ADA MAKNA 05
(Tien Kumalasari)
Emmi tersenyum cerah. Ada seorang pria yang menariknya, setelah ia mendirikan sepeda motornya yang terguling.
“Mas Wahyu?”
“Apa kamu masih kerasan memeluk bebatuan dan lubang comberan itu?” goda Wahyu.
“Ya ampuun, aku lupa kalau ada lobang menganga di situ, padahal sudah sering lewat sini.”
“Pasti sambil melamun,” katanya sambil menariknya minggir, ke samping mobil yang diparkir di sana.
“Kok mas Wahyu bisa ada di sini? Di dekat kuburan lagi. Ngeri ah. Aku jatuh tadi juga pasti karena diganggu mahluk halus di pekuburan itu,” keluhnya sambil mengibas-ngibaskan bajunya dari tanah dan debu yang menempel.
Wahyu tertawa, dan merasa lucu mendengar ungkapan Emmi ketika dia terjatuh.
“Kamu jatuh karena kurang hati-hati, mengapa menyalahkan mahluk halus penghuni kuburan itu? Kalau dia marah bagaimana?” canda Wahyu, membuat Emmi tanpa sadar mendekatkan dirinya ke arah Wahyu, sambil melihat ke kiri dan kanan.
“Kamu takut? Di siang bolong mana ada mahluk halus berkeliaran? Yang ada pasti mereka sedang mendengkur di tempatnya.”
“Hiih, ayo kita pergi dari sini, ngeri benar sih. Lalu ngapain Mas datang kemari?”
“Aku mau ziarah ke makam ayahku,” katanya sambil menatap ke arah area pemakaman itu.
“Apa maksudmu? Bukankah Mas bilang baru akan mencari ayah Mas yang ‘hilang’?
“Itu bukan ayah kandungku, tapi ayah adikku.”
“Maksudnya?”
“Ayahku meninggal, dimakamkan di sini, lalu ibu menikah lagi, dan lahirlah Reihan, adikku,” kata Wahyu sambil mengajak Emmi memasuki area pemakaman itu.
“Lalu, ayah dari adikmu itu pergi nggak ketahuan kemana perginya, maka harus dicari?”
“Benar. Ibuku bercerai ketika Reihan masih bayi. Sekarang ini ibu menyuruhku mencari ayah Reihan, karena dia ingin tahu di mana ayahnya.”
“Tapi beruntung sudah ketahuan di mana dia berada.”
“Semoga aku bisa menemukannya di sana.”
Wahyu berjongkok di depan sebuah nisan, Emmi mengikutinya.
“Ini makam ayahku.”
Emmi membaca nama yang terukir di sana.
“Zaki Firmansyah …” gumam Emmi setelah membaca nama almarhum.
Ia diam karena melihat Wahyu berkomat kamit membaca doa. Emmi kemudian mengikutinya, sambil mencabut beberapa rumput yang tumbuh di atas makam itu.
“Masih muda,” katanya dalam hati, setelah melihat tanggal lahir dan tanggal meninggalnya.
Wahyu terlihat sendu, ketika menaburkan bunga yang dibawanya sejak awal. Emmi mengerti, pasti ada sesal ketika tak sempat melihat orang tua kandungnya, seperti dirinya, yang walau sudah berumur dua tahunan lebih, tapi juga tidak pernah ingat ayah kandungnya. Bedanya, bagi Wahyu, semuanya sudah jelas. Ayahnya meninggal, dan disini di makamnya. Tapi dirinya? Sambil ikut menaburkan bunga, Emmi berharap agar bisa menemukan sang ayah kandung.
“Apa Mas mau mampir ke rumah?”
“Aku minta maaf, tidak dulu untuk kali ini. Masih banyak yang harus aku kerjakan sebelum besok berangkat ke Balikpapan, termasuk aku harus bekerja sore ini. Aku masuk di sift jam lima, sampai malam.”
“Ya ampun, kalau begitu hati-hati pulangnya, jangan ngebut,” kata Emmi yang tidak bisa memaksa Wahyu untuk mampir ke rumahnya karena jam yang mendesak sebelum ia masuk kerja.
“Terima kasih. Senang aku bisa bertemu kamu, biarpun hanya sebentar.”
“Aku juga senang.”
“Kamu juga harus hati-hati, hindari kalau ada lubang,” canda Wahyu.
Emmi mengangguk dan tersenyum.
“Segera ganti bajumu, kotor tuh,” katanya sambil melambaikan tangannya lalu masuk ke dalam mobil. Wahyu tidak tahu kalau ada luka di lutut Emmi karena tertutup gaun panjangnya.
Mereka berpisah karena Wahyu harus segera kembali ke Semarang, dan Emmi juga harus segera menuju pulang. Sedikit rasa kecewa terobati dengan alasan Wahyu yang harus bekerja. Ia harus mengacungi jempol karena Wahyu yang mahasiswa bersedia bekerja paruh waktu demi meringankan beban orang tuanya.
***
Ketika sampai di rumah, orang tua dan adik-adiknya belum ada yang pulang, karena memang dia pulang lebih awal.
Ia segera masuk ke dalam kamar langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri, lalu mengobati luka di lututnya yang sedikit lecet. Ketika selesai, senandung riang mengalun dari bibirnya. Pertemuan dengan seseorang yang punya arti dalam hatinya, membuatnya tanpa sadar segera mengalunkan senandung merdu. Lagu cinta pula. Cinta? Apakah Emmi jatuh cinta? Entahlah, cinta adalah sebuah rasa yang penuh rahasia. Ia datang tanpa diduga, dan kalau ingin pergi maka pergilah dia tanpa belas.
Ketika selesai mengganti baju, maka ia pergi ke belakang, menemui bibik yang sedang memasak.
“Non Emmi sudah pulang?”
“Iya Bik, masak apa hari ini, baunya sedap.”
“Ini Non, hanya sup ayam, sama goreng tempe pakai tepung, sama mie goreng karena nyonya pengin mie, katanya.”
“Aku pengin bantu Bik, mana yang harus dibantu?”
“Ini sudah hampir selesai semua Non, tinggal mengaduk aduk supnya, lalu Non boleh mencicipi, kalau ada yang kurang.”
“Padahal aku pengin belajar masak dari bibik.”
“Kalau begitu besok kalau libur, Non temani bibik memasak. Tapi mengapa tiba-tiba Non pengin belajar masak?”
“Pengin aja Bik, masa perempuan nggak bisa masak. Nanti diketawain suami, bagaimana?”
“Wah, tampaknya Non Emmi sudah mempersiapkan diri untuk menjadi istri ya? Pasti sudah punya pacar. Kok pacarnya nggak pernah diajak ke rumah? Bibik juga pengin lihat. Pasti pacar Non ganteng, gagah.”
Emmi tertawa.
“Belum Bik, belum punya pacar. Kok Bibik mengira aku sudah punya pacar sih?”
“Biasanya, seorang gadis yang tiba-tiba pengin masak itu, pasti sudah bersiap untuk menjadi istri.”
“Sembarangan Bibik ini. Aku kan masih kuliah, belum selesai.”
“Namanya bersiap itu bukan harus sekarang juga, artinya nanti entah kapan, pasti akan menjadi istri.”
“Nah, itu yang benar Bik. Mana, sekarang aku cicipin supnya,” kata Emmi sambil meraih piring yang ada di rak cucian.
“Ngicipin itu biasanya sesendok, Non itu sepiring, makan dong namanya,” ledek bibik sambil tertawa.
“Biar saja Bik, kan aku juga lapar.”
“Bibik bawa ke meja makan saja sekalian Non.”
“Nggak usah, makan di meja dapur saja. Ini cuma mencicipi supnya, kalau di meja makan nanti namanya makan penuh.”
“Kalau mau makan juga sudah siap lhoh.”
“Nggak, nungguin ibu dulu, sebentar lagi ibu pulang kan.”
“Baiklah kalau begitu. Bagaimana supnya? Kurang apa?”
“Sepertinya kurang asin Bik, tambahin garamnya sedikit.”
“Baiklah, bibik tambahin dulu.”
“Eeeh, mbak Emmi curang, sudah makan duluan,” tiba-tiba Nuri yang baru saja pulang sudah berteriak di pintu dapur.
“Kamu tuh, bikin kaget saja.”
“Aku juga mau, bibik masak sup ayam kan?”
“Baiklah, Non Nuri juga mau mencicipi supnya? Bibik ambilkan piringnya ya.”
“Eh, ganti baju cuci kaki tangan dulu, masa baru datang langsung mau makan?”
“Kan cuma ngicipin?”
“Sama saja. Tuh tanganmu kotor debu, masa mau pegang makanan?”
“Baiklah, tuangkan dulu Bik, biar kalau aku selesai, supnya sudah agak dingin,” kata Nuri sambil berlari ke kamarnya.
Emmi tersenyum.
“Ini sup kesukaan Nuri. Hati-hati nanti dihabiskan oleh dia Bik,” kata Emmi sambil tertawa.
“Nggak apa-apa Non, kalau dihabiskan nanti bibik buat lagi. Ayam dan sayur masih banyak di kulkas. Tapi kenapa tuh, kaki Non Emmi? Habis jatuh ya?” tanya bibik ketika melihat plester di lutut Emmi.
“Nggaak, cuma jatuh sedikit,” jawabnya sambil langsung menyendok sup hangatnya.
***
Suryawan sedang duduk di teras di sore hari itu, ketika Tia tiba-tiba menghampirinya sambil membawa sepiring roti yang dibelinya sepulang kerja.
“Roti pisang kesukaan Bapak,” katanya sambil meletakkan piring di depan sang ayah.
“Wah, enak. Sudah lama bapak tidak makan roti pisang.”
“Kalau begitu habiskan Pak.”
Suryawan tertawa.
“Masa roti sepiring harus dihabiskan?” katanya sambil mencomot sepotong roti.
“Akhir-akhir ini, apakah ada yang Bapak pikirkan?”
“Mengapa kamu berpikir demikian?”
“Bapak sering menyendiri, kata Feri Bapak juga sering marah-marah.”
“Ah, Feri itu. Entah mengapa sekarang dia bandel. Karena itulah bapak sering memarahi dia.”
“Bandel ya?”
“Bapak tidak suka dia dekat-dekat dengan temannya itu, yang namanya Emma. Karena dekatnya, nanti lama-lama jadi pacaran. Belum saatnya mereka pacaran. Kuliah juga belum. Bapak hanya mengingatkan.”
Tia menatap ayahnya. Ia melihat guratan menua yang semakin memenuhi wajah sang ayah. Ada yang ayahnya pikirkan. Pasti tentang Kinanti yang belum lama ini dilihatnya. Ada rasa sesal ketika dulu dia melarang sang ayah untuk menjadikan Kinanti sebagai ibu tiri. Tapi bukankah itu yang terbaik? Kehadiran seorang ibu tiri belum tentu bisa menjadikan dia sebagai ibu pengganti yang bisa mencintai sepenuh hati. Toh sang ayah sudah bisa menjadi ayah sekaligus ibu bagi anak-anaknya? Tapi tiba-tiba Tia juga merasa sangat tidak adil. Pasti ayahnya kesepian, dan membutuhkan seorang wanita pendamping. Sekarang, setelah dewasa, Tia baru menyadari, bahwa seorang ibu sambung bukan sekedar menjadi ibu anak-anaknya, tapi juga untuk mengisi hari-hari sepi saat hidup tanpa istri.
Tia masih menatap ayahnya, sampai sang ayah menghabiskan sepotong roti yang diambilnya.
“Tia ingin minta maaf pada Bapak.”
Suryawan menatap anak sulungnya, tak mengerti mengapa dia harus meminta maaf.
“Sekarang Tia baru menyadari, bahwa Tia sangat bersalah ketika melarang Bapak mencari ibu tiri bagi kami.”
“Apa maksudmu?”
“Emma adalah anak tante Kinanti.”
Suryawan mengangkat wajahnya.
“Mengapa tiba-tiba kamu membicarakan Emma, lalu mengutarakan kata maaf buat bapak?”
“Bapak pasti merasa tidak nyaman, melihat Feri berhubungan dekat dengan Emma, karena Emma adalah anak tante Kinanti.”
“Lupakan saja. Bapak tidak ingin memikirkannya.”
“Kalau saja dulu Tia tidak egois, membiarkan Bapak menikah dengan tante Kinanti, pasti Bapak tidak akan kesepian. Tia minta maaf, karena Tia terlambat menyadarinya.”
“Untuk apa kamu bicara tentang hal yang tidak perlu itu? Puluhan tahun lewat, bapak hanya ingin anak-anak bapak merasa nyaman, tidak hidup dalam situasi yang tidak membuat mereka senang.”
“Bapak berkorban untuk kami semua.”
“Apa kamu tidak tahu bahwa setiap orang tua akan berkorban demi anak-anaknya? Bukan, jangan sebut itu ‘berkorban’, tapi berjuang. Bukankah itu yang harus dilakukan oleh setiap orang tua? Alangkah buruknya orang tua yang hanya menginginkan kesenangan bagi dirinya sendiri, dengan mengabaikan kebahagiaan anak-anaknya,” kata Suryawan sambil menatap ke langit-langit.
“Pasti sangat menyakitkan, ketika seorang anak melukai hati orang tuanya,” kata Tia, pilu.
“Tia, mengapa kamu menyesali sesuatu yang sudah puluhan tahun berlalu? Bapak tidak menyesalinya, sungguh.”
“Bukankah waktu itu Bapak sangat mencintai tante Kinanti?”
“Cinta itu ada, tapi jangan sampai karena cinta lalu membuat kita hilang akal. Pikiran yang bersih akan membuat kita melangkah di jalan yang terbaik bagi kehidupan, jangan membuat kita membabi buta demi cinta. Itu cinta yang kotor, karena sesungguhnya dia bisa disimpan di relung hati yang paling dalam, dan dibawa mati,” kata Suryawan sambil masih menatap ke arah langit-langit.
Tia merasa sedih. Sungguh sekarang ia menyadari bahwa ayahnya terluka. Luka yang dibawanya sampai bertahun-tahun, dan itu karena anak-anaknya, terutama dirinya. Saat ini, apa yang bisa menebus kesalahan itu?”
“Apakah Bapak tidak bahagia selama ini?”
“Kata siapa bapak tidak bahagia? Bapak sangat bahagia, melihat kalian tumbuh besar, saling mengasihi, dan menjadi anak-anak pintar.”
Tia merangkul ayahnya erat, dan meneteskan air mata penyesalan dipundak sang ayah.
***
Hari itu Emmi sedang duduk di ruang tengah bersama adik-adiknya. Mereka bercanda seperti biasa, saling olok dan saling lempar bantalan kursi dengan riuh.
“Aduh, aduuh, kalau sudah begini semuanya jadi berantakan deh,” kata Kinanti yang datang sambil membawa kacang rebus sepiring penuh.
“Horeee.. kacang,” teriak Emma yang langsung mencomot kacangnya, diikuti yang lain.
“Kata bibik, tadi kamu jatuh ya Em? Tuh, itu lutut kamu kenapa?”
“Iya, jatuh di kuburan.”
“Ha? Di kuburan?” teriak adik-adiknya.
“Ngapain kamu ke kuburan?”
“Ada teman, menziarahi makam ayahnya yang lalu menolong Emmi saat Emmi terjatuh.”
“Ayahnya di makamkan di situ?”
“Iya. Lalu Emmi ikut menaburkan bunga untuk ayahnya. Namanya Zaki … siapa tadi tuh, lupa.”
“Zaki? Temanmu itu anak Zaki?”
***
Besok lagi ya.
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah sdh tayang, semoga baik2 saja.
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien salam SEROJA dari Bandung
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun mas Kakek
Matur nuwun mbak Tien-ku Ada Makna sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah, matur nwn bu Tien, salam sehat selalu 🤲
ReplyDeleteSami2 pak Bam's
DeleteSelamat malam bundaku .terima kasih Ada Makna 05 sdh tayang..slmt istrhat dan slm seroja unk bunda sekel🙏🥰🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah
DeleteTerima kasih bunda tien yang ditunggu sudah tayan
Semoga bunda sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Endah
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Farida
Alhamdulillah ADA MAKNA~05 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
ReplyDeleteSemoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin YRA 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Djodhi
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *ADA
MAKNA 05* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Wedeye
🍉🍋🍉🍋🍉🍋🍉🍋
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
Cerbung ADA MAKNA 05
sudah tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai 🦋😍
🍉🍋🍉🍋🍉🍋🍉🍋
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun jeng Sari
Aduhai juga
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Ada Makna 05" sampun tayang, Semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, selamat berbuka puasa dan selamat menjalankan ibadah Teraweh. aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Sri
Salam aduhai 2x
Akankah Wahyu jdi an sama Emmi?
ReplyDeleteMasih prematur..🙂😁
Matur nuwun bunda Tien, AM 05 sudah tayang
🙏🙏
Sehat selalu kagem bunda..
🤲🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Padma Sari
Alhamdulillah "Ada Makna 05" sdh hadir.
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien🙏
Sugeng ndalu, mugi Bu Tien & kelg tansah pinaringan sehat 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Sis
Sugeng dalu
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " ADA MAKNA 05 "
ReplyDelete🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Herry
Ini anak membuat ortunya mengingat kembali masa lalunya, kan memang Tuhan menganugerahi otak untuk mengingat, mulai lah kenangan lama pelan tapi pasti terbentang lebih luas, jadi bahan pembicaraan di peraduan.
ReplyDeleteKehidupan ini seolah memiliki pesan tersirat selalu saja ada yang tersambung, kåyå pesen moyang; åjå sêngit sêngit mengko ndak ndulit, yèn ånå sambêl yå mesthi ndulit no, åpå manèh sambêl rujak, sambêr menyamber cowèké kåyå mung nggo ampiran.
Kepedhesen; huh hah hoh adu abab.
megab megab.
Wahyu anak Zaki?
Baru tahu kalau anak nya berteman anak Zaki, terus apakah ibunya Wahyu itu Wanda, kan mendadak nikah.
Bukan sama Zaki.
Nah lho..
Bruwet? kurang cêthå; nganggo kacamata..
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Ada Makna yang ke lima sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun mas Crigis
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Salamah
Terima kasih Mbu Tien... ini cerita baru part awal, tp sdh sangat² bikin penasaran trs... cerita luar biasa unik....
ReplyDeleteSehat sllu Mbu Tien bersama keluarga trcnta...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Zimi. Lama nggak komen? Apa kabar?
Alhamdulillaah " ADA MAKNA - 05 " sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiin🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Ting
Alhamdulillah, ADA MAKNA (AM),05 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Uchu
Nah lo...nama Zaki kan banyak ya...tapi pasti Kinanti langsung menghubungkannya dengan Wanda, karena disebutkan sebelumnya bahwa Wahyu sedang mencari 'ayahnya' (sambung) yg seorang dokter.😉
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...sehat selalu ya...🙏🏻😘😘☺️
Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nana
Matur nuwun Bu Tien, selamat berakhir pekan dg keluarga....
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteMatur nuwun
Mbak Tien belum ngegas pull...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 Mas MERa
DeleteSebentar. Masih puasa. 😅
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Umi
DeleteKejora Pagi tak bersinar malam ini rupanya...
ReplyDeleteMinggu. Kejora mohon libur Mas MERa
DeleteAlhamdulillaah akhirnya bisa baca, cerbung Ada makna dari awal - 5 ,
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🙏🤗🥰
Ceritanya mereka sdh dewasa terus ketemu dg masing-masing anak
Emma dg Wahyu, anak Wanda & Zaki
Emmi dg Ferry ,anak pak Suryawan, lucu ya 😁🤭