CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 24
(Tien Kumalasari)
Tangkil menahan nyeri di punggungnya, sejuta pertanyaan tak menemukan jawaban. Mengapa tiba-tiba bendoro yang dihormati dan dilindungi nama baiknya kemudian menghajarnya? Tangkil berusaha bangkit, tapi Adisoma menendangnya sehingga Tangkil kembali terpental. Ia mengaduh lagi. Tulang punggungnya serasa sudah remuk berkeping.
“Den Mas, ada apa ini?” rintihnya sambil berusaha duduk, menikmati nyeri di sekujur tubuhnya.
“Kamu masih berani bertanya? Penghianat busuk!”
Tangkil terpental lagi.
“Den Mas, saya bisa mati,” rintihnya.
“Mati saja kamu, siapa yang akan menangisi kamu?”
“Den Mas, apa salah saya?”
“Masih bertanya lagi? Tidak sadar apa yang membuat aku marah, membuat aku menghajarmu sampai tulang tuamu menjadi serpihan-serpihan tak berguna.”
“Saya tidak tahu apa yang telah membuat Den Mas marah. Katakan ada apa?”
”Bertanya lagi? Tidak merasa bersalah?” Adisoma menendangnya lagi.
“Hentikan!”
Teriakan itu melengking, memenuhi kebun di dekat taman, ketika tiba-tiba seorang wanita anggun keluar dari taman itu.
Adisoma menatapnya tajam. Sejak kapan istrinya berada di tempat itu?”
“Apakah Kangmas ingin membunuhnya?”
Adisoma terkejut. Bagaimana tiba-tiba Saraswati muncul di taman? Tadi ketika mbok Manis sedang membersihkan meja, ia curiga melihat den mas bergegas keluar, lalu di halaman depan berteriak-teriak memanggil Tangkil. Mbok Manis yang sedikit banyak mengetahui kebohongan den mas, diam-diam mengikutinya, lalu melihat wajah den mas penuh amarah. Sudah pasti amarah itu tertuju pada Tangkil. Den mas mengira Tangkil melaporkan kebohongan den mas kepada istrinya. Sudah pasti Tangkil dikira pelakunya. Mbok Manis merasakannya karena sikap kedua bendoro sudah lain dari biasa. Karena itu mbok Manis berlari ke kamar Saraswati, mengatakan kalau den mas akan memarahi Tangkil. Ketika Saraswati keluar dari taman, ia melihat sang suami bukan hanya memarahi tapi memukul dan menendang Tangkil, bahkan berkali-kali. Karenanya Saraswati berteriak untuk menghentikannya.
Adisoma menatap istrinya dengan wajah merah padam. Kepalang tanggung, jadi apa boleh buat, pikirnya.
“Mengapa Kangmas menghajar orang tak bersalah?”
Sesaat Adisoma tak bisa mengucapkan kata-kata.
“Aku hanya tak ingin ada orang luar mencampuri urusan kita. Apalagi berusaha merusak hubungan kita. Aku memecat Tangkil mulai hari ini juga,” kemarahan Adisoma tak terkendali.
“Tidak, aku ijinkan Tangkil tetap bekerja di sini.”
“Kamu berani menentang aku, Diajeng?”
“Mbok Manis, bawa Tangkil ke dapur, obati luka-lukanya. Pipiskan beras kencur kalau ada yang memar,” perintahnya kemudian kepada mbok Manis, yang sebenarnya ada di tempat itu tapi tak berani menampakkan diri.
Mendengar titah Saraswati, mbok Manis segera mendekati Tangkil, yang masih meringis menahan sakit, lalu membantunya berdiri, diajaknya ke dapur.
“Kamu menentangku, Saraswati?”
Saraswati tahu, ketika sang suami memanggil namanya, berarti dia sedang marah. Dengan senyuman tipis Saraswati menatap sang suami.
“Apakah karena Kangmas berkuasa maka Kangmas boleh bertindak sewenang-wenang?”
“Manusia busuk itu telah mengkhianati aku, berusaha merusak hubungan kita, dan kamu mempercayainya. Itu sebabnya aku marah sekali padanya,” masih berapi-api ketika Adisoma berkata sambil menuding ke arah mana Tangkil dibawa mbok Manis.
“Mengapa Kangmas menyebutnya manusia busuk? Menyebutnya merusak hubungan kita?”
“Bukankah sikap anehmu itu karena ocehan si mulut lancang itu? Kamu mempercayainya tanpa menanyakan kebenarannya?”
“Apakah ketika Kangmas menghajar Tangkil juga bertanya pada dia tentang kebenaran tuduhan Kangmas itu?"
“Aku tidak perlu bertanya dan itu memang benar adanya, mengapa kamu membelanya Saraswati?”
