JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 42
(Tien Kumalasari)
Dokter Rifai menatap sang perawat tak senang.
“Ada apa?”
“Ibu Rifai menunggu dokter di ruang tamu,” jawab yang ditanya.
“Suka sekali menyusul ke tempat kerja,” omel dokter Rifai sambil berdiri.
Kinanti menatap heran. Sungguh dia baru sadar bahwa dokter Rifai sudah punya istri, tapi belum dikaruniai seorang anakpun.
“Aku melupakan hal itu. Beruntung aku belum terlanjur jatuh cinta,” gumam Kinanti sambil tersenyum, lalu mengomeli kebodohannya sendiri.
“Habis selalu mendekati, dan seperti ingin sekali menguasai hatinya.”
Kinanti berkemas, bersiap untuk pulang karena jam kerjanya sudah lewat satu jam gara-gara melayani ngobrol sang dokter ganteng, yang tampaknya sedikit mata keranjang. Padahal sebenarnya dokter Rifai tidak bertugas di situ. Sepertinya ia datang hanya karena ingin menemuinya.
Barangkali dia berusaha mendekati Kinanti, setelah mendengar rumor tentang perselingkuhan suami Kinanti. Sebelum ini Kinanti merasa tak pernah begitu dekat dengan dokter Rifai. Mereka bertemu hanya pada saat ada acara bersama, kecuali itu hanya saling menganggukkan kepala sebagai tanda saling menghormati.
Di sepanjang perjalanan ke arah depan, sambil menunggu taksi yang dipanggilnya, Kinanti masih berpikir, tentang perselingkuhan suaminya yang sudah tersebar diantara para dokter. Ia ingat ketika mendengar pembicaraan beberapa petugas yang katanya melihat Guntur sedang bersama seorang wanita dan tampak mesra.
Kinanti menghela napas panjang. Mau bagaimana lagi. Tak mungkin dia menutupi kelakuan sang suami sementara sudah ada orang-orang yang melihatnya. Ibunya bahkan juga mengatakan bahwa ketika menelpon, dia dijawab oleh seorang wanita yang mengaku sebagai istrinya.
“Ah, sudahlah. Untuk apa aku memikirkannya,” gumamnya sambil menuju ke arah taksi yang dipanggilnya. Beberapa hari ini ia memang sengaja naik taksi pulang dan pergi, karena sang ibu mengkhawatirkan kesehatannya.
Sebelum dekat dengan taksi, ia melihat dokter Rifai berjalan dengan seorang wanita cantik. Kinanti pura-pura tak melihatnya, tapi tiba-tiba dokter Rifai memanggil namanya.
“Kinanti, maukah sekalian pulang bersama kami?”
Kinanti berhenti melangkah, mengangguk hormat kepada pasangan seniornya.
“Terima kasih dokter, saya sudah memanggil taksi.”
Nyonya Rifai tersenyum ke arahnya, Kinantipun berlalu.
“Kinanti itu kan yang dokter gigi?” tanya sang nyonya.
“Iya.”
“Cantik.”
“Benar, dia cantik. Lembut, menawan,” kata dokter Rifai yang membuat istrinya cemberut. Melihatnya, dokter Rifai terkekeh.
“Aku suka membuat kamu cemburu.”
“Itu sebabnya, aku harus sering-sering terlihat bersamamu,” kata sang istri yang semakin membuat suaminya tertawa.
“Kamu pulang bersama sopir, aku masih harus kembali ke rumah sakit.”
“Di rumah ada tamu, ayah dan ibuku. Mereka menunggu Mas pulang. Itu sebabnya aku menyusul kemari, tidak sabar menunggu di rumah sakit.”
“Ada operasi jam dua ini. Aku akan pulang secepatnya setelah selesai.”
Nyonya dokter masuk ke dalam mobilnya, sementara sopir sudah menunggunya. Seperti katanya, dokter Rifai kembali ke rumah sakit, karena ada operasi yang sedikit agak terlambat karena sudah lewat jam dua.
***
Hari terus berjalan. Proses cerai sudah sampai diujungnya, karena Kinanti memang menginginkannya. Cinta yang dirangkai dari hari demi hari, lalu ingin dijadikan seuntai hiasan indah dalam hidupnya, kandas begitu saja. Butiran demi butiran cinta, terburai dan berhamburan di sana sini. Sebagian retak, sebagian lagi pecah berkeping. Tak akan bisa diuntai kembali.
Apa yang harus dilakukannya? Cinta itu telah terbang, tertutup mega dan awan, lalu terburai menjadi kepingan lembut.
Kinanti menggenggamnya hanya sekeping, disimpannya dalam relung hati, agar selalu diingatnya, bahwa pernah ada cinta yang membalut kehidupannya.
Pagi hari itu, Ardi nyamperin Kinanti di rumahnya. Tak bisa setiap kali dilakukan, karena dia lebih sering sibuk dengan bisnisnya, yang menyita banyak waktunya.
“Untunglah aku belum terlambat,” katanya ketika mempersilakan Kinanti masuk ke dalam mobilnya.
“Aku kan sudah bilang, jangan terlalu repot memikirkan aku. Pekerjaan kamu banyak, dan menyita sebagian besar waktu kamu,” kata Kinanti dalam perjalanan ke tempat kerjanya.
“Hanya berangkat kerja bersama. Tidak pacaran, apalagi bermesraan. Takut sekali kamu dekat denganku. Apa kamu lupa bahwa aku sahabatmu?”
“Bukan itu, aku memikirkan waktu kamu. Kamu kan selalu sibuk dengan bisnis kamu, jadi aku ingin agar kamu tidak terganggu dengan seringnya memperhatikan aku.”
”Sesibuk apapun aku, akan selalu ada waktu buat kamu. Sejak kamu masih gadis, sampai sekarang kamu menjadi janda, aku akan tetap ada untuk kamu.”
”Ardi, aku pengin nangis kalau mendengar kata-kata kamu itu.”
“Kamu itu galak, tapi cengeng. Tahu nggak sih.”
“Apa? Aku galak?”
“Iya lah, aku saksinya kalau kamu tuh galak. Dulu ya, ketika kita sama-sama sekolah, aku tuh ngomong dikit aja, kamu nggak pernah merespon dengan baik. Kamu pasti marah-marah deh.”
Kinanti tersenyum. Ia teringat ketika masih remaja, sering sekali dia memarahi Ardi.
“Habis, kamu itu konyol dan nyebelin. Udah dimarah-marahin, masih saja mau dekat-dekat sama aku.”
“Itu namanya cinta sejati.”
“Apa? Cinta sejati apa? Kamu mana punya cinta.”
Ardi terbahak. Sering sekali dia berkata manis dihadapan Kinanti, tapi apa balasannya, Kinanti selalu memarahinya dengan ketus.
“Punya lah, masa sih aku nggak punya cinta? Tapi cinta itu aku simpan dalam-dalam dilubuk hati aku ini,” kata Ardi sambil memegangi dadanya.
Kinanti mencibir. Ardi selalu suka bercanda, bahkan soal cinta juga dibawanya dalam candaan. Tapi Kinanti harus mengakui, ia tak bisa melupakan kebaikan Ardi. Ketulusannya dalam bersahabat, selalu membuatnya merasa dekat, bahkan seperti saudara.
“Sudah sampai nih,” kata Ardi sambil menghentikan mobilnya.
“Terima kasih Ardi.”
“Nanti dijemput jam berapa?”
“Jangan. Biar aku pulang sendiri. Aku bisa naik taksi.”
“Aku jadikan mobil aku ini taksi. Boleh bayar semaunya,” canda Ardi.
“Tidak usah Ardi, aku tidak mau terlalu merepotkan kamu,” kata Kinanti sambil turun dari mobil, lalu tersenyum lucu melihat mulut Ardi cemberut seperti kerucut.
***
Apakah setelah perceraian lalu Guntur menjadi gembira dan lepas seperti burung terbuka sangkarnya? Ternyata tidak. Rasa sesal karena harus bercerai dengan cara yang begitu mendadak, membuatnya selalu tersiksa. Cinta yang tumbuh sejak masih remaja, lalu dipendamnya karena merasa rendah diri, kemudian berhasil memilikinya, harusnya dianggapnya sebagai anugerah. Tak bisa dipungkiri, tak mudah menghilangkan Kinanti dari hatinya. tapi ada rasa sakit ketika Kinanti mengejeknya. Ya, seperti mengejeknya bahwa dia menjadi beban keluarganya, diangkatnya dari comberan kemiskinan. Guntur adalah laki-laki, tak mudah menghindari godaan demi godaan yang selalu mengganggunya. Wanda selalu ada, dan dia begitu manis dalam melayaninya. Walau begitu, sejauh ini, ia belum ingin memenuhi tuntutan Wanda untuk segera menikahinya.
“Guntur, kita sudah melangkah terlalu jauh, segera nikahilah aku.”
