CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 18
(Tien Kumalasari)
Satria tentu saja terkejut. Bagaimana bisa, kehilangan seorang putri tanpa tahu di mana dia berada, lalu tiba-tiba punya istri baru?
“Tapi saya bisa maklum Satria, barangkali karena den ajeng Dewi pergi, den ayunya tidak mau lagi melayani suami, sehingga sang suami lari ke mana-mana,” kata Sinah yang sesungguhnya ingin mencari obrolan yang membuat Satria tertarik. Dan tampaknya Satria memang tertarik. Bukan karena Satria suka bergosip, tapi karena Satria ingat pesan Dewi yang ingin mengetahui keadaan keluarganya. Pasti Dewi akan sedih mendengarnya.
“Bagaimana menurutmu, Satria? Apa kamu sependapat denganku? Sebagai laki-laki kamu pasti bisa mengerti kalau sampai den mas Adisoma melakukan itu.”
“Tidak semua laki-laki begitu,” katanya.
“Bagus sekali. Semoga kamu tidak seperti mereka yang tidak setia pada rumah tanggamu.”
“Apakah istri baru den mas itu tinggal serumah?” tanya Satria.
“Sepertinya tidak. Simbok tidak melihat ada perempuan asing di sana. Jadi perempuan itu entah dibelikan rumah atau apa, lalu tinggal terpisah dengan madunya.”
“Bagus sekali, kalian ngobrol saja di depan, aku buatkan minum dan cemilan sukun goreng ya,” tiba-tiba kata bu Karti.
“Tidak usah Bu, saya mau keluar sebentar.”
“Lhoh, baru saja pulang kok malah pergi keluar, bukannya ngobrol-ngobrol cerita pengalaman kamu?”
“Tadi kan sudah, sama bapak, sama Ibu juga. Saya mau ketemu teman.”
“Aku ikut ya?” lagi-lagi Sinah tak tahu malu.
“Iya, ajaklah nak Sinah, temanmu kan teman nak Sinah juga?” kata sang ibu yang begitu bersemangat mendekatkan anaknya dengan Sinah.
“Bukan teman SMA kok, pamit dulu ya Bu,” kata Satria sambil mencium tangan sang ibu.
“Biarpun nggak kenal kan nggak apa-apa kalau aku ikut?” Sinah nekat.
“Tidak usah. Aku pulang malam.”
“Tidak apa-apa sampai malam,” Sinah terus mengikuti.
“Jangan. Maaf Sinah,” kata Satria tanpa menatap Sinah, langsung mengambil motor di samping rumah.
Sinah membanting kakinya, kesal.
“Sabar ya Nak, Satria kalau sudah begitu, susah memaksanya. Tapi lama-lama dia akan tahu bahwa nak Sinah gadis yang baik dan pantas untuk dia.”
“Iya Bu, saya bertahan menunggu hanya karena Ibu,” kata Sinah sambil masuk ke rumah.
“Bagus sekali Nak, cinta memang harus diperjuangkan,” kata bu Karti sok tahu.
***
Padahal di dalam kamarnya, lagi-lagi dia mendapat omelan suaminya gara-gara selalu ingin mendekatkan Sinah dengan Satria.
“Bapak itu tidak usah ikut-ikutan, nanti kalau nak Sinah mendengar, dia bisa sakit hati lhoh.”
“Memangnya kenapa kalau dia mendengar? Sebagai seorang gadis, seharusnya dia tahu kalau tidak disukai di rumah ini.”
“Mengapa Bapak berkata begitu? Dia di sini sangat membantu pekerjaan ibu. Biarpun tidak terlalu sering, tapi ibu kan terkadang mendapat pesanan. Itu bisa menambah uang belanja kita. Kalau tidak ada nak Sinah, repot sekali kan?”
“Apa tidak bisa minta tolong orang lain? Tetangga kita banyak, biasanya juga begitu kan?”
“Kalau orang lain ... ibu harus membayar, sedangkan nak Sinah itu gratis, tidak minta bayaran.”
“Ternyata hanya ingin gratisan lalu mengorbankan anakmu?”
“Kebangetan Bapak itu. Mana ada seorang ibu mengorbankan anaknya?”
“Sudah jelas Satria tidak suka, apa Ibu mau memaksanya?”
“Lama-lama juga pasti suka,” kata bu Karti sambil keluar dari kamar. Ia lupa menutup pintu belakang, dan setelah melihatnya, ternyata pintu itu telah tertutup. Berarti Sinah yang melakukannya. Bukankah aku sangat terbantu dengan adanya Sinah? Kata batin bu Karti.