“Saraswati hanya membela yang benar. Tangkil tidak bersalah, Kangmas yang bersalah.”
“Oh ya? Ocehan Tangkil itu kamu percayai lalu kamu membelanya?”
“Menurut Kangmas Tangkil mengatakan apa pada saya?”
“Aku tidak perlu mengulang kata-kata bohong yang diucapkan bedebah itu.”
“Padahal Tangkil tidak mengatakan apapun pada saya.”
“Buktinya kamu bersikap aneh, seakan marah pada saya. Kalau bukan karena Tangkil yang mengadu, siapa lagi? Mbok Manis tahu apa?”
“Kalau Kangmas tahu siapa yang telah membuat saya marah pada Kangmas apakah Kangmas juga akan menghajar orang itu?”
“Tentu saja, aku akan menghajarnya sampai lumat menjadi debu.”
“Baiklah, Kangmas harus membuktikannya.”
“Siapa orang itu? Pengkhianat busuk perusak rumah tanggaku itu?” Adisoma kembali berteriak.
“Dengar baik-baik. Sinuhun yang mengatakannya.”
“Apa?”
Saraswati mengulaskan senyuman mengejek. Ia melihat suaminya terbelalak menatapnya, seperti tak percaya mendengar apa yang dikatakannya.
“Sinuhun yang mengatakannya. Aku mau melihat, bagaimana Kangmas akan menghajarnya sampai lumat menjadi debu.”
“Sinuhun mengatakan apa? Kamu kan tahu, Sinuhun suka bercanda?”
“Sinuhun tidak akan mengajak aku bercanda. Tapi dari Sunuhun aku tahu bahwa Kangmas tidak sedang mengerjakan atau mengawasi apapun. Intinya, Kangmas telah membohongi saya selama berbulan-bulan,” kata Saraswati kemudian membalikkan tubuhnya lalu masuk ke dalam melalui taman.
Adisoma mengejarnya, lalu memegangi lengannya, tapi dengan sengit ia menepiskan tangannya.
“Jangan begitu Diajeng, ayo kita bicara.”
“Tak ada yang harus dibicarakan, kecuali ceraikan aku.”
“Diajeng, tidak baik perempuan menantang cerai. Pamali.”
“Kalau laki-laki membohongi istri? Bolehkah?”
Saraswati mempercepat langkahnya. Adisoma terpaksa berhenti, lalu melotot ke arah beberapa abdi yang menatapnya, membuat mereka kemudian berhamburan menjauh.
***
Tangkil meringis kesakitan ketika mbok Manis menggosok lengannya yang terkilir dengan minyak urut.
“Aku heran, aku tuh salah apa, coba Mbok? Tahu-tahu dihajar sampai seperti ini.”
“Kamu dituduh mengadu pada den ayu tentang apa yang dilakukan den mas.”
“Aku mengadu apa? Omong saja tidak pernah kecuali ditanya.”
“Memang den mas telah salah sangka. Dikira kamu mengadu.”
“Mengadu tentang apa? Tentang kelakuan den mas itu? Mana mungkin aku berani.”
“Denmas hanya mengira kamu yang melakukannya.”
“Sebenarnya siapa? Simbok ya?”
“Tidak. Aku juga mana berani melakukannya?”
“Lalu siapa? Apa ada orang lain yang mengetahui semua itu?”
“Sinuhun.”
“Aaah, ya. Aku baru ingat. Tadi ketemu Sinuhun kan? Tapi aku tidak mendengar apa yang Sinuhun bicarakan. Bukankah aku meminggirkan kereta agak jauh begitu melihat rombongan Sinuhun? Jadi den ayu mengetahui kebohongan suaminya dari Sinuhun?”
“Iya.”
“Tuhan menunjukkan kuasaNya. Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya terjatuh juga. Sepandai-pandai menyimpan bangkai, akhirnya berbau juga.”
“Kamu benar.”
“Lalu bagaimana selanjutnya ya Mbok? Terjadi keributan pasti, di dalam.”
“Entahlah. Aku juga sedih memikirkannya.”
***
Tapi tak terdengar suara ribut, teriakan marah, ataupun ada barang yang terlempar seperti pada umumnya kalau suami istri lagi marahan. Saraswati seorang istri yang lembut hati. Ia utarakan apa yang ada di dalam hatinya, dengan tanpa berteriak atau luapan amarah. Ia juga tak ingin menangis dihadapan sang suami. Ketika ia sedang kembali duduk di dalam kamarnya, tiba-tiba Adisoma yang beberapa saat lamanya tidak muncul, tiba-tiba muncul dengan membawa sekotak perhiasan berbungkus beludru merah maroon.
“Diajeng, tadi aku mampir ke toko perhiasan di Secoyudan, membeli ini untuk Diajeng. Lihatlah, pasti Diajeng suka,” katanya sambil meletakkan kotak perhiasan itu di pangkuan sang istri.
