ADA MAKNA 34
(Tien Kumalasari)
Bu Simah membersihkan kamar yang semula ditempati Guntur. Bukan apa-apa, hanya takut ada barang tertinggal yang mungkin milik dokter itu, dan berguna untuknya. Tapi tak ada apa-aoa yang tertinggal, kecuali tas hitam mirip koper yang terletak di luar pintu kamar. Tas yang harus diberikan kepada Reihan, putra sang dokter, ketika dia datang nanti.
Sambil terus menerus menyesali kepergian sang dokter, bu Simah menarik tas itu untuk dibawanya pulang. Beberapa hari lagi mungkin pemilik baru rumah itu akan datang, jadi tidak enak rasanya kalau tas itu masih teronggok di sana,
“Benar-benar meninggalkan tempat ini. Rasanya seperti mimpi,” gumamnya pilu.
Sebelum keluar dari rumah itu, ia menatap ke dalam, dimana ia sering melihat dokter Guntur duduk di ruang tengah sambil melamun, lalu ia datang mengejutkannya dengan membawa segelas wedang jahe hangat, yang disambut dengan senyuman olehnya. Tapi sungguh, tatapan yang menyimpan seribu duka itu tak pernah berhasil disembunyikannya, dari mata tua bu Simah.
Sekarang ruangan itu terasa lengang. Tak ada kehidupan di sana. Bu Simah segera menutup pintunya, lalu menarik tas yang berisi uang entah berapa banyaknya, menuju rumah.
Sudah dua hari Guntur meninggalkan rumah itu, dan bu Simah benar-benar merasa kehilangan.
Hari sudah siang ketika itu. Sedianya ia akan mengunduh nangka muda yang akan dibawanya ke pasar, tapi rasa malas menggayutinya. Ada beberapa butir masih tergantung, belum sempat diambilnya.
Bu Simah hanya duduk termangu di serambi rumah. Serambi yang sedianya akan dipakainya untuk ruang tunggu pasien seandainya Guntur mau praktek di rumahnya. Tapi ternyata Guntur menolaknya.
“Ke mana pak dokter pergi? Ia tak punya rumah, katanya juga tak punya saudara atau kerabat yang dekat dengannya,” gumam bu Simah sambil menyandarkan tubuh tuanya di tembok.
Tiba-tiba bu Simah melihat dua buah mobil berhenti di depan rumah Guntur, atau rumah yang tadinya milik Guntur.
Beberapa orang turun, ada yang pernah dikenal wajahnya walau tak begitu kenal orangnya karena melihat hanya sekilas. Tapi laki-laki muda tampan itu adalah anak Guntur, bu Simah mengingatnya. Hanya dia laki-laki muda yang pernah dilihatnya, bersama wanita cantik yang kata Guntur juga anaknya. Ada juga beberapa yang tidak dikenalnya. Mereka semua turun dari mobil, menuju ke arah rumah yang tertutup rapat. Bu Simah bergegas mendekati, dan dokter Dian menyapanya lebih dulu.
“Bu Simah, masih ingat saya?”
“Iya, tentu saja ingat. Ini kan dokter yang beberapa kali datang kemari ….”
“Dan selalu mendapat suguhan buah-buahan dari bu Simah kan?”
“Iya, hanya buah kebun dari kampung. Tapi maaf, ini kerabatnya pak dokter Guntur ya?”
“Ya, dan ini putra putrinya …”
Mereka saling mengenalkan diri, sebelum bertanya Guntur ada di mana. Lalu mereka terkejut mendengar kalau Guntur sudah tidak ada di rumah itu.
“Tidak ada?” kata mereka hampir bersamaan.
“Rumah ini sudah dijual. Sudah menjadi milik orang lain,” kata bu Simah dengan wajah sedih.
“Lalu … bapak pergi ke mana?” tanya Emmi.
“Silakan duduk dulu, Bapak Ibu, tidak enak bicara sambil berdiri. Masuklah ke rumah saya saja, karena ini sudah menjadi milik orang lain.
Maka setelah mereka duduk di rumah bu Simah dengan sedikit berdesakan karena bangkunya terbatas, bu Simah menceritakan perihal kepergian Guntur yang juga sangat membuatnya sedih.
“Apakah pak dokter tidak mengatakan kemana akan pergi?”
“Sama sekali tidak. Saya hanya dititipi …. sebentar, akan saya ambil,” kata bu Simah sambil masuk ke dalam kamarnya, lalu keluar dengan membawa tas hitam yang kemudian diletakkannya di meja.