Lalu ia melihat ke depan, dilihatnya Satria tidur di kursi panjang, sepertinya sangat lelah. Mau bagaimana lagi, ia tak mungkin meminta Satria tidur sekamar dengan Sinah. Lalu bu Karti mengambil selimut, diselimutkannya di tubuh Satria, lalu ia kembali masuk ke kamarnya.
Tapi tak lama kemudian Sinah keluar dan menghampiri Satria, menyentuhnya pelan. Ia membawa bantal, karena melihat Satria tidur tanpa bantal.
“Satria, tidurlah di kamar, biar aku saja yang tidur di sini.”
Satria hanya menggeliat, lalu tidur miring, memunggungi Sinah yang berdiri di sampingnya.
“Satria, bangunlah, tidur di kamar saja, biar aku yang di sini.”
“Mengapa kamu paksa dia? Dia itu tahu tentang tatanan, nggak mungkin mau tidur di kamar sementara membiarkan kamu tidur di kursi,” tiba-tiba pak Sawal muncul, menegur Sinah yang berkali-kali membangunkan Satria tapi tidak digubris.
Sinah menoleh, menatap pak Sawal yang kemudian langsung membalikkan tubuhnya. Sinah sudah tahu kalau pak Sawal kurang senang terhadap dirinya. Ia memandangi lagi Satria yang bergeming walau sudah diguncang tubuhnya, lalu ia kembali membawa bantalnya ke dalam kamar.
“Sabaaar, sabaaaar. Bukankah bu Karti bilang bahwa aku harus sabar? Lama-lama juga pasti ia jatuh cinta sama aku ketika melihat kesetiaan dan ketulusanku,” gumamnya sambil merebahkan tubuhnya di ranjang.
***
Bukan tanpa sebab ketika tadi Satria keluar rumah. Ia ingin segera menelpon Dewi dan mengabarkan keadaan keluarganya. Tapi ternyata sore sampai malam ia tak berhasil menghubungi. Barangkali karena di sana tidak ada sinyal karena hujan atau apa. Memang sering terjadi seperti itu. Maklum, Dewi tidak tinggal di tengah kota, tapi di sebuah pedesaan yang jauh dari keramaian.
Jadi Satria harus bersabar untuk kembali menghubunginya besok pagi. Tapi sesungguhnya dia ragu. Berita yang akan disampaikan jelas bukan berita yang menyenangkan. Apakah berita itu tidak akan mengganggu aktifitasnya setiap hari? Tapi kalau ia tidak mengatakannya, apakah tidak dipersalahkan sementara dia mengetahui keadaan tidak menyenangkan itu?
Pagi hari itu bu Karti masak dibantu Sinah, yang sangat bersemangat membantu di dapur, agar Satria melihatnya dan tahu bahwa dia wanita yang rajin dan tidak mengecewakan.
Hari itu hari libur, sehingga pak Sawal bisa berbincang dengan Satria lebih lama.
“Sebenarnya apa pekerjaan kamu di samping kuliah Sat? Apa pekerjaan itu tidak mengganggu kuliah kamu?”
“Tidak Pak, saya bisa membagi waktu. Bapak tidak usah khawatir. Pekerjaan Satria hanya pekerjaan sampingan.”
“Pekerjaan apa itu?”
“Apa saja Pak.”
“Kantoran? Mana mungkin kantoran bisa untuk sampingan sambil kuliah?”
“Tidak, hanya berdagang.”
“Berdagang? Dagang apa?”
“Membantu teman. Dagang apa saja. Kadang-kadang juga harus mengirim barang.”
“Hati-hati dalam bekerja, dan jangan melupakan tugas utama kamu, yaitu kuliah. Jangan sampai kamu gagal.”
“Bapak jangan khawatir, Satria tahu apa yang harus Satria lakukan.”
“Sebenarnya bapak kan punya cadangan uang untuk kuliah kamu. Bukankah bapak menjual sawah yang hanya sepetak itu memang untuk membiayai kuliah kamu? Dan ternyata kamu tidak banyak mempergunakannya karena mendapat bea siswa. Jadi uangnya tidak berkurang banyak. Kalau butuh apa-apa, bilang pada bapak, jangan sungkan.”
“Iya, pasti Pak. Tapi sejauh ini Satria masih bisa mencukupi kebutuhan Satria sendiri.”
“Kamu kan butuh uang untuk kost dan makan sehari-hari?”