Tapi Saraswati mengangkat kotak itu dan dikembalikannya kepada Adisoma tanpa membukanya terlebih dulu.
“Diajeng, buka dulu. Kamu pasti suka.”
“Tidak, perhiasanku masih banyak, terkadang bingung mau memakai yang mana. Berikan saja pada perempuan yang Kangmas sukai.”
Adisoma menerima kotak itu kembali dengan perasaan kesal. Perhiasan itu tadi ingin diberikannya pada Arum, Arum menolaknya. Sekarang ketika diberikan kepada sang istri, dia juga menolaknya. Sejak kapan wanita tidak menyukai perhiasan?
“Susah-susah aku membelinya, demi cintaku pada Diajeng, tapi Diajeng menolaknya?”
“Janganlah bicara tentang cinta. Di sini sudah tidak ada cinta,” kata Saraswati sambil berpindah tempat duduk, menjauhi Adisoma.
“Siapa bilang tak ada cinta? Aku sangat mencintai Diajeng.”
“Ketika cinta sudah ternoda, maka cinta itu tak lagi bernama cinta. Jangan membujukku lagi. Kembalikan aku ke tempat di mana Kangmas mengambilku.”
“Diajeng, jangan begitu.”
“Kangmas tidak mendengarnya? Aku sudah mengatakan bahwa aku meminta cerai. Aku tak ingin mengulanginya, aku mau pulang.”
”Diajeng. Aku memang bersalah, aku minta maaf. Tapi jangan pergi meninggalkan aku.”
“Kangmas tidak usah merayu lagi. Baiklah, aku maafkan perbuatan Kangmas, tapi aku tak bisa melupakan kebohongan itu.”
“Aku sudah minta maaf.”
“Sudah aku maafkan.”
“Diajeng, aku akan memberi tahu tentang perempuan itu.”
“Tidak. Aku tidak mau tahu, tidak mau mendengarnya,” kata Saraswati sambil keluar dari kamarnya.
Adisoma terpaku di tempatnya berdiri. Tidak disangka, wanita lemah lembut yang sangat dicintainya itu sangat keras hati. Alangkah susah mengendapkan kemarahannya. Tapi tidak, Adisoma tak ingin melepaskan istrinya. Walaupun ada Arum yang telah memberikan satu orang anak dan satu lagi masih di dalam kandungan, tapi dia tetap mencintai Saraswati. Jangan sampai ia kehilangan. Karena itulah dikejarnya sang istri yang berjalan cepat ke arah keputren, dimana dulu Dewi tinggal.
“Saraswati, tunggu sebentar, dengarkan aku mengatakan sesuatu.”
Tapi Saraswati sudah masuk ke dalam kamar, lalu menguncinya dari dalam.
Adisoma ngeloyor pergi dengan lunglai. Ketika berjalan kembali ke dalam, ia melihat Tangkil, yang kemudian dilambaikannya tangannya. Walaupun hatinya masih kesal dan luka diwajahnya masih terasa perih, Tangkil tergopoh mendekatinya.
“Wajahmu sangat buruk. Nyaris seperti Bagong dalam pewayangan. Mbok Manis mengobati dengan apa?”
“Iya, Den Mas,” hanya itu jawaban Tangkil.
“Tapi aku minta maaf,” kata Adisoma sambil melangkah pergi.
Tangkil menatap punggung sang bendoro, kemudian kembali ke kamarnya. Dicarinya cermin untuk melihat seperti apa wajahnya, sehingga Adisoma mengatakannya seperti Bagong.
“Ya ampuun, simbok memoles wajahku dengan ramuan beras kencur. Memang benar seperti Bagong. Tapi memangnya kenapa den mas harus memanggil yang hanya akan mengejekku? Masih bagus keluar kata-kata maaf, setelah membuat tubuhku sakit semua dan wajahku menjadi seperti Bagong,” gumam Tangkil sambil merebahkan tubuhnya di ranjang. Ia merasa perlu untuk beristirahat, seperti anjuran mbok Manis ketika menyudahi pengobatan atas dirinya.
***
Hari itu Adisoma duduk di pringgitan kraton seorang diri. Hari sudah sore. Ia membawa kekecewaan hatinya dengan masuk ke dalam kraton, dan merenung di sana. Ia ingin berterus terang kepada Saraswati tentang Arum yang sudah melahirkan Aryo, dan bayi yang sedang di kandungnya, tapi Saraswati tak hendak mendengarnya. Rupanya ia tak peduli dengan siapa dirinya berhubungan.
“Mengapa kamu sendirian di sini?”
Suara itu mengejutkannya. Adisoma mengangkat wajahnya dan melihat Sinuhun sedang berdiri menatapnya.
