Saturday, May 24, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 19

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  19

(Tien Kumalasari)

 

Sinah terpana. Apa yang didengarnya sungguh membuatnya bertanya-tanya. Ia mendengar Satria menyebut nama Dewi. Apakah maksudnya den ajeng Dewi?

Satria yang sadar bahwa sedang diawasi, kemudian berjalan keluar dari halaman.

“Kemarin menelpon aku kan?”

“Iya, sore sampai malam, tidak tersambung.”

“Seharian aku sedang mengurus perijinan untuk mendirikan sekolah di desa aku, lalu aku kecapekan, hujan deras semalam, dan tidak mendengar kamu menelpon.”

“Ah, syukurlah kalau tidak apa-apa. Bagaimana tentang perijinan itu?”

“Aku banyak dibantu oleh para pengajar di sana, semoga tahun ini keinginan untuk mendirikan sekolah bisa terwujud. Kalau bisa gratis untuk keluarga yang tidak mampu.”

“Senang sekali mendengarnya. Kamu hebat, Den Ajeng,” goda Satria.

“Kamu jangan meledekku. Sekarang tidak ada den ajeng. Aku adalah Dewi, gadis biasa yang punya segudang cita-cita. Mbok Randu juga tidak aku ijinkan memanggilku dengan sebutan itu. Aku adalah neng Dewi. Semua orang juga memanggilku begitu.”

Satria tertawa.

“Kamu sedang apa?”

“Aku sedang di rumah, setahun lebih tidak pulang. Ini juga karena meluangkan waktu. Tapi nanti aku kembali ke Jogya. Bekerja dan kuliah.”

“Kamu juga hebat.”

“Terima kasih, gadis yang luar biasa.”

“Sat, sebenarnya aku kangen pada kanjeng ibu. Kalau urusan ini selesai, aku ingin pulang walau sebentar.”

“Oh ya? Cepatlah, aku juga ingin bertemu kamu.”

“Tunggu waktu, kalau ini selesai, aku pasti pulang. Bagaimana kabar kedua orang tuaku? Kamu sudah mendapat beritanya?”

Satria terdiam. Ia ingin mengatakannya, tapi kemudian diurungkannya, mengingat Dewi sudah ada rencana untuk pulang. Lebih baik dia mengetahuinya sendiri.

“Sat, kamu masih di situ?”

“Oh, eh … iya, maaf.”

“Sambil melamun?”

“Tidak … tidak, aku sedang membayangkan bagaimana kalau kamu kembali, betapa akan senangnya aku.”

“Iya, aku juga bisa membayangkan kegembiraan itu, dan kebahagiaan bertemu kanjeng rama dan kanjeng ibu.”

“Apakah kamu akan pulang seterusnya?”

“Tidak, aku harus kembali untuk melihat perkembangannya. Kalau sudah berjalan baik, barulah aku pulang, lalu melanjutkan kuliah.”

“Kamu tetap masih ingin kuliah?”

“Tentu. Itu keinginanku juga sejak lama. Tapi aku juga tidak ingin tinggal di rumah orang tuaku juga.”

“Bagaimana kalau ketika kamu pulang, lalu kamu dilarang untuk pergi lagi?”

“Tak ada lagi yang bisa memaksaku. Apapun aku tidak harus selalu menjadi putri yang dijunjung tinggi. Aku gadis biasa, yang sudah lepas dari sangkar yang mengikatku selama bertahun-tahun.”

“Bagus sekali, aku akan selalu mendukungmu. Cita-cita luhur kamu sangat membuatku terkagum-kagum.”

“Satria!!” sebuah teriakan terdengar.

“Itu suara siapa? Ibumu? Bukan, sepertinya.”

“Aku kan sudah pernah bilang kalau Sinah sekarang tinggal bersama keluargaku.”

“Oh yaa, tampaknya dia sangat berharap bisa menjadi jodohmu.”

Satria tertawa.

“Tidak, jodohku jauh di pulau seberang.”

Lalu keduanya terkekeh.

“Satria!” suara itu semakin mendekat.

“Sudah dulu ya, nanti setelah sampai di Jogya aku akan menelpon kamu lagi,” kata Satria yang buru-buru menutup ponselnya.

“Satria, kamu menelpon siapa? Aku seperti mendengar kamu menyebut nama Dewi,” kata Sinah.

Satria menoleh, dilihatnya Sinah mendekatinya sampai keluar dari halaman.

“Mengapa kamu kemari?” tegur Satria kesal tanpa menjawab pertanyaannya.

“Ibu mencarimu. Bekal yang akan dibawakan sudah siap.”

“Aku sudah bilang tidak akan membawa apa-apa dari rumah,” omelnya sambil masuk ke rumah.

“Sat, bawalah ini semua,” kata bu Karti sambil membawa keranjang berisi makanan.

“Tidak usah Bu, saya kan sudah bilang bahwa tak akan membawa apa-apa dari rumah. Nanti malah tidak kemakan.”

“Kan sudah dimasak susah-susah oleh Sinah.”

“Untuk makan di sini saja, Satria tidak biasa makan di rumah,” kata Satria memberi alasan, tapi sebenarnya dia tak ingin membawa makanan itu karena ada label ‘Sinah’ yang selalu diucapkan sang ibu.

“Jangan dipaksa, nanti malah terbuang, sayang jadinya,” kata sang ayah membela anaknya.

Satria langsung masuk ke dalam, mengambil tas kecil berisi beberapa lembar pakaiannya.

“Kamu sudah siap untuk pulang?”

“Jangan sampai kemalaman di jalan, apalagi masih sering hujan kalau sore.”

“Baiklah, hati-hati ya Nak.”

Satria mencium tangan ayah dan ibunya untuk berpamit, lalu menyalami Sinah yang ingin mencium tangannya, tapi dikibaskannya.

Sinah merengut, lalu bu Karti menepuk-nepuk pundaknya.

***

Mbok Randu meladeni Dewi di sore hari itu, dengan menyajikan secangkir kopi panas. Lalu dia duduk didepan Dewi. Dewi melarang mbok Randu bersikap seperti abdi saat di istana kecil ayahnya, jadi mbok Randu menurut saja apa yang menjadi kemauannya.

“Saya bukan seorang putri, saya gadis dusun seperti yang ada di sekeliling kita, dan kamu adalah simbokku. Jadi bersikaplah seperti seorang ibu kepada anaknya,” itulah yang selalu diucapkan Dewi.

“Diminum, Neng, keburu dingin.”

“Ini rebusan apa Mbok?”

“Itu kalau di Jawa namanya gembili, sebangsa umbi-umbian.”

“Aku belum pernah memakannya.”

“Tadi di pasar simbok melihatnya, lalu membeli sebungkus, coba Neng rasain.”

Dewi meraih umbi rebus itu, mengupas kulitnya, lalu menggigit dagingnya yang gurih dan kesat.

“Enak,” katanya sambil  mengunyah dengan nikmat.

“Tadi Neng menelpon Satria?”

“Iya, kemarin menelpon sampai malam aku tidak mendengarnya. Lagian semalam hujan deras, tak ada sinyal.”

“Tadi saya mendengar Neng mau pulang?”

“Ya, setelah urusanku selesai, dan ijin-ijin didapatkan.”

“Bagaimana kalau keng rama atau keng ibu tidak mengijinkan Neng kembali kesini?”

“Aku bukan anak kecil, tentu aku tetap akan kembali kemari.”

“Apakah Neng akan selamanya tinggal di sini?”

“Kalau sekolah-sekolah itu sudah berdiri, aku akan kembali dan meneruskan sekolah aku.”

“Semua hal yang dilarang oleh keng rama.”

“Aku punya sesuatu untuk melanjutkan keinginanku. Kamu senang kan, pulang ke kampung halaman?”

“Kemanapun Neng pergi, simbok pasti senang mengikuti.”

“Syukurlah, kamu memang simbokku,” kata Dewi sambil menghabiskan gembili yang dimakannya.

Mbok Randu tersenyum penuh haru. Tak disangka, puteri ningrat yang terbiasa mukti di rumah, sekarang memilih menjadi gadis biasa, melepaskan gelar kebangsawanan yang harus disandangnya, lalu rela mengorbankan seluruh hartanya demi memajukan desa di mana dia tinggal.

***

Arum sedang menunggui Aryo yang sedang bermain-main di box anak-anak yang dibelikan Adisoma. Setiap hari ia merasa hidupnya penuh penyesalan. Hidup berkecukupan yang melingkupinya, tak membuatnya bahagia. Rasa bersalah selalu menghantuinya. Ia selalu merasa telah mengkhianati kebaikan hati Saraswati selama dirinya mengabdi.

“Semuanya serba tak terduga. Tiba-tiba aku terdampar di rumah yang penuh kemuliaan itu, mengabdi, lalu anakku diangkat anak dan dijadikan keluarga ningrat," 

Lalu  bendoro yang menguasai istana kecil itu ternyata laki-laki yang menghamilinya. Rasa cinta yang semula dipendamnya, tiba-tiba berubah menjadi kebencian setelah menerima perlakukan Adisoma yang menjadikannya pemuas  nafsu. Lalu dia hamil, dan tanpa terduga ketemu lagi dengan dia. Biarpun dia menyesal dan bertanggung jawab, tapi tak membuat hidupnya bahagia. Hari-hari yang dilaluinya adalah hari yang dirundung duka. Dimana letak bahagia, ketika laki-laki yang menikahinya telah membuat dirinya mengkhianati kebaikan orang lain.

“Apakah den ayu Saraswati mengetahui semua ini? Den mas Adisoma sering berada di sini, apa tidak membuatnya curiga? Bagaimana kalau dia tahu bahwa aku sudah menjadi istri suaminya?”

“Lagi melamunkan apa?” tiba-tiba Adisoma sudah berada di dekatnya, lalu membuka box tempat Aryo bermain, kemudian menggendongnya.

Aryo tertawa-tawa ketika Adisoma mengangkatnya tinggi-tinggi. Alangkah bahagianya Aryo yang merasa dimanjakan oleh ayahnya. Tapi tahukah dia apa yang sebenarnya dilakukan sang ayah? Sang ayah yang telah mengkhianati ibu angkatnya?

“Mengapa kamu selalu murung?”

“Tidak apa-apa,” jawabnya singkat.

“Kalau kamu menginginkan sesuatu, katakan saja.”

“Aku tidak menginginkan apapun. Aku hanya ingin, kamu tidak terlalu sering datang kemari.”

“Apa maksudmu? Disini ada istri dan anak-anakku.”

“Kamu sering meninggalkan den ayu, lama-lama dia akan tahu tentang semua ini.”

“Tidak apa-apa kalau pada suatu hari dia tahu.”

“Aku merasa berdosa.”

“Kamu tidak bersalah. Kamu sedang mengandung anakku.”

“Aku tidak ingin semua ini berlanjut.”

“Maksudnya?”

“Setelah anakku lahir, ceraikan aku.”

“Arum? Mengapa kamu mengatakan itu? Kamu akan membiarkan anak-anakmu hidup tanpa ayah di dekatnya?”

“Jangan membuatku merasa berdosa.”

“Biarlah aku yang berdosa, bukan kamu.”

“Aku tak bisa menghilangkan beban dosa itu.”

“Kamu hidup berkecukupan, apa yang kurang pada dirimu?”

“Harta bukan sesuatu yang akan membuat aku bahagia. Rasa berdosa itu justru membuatku sengsara.”

“Baiklah, barangkali saat ini pikiranmu sedang kacau. Aku mau pulang dulu, endapkan pikiranmu dan pilih jalan terbaik. Jangan memikirkan dirimu, tapi pikirkan anak-anakmu,” kata Adisoma sambil menurunkan kembali Aryo ke dalam box.

Adisoma pergi dengan perasaan kacau. Dia terlanjur benar-benar mencintai Arum, dan menyayangi Aryo, apalagi bayi yang sedang dikandung Arum. Semua itu adalah tanggung jawabnya. Mana mungkin dia akan menceraikan Arum setelah anaknya lahir?

Tapi tak lama kemudian Adisoma kembali.

“Bukankah nanti sore saatnya kamu kontrol ke dokter kandungan?”

“Aku bisa berangkat sendiri, bersama pembantu.”

“Jangan keras kepala. Ini masih musim hujan, kalau sore sudah dipastikan hujan turun. Aku akan kembali nanti untuk mengantarmu.”

Arum tak menjawab. Ia membiarkan suaminya pergi tanpa banyak berkata-kata lagi.

***

Siang itu mbok Manis sedang duduk menemani Saraswati setelah makan siang. Saraswati tampak tak berselera. Dia makan hanya sedikit. Mbok Manis mengingatkannya, tapi Saraswati tak ingin makan lebih banyak lagi.

“Mengapa Den Ayu makan hanya sedikit? Den Ayu sedang memikirkan apa?” tanya mbok Manis yang sesungguhnya sedang menebak-nebak, jangan-jangan Saraswati sudah mencium adanya perselingkuhan suaminya.

“Sedang memikirkan mimpiku semalam, Mbok.”

Mbok Manis merasa lega. Ternyata bukan memikirkan perselingkuhan itu.

“Memangnya Den Ayu bermimpi tentang apa?”

“Aku bermimpi ketemu Dewi. Sudah setahun lebih dia pergi. Semalam dia datang dan memelukku. Dia bilang kangen sama aku,” kata Saraswati dengan wajah sedih.

“Kalau den ajeng Dewi kangan sama Den Ayu, itu wajar. Karena Den Ayu adalah ibundanya, yang telah melahirkannya.”

“Aku juga kangen sekali Mbok. Apakah Dewi sama sekali tidak memikirkan aku?”

“Adanya Den Ayu bermimpi itu, pasti karena den ajeng memang benar-benar kangen sama ibundanya.”

“Kapan Dewi akan pulang ya Mbok?”

Tiba-tiba seorang abdi yang berjaga di depan datang menghadap.

“Mohon maaf Den Ayu, di depan ada tamu ingin bertemu,” kata abdi itu.

“Siapa?”

“Utusan dari keraton.”

“Oh, ada apa? Bukankah kangmas ada di sana?”

“Saya tidak tahu Den Ayu.”