“Benar, tapi Satria masih bisa mencukupi. Nanti kalau kurang barulah Satria minta pada Bapak.”
“Baiklah, aku percaya kamu bisa mengatasi semuanya.”
“Kalau uangnya tidak terpakai, besok-besok untuk menikahkan Satria saja, kan Pak?” tiba-tiba bu Karti muncul.
Pak Sawal menatap istrinya tak suka. Pasti tujuannya satu, ke arah Sinah, karenanya dia menjawab dengan wajah tak suka.
“Satria belum memikirkan menikah. Dia harus menyelesaikan sekolah dan bekerja untuk masa depannya.”
“Nanti sore Satria mau kembali ke Jogya. Liburnya hanya hari ini,” sambung Satria mengalihkan pembicaraan sang ibu.
“Nak Sinah sedang membuat rendang, supaya bisa kamu bawa nanti. Bisa untuk dua hari, kalau habis makan dipanasi.”
“Tidak usah Bu, tidak usah membawakan apa-apa untuk Satria. Satria jarang makan di kost-kost an.”
“Sekali-sekali merasakan masakan nak Sinah, dia itu pintar sekali masak lhoh.”
“Dia tidak mau, jangan dipaksa,” sergah pak Sawal.
“Ya sudah, ayo sekarang makan saja dulu, semua sudah disiapkan,” akhirnya kata bu Karti yang kecewa dengan tanggapan keduanya tentang masakan Sinah yang dibanggakannya.
Tak urung akhirnya pak Sawal dan Satria mengikuti ajakan bu Karti untuk makan siang, walau merasa risih karena bu Karti terus-terusan memuji masakan Sinah.
***
Saraswati sedang duduk santai di ruang tengah, ditemani mbok Manis yang selalu menatap bendoronya dengan perasaan iba. Pengkhianatan Adisoma membuatnya lebih perhatian kepada Saraswati yang sama sekali tidak mengetahui perbuatan sang suami. Siang hari itu mbok Manis memijit-mijit kaki Saraswati dengan lembut.
“Mbok, apa kamu tidak ingin beristirahat, dari tadi menemani aku di sini?”
“Tidak apa-apa Den Ayu, di sini saya kan juga hanya duduk dan tidak mengerjakan apa-apa.”
“Kamu memijit-mijit kakiku terus. Nanti kecapekan.”
“Tidak, kan hanya memijit. Apa pijitan saya tidak membuat Den Ayu nyaman?”
“Sangat nyaman. Aku itu memang tidak betah sakit, kamu kalau memijit sangat lembut, aku jadi mengantuk.”
“Kalau begitu Den Ayu tiduran saja di kamar, sambil saya pijit kakinya.”
“Jangan Mbok, kamu sudah bekerja dari pagi. Biar orang lain saja yang melakukannya.”
“Biar saya saja Den Ayu. Nanti kalau orang lain, memijitnya terlalu keras, Den Ayu bisa kesakitan.”
“Mbok, akhir-akhir ini perhatian kamu pada aku kok kelihatan berbeda.”
“Berbeda bagaimana Den Ayu?”
“Kamu lebih perhatian. Lebih sering menemani aku, mengajak aku ngobrol tentang banyak hal.”
“Benarkah? Saya tidak merasa begitu. Saya melayani Den Ayu seperti biasa.”
“Menurutku ini berlebihan. Kamu seperti memanjakan aku.”
Mbok Manis tertawa. Barangkali dulunya dia berwajah manis karenanya orang menyebutnya mbok Manis. Tapi manisnya sudah hilang semenjak gigi depannya tinggal sebuah. Walau begitu tawanya membuat orang-orang suka karena mbok Manis memiliki senyum dan tawa yang tulus.
“Den Ayu ini ada-ada saja.”
“Sebenarnya aku sedang menunggu kangmas. Mengapa siang ini tidak pulang lagi?”
“Barangkali … den mas sedang banyak pekerjaan.”
“Pekerjaan di kraton?”
“Pastinya Den Ayu,” kata mbok Manis yang tiba-tiba kehilangan senyumnya. Ingatan para Arum yang hamil dan pastinya sedang bersuka cita dengan Adisoma, sehingga sang den mas melupakan istrinya, membuatnya sangat sedih.
“Aku kasihan pada kang mas. Banyak sekali tugas keraton yang harus ditangani olehnya. Kalau kebetulan sedang tidur di rumah, aku menatap wajahnya dan merasa sangat kasihan. Dia kelihatan sangat lelah.”