“Jangan dulu, bagaimanapun aku butuh ketenangan setelah perceraian ini.”
“Kamu menyesal menceraikan Kinanti? Kamu masih mencintainya? Guntur, aku bisa memberikan cinta yang lebih manis. Aku akan melayani kamu dengan sepenuh cinta.”
Guntur merasa belum sanggup menikahi Wanda, tapi ada tuntutan lain yang harus dipenuhinya. Hubungan yang terlalu intim, lalu bagaimana kalau Wanda hamil?
Dan kekhawatiran itupun terjadi, ketika pada suatu sore dilihatnya Wanda muntah-muntah di kamar mandi.
“Ada apa?” tanya Guntur ketika melihat Wanda keluar dari kamar mandi dengan napas terengah-engah.
Wanda membaringkan tubuhnya begitu saja di ranjang, wajahnya pucat.
Guntur mendekatinya. Hari sudah sore ketika itu, dan Guntur hampir menyuruh Wanda pulang karena tak ingin membuat orang tua Wanda bertanya-tanya kalau setiap hari tak pulang.
“Sebaiknya kamu pulang.”
“Guntur, badanku tak enak, sudah lewat saatnya aku menstruasi, apakah aku hamil ya?”
Guntur terperanjat. Hamil? Didekatinya Wanda. Guntur seorang dokter. Ia memeriksa Wanda. Lalu menghela napas panjang.
“Periksa ke laborat. Oh tidak, aku akan beli tes kehamilan,” katanya kemudian berjalan menjauh dengan pikiran kacau.
Wanda tersenyum dalam hati. Tampaknya inilah jalan untuk memaksa Guntur agar segera menikahinya.
Dalam menunggu itu, sang ibu menelponnya.
“Wanda, apa kamu tidak pulang lagi malam ini?”
“Sebentar bu, Wanda merasa kurang enak badan.”
“Kalau begitu pulanglah. Kamu seorang wanita, tidak pantas berada di rumah seorang laki-laki, apalagi yang sudah punya keluarga.”
“Tidak Bu, Guntur sudah bercerai. Dia akan segera menikahi Wanda.”
“Wanda!”
“Ibu jangan marah, bukankah Ibu suka kalau Wanda hidup bahagia?”
“Ibu tidak suka cara kamu mendekati laki-laki. Kamu masih muda, cantik, ada baiknya kamu tidak berbuat semau kamu. Ada baiknya kamu menjaga martabat sebagai seorang wanita. Menginap dirumah laki-laki sangat tidak pantas. Pulang.”
Wanda meletakkan ponselnya, karena sang ibu tiba-tiba menutup pembicaraan itu.
“Cepat atau lambat, ibu akan menuruti kemauanku,” gumamnya.
Guntur pulang ketika malam sudah larut, dan tidak ingin membangunkan Wanda yang terlelap. Ia tidur di ruang tamu, diatas sofa.
Ia membiarkan tes kehamilan itu tergeletak di meja, lalu ia benar-benar tertidur karena lelah.
Guntur terbangun ketika Wanda membangunkannya sambil berjingkrak kegirangan.
“Guntur, lihat tes kehamilan ini. Bukankah dua buah garis ini menunjukkan bahwa aku benar-benar hamil?”
Guntur terbangun, dan melihat tes kehamilan yang ditunjukkan Wanda. Rupanya saat bangun Wanda sudah mengambilnya dan memeriksa urine nya.
“Guntur, apa yang akan kamu katakan? Kamu akan punya anak dari rahim aku. Kamu harus menemui ibuku dan melamarku.”
Guntur terpaku lesu. Akhirnya semua terjadi. Akhirnya buah nikmat itu sekarang menjadi pahit, dan terpaksa harus dikunyahnya.
***
Bu Bono sedang duduk sambil memangku Emma, yang asyik menyedot botol susu yang dipegangi sang nenek, ketika langkah-langkah mendekat terdengar. Bu Bono mengangkat wajahnya, dan melihat bekas menantunya berjalan sambil menunduk lesu. Bu Bono tak menyambutnya, karena tak bisa melepaskan sang cucu yang nyaris tertidur.
Tiba-tiba Guntur bersimbuh di depannya, lalu menangis di pangkuannya.
“Ada apa?” tanya bu Bono tanpa senyum.
“Berdirilah,” lanjutnya.
“Maafkan Guntur Bu. Baru sekarang Guntur menghadap Ibu.”
“Tidak apa-apa. Tidak ada kewajiban kamu untuk menemuiku, setelah kamu terlepas dari keluarga ini.”
“Saya mengaku salah. Saya khilaf, saya mohon maaf.”
“Aku sudah memaafkan kamu, sebelum kamu memintanya. Dan aku kira sudah terlambat kamu mengatakannya.”
Guntur terdiam, masih bersimpuh di hadapan bekas mertuanya. Lalu ditatapnya si kecil yang sudah terlelap.
“Berdirilah.”
Guntur mengangkat tangannya, mengelus pipinya dengan lembut. Tak terasa berlinanglah air matanya.
“Apa gunanya kamu menangis?"
“Ijinkanlah saya menggendongnya.”
Bu Bono mengulurkan Emma ke tangan ayahnya. Lalu Guntur mencium pipinya. Tapi tiba-tiba Emma merengek. Guntur mencoba mendiamkannya, tapi tak berhasil. Ia meronta, dan ketika membuka matanya, tangisnya semakin keras. Apakah si kecil marah kepada ayahnya?
Bu Bono mengulurkan tangannya, diambilnya Emma dari gendongan Guntur. Ia menepuk punggungnya, lalu Emma merasa tenang, dan kembali terlelap.
“Di mana Emmi?”
“Ini saatnya anak-anak tidur setelah makan siang.”
“Bolehkah saya menemuinya?”
Bu Bono mengangguk. Masih tanpa senyuman, membiarkan Guntur masuk ke dalam kamar anaknya, sambil membawa sebuah bungkusan besar.
Bu Bono menghela napas. Seandainya rasa bersalah itu ada di saat awal terjadinya prahara itu, barangkali masih ada waktu untuk membangun kembali mahligai yang retak. Tapi godaan tidak akan datang ala kadarnya. Ia akan terus menggoda sampai berhasil menjatuhkan iman, sekuat apapun. Tinggal bagaimana si pemilik iman bisa mempertahankannya.
Ketika Guntur keluar, bu Bono mendiamkannya.
“Saya berhutang banyak pada keluarga ini. Bagaimana saya harus membalasnya?”
“Apa kamu pikir sebuah kebaikan itu semacam barang dagangan? Kami tidak menghutangkannya, juga tidak menjualnya. Semuanya biarlah berlalu, dan lupakanlah.”
“Saya mohon diri, sekali lagi mohon maaf juga. Barangkali saya tak lagi pantas menginjakkan kaki di rumah ini. Saya titip Emmi dan Emma. Sampaikan salam saya untuk Kinanti juga. Semoga dia mendapat pengganti seorang laki-laki yang baik,” kata Guntur yang kemudian kembali bersimpuh di hadapan bu Bono, lalu mencium pangkuannya. Rupanya hari itu dia ingin mengatakan bahwa akan menikahi Wanda, tapi tak mampu dikeluarkannya.
Bu Bono menatap kepergian Guntur dengan perasaan tak menentu. Bekas menantunya, bekas anak angkatnya. Hanya bekas baginya, tapi bukan bekas ayah dari cucu-cucunya. Ada sesal yang menyakitkan.
Ketika bu Bono beranjak mau masuk ke dalam rumah, dilihatnya sebuah mobil berhenti. Lalu dilihatnya Kinanti turun dari mobil itu, dan disusul turunnya seorang laki-laki tampan. Bukankah itu sang dokter bedah?
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteHoreeeee.....
DeleteKung Latief Sragentina "MALIT" Selamat ya Kung....
Mendahului pelari 2 cepat jen Sari Usman, jeng Iin, mas B. Indriyabto, dll.
Matur Nuwun Bu Tien
Semoga sehat selalu dan tetap ADUHAI...
He he he.... kamsia.
DeleteKamsia lie
DeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun ibu Tutus
DeleteMatur nuwun Bu Tien. Sugeng ndalu
ReplyDeleteSami2 pak Sis
DeleteSugeng sare
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL 42 sampun tayang, semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, sll bahagia dan diberikan rizki yang melimpah aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Waduuuuuh semoga guntur segera sadar ya dan mereka baikan lagi
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Yes....
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien
Salam sehat dari Purwodadi Grobogan.
Sami2 ibu Kharisma
DeleteSalam hangat dari Solor
Slnt mlm bundaqu..terima ksih jbbl nya🙏salam sehat selalu dan aduhaiii jg unk bunda sekel🙏🤲🌹❤️
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam sehat juga
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah JBBL~42 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
ReplyDeleteSemoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin YRA 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbungnipun 🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah JBBL sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah Probo
Ya Alloh si guntur kurang kuat imannya tak tau malu, dibesarkn, disekolahkan dijadikan mantu, kepincut wanita murahan
ReplyDeleteKok aku jadi marah hehehe, padahal ini cerbung hatiku terbawa isi cerita.makasih Bunda
Hehee.. tenang ibu Engkas
DeleteMàtur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDeleteCemburu ya Guntur,. ,😁🤭 dah terlambat Krn terbakar emosi,
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
💚🪴💚🪴💚🪴💚🪴
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
JeBeBeeL_42 sdh tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai 🦋😍
💚🪴💚🪴💚🪴💚🪴
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Aduhai..
suwun bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Subagyo
Mudah mudahan tidak ada poligami. Lebih setuju Kinanti dengan Ardi.
ReplyDeleteWanda yang telah merusak sebuah keluarga akan mendapat balasannya.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Ayo Ardi...kejar terus Kinanti...dr.bedahnya sudah keok.😅
ReplyDeleteGuntur kena batunya...sukurin Wanda hamil.😁
Terima kasih, ibu Tien...semoga bahagia selalu.🙏🏻😘😘😀
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ratna
Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),42 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Terima kasih Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 42 Layu...sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin
Masalah demi masalah telah Guntur ciptakan sendiri. Wanda riang gembira krn tubuh nya telah berbadan dua. Guntur menyesali nasib nya, tetapi sesal kemudian tiada gunanya ya Gun..😁😁
Kinanti kamu bilang sendiri ringkeh dan lemah, carilah Imam yang sholeh ya, tapi jangan dr Rifai, krn dia sdh punya isteri.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhaiii
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAduhai deh
Biasa lah Guntur lesu mêrgå Wanda tambah lemu-manggon ora sabaèné.
ReplyDeleteHi hi
Kinanti dirubung fans, lumayan pada bisa diandalkan.
Tapikan nggak segitunya terus di tanggapi.
Hatinya yang mulai dikumpulin belum bisa memastikan sudah utuh.
Biar bisa merasakan ada hati didiri ini.
Sekalian menunda, nggak urusan selama belum ada greget juga nggak bakalan jadi.
Tuh sama abahnya aja menolak apa lagi ada bau bauan baru di samping rajangnya.
Beda ya aromanya, ya bedalah.
Untung masih ada nenek yang ikut ngejagain.
Walaupun batin nelangsa juga anak masih kecil-kecil keluarga berantakan.
Ya nggaklah, masak berantakan; nyatanya, kan terbiasa dikeseharian memang nggak deket sama bapaknya.
Cari setoran ya.
Genah mengamankan bertambahnya bb Wanda.
Ribut karepé déwé, cepet cepet ndang nikah, selak brojol.
Yaudah jadi tambah nggak perhatian anak² nya, kan sudah merasa, Guntur sendiri yang bilang kalau nggak layak datang di rumah ini lagi.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke empat puluh dua sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas crigis
Kok Rifa'i berhasil mengantarkan Kinanti pulang?
ReplyDeleteKinanti kan tahu bahwa Rifa'i mata keranjang.
Mentang-mentang Mbak Tien sebagai malaikat maut di cerbung ini, tega-teganya mengaduk-ngaduk perasaan pembaca...
Mau tanya, apakah Mbak Tien itu membuat ceritanya menggunakan flowchart?
Terimakasih Mbak Tien..
Terim
Sami2 MasMERa
DeleteSaya menulisnya mengalir saja. Tiba2 pengin begini .. wong saya itu tidak punya basis menulis lho.
Hanya suka bikin cerita. Sejak SD..
Saya mau belajar dari Anda saja, boleh?
Itu artinya imajinasi Mbak Tien memang luar biasa...
DeleteKalau begitu saya pesan tolong matiin Wanda misalnya dengan cara 'ditembak patuih' (disambar geledek) 🤣
He he he suka suka bu Tien lah ....
DeleteAlhamdulillaah JBBL-42 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoha sehat dan bahagia selalu.
Aamiin🤲
Salam Aduhai🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌷🌷🌷🌷🌷
This comment has been removed by the author.
DeleteMatur nuwun ibu Susi
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Wedeye
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia dari Yk....
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteAlhamdulillah.....
ReplyDeleteNuwun ibu Yati
DeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien cerbungnya. Salam hangat semoga sehat bahagia selalu bersama amancumi 💖
ReplyDelete