“Baiklah, aku akan keluar menemuinya.”

Dengan tergopoh Saraswati menuju ke arah depan, diikuti mbok Manis.

Seorang lagi-laki sedang duduk menunggu di kursi pendopo. Dia anak buah Adisoma.

“Selamat siang, Den Ayu.”

“Selamat siang. Apakah kamu diutus oleh suamiku?”

Utusan itu tampak heran.

“Bukan Den Ayu, saya datang kemari karena mendapat perintah untuk menanyakan, mengapa den mas Adisoma lama sekali tidak menghadap ke keraton.”

Saraswati terkejut bukan alang kepalang.

***

Besok lagi ya.

49 comments:

  1. Alhamdulillah....
    CeJeDePeeS_19 sudah hadir, walau rada telat.
    Kita maklum kesibukan Bu Tien akhir2 ini.

    Semoga Pa Widayat cepat diangkat rasa sakitnya. Demikian juga Bu Tien diberikan kesehatan yang prima. Aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Maturnuwun mas Kakek

      Delete
  2. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda semoga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Maturnuwun ibu Endah
      Aduhai hai hai

      Delete
  3. Alhamdulillah, buka malit.
    Matur nwn bu Tien, salam sehat dari mBantul

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun, Bu Tien. Sugeng malming. Semoga Bu Tien dan pak Tom selalu dikaruniai kesehatan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Maturnuwun ibu Anik

      Delete
  5. Matur nuwun Mbak Tien sayang..salam sehat selalu.

    ReplyDelete
  6. 🌷🍀🌷🍀🌷🍀🌷🍀
    Alhamdulillah 🙏 💐
    Cerbung CJDPS_19
    telah hadir.
    Matur nuwun sanget.
    Semoga Bu Tien & kelg
    sehat terus, banyak berkah
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam seroja🦋🌸
    🌷🍀🌷🍀🌷🍀🌷🍀

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Maturnuwun ibu Sari
      Aduhai

      Delete
  7. matur nuwun Bu Tien, barokalloh .. semoga selalu sehat aamiin YR'A

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Maturnuwun ibu Yulian

      Delete
  8. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 19 " sampun tayang, Semoga bu Tien selalu sehat dan Pak Tom bertambah sehat, bertambah segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲

    Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Maturnuwun ibu Sri
      Aduhai 2x

      Delete
  9. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 19 "
    🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin 🤲🤲🤲🙏

    ReplyDelete
  10. Matur nuwun bu Tien, selamat berakhir pekan dg keluarga tercinta....

    ReplyDelete
  11. Matur nuwun mbak Tien-ku Cintaku Jauh Di Pulau Seberang sudah tayang

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillaah tayang dan di baca.
    Sebentar lagi ada perang....ketahuan mencurigakan.
    Makasih Bunda sehat selalu bersama bapa dan keluarga

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  14. Matur nwun Bu Tien, CJDPS ep 19 telah terbit, untuk hiburan dirumah yg menyenangkan, semoga Bu Tien sehat bahagia, tetap lanjut menulis episode berikutnya....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Maturnuwun ibu Tatik

      Delete
  15. Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 19...sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin

    Adisoma lebih baik berterus terang saja ya, agar tdk menjadi beban nya Saraswati dan Arum. Agar Saraswati maklum krn sdh tdk mau melayani suami nya, tuh akibat nya...😁😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Maturnuwun pak Munthoni

      Delete
  16. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda dan pak Tom selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Maturnuwun ibu Salamah

      Delete
  17. Alhamdulillaah Cintaku Jauh Di Pulau Seberang-19 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, sem9ga sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiin🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Maturnuwun ibu Ting

      Delete
  18. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Maturnuwun ibu Engkas

    ReplyDelete
  19. Adisoma ketahuan bohongnya ...
    Berbohong itu tidak mudah, karena harus bohong lagi untuk menutupi bohong selanjutnya...

    ReplyDelete
  20. Terima kasih, ibu Tien. Semoga sehat selalu...🙏🏻🙏🏻🙏🏻

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Maturnuwun ibu Nana

      Delete
  21. Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu sekeluarga, selamat berlibur....

    ReplyDelete
  22. Terimakasih Bu Tien.... Tetap semangat... Kalau bisa sekali sekali bikin kisah cinta para manula atau pensiunan.... Pasti menarik

    ReplyDelete
  23. Hatur nuhun bunda cerbungnya..salam sht sll unk bunda dan bpk🙏🥰🌹💞

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰💖

    Dewi seperti RA Kartini atau Bu Dewi pejuang wanita
    Mantab 👍❤️, lanjut

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 42

CINTAKU JAUH Di PULAU SEBERANG  42 (Tien Kumalasari)   Arum terkejut, sekaligus tersipu. Ia melihat Listyo turun dari mobil dan menghampirin...