ADA MAKNA 38
(Tien Kumalasari}
Wahyu kembali mendekati Reihan sambil melotot, sementara Reihan hanya tersenyum simpul.
“Kamu bilang apa?”
“Tadi, aku melihat mbak Tia jalan dengan seorang anak muda ganteng, terkadang tangannya saling menggenggam. Mesra deh.”
Wajah Wahyu tiba-tiba muram.
“Buat berita yang bagus dan bermutu,” katanya sambil membalikkan tubuhnya, membuat Reihan tersenyum lebar.
“Katanya nggak suka, tapi kok seperti cemburu begitu?” gumam Reihan. Untunglah Wahyu tak mendengarnya, kalau saja sampai mendengar, barangkali kepala Reihan akan kena jitak sampai benjol.
“Hm, ketahuan … nggak mungkin nggak suka pada mbak Tia, baru mendengar berita mbak Tia jalan sama anak muda lain saja seperti kebakaran jenggot begitu,” gumamnya sambil meletakkan tas punggungnya dan bersiap ganti pakaian. Hari ini agak lumayan. Penghasilan dari usaha penjualan online serasa membaik, jadi bisa mengurangi beban biaya yang harus keluar dari bunga bank yang setiap kali diambil.
Hanya saja setiap memegang uang, pikirannya terus melayang ke arah sang ibu yang entah di mana keberadaannya. Sang ibu yang karena marah kemudian meninggalkan mereka berdua begitu saja.
“Apa salah, aku dan mas Wahyu merahasiakan tentang pembayaran uang kas itu? Habisnya kan kami khawatir, kalau ibu tahu aku punya uang, lalu ibu berbuat macam-macam.”
“Nah, sekarang kamu yang melamun,” kata Wahyu yang tiba-tiba muncul.
“Beda yang dilamunin, aku kan masih kecil, tidak mungkin melamun tentang cinta seperti mas Wahyu.”
“Ngawur, siapa yang melamun tentang cinta?”
“Baiklah, terkadang orang itu susah mengakui perasaannya. Eit, jangan marah dong. Mas tahu aku tadi sedang memikirkan apa?”
“Mana aku tahu? Memangnya aku ini ahli nujum?”
“Setiap kali aku mendapatkan uang, aku selalu teringat ibu. Kemana ya kira-kira ibu pergi?”
Wahyu duduk lalu menuang air putih ke dalam gelas, dari teko di atas meja yang ada di kamar itu. Ia juga merasa sedih setiap kali teringat akan ibunya.
“Entah ke mana ibu pergi. Uang penjualan rumah itu pasti tidak sedikit. Semoga ibu mempergunakannya untuk sesuatu yang bermanfaat, dan tidak menghambur-hamburkannya untuk hal yang tidak perlu, apalagi berjudi.”
“Semoga setelah lepas dari penjara, kemudian ibu sadar.”
“Aamiin.”
“Ya sudah kamu mandi sana dan beristirahat.”
“Baiklah, mas ingin melanjutkan acara melamunnya?”ledek Reihan.
“Pergi sanaaa,” kata Wahyu sambil mendorong punggung adiknya, yang melangkah pergi sambil terkekeh. Tapi bahwa kemudian Wahyu kembali melamun, itu benar adanya. Melamun tentang laki-laki yang menggandeng Tia. Siapa? Ternyata Tia punya pacar? Kenapa bohong dengan mengatakan tidak punya? Lalu Wahyu heran kepada dirinya sendiri. Mengapa dia harus memikirkannya kalau memang tak suka? Lalu terngiang apa yang dikatakan Reihan, bahwa dia suka Emma karena wajahnya mirip Emmi yang sudah menjadi nyonya dokter Dian? Entahlah. Lalu Wahyu membaringkan tubuhnya di ranjang, menutupi wajahnya dengan bantal, takut Reihan datang dan tahu kalau dia sedang melamun.
***
Tak urung rasa penasaran Wahyu yang selalu mengganggu itu segera disampaikannya kepada Tia, saat mereka makan siang bersama
“Kemarin habis ngantor pergi jalan-jalan ya?” tanya Wahyu begitu duduk, bahkan Tia sedang menulis pesanan makan mereka.
“Kok tahu? Lagi jalan juga?”
Perasaan Wahyu mulai terasa tidak nyaman. Berarti apa yang dikatakan Reihan itu benar, karena Tia tidak menolaknya.
“Kemana saja?” tanya Wahyu lagi yang tak ingin menjawab pertanyaan Tia.
“Itu, pengin cari buku bacaan, sambil beli cemilan, di rumah kehabisan cemilan, soalnya aku tuh suka ngemil. Untung tubuhku tidak gemuk ya?”
Wahyu tak menjawab. Ia mengulurkan kertas berisi pesanan kepada pelayan yang menunggunya, yang semula dipegang Tia.
“Kirain mau nambah pesanan.”
“Sudah cukup.”
“Memangnya kemarin kamu juga keluar jalan-jalan?”
“Nggak, eh … iya, sebentar,” bohong Wahyu.
“Melihat aku di mana?”
“Di jalan.” jawab Wahyu tanpa ingin mengatakan bahwa yang melihatnya adalah Reihan.
“Iya, jalan mana?”
“Kelihatannya asyik ya, jalan berduaan, nggak capek seharian bekerja masih jalan-jalan juga,” akhirnya Wahyu tak tahan untuk tidak mengatakannya, dengan lagi-lagi mengabaikan pertanyaan Tia karena sesungguhnya ia tak tahu di jalan mana Reihan melihat mereka. Waktu itu mau bertanya pada Reihan, tapi sungkan. Pasti Reihan akan meledeknya kalau dia melakukannya.
Tia terkekeh.
“Aku tuh kalau tidak karena Feri yang merengek mengajak jalan, juga ogah. Dia butuh buku kuliahan, aku butuh buku bacaan.”
“Feri?” Wahyu lupa-lupa ingat ketika mendengar nama itu. Sepertinya Tia pernah menyebutkan namanya.
“Kamu nggak ingat Feri? Dia adikku yang nomor dua. Dia kuliah di Jogya, baru kemarin pulang.”
Lalu kepala Wahyu serasa diguyur dengan seember air sedingin es. Darah yang semula nyaris mendidih karena ‘cemburu’ tiba-tiba surut dan berganti sengan sebuah senyuman yang tersungging di bibirnya.
“Adikmu ya?”
“Iya, kamu pikir dia siapa? Memang sih, kalau kami jalan bersama sering dikira pacaran. Badannya tegap tinggi besar.”
“Membuat aku cemburu saja,” tiba-tiba kata itu meluncur begitu saja dari mulut Wahyu.
“Kamu cemburu?”
“Eh, apa?”
“Kamu bilang, bahwa kamu cemburu. Bercanda atau serius?”
“Eh, maaf ya .. nggak sadar aku mengatakan itu.”
Tia tersenyum, tapi diam-diam hatinya berdebar. Kata yang diucapkan secara tidak sadar, pastinya memang itulah yang sebenarnya dirasakannya. Dan terlontar tanpa disadarinya.
Senyuman Tia membuat Wahyu kemudian tersipu malu. Ia merasa telah membuka ‘aib’nya sendiri.
“Maaf.”
“Wahyu, mengapa kamu harus meminta maaf? Kamu tidak bersalah. Mengungkapkan isi hati itu tidak salah. Mengapa harus meminta maaf?”
“Aku minta maaf, karena merasa tidak pantas mengatakannya.”
“Mengapa tidak pantas?” tanya Tia sambil mencecap es kopyor pesanan yang baru saja dihidangkan.
“Aku harus tahu diri Tia,” kata Wahyu yang kemudian ikut mencecap minuman yang dipesannya.
“Maksud tahu diri itu apa? Karena kedudukan aku lebih tinggi dari kamu?”
“Aku masih mengingat apa yang pernah dilakukan ibuku pada keluargamu. Aku juga sadar bahwa ibuku keluaran dari penjara. Itu sebabnya aku tak pernah berani melakukan apapun.”
“Selamanya akan begitu?”
“Entahlah.”
“Wahyu, apa sebenarnya kamu menyukai aku?” tanpa sungkan Tia langsung mengatakannya. Semuanya tidak akan selesai kalau hanya saling menduga tanpa tahu isi hati masing-masing. Apalagi Wahyu merasa rendah karena banyak hal yang membuatnya sungkan.
“Aku hanya tak berani.”
“Pertanyaannya bukan itu. Aku menanyakan perasaan kamu.”
Wahyu terdiam. Pertanyaannya apakah dirinya suka, tapi jawabnya tidak berani. Aneh juga. Wahyu merasa dirinya bodoh.
“Tia, aku seorang laki-laki, tapi tak berani mengungkapkan perasaan aku, karena aku merasa bahwa setitik kesalahan akan membuat noda yang berkepanjangan. Tapi baiklah, aku akan berterus terang, aku memang menyukai kamu, ingin menjadikanmu istriku, tapi_”
“Stop. Tanpa tapi.”
Wahyu terdiam.
“Aku sudah tua Wahyu, bahkan ayahku mengatakan bahwa aku ini sudah menjadi perawan tua. Aku tahu bahwa tidak mudah menemukan pasangan yang sesuai dengan harapan kita. Tapi aku melihat kamu laki-laki yang baik. Aku ingin mengatakan, bahwa aku juga suka sama kamu.”
Wahyu urung menyendok makanannya. Ia menatap gadis cantik di depannya, tak berkedip. Tia adalah gadis yang tegas, dan juga tegar. Ia seperti menjadi tulang punggung keluarga, bertanggung jawab kepada keempat adiknya, bukan hanya di pendidikan sekolahnya, tapi juga pendidikan bagi manusia baik pada umumnya. Ia juga mengelola uang yang diberikan ayahnya, sehingga bisa mencukupi semuanya. Karena itu ia biasa bicara ceplas-ceplos dan tak ragu pada apa yang sudah diputuskannya.
“Apa itu benar?”
Tia mengangguk. Lalu mereka sibuk menyendok makanan pesanan mereka, melupakan pembicaraan serius itu untuk sementara.
“Apakah pak Suryawan mau menerima aku yang adalah anak dari seorang pesakitan?”
“Aku juga tidak tahu. Kalau kamu ingin tahu, temuilah beliau. Apa kamu berani?”
“Kalau kamu mau menerima aku, aku akan menemui ayahmu. Apapun jawabannya nanti, aku akan siap menerimanya. Tapi aku harus yakin bahwa kamu mau menerima aku dengan segala kekurangan yang aku miliki. Ditambah lagi, aku ini miskin, dan masih punya tanggungan seorang adik yang masih kuliah.”
“Aku sudah tahu. Aku juga banyak tanggungan. Kita bisa memikulnya bersama-sama.”
Keduanya saling pandang dengan perasaan yang sulit digambarkan. Suka, senang, bahagia?
Sebuah pembicaraan tentang cinta dan lamar melamar yang aneh. Begitu tiba-tiba, begitu saling mengungkapkan kata, lalu kesepakatan melamar sudah dipastikan.
***
Reihan terpekik heran ketika sang kakak mengatakan bahwa akan melamar Tia secepatnya.
“Melamar? Itu serius kan?”
“Kamu kira aku main-main?”
“Bagaimana dengan anak muda ganteng yang aku lihat bergandengan tangan dengan mbak Tia?”
Wahyu tertawa.
“Mas tidak cemburu? Mas tidak khawatir mbak Tia ternyata mendua?”
“Itu bukan pacarnya.”
“Dia bohong kan?
“Anak muda itu Feri, adiknya.”
“Oh, adiknya? Syukurlah kalau begitu.”
“Aku baru tahu dia punya adik yang sudah cukup dewasa.”
“Tadinya Mas marah-marah pada mbak Tia?”
“Mengapa marah-marah?”
“Iyalah, namanya orang cemburu pasti hatinya panas.”
“Ngawur kamu. Tia belum menjadi pacar aku. Masa aku lalu marah-marah?”
“Maksudnya?”
“Baru siang tadi jadiannya.”
“Haaa, luar biasa, jadian langsung mau melamar?”
Wahyu hanya tertawa, tak peduli ledekan Reihan yang mengatakan bahwa tadinya suka Emma, sekarang ganti Tia.
“Dugaanku benar, mas sukanya sama mbak Tia, bukan mbak Emma yang karena wajahnya mirip mbak Emmi,” omelnya yang sama sekali tak digubris oleh sang kakak.
***
Sore hari itu sepulang kuliah, Reihan berdiri di tepi jalan, menunggu bis kota yang biasa ditumpanginya.
Tiba-tiba sebuah sepeda motor dihentikan tepat di depannya.
“Rei, menunggu siapa?”
“Biasalah, menunggu bis kota.”
“Ayuk naik motor saja, tapi kamu yang boncengin aku.”
“Nggak usah mbak, aku sudah biasa naik bis.”
“Kamu itu susah ya, kalau diberi tahu? Ayo sini, ini perintah kakakmu,” canda Emma.
Reihan terpaksa menurut.
“Jalurnya susah, nanti akan sampai di rumah mbak Emma dulu, dari sana tetap saja aku harus cari angkutan umum kan?”
“Tidak, aku antar kamu saja dulu.”
“Itu jalannya mutar. Kasihan mbak Emma.”
“Tidak apa-apa, kan naik motor? Kalau aku jalan kaki, kamu boleh merasa kasihan sama aku.”
“Wah, itu bisnya datang.”
“Jangan Rei, aku sebenarnya ingin ke rumah kost kamu. Masa rumah kost adiknya sampai aku tuh nggak tahu.”
“Rumah kost kecil, sederhana. Bikin malu saja.”
“Kenapa malu?”
“Nanti aku dimarahi mas Wahyu kalau merepotkan mbak Emma.”
“Nanti aku marahin mas Wahyu kalau dia marahin kamu.”
Reihan terkekeh.
“Memangnya mbak Emma berani marah sama mas Wahyu.”
“Mengapa harus takut? Ayuk, cepatlah, panas, tahu!”
“Iya sih, memang panas. Nanti mampir beli es kelapa muda ya.”
Tak urung Reihan mengikuti kemauan Emma yang nekat ingin main ke rumah kostnya.
***
“Rei, yang mengajak kita makan-makan bersama mas Wahyu itu rekan kerjanya kan?”
“Iya. Mereka sekantor.”
“Kirain pacarnya.”
“Memangnya kenapa kalau pacarnya?”
“Nggak apa-apa, cuma nanya aja.”
Reihan agak kahawatir, ada nada tertarik dari Emma yang ditujukan kepada kakaknya. Benarkah? Kata batinnya.
***
Begitu sampai di depan rumah kost Reihan, Reihan menghentikan motornya, karena melihat Wahyu berjalan dari arah kantor.
“Kok mas Wahyu jalan kaki?” tanya Emma heran.
“Kantornya dekat, hanya sepuluh menit jalan kaki dari rumah kost.”
“Rei, kok kamu diantar Emma?” tegur Wahyu.
“Dia yang maksa kok.”
“Pengin lihat rumah kostnya Reihan saja.”
“Kasihan, rumahmu jauh dari sini kan?”
“Kalau kasihan, nanti pulangnya mas Wahyu antar ya,” kata Emma enteng.
“Apa?”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih Bunda .... semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Tutus
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
Delete💐☘️💐☘️💐☘️💐☘️
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏 💞
Cerbung ADA MAKNA_38
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien & kelg
sehat terus, banyak berkah
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam seroja🦋🌸
💐☘️💐☘️💐☘️💐☘️
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Suwun Bu Tien Ada Makna 38 nya, ….🤝🙏 Mugi Ibu tansah Rahayu ingkang tinemu, Pak Tom enggal Dhangan kados wingi uni
ReplyDeleteAlfathehah …..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun Mbah Wi
Terima kasih bu Tien ... AM ke 38 sdh tayang ...
ReplyDeleteSemoga pak Tom cepat sembuh & sehat wal'afiat kembali , begitu juga bu Tien smg sehat selalu ... Salam Aduhai .
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Enny
Alhandulillah dah tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun Bunda Tien,tetap sehat n semangat.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Isti
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Ada Makna 38" sampun tayang, Semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Matur nuwun mbak Tien-ku Ada Makna sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " ADA MAKNA 38 "
ReplyDelete🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin 🤲🤲🤲🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 jeng Susi
DeleteAlhamdulillah ADA MAKNA~38 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
ReplyDeleteSemoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin YRA 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda dan pak Tom selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *ADA
MAKNA 38* sdh hadir...
Semoga sehat dan . bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillah, ADA MAKNA (AM),38 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Ada makna 38 sudah tayang
Semoga bunda sehat walafiat 🙏🙏🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Alhamdulillah, mks bun AM 38 sdh tayang....selamat malam, ......smg bunda dan kelrg selalu sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Supriyati
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu tetap sehat wal'afiat dan Bapak Tom segera membaik kesehatannya....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillaah, AM 38 hadir, bikin Wahyu bingung 😁, bikin penasaran yg baca 😂🤭
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat ya , Allaah Subhaanahu wata'ala selalu melindungi , Aamiin 🙏,🤗🥰💖
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Alhamdullilah..mksih bunda AM 38..salam sehat sll unk nunda 💪🥰❤️🌹
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam sehat juga
Kok Emma gitu sih? Bisa bikin hubungan Wahyu dan Tia terkena badai...
ReplyDeleteKalau tak bikin penasaran di akhir setiap episode, tak Mbak tien namanya...
Terimakasih Mbak Tien...
Sami2 Mas MERa
DeleteHé hé hé
ReplyDeleteReihan dan kakaknya;
Ada gelitik canda membuat rasa itu berayun entah mengapa, nah lho sudah terjelma keinginan berjuang memerdekakan diri setelah masing-masing menata adiknya agar bisa menapaki masa depan, tentu dan pasti sudah terlihat sesuai harapan.
Gantian kakak Reihan yang katanya saudara rumit Wahyu, Ema yang kadang beralasan apapun itu justru ingin melihat keadaan dan dimana tempat kost Reihan; ingin sekali tahu mas Wahyu, biasa alasan bersilaturahmi boleh donk.
Atau mungkin ingin melepas rindu, sebelum terlanjur hati membeku.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Ada Makna yang ke tiga puluh delapan sudah tayang.
Cèn wis hobi apapun nggak bisa dibendung, menyapa para readers.
Sehat sehat selalu doaku
Kembali sehat seperti semula u/ pak Tom.
Jaga juga kesehatan diri Bu Tien.
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
Amin
🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas crigis
Terimakasih bunda Tien, salam sehat sekeluarga dan aduhai selalu
ReplyDelete