Adisoma menghaturkan sembah, lalu menundukkan wajahnya.
“Kamu menangisi kemarahan istri kamu? Atau kamu datang kemari hendak memarahi aku karena telah mengatakan kepada istrimu bahwa kamu berbohong?”
”Hamba tidak berani,” Adisoma kembali menyembah.
“Dia mengatakan bahwa kamu sedang mengerjakan atau mengawasi sebuah perbaikan bangunan. Aku jawab bahwa tidak ada perbaikan. Aku katakan juga secara samar, bahwa kebohongan seorang laki-laki pasti karena menyembunyikan perempuan lain. Itu benar bukan?”
“Iya, Sinuhun.”
“Kamu seorang laki-laki. Takut pada kemarahan istrimu? Kamu tidak tahu bagaimana cara menundukkan perempuan? Beri dia sesuatu yang menarik. Perempuan suka perhiasan, suka uang yang banyak, bukankah begitu?”
Adisoma ingin menjawab, bahwa itu sudah dilakukannya dan Saraswati sama sekali tidak tertarik. Tapi dia mendiamkannya saja. Ia tak ingin berdebat dengan Sinuhun tentang apa yang diutarakannya.
“Ya sudah, berhentilah menangisi perempuan. Kamu sudah berbuat, harus bisa menemukan jalan untuk keluar dari masalah,” kata Sinuhun yang kemudian pergi meninggalkannya. Adisoma mengangkat sembah sampai Sinuhun hilang di balik pringgitan. Adisoma juga segera berdiri, bermaksud pulang.
***
Mbok Manis terkejut, melihat Saraswati mengemasi barang-barang ke dalam sebuah koper yang terbuat dari kulit.
“Den Ayu, apa yang akan Den Ayu lakukan?”
“Aku mau pulang ke Jogya, kerumah ibundaku.”
“Den Ayu, apa Den Ayu sudah memikirkannya masak-masak? Lagipula Den Ayu akan sendirian di sana, setelah keng rama dan keng ibu wafat.”
“Tidak apa-apa. Rumah itu masih ada, barangkali aku akan menghabiskan hidupku di sana.”
“Den Ayu, saya ingin mengatakan sesuatu. Wanita yang menjadi selir keng raka, saya sudah tahu.”
“Tapi saya tidak ingin tahu.”
“Bagaimana kalau wanita itu adalah Arum?”
Saraswati terbelalak.
***
Besok lagi ya.
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah tayang lebih awal dari biasanya.. maturnuwun Bu Tien 🙏
ReplyDeleteSami2 pak Djodhi
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Cintaku Jauh Di Pulau Seberang sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 24 " sampun tayang, Semoga bu Tien dan Pak Tom beserta amancu selalu sehat, segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
🍁🍂🍁🍂🍁🍂🍁🍂
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
Cerbung CJDPS_24
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, tetap
smangats berkarya &
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai 💐🦋
🍁🍂🍁🍂🍁🍂🍁🍂
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai
Matur nuwun Bunda Tien, semoga Bunda bersama P Tom selalu sehat aamiin YR'A
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yulian
Terima kasih Mbu Tien....
ReplyDeleteSami2 pak Zimi
DeleteLama nggak muncul
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 24 "sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Hatur nuhun bunda cerbungnya🙏slmt mlm dan slm sehat sll unk bunda dan bpk🙏🥰💞🌹
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga bunda dan pak Tom Widayat sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Alhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ... in Syaa Alloh Sehat Sehat Sehat Aamiin❤️🌹🌹🌹🌹🌹
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Susi
SUGENG DALU IBU TIEN KUMALASARI MUGI2 TANSAH PINARINGAN SEHAT , SALAM KAGEM KOKO PRABU
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Bambang
Di enteni neng Babar Layar kok trima ora nyusul lho.
DeleteBacut nglipus
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah sing mbalesi nganggo kilat khusus, cepet banget
ReplyDeleteJelas no
DeleteSugeng dalu Mbakyu.
ReplyDeleteSemoga Mas Tom Widayat tetap sehat dan juga seluruh keluarga di Babar Layar 30.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Yowa
Alhamdulillah... Maaf lamban mengikuti, hehe.. Sehat selalu mbakyu...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Kun
Alhamdulillah, maturnuwun Bu Tien 🙏cerbungnya terbit lancar, mugiyo Bu Tien sekel tetap sehat bahagia, semangat menulis ya bu,kami akn selalu mengikuti..
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Tatik
DeleteMatur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 Mas MERa
DeleteTerima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 24...sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin
Rumah tangga nya Adisoma kocar kacir, Arum minta di cerai, Saraswati minta cerai, piye iki...😁😁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu tetap sehat wal'afiat dan Pak Tom semakin sehat....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni