanya.”

“Jangan dulu ingin menikahi Dewi. Dewi kan belun selesai?”

“Iya, lagipula Satria kan harus bekerja dulu.

“Yang penting anak kita hidup bahagia bersama orang yang punya tanggung jawab dan bisa mencintai serta menjaganya.”

“Benar, Kangmas, yang penting mereka bahagia. Buktinya Listyo yang dulu dilarang-larang, hidup mereka ternyata bahagia. Arum wanita yang baik. Kabarnya dia sedang hamil tua.”

“Syukurlah. Sekar kan sudah tiga tahunan, jadi tidak akan begitu repot momong anak-anak kecil.”

***

Nyonya Andra sudah siap dengan dandanan mewahnya, duduk diteras menunggu Sinah. Tak apa kalau dirinya yang harus menunggu pembantu, yang penting ada Sinah yang akan menemaninya dengan setia.

Aroma harum menebar memenuhi rumah, aroma parfum mahal yang menguar dari tubuh sang nyonya.

Sinah keluar sambil hidungnya kembang kempis. Ia tak harus memakai parfum ketika sedang bersama sang nyonya majikan. Pernah suatu kali dia memakai parfum miliknya sendiri, yang dibelinya ketika ia ada di pasar, ketika dipakai maka sang nyonya marah besar, katanya parfum kampungan jangan dibawa ke dalam rumah ini. Ya ampun, ada parfum kampungan juga, pikir Sinah kesal, waku itu, sekarang dia tidak berani memakainya. Cukup berdekatan dengan sang nyonya, maka ia sudah ketularan aroma harumnya.

“Lama sekali kamu itu, lihat, bibirmu belepotan lipstik,” gerutu sang nyonya sambil berdiri, karena sopir pribadi sudah berdiri membukakan pintu mobil.

Sinah terkekeh, lalu mengusap bibirnya, yang kemudian menambah cemot-cemot merah bertambah parah.

“Hapus saja semuanya, nanti dikira aku jalan sama badut,” kesal sang nyonya majikan sambil memberikan tissue kepada pembantu setianya.

Sinah menurut, dengan tissue dari sang majikan, dia menghapus bibirnya, sehingga bersih, tapi masih meninggalkan warna samar yang sesungguhnya justru lebih membuatnya natural. Tapi tampaknya Sinah merasa ada yang kurang. Sambil mengusap bibirnya itu wajahnya sudah cemberut. Ia duduk di depan, di sebelah sopir, sehingga nyonya majikan tidak melihat wajahnya yang masam. Kalau saja melihatnya, maka sudah pasti Sinah akan disemprot habis-habisan.

***

Karena tidak membawa cemilan, maka Listyo menghentikan mobilnya di depan sebuah toko roti. Dewi mengikuti kedua anak kecil si Aryo dan Sekar yang berlari-lari seenaknya, takut kalau terjatuh atau menabrak orang. Arum yang perutnya mulai gendut dilarang turun oleh suaminya. Hanya Satria yang mengikuti mereka masuk.

“Aku mau permen … aku mau yang coklat …”

“Aku juga coklat …” teriak anak-anak itu yang kemudian berjingkrak-jingkrak ketika Dewi meminta coklat yang diminta kepada pelayan.

Sekar karena gembira dan berlarian, lalu menabrak seorang wanita gendut yang membuatnya terhuyung. Ia adalah nyonya Andira yang sedang memilih kue-kue dan keripik kesukaannya.

“Eh, bocah. Anak setan dari mana ini, sembarangan nabrak orang?” hardik Sinah, yang kemudian membuat Sekar menangis.

Saat itu Satria sudah masuk dan melihat Sekar berlarian,  dan tidak sempat terkejar olehnya sampai kemudian membuat marah seorang pembeli. Satria langsung menggendongnya, lalu menatap wanita dengan pakaian seksi yang tadi menghardik Sekar.

“Maafkan anak saya,” kata Satria asal ngomong. Tapi ketika Sinah melihat wajah Satria yang menggendong anak kecil yang tadi dihardiknya, wajahnya berubah. 

Satria merasa heran karena merasa seperti mengenal wajah itu, tapi mengapa penampilannya seperti nona kaya?

Sinah ingin mengucapkan sesuatu, tapi nyonya majikan memanggilnya.

"Hei, bawa barang-barang yang aku pesan, aku akan menunggu di mobil."

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

Saturday, June 28, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 49

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  49

(Tien Kumalasari)

 

Ketika menemui Sinah di rumah sakit, mbok Manis tidak pernah sendiri. Dewi yang tidak tega membiarkannya naik becak sendiri selalu mengantarnya. Mbok Manis yang kehilangan jejak Sinah, keluar dengan wajah murung. Dewi heran melihat mbok Manis geleng-geleng kepala ketika mendekatinya.

“Belum boleh pulang ya Mbok?”

“Malah sudah pulang duluan,” kata mbok Manis kesal. Ia merasa, Sinah tak pernah bisa diatur. Sudah tahu bahwa simboknya akan datang menjemput, malah sudah pergi duluan.

“Pulang ke mana?”

“Saya tidak tahu, dia itu memang susah diatur. Saya mengatakan akan menjemput dan mengantarkannya pulang kampung, tapi dia sudah kabur duluan.”

“Barangkali dia tak ingin merepotkan simboknya, jadi pulang kampung sendiri.”

“Tidak mungkin. Sinah tidak pernah suka pulang ke desanya. Dia lebih suka hidup di kota, dan bersikap seperti gadis-gadis kota pada umumnya.”

“Lalu ke mana kira-kira dia pergi?”

“Dia sudah kehilangan semuanya. Barang dagangan dan uang. Kemarin dia bilang akan menunggu uang dulu. Entah uang dari mana.”

“Barangkali orang yang menabrak akan memberinya uang, lalu mempergunakan uang itu untuk berusaha berdagang lagi.”

“Saya selalu kesal kalau memikirkan dia. Satu-satunya anak perempuan tapi yang sangat susah diatur.”

“Jadi simbok tidak tahu ke mana dia pergi? Dia tidak mengatakan di mana dia tinggal selama ini?”

“Tidak, atau belum, Den Ajeng, maksud saya akan mengajaknya bicara ketika saya menjemputnya ini.”

“Kalau begitu ayo kita pulang dulu saja. Simbok tidak usah terlalu memikirkan. Sinah sudah dewasa, sudah tahu apa yang harus dilakukannya.”

Ketika mereka akan naik ke atas becak, tiba-tiba Satria datang dan berteriak memanggil namanya.

“Dewi?”

“Satria, kamu mau bezoek Sinah?”

“Mau menemui pembantu pak Andra, orang yang menabrak Sinah.”

“Namanya pak Andra? Tapi mana dia? Sinah juga sudah pergi. Simboknya mau nyamperin, dia sudah kabur entah kemana.”

“Dia sudah pergi? Bersama pembantu pak Andra?”

“Entahlah, aku tidak tahu. Begitu mbok Manis datang, Sinah sudah tidak ada.”

“Tadi pak Andra menelpon saya, dia mengatakan kalau sudah membayar semua biaya rumah sakit. Kecuali itu dia sudah memberikan sejumlah uang seperti yang diminta Sinah. Dia mengatakan bahwa sebenarnya dia sudah menyelesaikan apa yang menjadi tanggung jawabnya, tapi Sinah masih minta sejumlah uang yang katanya untuk berdagang, demi melanjutkan hidupnya. Pak Andra memberikannya hanya karena merasa kasihan. Dia memberikannya melalui pembantunya. Sebenarnya aku diminta untuk datang supaya menjadi saksi bahwa dia sudah melakukan apa yang menjadi tanggung jawabnya, ternyata aku terlambat karena ada kelas pagi ini.”

“Anak saya memang keterlaluan. Maaf kalau jadi merepotkan den Satria,” kata mbok Manis sedih.

“Tidak apa-apa Bu, lagian saya bukan den, panggil saja saya Satria.”

“Tidak apa-apa, besok kalau sudah menjadi suami den ajeng Dewi pasti saya tidak boleh memanggil sembarangan.”

“Doakan saja ya bu Manis?”

“Mbok Manis,” mbok Manis juga membetulkan panggilannya.

“Sudahlah hanya soal panggilan saja. Sekarang aku mau pulang dulu Sat, siang ini aku ke kampus. Tapi sekarang harus mengantarkan pulang mbok Manis dulu.”

“Saya bisa pulang sendiri, Den Ajeng.”

“Tidak, nanti simbok hilang, susah cari gantinya.”

“Den Ajeng ada-ada saja, masak tua bangka begini bisa hilang?”

“Kalau dilarikan cowok ganteng bagaimana?”

“Kalau cowoknya seperti den Satria ini saya mau, Den Ajeng,” canda mbok Manis yang membuat Dewi dan Satria terkekeh.

“Aku ikut ke rumah kamu, kita bisa bareng berangkat ke kampus, kata Satria pada akhirnya.

***

Hari-hari terus berlalu, baik Dewi maupun Saraswati, bahkan mbok Randu sendiri selalu menghibur mbok Manis, agar tidak terlalu bersedih memikirkan Sinah. Sudah tahu bagaimana kelakuan Sinah, dipikirpun juga malah akan lebih memberatkan perasaan.

“Sinah bukan anak kecil Mbok, dia sudah tahu apa yang harus dilakukan, dan bagaimana konsekuensinya tentang apa yang dilakukannya itu,” kata Saraswati.

“Iya Den Ayu, akhirnya saya juga merasa kalau lebih baik saya tidak usah memikirkannya lagi.”

“Simbok doakan saja agar dia menemukan yang terbaik dalam hidupnya.”

“Baik, Den Ayu. Sekarang saya akan membersihkan kamar den Listyo, sudah sejak kemarin saya ingin mengganti alas tidurnya belum kesampaian.”

“Tidak usah buru-buru Mbok, Listyo sedang bersama keluarganya untuk membicarakan  pelaksanaan pernikahan dengan Arum, jadi masih agak lama dia kembali tidur di sini, atau bahkan sudah tidak lagi. Kemarin dia sepertinya ingin membeli saja rumah yang pernah dia sewa, untuk hidup bersama anak istrinya.”

“Saya ikut senang Den Ayu, akhirnya den Listyo menemukan jodohnya.”

“Iya Mbok, aku juga. Nanti ketika mereka menikah, kita ke Solo ya Mbok.”

“Nanti kita akan bersama-sama menunggui mereka menikah,” tiba-tiba Adisoma sudah ada diantara mereka, lalu duduk di samping Saraswati.

“Kapan Kangmas datang, aku tidak mendengar suara mobil.”

“Tangkil menurunkan aku di depan, dia langsung mengisi bahan bakar.”

Melihat Adisoma datang, mbok Manis segera undur diri untuk membuatkan minuman. Lagi pula tidak enak mendengar pembicaraan mereka, kalau saja meraka akan membicarakan sesuatu yang sangat pribadi. Tapi mbok Manis merasa lega karena tak lagi tampak ada kemarahan di wajah Adisoma.

“Kalau ada es, aku mau minuman dingin ya Mbok,” perintah Adisoma yang sudah tahu pasti mbok Manis akan mengambilkan minum untuk dirinya.

“Baik, Den Mas.”

“Ada apa Kangmas datang kemari?”

“Diajeng, aku datang untuk mengunjungi istriku, apa tidak boleh?”

Saraswati agak terkejut. Adisoma berkata sangat manis. Cara menatapnya juga berbeda. Saraswati memalingkan wajahnya. Adisoma berbaik-baik padanya, karena merasa tidak mungkin mendapatkan Arum lagi, bukan? Ingin Saraswati mencibir, karena ia tahu, itu adalah semu.

“Diajeng, seseorang yang tersesat, tidak harus melanjutkan langkahnya di jalan yang menyesatkan itu. Hal terbaik yang harus dilakukan adalah kembali ke tempat asal. Dari tempat asal itu nanti akan ketahuan, mana yang harus dilewatinya. Pasti bukan jalan sesat yang tadi diambilnya. Apakah Diajeng bisa mengerti apa yang barusan aku katakan?”

“Intinya adalah … karena Kangmas tidak bisa mendapatkan Arum, maka Kangmas kemudian berbaik-baik padaku?”

“Diajeng, aku dengan tulus ingin meminta maaf, mengapa kamu salah mengartikan maksud kedatanganku?”

“Bukankah aku pernah mengatakan bahwa Kangmas sudah aku maafkan?” 

“Cabutlah gugatan cerai itu, aku tidak ingin bercerai dari Diajeng.”

Saraswati terdiam. Sesungguhnya dia sudah melakukannya, ketika Dewi ‘memarahinya’ atas gugatan cerai itu. Tapi dia tidak mengatakannya.

“Percayalah, aku tidak ingin bercerai dari Diajeng, dan sudah mengatakannya sejak lama, bahkan sejak Diajeng masih di rumah, bukan?”

“Kangmas terus menerus mencari Arum, bahkan tidak peduli biarpun aku pulang kemari.”

“Bukan Arum. Lebih kepada anak-anak itu.”

“Silakan diminum, Den Mas,” kata mbok Manis sambil meletakkan dua gelas minuman dingin, kemudian berlalu begitu saja.

“Mbok, siapkan makan siang juga, barangkali tamu kita mau makan siang di sini,” kata Saraswati. Mbok Manis langsung mengiyakan dan berlalu.

“Diajeng, mengapa aku kamu sebut tamu? Apa kamu tidak lagi menganggap aku sebagai suami kamu?” kata Adisoma pilu. Wajahnya muram. Tangan yang tadinya menyentuh gelas minuman, ditariknya kembali.

Saraswati diam. Rasa tinggi hati tiba-tiba muncul, padahal tidak demikian perasaan yang ada. Ada malu yang membumbuinya, membuat tak ingin mundur atau merubah pendiriannya.

“Diajeng, kalau memang Diajeng tidak mau lagi menganggap aku sebagai suami kamu, baiklah. Aku pulang saja,” kata Adisoma sambil berdiri.

Saraswati terkejut. Ada peperangan di dalam batin, antara ingin menghentikan, dan rasa tinggi hati serta malu. Ia menatap suaminya yang sudah membalikkan tubuhnya dan melangkah keluar. Gelas yang tadi hampir diraihnya, utuh tak tersentuh. Saraswati mulai khawatir, rasa tinggi hati itu tiba-tiba runtuh.

“Kangmas, berhenti dulu.”

Adisoma menghentikan langkahnya, menoleh sejenak.

“Kangmas belum jadi minum, kan sudah dibuatkan mbok Manis.”

“Aku tidak jadi haus,” katanya sambil kembali melangkah.

“Kangmas, kita belum selesai bicara. Berhentilah dulu.”

“Bicara apa lagi?”

“Banyak hal yang harus kita bicarakan.”

“Bukankah nanti hasilnya akan sama? Kamu dengan kekeras kepalaanmu itu tidak akan mengubah pendirianmu.”

“Aku sudah berubah. Tolong duduklah kembali.”

Adisoma merasa ada senyuman tersungging dibibirnya sendiri. Yang keras sudah melunak. Benarkah? Walau begitu Adisoma membalikkan tubuhnya, dan Saraswati tersenyum lega yang tidak ditutup-tutupi. Adisoma melihat senyum itu, lalu ia duduk dan meraih gelas minumannya.

“Apa yang akan kamu bicarakan? Kalau dari urusan agama itu nanti memanggilku lagi, aku tidak akan datang, agar prosesnya cepat selesai.”

Adisoma melihat senyuman itu lagi.

“Aku sudah mencabut gugatan itu sejak lama,” kata Saraswati yang ikutan meraih gelas minumannya, dan meneguknya sedikit.

Adisoma meletakkan gelasnya, dengan minuman yang tinggal separuh. Matanya berbinar.

“Benarkah?”

Saraswati mengangguk.

“Apakah itu tandanya Diajeng tak ingin bercerai denganku?”

“Apakah aku perlu menjawabnya?”

“Diajeng, kalau begitu ayo pulang ke rumah kita.”

“Aku sudah nyaman di sini.”

“Kalau kamu istriku, bukankah kamu harus mengikuti suami kamu di mana dia tinggal?”

“Beri aku waktu, agar bayang-bayang kegetiran itu sirna.”

“Ada kanjeng rama,” tiba-tiba Dewi masuk ke ruang tamu dan berteriak ketika melihat ayahandanya.

“Sejak kedatangan kamu, kamu tidak bermaksud menyalami ayahandamu ini, apalagi memeluknya.”

“Mohon maaf Kanjeng Rama,” kata Dewi yang segera bersimpuh di hadapan ayahandanya lalu mencium lututnya. Mata Adisoma berlinang-linang.

“Waktu Dewi pulang ke Solo, Kanjeng Rama tidak pulang, sampai kemudian Dewi menyusul kanjeng ibu ke sini. Lalu ketika Kanjeng Rama datang suasananya sangat tidak memungkinkan. Mohon maaf, tapi sebenarnya Dewi sangat kangen pada Kanjeng Rama, walaupun ada juga rasa kecewa mendengar banyak peristiwa yang tidak mengenakkan.”

“Maafkanlah ayahandamu ini,” kata Adisoma sambil mengelus kepala Dewi.

“Lupakan saja semuanya, Dewi senang kalau Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu rukun kembali.”

“Kamu dari kuliah? Siapa yang mengantarmu? Sepertinya ada suara sepeda motor berhenti, lalu tak lama kemudian kamu masuk.”

“Diantar teman. Kakak kelas Dewi.”

“Laki-laki?”

“Iya.”

“Mengapa mengantarkan anak perempuan tidak masuk lalu bertemu orang tuanya?”

“Satria terburu-buru karena setelah kuliah dia harus bekerja.”

“Satria? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu.”

“Dulu teman Dewi sewaktu SMA.”

“Orang Solo?”

“Apakah Kanjeng Rama akan marah kalau Dewi dekat dengan orang biasa?”

“Dia orang biasa? Aku lupa-lupa ingat.

“Tapi sudah menjadi istimewa bagi Dewi.”

Barangkali belajar dari kejadian-kejadian sebelumnya, tak ada rona marah pada wajahnya.

“Apakah Kanjeng Rama marah?”

“Den Ayu, makan siang sudah siap,” tiba-tiba kata mbok Manis.

“Ayo kita makan dulu. Dewi, cuci kaki tanganmu dulu.”

“Jawab dulu, Kanjeng Rama, apakah Kanjeng Rama marah?”

“Kita lihat saja nanti. Bukankah kalian masih kuliah?”

Tak ada penolakan, bahkan ketika Adisoma tahu bahwa Dewi melanjutkan kuliah. Tampaknya semuanya akan aman-aman saja.

***

Tak urung ada resepsi pernikahan antara Sulistyo dan Arum, walau tadinya Arum menolak ada keramaian.

Bahkan den mas tumenggung Ranu berdua menghadirinya, dan Satria serta Dewi menjadi sepasang mengiring pengantin.

Aryo yang didandani dengan pakaian Jawa tampak lucu, berlarian ke sana kemari.

Bukan hanya sepasang pengantin yang ganteng dan cantik yang menarik perhatian, tapi sepasang pengiring yang tampak berseri-seri tak luput dari decak kagum para tamu karena mereka juga merupakan pasangan yang serasi.

Tapi diluar sana, sepasang mata dari perempuan yang hadir tak diundang, menatap pasangan pengiring itu dengan mata menyala.

***

Besok pagi hadir lagi ya, dengan judul yang berbeda.

------------------------------T A M A T----------------------------------------

 

Tungguin, MAWAR HITAM ------------------

 

Friday, June 27, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 48

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  48

(Tien Kumalasari)

 

Satria tertegun. Tentu saja dia mengenal penjual kain batik itu. Ia hanya heran, bagaimana dia bisa berjualan di tempat itu, sementara kabarnya dia sudah pulang kampung?

“Satria! Kenapa bengong? Sini, mborong selendang batikku. Untuk ikat kepala, untuk dililitkan di leher kalau udara sedang dingin, atau kain batik untuk bahan baju?”

“Sinah?”

“Iya, aku Sinah. Aku yakin kamu tidak akan melupakan aku. Seperti aku juga selalu mengingat kamu,” kata Sinah yang masih seperti dulu, kurang memiliki rasa malu.

“Tapi maaf, aku sedang tergesa-gesa.”

“Hei, jangan begitu Satria,” tiba-tiba Sinah mengejarnya, meninggalkan kotak dagangannya begitu saja.

“Apa maksudmu ini? Aku sedang tergesa-gesa.”

“Beli roti, tergesa karena lapar? Kasihan sekali,” kata Sinah sambil cengar-cengir.

Satria kesal sekali. Tidak di sini, tidak di sana, kelakuannya selalu menyebalkan.

“Aku pilihkan yang ini Sat, ini tebal, menghilangkan rasa lapar. Ini isinya daging, enak lhoh.”

“Tidak … tidak, ini bukan untuk aku, biarkan aku memilih sendiri.”

“Ya ampun, bukan untuk kamu? Kenapa tergesa-gesa? Aku pikir kamu kelaparan. Untuk siapa sih?”

“Temanku ….” Satria sudah memilih beberapa, lalu diserahkan kepada penjaga toko.

“Teman siapa?”

“Pacarku.”

“Pacar? Kalau aku tidak salah ingat, kamu pernah bilang pacarmu jauh di pulau seberang.”

“Sekarang sudah pulang. Permisi, aku duluan.”

“Heiii, Satriaa, tunggu dulu, aku belum bicara sesuatu.”

Satria terpaksa berhenti. Kalau dia nekat melangkah, lalu si tidak tahu malu itu berteriak-teriak memanggil, bisa-bisa dirinya dikira copet, lalu digebugin orang sepasar.

“Ada apa?”

“Di mana sih rumahmu? Kamu tahu, aku berjualan di kota ini sudah sebulan lebih. Berpindah-pindah lokasi, karena aku berharap bisa mengetahui, di mana sebenarnya kamu berada.”

“Untuk apa?”

“Satria, kamu kan sudah tahu bahwa aku berharap bisa menemani kamu setelah kamu selesaikan kuliah kamu, aku sabar menunggu kok.”

“Apa maumu? Kamu sudah tahu kalau aku sudah punya kekasih, kamu masih saja bermimpi,” katanya sambil meninggalkan Sinah yang wajahnya menjadi muram. Tapi tiba-tiba Sinah menjerit.

“Heiii, itu punyaku … maliing … punyaku ….”

Rupanya ada orang melarikan kotak berisi dagangan milik Sinah. Membuat Sinah menjerit-jerit. Pencuri itu menyeberang jalan untuk menyelamatkan diri, dan Sinah tanpa menoleh kiri kanan, langsung mengejarnya. Sebuah mobil mengerem sampai mengeluarkan derit kencang, dan Sinah jatuh tak sadarkan diri, diiringi teriakan-teriakan orang sekitar.

Satria gagal menstarter sepeda motornya dan terpaksa berhenti. Ia kembali menstandartkan motornya lalu berlari mendekat ke arah korban. Bagaimanapun kesalnya terhadap Sinah, tapi ini menyangkut nyawa seseorang. Untunglah pengendara mobil yang menabrak mau turun lalu memanggil ambulans agar membawanya ke rumah sakit. Satria mengucapkan terima kasih.

“Anda suaminya?” tanya pemilik mobil.

“Bukan … bukan, saya baru ketemu dia, tapi saya kenal dia.”

“Saya minta maaf, dia menyeberang tiba-tiba, tidak menoleh ke kiri dan ke kanan, jadi yah … beginilah.”

Sementara itu setelah polisi dan ambulans datang maka Sinah dilarikan ke rumah sakit. Tentu saja Satria harus mengantarnya, bersama pengendara mobil itu, bukan karena dia terlibat dengan adanya kecelakaan itu, tapi hanya karena rasa simpati.

Rasa kesal dan kasihan campur aduk di dalam hati Satria. Kesal karena pembicaraan yang tidak karuan, kasihan karena si bawel itu sudah jatuh tertimpa tangga. Dagangan sekotak hilang, raga tertabrak mobil.

Tapi Satria agak merasa lega karena di penabrak terus menungguinya dan bertanggung jawab atas semuanya, termasuk biaya rumah sakit yang entah berapa nanti besarnya. Menurut yang didengarnya, luka yang diderita Sinah memang tak seberapa, hanya saja memerlukan rawat inap untuk pemeriksaan yang lebih teliti. Ketika si penabrak menanyakan di mana keluarganya, Satria juga tidak bisa memberikan jawaban yang pasti. Tapi ia berjanji akan mengabarinya. Satria tahu kalau Dewi pasti bisa memberikan keterangan tentang keluarga Sinah karena Sinah dulu adalah pembantunya.