“Ini, pak dokter berpesan agar diberikan kepada mas Reihan, putra pak dokter,” kata bu Simah sambil menatap Reihan yang sejak tadi diam dengan wajah kuyu. Ia ingat pada mimpinya, dan mimpi itu sekarang menjadi nyata. Ayahnya pergi entah kemana.
“Ini isinya apa Bu?” tanya Reihan.
“Saya sih tidak tahu persis karena tidak pernah berani membukanya. Tapi pak dokter bilang, ini uang hasil penjualan rumah, yang diberikan kepada mas Reihan untuk biaya kuliah. Begitu katanya.”
Semuanya terpana. Reihan juga terkejut.
“Tadinya saya heran, mengapa pak dokter menjual rumah itu, tapi pak dokter bilang, ia harus membiayai anak laki-lakinya yang ingin menjadi dokter. Saya menangis mendengarnya. Setelah itu saya juga menawarkan rumah saya, agar pak dokter berpraktek di sini. Lihat, kamar itu sudah saya bersihkan, biar pak dokter tidur di situ, lalu disebelahnya bisa untuk berpraktek. Dan di sini, bisa untuk ruang tunggu pasien. Tapi pak dokter memilih pergi,” kata bu Simah yang akhirnya juga terisak isak.
“Pak dokter sudah seperti anak saya,” sambungnya sambil mengusap air matanya.
“Bu, saya berterima kasih sekali karena Ibu sudah menjaga dan menemani saudara saya, dan menganggapnya seperti keluarga,” kata Ardi, satu-satunya orang yang masih mampu berkata-kata.
“Saya melakukannya karena pak dokter juga baik kepada saya. Jangan pikirkan nak, kalau senggang, mampirlah kemari, dan memetik buah-buah dikebun ini,” kata bu Simah sambil mengusap air matanya.
“Rei, coba buka isinya,” kata Emmi yang sudah kenal dekat dengan adik tirinya, setelah bisa menenangkan hatinya.
Reihan meraih tas itu, yang ternyata tidak terkunci kecuali ruisleting yang membuatnya tertutup. Ada sebuah kardus yang kemudian diambil Reihan, diletakkan di meja.
Kardus itu ditutup lak ban, yang kemudian dibukanya. Reihan terpana. Benar-benar uang. Dan sangat banyak. Ada sebuah amplop terletak di atas tumpukan uang itu, yang segera dibuka isinya.
Reihan membacanya, agak keras, agar bisa didengar oleh yang lain.
“Assalamu’alaikum, Reihan, anakku.
Kalau surat ini sudah ada di tanganmu, barangkali bapak sudah berada jauh dari sini. Bapak bukan melarikan diri, bukan pula bersembunyi. Bapak hanya ingin pergi jauh untuk menenangkan diri. Kamu atau siapapun, tak usah mencari. Anggap saja bapak sudah tak ada lagi di dunia ini. Bapak yang tak punya arti ini ingin melakukan sesuatu untuk kamu, Rei. Bapak yang gagal menjadikan anak-anak bapak karena ketidak mampuan, melalui kamu, bapak ingin punya makna. Bapak berikan yang bapak punya untuk kamu, jadilah orang seperti yang kamu inginkan. Buat bapakmu ini ada artinya dalam hidup kamu.
Selamat tinggal Rei, selamat berjuang dan meraih apa yang kamu cita-citakan. Tapi sebelum bapak akhiri surat ini, ada lagi satu yang ingin bapak sampaikan, bahwa bapak mencintai kalian. Emmi, Emma dan kamu, Reihan. Ada darah bapak mengalir di tubuh kalian, ada semangat dalam darah itu, jangan sampai terkubur walau bapakmu sudah tak ada lagi. Janganlah kepergian ini kalian tangisi, karena ada cinta bapak yang selalu ada pada kalian.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Dari bapak yang tak berharga.”
Air mata meleleh dari semua yang mendengar Reihan membaca surat itu, walau dengan suara bergetar, yang kemudian dengan lemas mendekap surat itu didadanya, lalu mengalir jugalah air matanya.
Sang ayah pergi, bukan meninggal, tapi anak-anak mereka merasa kehilangan. Di mana ayah Guntur berada?
Emmi, Emma dan Reihan berangkulan sambil menangis. Ardi dan Kinanti serta dokter Dian tak bisa menyembunyikan rasa haru dan sedihnya melihat keadaan mereka.
***
Dalam perjalanan pulang, Reihan yang semobil dengan Emmi dan Emma menyerahkan bungkusan uang itu kepada Emmi.
“Mbak, ini uang dari bapak, selayaknya mbak Emmi dan mbak Emma juga ikut memiliki. Aku tidak berani menerimanya.”
“Apa kamu bilang Rei, jelas-jelas uang itu untuk kamu, mana mungkin kamu berikan kepada kami?” kata Emmi.
“Tapi anak bapak ada tiga, bukan hanya aku.”
“Rei, ini uang untuk biaya kuliah kamu, bukan warisan. Jadi pakai saja untuk kamu. Kami tidak membutuhkannya, karena masalah kuliah aku, sudah ada bapak Ardi yang membiayainya, dan mbak Emmi sudah punya suami, jadi pakai saja uang itu untuk biaya kuliah kamu,” sambung Emma.
Reihan terdiam. Uang itu sangat banyak, ratusan juta rupiah.
“Reihan, depositokan saja uang itu, kamu bisa mempergunakan bunganya untuk keperluan kamu. Jangan memikirkan Emmi dan Emma, karena benar kata Emma tadi, uang itu bukan warisan tapi biaya kuliah kamu,” sambung dokter Dian.
“Bagus sekali usul mas Dian, depositokan saja. Tapi terserah kamu, mana yang terbaik. Barangkali mas Wahyu bisa mengajukan pendapatnya nanti, jadi bicarakan juga dengan mas Wahyu,” kata Emmi lagi.
Reihan terdiam. Sungguh uang itu bukan membuatnya bahagia, karena sang ayah pergi, sementara belum lama ia menemukannya. Tapi ia tahu, ada semangat dan harapan sang ayah terselip di setiap lembarnya.
“Dengan uang itu, kamu tahu seberapa besar harapan ayahmu agar kamu berhasil mencapai cita-cita kamu, jadi belajar sebaik mungkin. Siapa tahu pada suatu hari nanti kamu bisa ketemu ayahmu dan menunjukkan keberhasilan kamu. Bayangkanlah, betapa akan bangganya beliau,” kata dokter Dian memberi semangat.
“Tuh, Rei … semangat ya. Kita semua kehilangan, tapi kan sebenarnya bapak masih ada? Aku berharap pada suatu hari nanti bisa bertemu lagi, yang semoga bapak dalam keadaan baik-baik saja, sehat tak kurang suatu apa,” kata Emmi yang tentu saja sebenarnya juga merasa sedih. Suara lantang sang ayah ketika menikahkannya kembali terngiang. Suara yang tegas, dan menggema ke setiap sudut ruangan. Suara seorang ayah yang mengentaskan anak gadisnya ke dalam kehidupan berumah tangga. Begitu keras, begitu tandas, seakan seluruh kekuatannya ditumpahkan dalam momen itu, membuat hati semua yang mendengar ikut bergetar.
“Aamiin,” kata mereka bersama-sama menyambut doa dan harapan yang diucapkan Emmi.
***
Wahyu merasa terharu atas pengorbanan ayah Guntur yang rela pergi setelah menjual rumahnya.
“Ini pengorbanan bapak Rei, kamu harus menghargainya dengan mewujudkan apa yang menjadi harapannya,” kata Wahyu.
Reihan mengangguk.
“Besok aku antarkan kamu ke bank. Benar seperti usulan suami Emmi, sebaiknya didepositokan saja.”
“Baiklah Mas, jadi aku hanya akan mengambil bunganya saja untuk kebutuhan aku sendiri, terutama yang berhubungan dengan kuliah aku.”
“Ya sudah, sekarang istirahatlah, kamu pasti capek.”
“Benar kan Mas, seperti mimpiku kemarin itu, seperti sebuah firasat bukan?”
“Kamu masih mengingat mimpi itu lagi sih Rei, kebetulan saja mimpi itu berhubungan dengan kenyataannya, tapi anggap saja itu kebetulan. Mimpi itu bunga tidur, jangan pernah terusik oleh mimpi.”
“Iya.”
“Tidurlah, besok sebelum ke kantor aku antar kamu ke bank lagi saja. Kamu juga bisa membuka rekening baru untuk kamu pergunakan, yang dulu itu biarkan saja dibawa ibu, atau barangkali malah sudah habis dipergunakan entah apa,” kata Wahyu.
Tapi belum sempat keduanya membaringkan tubuhnya, ponsel Wahyu berdering.
“Dari ibu, mengapa malam-malam menelpon, padahal kemarin aku baru mengiriminya uang bulanan,” gumam Wahyu sambil membuka ponselnya.
“Wahyu… kamu sudah tidur?”
“Hampir tidur Bu.”
“Tolong ibu, Wahyu, ibu ada masalah besar.”
“Masalah apa Bu?”