Mbok Manis ingin meneteskan air mata. Cinta yang begitu tulus, ditaburi racun yang pahit dan berbisa. Pengkhianatan yang begitu menyakitkan, dibalas dengan cinta kasih yang lembut dan indah.
“Mengapa kamu menangis Mbok?”
Mbok Manis terkejut. Saraswati melihat air matanya. Apa yang harus dijawabnya?
“Saya tidak merasa, kalau menangis,” katanya sambil mengusap air matanya.
“Pasti kamu juga merasa iba mengetahui kalau kang mas sangat lelah. Ya kan?”
Mbok Manis mengangguk pilu.
“Ya sudah Mbok, mau bagaimana lagi. Aku justru senang karena kangmas dipercaya untuk menangani banyak hal.”
Ketika keluar dari keputren, mbok Manis tak bisa menahan air matanya yang semakin membanjir.
***
Sebentar lagi Satria mau kembali ke Jogja, ia mencoba untuk menghubungi Dewi kembali. Satria senang karena kemudian tersambung. Ia keluar dari rumah, berdiri di halaman dan berbincang dengan Dewi. Tapi tanpa diduga Sinah menjenguk dari pintu depan, dan mendengar Satria sedang menyapa Dewi.
“Dewi, sejak kemarin aku menghubungi kamu. Senang sekali sekarang bisa tersambung."
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah walau agak terlambat CJDPS_18 sdh tayang.....
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien salam sehat selalu.
Sami2 mas Kakek
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 18 "
ReplyDeleteπ·πΉ πππSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin π€²π€²π€²π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien.
Sehat SEHAT SEHAT❤️πΉπΉπΉπΉπΉ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Susi
Matur nuwun Bu Tien. Mugi Ibu & keluargi pinaringan sehat.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Sis
Alhamdulillah... Maturnuwun Bu Tien. Salam sehat selaluππΌπ©·
ReplyDeleteSami2 ibu Atiek
DeleteSalam sehat juga
Matur nuwun. Sehat selalu , Bu Tien. Demikian juga untuk pak Tom
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Anik
Tks Mbak Tien ,teman2 jg mengucapkan banyak terima kasih yg ditunggu2 akhirnya muncul.Salam seroja dr Neni Tegal dkk .
ReplyDeleteSami2 ibu Neni
DeleteApakabar ?
Lama nggak muncul
Alhamdulillah, yg ditunggu tunggu tlah tiba.
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien.
Salam sehat dari mBantul
Sami2 pak Bam"s
DeleteSalam sehat dari Solo
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien. Semoga bu Tien sll sehat dan pak Tom juga segera sehat dan pulih kembali. Salam hangat dan aduhai aduhai bun π€©π€©❤️❤️
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia dari Yk....
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteSalam sehat dari Solo
Matur suwun bu Tien.
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah CJDPS ~18 hadir juga malam ini.. maturnuwun Bu Tien πππ
ReplyDeleteSami2 pak Djodhi
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Cintaku Jauh Di Pulau Seberang sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteπΈππΈππΈππΈπ
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ
Cerbung CJDPS_18
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, tetap
smangats berkarya &
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai ππ¦
πΈππΈππΈππΈπ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai
Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 18...sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin
Weleh...weleh...Satria teledor...Sinah nguping pembicaraan nya dengan Dewi.
Sinah jadi kelihatan sifat asli nya nih...ππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Cerita yang luar biasa...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 Mas MERa
DeleteSelamat pagii bunda Tien..terima ksih cerbungnya ..smf bunda dan bpk sll sehat dan dlm lindungan Allah swt..aamiin yraππ«’ππΉ
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Farida
Assalamu'alaikum
ReplyDeleteEyang Tien ..dalem penggemar cerbung eyang ...sll mengikuti ...tp kadang2 agak kecewa ...eyang sering memaksa cerita berakhir klo sdh episode sekitar 40..ngapunten eyang ..sehat2 selalu..
Wa'alaikumussalam Latifah.
DeleteSaya nggak maksa tuh. Memang harus begitu. Kelihatan buruk kah?
Btw terima kasih perhatiannya.
Terimakasih Bu Tien, cerita bersambung yg selalu bikin penasaran pembaca tentang kisah selanjutnya.... Cukup menghibur
ReplyDeleteAlhamdulillaah,matur nuwun Bu Tien,baru bisa baca lg
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat, in syaa Allaah Pak Tom Widayat semakin membaik & sehat wal'afiat juga, Aamiin
Penasaran dg Sinah bgm setelah mendengar itu