Kemudian Satria meminta pamit, dengan alasan masih punya urusan yang tidak dapat ditinggalkannya. Satria juga meninggalkan nomor kontaknya kalau ada sesuatu yang dibutuhkan dari dirinya, walau sebenarnya dia tidak memperhatikan larinya Sinah waktu itu, karena lebih dulu dia meninggalkannya.

Tapi sebelum meninggalkannya mereka saling memperkenalkan nama. Penabrak yang masih tergolong muda itu bernama Andra.

***

Begitu Satria datang, dilihatnya Dewi sedang bermain-main di taman dengan seorang anak kecil. Melihat Satria datang, Dewi segera menggandeng Aryo, diajaknya untuk menyambut.

“Satria, kamu dari mana?”

“Aku menelpon kamu sejak tadi tapi kamu tidak mengangkatnya. Harusnya ada kuliah, kamu bolos ya?” kata Satria sambil duduk di atas sebuah bangku di taman itu.

“Iya, maaf, sedang ada adik-adikku nih, jadi lupa masuk kuliah.”

“Adik-adikmu?”

“Oh ya, kamu tidak tahu? Ini calon anaknya mas Listyo.”

“Aku kok bingung, tadi kamu bilang adik-adik kamu, sekarang bilang dia itu calon anaknya pak Listyo?”

“Kamu kan tahu, kalau mas Listyo itu mau menikah dengan seorang wanita yang sudah punya anak dua? Ya ini, salah satu anaknya mas Listyo nanti, yang satu masih bayi, belum bisa diajak main.”

“Kalau begitu dia keponakan kamu dong, bukan adik kamu.”

“Dia adik aku, karena anak ayahandaku.”

“Apa? Jadi … calon istri pak Listyo itu … “

“Ya … ya, kamu benar,” kata Dewi yang tidak ingin membahas masalah Arum bekas istri siapa, dan tampaknya Satria sudah mengerti.

“Aku tadi ketemu Sinah. Harusnya sudah dari tadi aku sampai di sini.”

“Sinah? Sinah anak mbok Manis? Sinah teman sekolah kita itu? Sinah pembantu aku dulu?”

“Iya. Aku hanya mengenal seorang Sinah. Ya dia itu.”

“Dia ada di sini?”

Lalu Satria menceritakan awal ketemu Sinah yang sedang berjualan batik, kemudian sampai terjadinya kecelakaan itu.

“Kok aneh. Dia jualan batik di kota ini?”

“Aku tidak sempat ngomong banyak, dan memang tak ingin banyak bicara sama dia. Kan kamu tahu sendiri, Sinah itu seperti apa. Ketika sedang omong-omong itu tiba-tiba dia berteriak karena kotak dagangan dia dilarikan orang.”

“Terjadi kecelakaan karena dia mengejar orang yang melarikan dagangannya?”

“Dia tertabrak mobil dan pingsan, tapi karena si penabrak ternyata bertanggung jawab, lalu aku tinggalkan mereka. Toh aku tidak begitu memperhatikan kejadiannya, hanya tiba-tiba mendengar jeritan banyak orang, lalu aku mendekat dan ternyata dia Sinah.

“Lalu bagaimana ya keadaan Sinah? Aku harus memberi tahu mbok Manis karena dia adalah biyungnya.”

“Menurut yang aku dengar, dia hanya pingsan karena terkejut, dan luka yang diderita hanyalah luka luar. Walau begitu dokter meminta agar Sinah dirawat inap untuk memastikan bahwa keadaannya baik-baik saja.”

“Aku akan mengabari mbok Manis.”

“Bagus sekali, tadi si penabrak juga menanyakan alamat keluarga Sinah.”

***

Tak lama kemudian Sinah memang siuman. Hal pertama yang membuatnya heran adalah adanya seorang laki-laki yang berdiri di samping tempat tidurnya.

“Mana Satria?”

“Satria? Laki-laki tadi?”

“Sampeyan siapa?”

“Aku Andra, orang yang telah menabrak Mbak tadi.”

”Oo, kamu? Mengapa sampeyan menabrak saya?”

“Saya kaget, tiba-tiba Mbak menyeberang, sementara saya sudah dekat. Walau begitu saya akan bertanggung jawab. Saya akan menanggung semua biaya yang dibutuhkan untuk pengobatan Mbak sampai sembuh.”

“Sampeyan orang kaya?”

“Bukan kaya, tapi saya punya uang kalau hanya untuk pengobatan ini.”

“Sampeyan kan punya mobil?”

“Ada. Kenapa?”

“Luka saya ini membuat saya cacat. Lihat wajah saya, dihiasi perban, ditempel plester di sana-sini, tangan saya juga terluka. Apa sampeyan tahu, wajah bagi seorang wanita itu harus sangat dipelihara. Kalau saya cacat bagaimana?”

“Maaf Mbak, ini bukan sepenuhnya kesalahan saya. Didepan polisi saya sudah mengatakan akan bertanggung jawab. Kalau Mbak masih ingin menuntut, kita bawa saja ini ke pengadilan.”

“Lho … lho … lho, sampeyan jangan begitu. Saya juga tidak mau ribut, toh luka saya sampeyan sudah bersedia membiayai pengobatannya. Tapi kan saya kehilangan barang dagangan saya juga.”

“Siapa yang menghilangkannya? Urusan saya hanya tabrak menabrak, tidak tahu menahu tentang barang dagangan yang hilang,” Andra mulai kesal.

Dan tiba-tiba Sinah menangis terisak-isak, membuat Andra heran.

“Memang sial saya ini. Barang dagangan hilang, wajah menjadi cacat, kesakitan pula.”

“Mengapa Mbak menangis? Saya tidak menghilangkan barang dagangan Mbak.”

“Tolonglah saya.”

“Apa lagi yang harus saya lakukan?”

“Hidup saya dari dagangan saya itu, apakah sampeyan tega membiarkan saya menjadi gelandangan karena tak punya apa-apa?”

“Lalu saya harus apa?”

“Beri saya uang untuk saya kembali bekerja, tolong.”

“Urusan saya masih banyak. Nanti asisten saya akan mengurusnya,” kata Andra yang merasa kesal karena perempuan yang sudah ditolongnya serasa semakin ngelunjak. Andra merasa lebih baik masalah diselesaikan dan dia tak mau lagi berurusan dengan Sinah.

***

Sinah yang merasa putus asa karena penabraknya belum tentu mau menuruti kemauannya, kemudian merasa bingung. Tiba-tiba mbok Manis muncul dihadapannya. Sinah heran, dari mana simboknya tahu kalau dia ada di rumah sakit itu?

“Sinah, apa yang kamu lakukan di sini?” kata mbok Manis yang merasa khawatir melihat kepala Sinah dibalut perban dan ada luka-luka juga pada pipinya.

“Kok simbok tahu aku di sini?”

“Aku tanya sama kamu, apa yang kamu lakukan di tempat ini? Bukankah aku menyuruh kamu pulang ke kampung dan mengelola kebun bersama simbahmu?”

“Simbok ini aneh, melihat anaknya terluka, bukannya sedih atau prihatin, malah marah-marah,” kata Sinah sambil menangis.

“Kamu terluka itu kan salah kamu sendiri? Simbok memang khawatir. Tapi kamu kan salah?  Kamu menyeberang jalan tanpa menoleh.”

“Kok Simbok bisa tahu semuanya?”

“Apa yang kamu lakukan di sini, jawab dulu pertanyaan simbok.”

“Aku mencari uang Mbok.”

“Mengapa di sini? Apa di kampung tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan uang? Simbok sudah mengajari kamu bagaimana mendapatkan uang kalau kamu pulang kampung. Berdagang sayuran dari kebun sendiri, bukankah itu juga uang?”

“Sinah tidak cocok. Sinah maunya bekerja di kota.”

“Kamu kerja apa?”

“Dagang batik kecil-kecilan, tapi dagangan itu hilang dicuri orang ketika aku sedang bicara sama Satria.”

“Dasar tidak tahu diuntung. Kalau begitu setelah sembuh kamu harus pulang ke kampung. Aku akan mengantarkan kamu sampai di depan simbahmu.”

“Tunggu aku mendapatkan uang dulu Mbok.”

“Dari mana kamu akan mendapatkan uang lagi? Bukankah dagangan kamu sudah hilang?”

“Nanti pasti dapat, simbok jangan khawatir.”

Tapi nyatanya, dua hari setelahnya, ketika mbok Manis kembali ingin menjemput Sinah, ternyata Sinah sudah pergi entah ke mana.

***
besok lagi ya.

Thursday, June 26, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 47

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  47

(Tien Kumalasari)

 

Tumenggung Ranu tercengang. Tongkat penyangga tubuhnya masih mengambang di udara, siap dihantamkan pada putranya yang dianggap mbalela. Ada sepasang mata manatapnya penuh teguran.

“Kamu, Dimas?”

“Turunkan dulu pentungan itu, kalau benar-benar mengenai tubuh anak Kangmas, maka Kangmas pasti akan menyesal.”

“Adisoma, apa maksudmu?”

Adisoma mendekat ke arah Ranu, menurunkan tongkat yang diacungkannya.

“Maaf kalau aku mengganggu, Kangmas. Boleh aku duduk?”

“Duduklah.”

“Aku tidak melihat mbakyu ….”

“Dia tidak ingin melihat bagaimana aku ingin menghajar anaknya karena kelakuannya yang tidak benar itu. Dia bersembunyi di kamar. Biarkan saja.”

Listyo yang semula duduk sambil menunduk, kemudian bangkit dan menghampiri Adisoma, kemudian mencium tangannya dengan penuh hormat.

“Mohon Paman memaafkan saya,” katanya pelan.

Ranu yang kemudian ikut duduk masih menampakkan wajah yang merah padam, sebagai pertanda bahwa kemarahan masih menyelimutinya.

“Mau apa kamu datang kemari, Dimas?”

“Satu, aku kangen bertemu Kangmas. Setelah kegagalan kita berbesan, kita sama sekali tidak pernah bertegur sapa.”

“Itu benar.”

“Jadi aku tidak hanya ingin saling bertegur melalui sambungan telpon. Karena itulah aku datang kemari.”

“Pasti bukan hanya karena itu, sehingga kamu memutus kemarahan yang aku tumpahkan kepada anak bodoh itu.”

“Memang bukan hanya karena itu. Aku ingin meralat apa yang aku katakan kemarin.”

“Apa maksudmu meralat?”

“Mmm, bukan meralat. Aku salah bicara. Sebenarnya tidak seharusnya aku kemarin menelpon Kangmas dan memanas-manasi Kangmas tentang Listyo yang akan memperistri bekas selirku.”

“Itu benar kan?”

“Aku meralat tentang keinginanku yang bermaksud membuat Kangmas memarahi Listyo.”

“Kamu bicara tidak jelas, berputar-putar dan aku sama sekali tidak mengerti.”

“Ketika aku menelpon Kangmas kemarin, sebenarnya aku punya maksud yang tidak baik. Tidak baiknya ialah, agar Kangmas memarahi Listyo yang membuat hatiku panas. Maaf. Tapi itu hanya panas sesaat, kemudian aku menyadarinya, bahwa tindakanku, perasaanku itu salah. Aku menyesal, itu sebabnya aku datang kemari untuk meminta maaf.”

“Kamu tidak melakukan kesalahan. Kamu sudah membantu aku agar aku meluruskan yang tidak lurus, kamu sudah melakukan hal yang benar. Adanya perempuan bekas selir kamu itu lebih meyakinkan aku bahwa benar-benar Listyo melakukan hal yang salah. Aku akan membuatnya lurus. Dia harus mengurungkan niat yang tidak semestinya itu. Jadi kamu tidak usah minta maaf.”

“Tidak Kangmas, saya sekarang mendukung Listyo untuk melakukan apa yang diinginkannya.”

“Apa maksudmu?” teriakan Ranu membuat sang istri yang semula bersembunyi di kamar kemudian keluar, setelah ia mendengar uraian Adisoma yang panjang lebar.

“Arum, wanita itu, adalah wanita baik-baik. Karena dia baik maka aku kemudian jatuh cinta padanya, setelah sebelumnya aku hanya ingin membuatnya sebagai mainan yang menyenangkan. Sekarang aku menyesalinya. Arum sudah menemukan laki-laki baik seperti Listyo, ijinkan Listyo melakukannya.”

Listyo menatap Adisoma dengan pandangan penuh rasa terima kasih. Laki-laki setengah tua yang kemarin menghajarnya dan membuat Arum pingsan, sekarang bisa mengucapkan hal yang sangat bijak. Tapi tidak demikian dengan Ranu, sang ayah. Kemarahan yang ditahannya sejak kemarin masih membakar seluruh aliran darahnya. Ia tetap tidak terima kalau anak laki-laki satu-satunya menikah dengan perempuan rendahan, janda pula.

“Tidak mau!! Aku tetap tidak mau,” teriaknya, yang membuat sang istri kemudian mengelus punggungnya untuk membuatnya tenang.

“Mohon maaf, Kanjeng Rama, saya sangat mencintai Arum, saya tidak ingin berpisah dengannya.”

“Apa katamu? Jadi kamu akan tetap menentang kedua orang tuamu demi wanita yang tidak punya derajat itu?”

“Mohon, Kanjeng Rama memaafkan saya.”

“Kalau begitu lebih baik kamu pergi dan jangan mengakui aku sebagai ayahandamu!”

“Kangmas! Jangan begitu. Endapkan amarah Kangmas. Kita hanya punya Listyo, kebahagiaannya adalah sesuatu yang akan membuat kita bahagia juga.”

“Kamu sudah berubah pikiran, Diajeng? Kamu sekarang mendukung niat yang merusak tatanan kita?”

“Mana yang lebih penting bagi Kangmas, mengabaikan segala tatanan, atau kehilangan putra kita satu-satunya?” kata den ayu Ranu sambil mulai terisak. Tak terbayangkan bagaimana sedihnya kehilangan anak semata wayangnya.

Melihat sang istri menangis suhu yang menggelegak pada darahnya perlahan turun. Ada kebenaran di dalam kata-katanya, tapi harga dirinya, lagi-lagi harga diri sulit sekali dikendorkan.

“Aku sudah pernah merasakan kehilangan anak, ketika Dewi menolak lamaran Kangmas, sangat sakit, dan membuat Saraswati limbung. Jangan sampai Kangmas mengulanginya,” sambung Adisoma yang kemudian juga sudah bisa berpikir lebih waras gara-gara ucapan gedibal terkasihnya yang menggelitik jiwanya.

“Kangmas, endapkan amarah Kangmas. Kita hanya punya Listyo. Jangan menyuruhnya pergi, Kangmas, kalau dia pergi lebih baik aku mati,” tangis sang istri semakin terasa meremas perasaannya.

Tumenggung Ranu menatap sang istri dengan iba, diusapnya air mata yang membasah dipipinya itu dengan telapak tangannya.

“Sudah … sudah, jangan menangis lagi … mengapa bicara tentang mati? Kalau kamu mati, ke mana aku akan mencari istri seperti kamu, Diajeng?”

“Kalau begitu jangan marah lagi pada Listyo, biarkan dia memilih apa yang terbaik untuk hidupnya.”

“Hm… bagaimana ini? Bagaimana ? Istri yang tadinya mendukungku, mengapa berbalik melawanku? Adisoma yang semula mendukungku, sekarang juga menentangku,” keluhnya sambil mengacak-acak rambutnya, sementara tongkat penyangga tubuhnya dibiarkan tergeletak di lantai.”

“Listyo, ayahandamu menyuruh kamu pergi, ibundamu ini akan mati.”

Listyo merangkul kaki ibunya, sang ibu mengelus kepalanya lembut.

“Maafkan Listyo Kanjeng Ibu.”

“Apakah perempuan itu cantik? Maksud ibunda, cantik lahir dan batinnya?”

“Dia bukan hanya cantik wajahnya, tapi juga hatinya.”

“Tunjukkan pada ibunda, seperti apa dia, sebelum ibundamu ini mati.”

“Mengapa masih saja bicara tentang mati? Tidak … tidak, istriku tidak akan mati. Bagaimana kamu ini, Diajeng?”

“Itu yang terbaik, daripada kehilangan anak, satu-satunya, harta tak terhingga  yang aku miliki.”

“Ya sudah … ya sudah, menikahlah dengan siapapun yang kamu sukai, aku tidak akan menghalangi,” kata Ranu, tapi masih ada nada tidak iklas dalam suaranya.

“Kangmas tidak bersungguh-sungguh,” kata den ayu Ranu sambil mengusap air matanya.

Tumenggung Ranu menghela napas panjang, lalu menggenggam tangan istrinya.

“Aku sudah mengatakannya, berarti aku memang menginginkan itu. Kamu jangan meragukan aku.”

“Kalau Kangmas sudah setuju, aku mohon pamit. Jangan lupa nanti malam masih ada pertemuan di keraton, untuk membahas perayaan satu Asyura yang akan datang,” kata Adisoma sambil berdiri.

“Tunggu dulu.”

Adisoma menghentikan langkahnya.

“Kamu sudah menyaksikan drama yang luar biasa hari ini di rumah ini bukan? Besok kalau Listyo menikah, kamu yang akan mewakili aku, aku tidak akan hadir.”

“Kalau begitu berarti Kangmas belum sepenuhnya merestui.”

“Jangan ngarang, aku memintamu datang, bukan karena aku tidak merestui. Sudah, kalau mau pulang silakan pulang, aku mau bicara tentang kapan rencana Listyo mau menikah."

“Kangmas, Dimas Adisoma belum disuguhi apa-apa, jangan boleh pulang dulu.”

“Terima kasih Mbakyu, aku masih ada urusan,” kata Adisoma yang langsung meninggalkan ruangan, tapi kemudian Listyo mengejarnya, mengantarkannya sampai ke mobil.

***

Di perjalanan pulang ke rumah, Tangkil melihat wajah sang bendoro berseri-seri. Tadi ketika meminta dia agar mengantarnya, dia mengatakan bahwa akan melakukan hal terbaik, sesuai dengan anjuran dirinya, dan rupanya sang bendoro sudah melakukannya.

Tangkil ikut tersenyum, dan senyuman itu tak luput dari pengawasan Adisoma.

“Mengapa kamu senyum-senyum begitu?”

“Saya senang, karena Den Mas juga terlihat seperti sedang senang hati.”

“Entah mengapa, aku merasa senang sekali hari ini.”

“Sebuah perbuatan baik akan memancar pada wajah dan pandangan mata. Itu akan tampak dan terasa sekali. Saya yakin Den Mas pasti sedang merasa senang dan puas telah melakukan sesuatu yang sangat baik.”

“Akhirnya bencana itu tak terjadi. Kangmas Ranu hampir menghajar anaknya dengan tongkat penyangga tubuhnya, padahal tongkat itu tidak hanya terbuat dari kayu ukir, tapi juga ada sambungan besi di ujungnya. Kalau dipukulkan entah apa jadinya anak itu. Tapi aku jadi teringat, kemarin juga sempat menghajarnya. Beruntung dia tidak mendendam.

“Karena rasa cemburu yang membakar, ya kan Den Mas?”

“Aku tidak mengingkarinya, ada cemburu, ada emosi, tapi itu cuma sesaat. Kamu telah memadamkannya. Aku harus berterima kasih padamu. Kamu gedibal yang sudah seperti saudara bagiku."

Tangkil terkejut. Gedibal yang seperti saudara? Apakah dirinya bermimpi? Bendoro arogan yang suka mengatakan hal yang merendahkan dirinya menganggap dirinya seperti saudara?

“Mengapa senyummu menghilang, Tangkil?”

“Apa? Apa yang telah saya lakukan? Mengapa Den Mas merasa bahwa saya seperti saudara bagi Den Mas?”

“Karena aku tak mau kehilangan kamu, Tangkil. Kamu adalah tongkat di mana aku membutuhkan pegangan untuk melangkah. Kamu selalu ada untuk aku.”

Tangkil menarik napas panjang. Dalam dua hari sikap sang bendoro terhadapnya telah berubah. Dari yang suka memaki-maki, kemudian sikap itu berubah manis. Tapi Tangkil juga merasa, kemarin karena ada rasa kesal kepada sang bendoro, maka ia sedikit berani berkata-kata, dan kata-kata yang ada benarnya itu termakan oleh Adisoma, yang kemudian juga merasakan adanya kebenaran dalam kata-kata itu.

Tangkil hanya mengulaskan senyuman tipis, senyuman yang tidak membuatnya manis karena bibirnya yang sudah mulai keriput.

“Katakan sekarang apa yang harus aku lakukan, Tangkil?”

“Pulang dan istirahatlah, Den Mas.”

***

Dewi sedang bercanda dengan Aryo, yang terkekeh-kekeh karena Dewi mengajaknya lari mengitari taman, sementara Saraswati duduk di tepi kolam bersama Arum, yang masih sungkan karena Saraswati tidak lagi menganggapnya abdi, tapi tamu, sehingga ia harus dilayani juga seperti den ayu dan den ajeng.

Ketika dudukpun Arum tadinya ingin  duduk dibawah agar tidak sejajar dengan Saraswati, tapi Saraswati memaksa agar Arum duduk bersama seperti saudara.

“Arum, kamu itu tidak usah sungkan, sebentar lagi kamu akan menjadi istri Listyo, jadi bersikaplah wajar karena aku adalah bibinya Listyo.”

“Tapi saya belum begitu yakin, Den Ayu, mengingat keluarga mas Listyo pasti akan menentang pernikahan kami. Saya harus tahu diri, dan tidak apa-apa seandainya saya tidak menjadi istrinya. Perhiasan pemberian Den Ayu bisa menjadi modal bagi saya untuk bekerja, agar bisa menghidupi anak-anak saya.”

“Jangan dulu patah semangat, Arum. Bagaimanapun Listyo pasti akan memperjuangkan cintanya. Kamu harus mendukungnya, paling tidak dengan doa.”

“Saya hanya ingin hidup saya tenteram. Hidup diantara orang yang tidak menyukai saya pasti akan membuat hidup saya tidak tenteram.”

“Kamu harus percaya pada setiap doa yang kita panjatkan. Semoga hidup kamu akan lebih baik dan menemukan ketenteraman seperti yang kamu inginkan.”

Ketika itu ponsel Saraswati berdering, ternyata dari Listyo. Saraswati mengangkatnya, lalu senyumnya mengembang. Ia menepuk-nepuk bahu Arum yang tidak mengerti apa maksudnya.

“Ya Listyo, bagus sekali. Senang aku mendengarnya. Kamu mau datang hari ini juga? Baiklah. Menginaplah sehari lagi, Dewi sedang gembira mendapatkan adik-adiknya.”

Hanya sebentar Saraswati menelpon, lalu ia kembali menepuk bahu Arum.

“Ada berita baik, orang tua Listyo sudah mengijinkan.”

“Benarkah?” wajah Arum berbinar. Berita itu sungguh tidak disangkanya.

***

Hari itu Satria agak gelisah, karena Dewi tidak masuk kuliah, dan ponselnya juga tidak aktif. Rasa khawatir membuatnya ingin singgah ke rumah untuk menemuinya. Kuliah sudah usai, hari masih siang.

Bermaksud membeli oleh-oleh cemilan, Satria berhenti di depan sebuah toko roti.

Di bawah sebuah pohon di depan toko roti itu, Satria melihat seorang pedagang batik sedang melayani pembeli.

“Ini batik yang berbeda bu, dari Solo, bukan dari Jogya sini. Ibu mau selendangnya juga? Silakan dipilih Bu, semuanya bagus. Saya tidak mengambil untung banyak, yang penting ada sisa untuk beli sesuap nasi.”

Penjual itu begitu pintar menawarkan dagangannya, dan Satria merasa mengenal suara itu. Tapi ia tak memperhatikannya, karena buru-buru ingin ketemu Dewi. Bergegas ia masuk ke toko roti itu, tapi seseorang memanggilnya.

“Satria!!”

***

Besok lagi ya.

 

 

MAWAR HITAM -9

  MAWAR HITAM  09 (Tien Kumalasari)   Satria dan Andra saling pandang. Sedikit agak lupa bagi Andra, tapi tak lama kemudian dia ingat. “Ini ...