“Aku memakai uang kas sekolah, minggu depan mau dipergunakan untuk perbaikan. Tolong Wahyu.”
“Mengapa ibu melakukannya? Apa ibu kekurangan uang? Gaji ibu dan kiriman dari Wahyu, apa tidak cukup?”
“Aku terlibat judi online, terpaksa memakai uang kas sekolah. Banyak Wahyu, seratus juta lebih.”
“Apa?”
"Tolonglah, kalau tidak bisa mengembalikan, ibu bisa masuk penjara."
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien.... Ada Makna eps 34 sudah ditayangkan.
Aku berdua selalu mendoakan semoga Bu Tien sekeluarga selalu sehat, bahagia dan sejahtera.
Aaamiin yaa Robbal'alamiin 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Matur nuwun mbak Tien-ku Ada Makna sudah tayang
ReplyDeleteMatur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Ada Makna 34" sampun tayang, Semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Astaga wanda ada ada aja terlibat judi on line ... jangan dibantu pake uang reihan ya ...biar aja masuk penjara
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Adhai 2x
Maturnuwun bu Tien, selamat beristirahat.. sehat selalu buuu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ratna
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriysnto
Delete💚🌵💚🌵💚🌵💚🌵
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏 💞
Cerbung ADA MAKNA_34
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien & kelg
sehat terus, banyak berkah
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam seroja💐🦋
💚🌵💚🌵💚🌵💚🌵
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Aduhai
Alhamdullilah AM 34 sdh hadir..terima ksih bundaqu 🙏slmt weekand bersm keluarga..tak lupa salam seroja dan aduhai sll unk bundaqu 🥰❤️🌹
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteCerbung ada makna sudah tayang
Terima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " ADA MAKNA 34 "
ReplyDelete🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Allaahh si Wanda ada ada saja kelakuannya... Jangan" uang Reihan tuk biaya kuliah d serahkan... Bunda jangan berikan uang Reihan biar Wanda di penjara...
ReplyDeleteEh ko sewot gemes aku, makasih Bu da
Sami2 ibu Engkas heheee
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *ADA
MAKNA 34* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Ya... biar masuk penjara, lebih baik dari pada mengganggu orang lain. Dasar Wanda si pembohong.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Terima kasih Bunda Tien... cerbung Ada Makna 34..sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Selamat berakhir pekan Bunda Tien.
Selamat ber musahabah diri ya Guntur, semoga engkau menemui kedamaian di sisa hidup mu.
Reihan...jaga amanah dari ayah mu Guntur, simpan uang itu, jangan sampai Wanda tahu.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun.pak Munthoni
Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ❤️🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillah, nwn bu Tien, salam sehat selalu 🤲
ReplyDeleteNuwun pak Bam's.
DeleteSalam sehat juga
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah ADA MAKNA~34 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
ReplyDeleteSemoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin YRA 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah...maturnuwun Bunda...semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Tutus
Tanya: kenapa wanda selalu bikin masalah?
ReplyDeleteJawab: wa....nda tau ya...
😁😁😁😁
Hehee.. kenapa yaa..jeng dokter
DeleteCeruta tak asyik...klu tak ada tokoh Antagonis
ReplyDeleteCerita
ReplyDeleteNggih.. pak Munthoni
DeleteAlhamdulillah, ADA MAKNA (AM),34 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Meskipun Wanda itu ibu mereka tapi uang itu tak boleh diberikan ke Wanda. Uang itu amanah dari ayahnya untuk menjadikan Guntur punya makna. Uang tetap harus disimpan di bank untuk biaya kuliah Reihan. Kecanduan judi tak ada obatnya selain di penjara. Setelah Reihan jadi dokter, maka Guntur akan mudah ditemukan dan jadi anteng, karena Reihan adalah anak Guntur bukan anak Ardi...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Asyiiik seneng komennya panjang.
DeleteSami2 Mas MERa
Walaah...Wanda selalu bikin masalah aja, masa ikutan judi online? Sudah ga punya duit, bahaya kalau dia tau tentang tabungan untuk kuliah Reihan.😰
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam sehat selalu.🙏🏻
Sami2 ibu Nana
DeleteSalam sehat juga
He he he..
DeleteKenapa Kejora Pagi tak terbit malam ini?
Oh, hari Minggu ya?...
Matur nuwun Bu Tien, ealah....Wanda ikut judi online. Biar sj dipenjara Bu hehe. Selamat berakhir pekan dg keluarga tercinta Bu, semoga semuanya sehat wal'afiat....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillah 🙏
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Umi
DeleteSuper
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *ADA
MAKNA 35* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...