Friday, February 21, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 43

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  43

(Tien Kumalasari)

 

Bu Bono yang masih menggendong Emma menyambutnya di teras.

“Selamat siang, Ibu,” sapa dokter Rifai.

“Assalamu’alaikum Nak, selamat siang juga.”

“Wa’alaikumussalam … “ sambut dokter Rifai tersipu karena kedahuluan memberikan salam.

“Saya mengantarkan Kinanti, karena taksi yang ditumpangi mendadak mogok dijalan, dan saya kebetulan melihatnya,” lanjut dokter Rifai sambil tersenyum.

“Terima kasih banyak, Nak dokter. Silakan masuk,” kata bu Bono.

“Ini anakmu, Kinanti, cantik sekali,” kata dokter Rifai sambil membelai pipi Emma.

“Bu, dokter Rifai masih harus kembali ke rumah sakit,” Kinanti memotong keramahan dokter Rifai, karena sesungguhnya ia tak ingin berlama-lama bersamanya.

“Saya_”

“Ya sudah Nak dokter, silakan kalau masih mau bertugas, saya tidak ingin mengganggu,” kata bu Bono memotong perkataan sang dokter.

“Terima kasih banyak dokter,” kata Kinanti sambil merangkapkan kedua telapak tangannya.

Dokter Rifai tersenyum, barangkali juga sedikit kecewa karena tidak ada ungkapan mempersilakan dari Kinanti. Nada suaranya seperti mengusirnya halus. Kapan dia mengatakan kalau masih harus kembali ke rumah sakit? Pandangan mata yang memancar dari matanya, sulit diartikan. Kinanti mengalihkan pandangannya ke arah Emma yang sedang digendong sang ibu. Sedikit berdebar, tapi merasa risih.

“Saya permisi,” kata dokter Rifai  sambil merangkapkan kedua tangannya juga.

Dokter Rifai berlalu, dan Kinanti segera mengikuti ibunya masuk ke dalam. Ia belum boleh memegang anaknya sebelum cuci kaki tangan terlebih dulu. Itu sudah menjadi kebiasaan yang ditanamkan oleh sang ibu.

“Kamu sepertinya nggak suka kalau dia masuk ke rumah. Dia tidak sedang bertugas bukan?”

“Entahlah. Kinanti capek sekali, tidak ingin melayani tamu saat ini.”

“Hati-hati kalau ada yang sepertinya ingin mendekati. Jangan sampai kamu terkecoh dengan kebaikan yang diberikannya.”

Kinanti menatap ibunya dan tersenyum.

“Dia ganteng sekali ya Bu?”

“Apa katamu?” bu Bono menatap tajam anaknya.

Kinanti terkekeh. Ia hanya menggoda sang ibu.

“Tidak Bu, Kinanti masih waras. Dia sudah punya istri. Cantik pula istrinya. Kinanti sudah menjadi korban perselingkuhan, masa harus membuat wanita lain menjadi korban juga. Dosa dong Bu.”

“Syukurlah kalau kamu mengerti.”

“Kinanti belum memikirkan pengganti suami. Kecuali kalau Kinanti benar-benar jatuh cinta,” kata Kinanti sambil berlari masuk ke kamar mandi, lalu sebelum menutup pintu, ia terkekeh lagi.

Bu Bono melotot marah. Ia tahu Kinanti hanya menggodanya. Dengan lembut ia menidurkan sang cucu ke dalam box bayi yang terletak sekamar dengan ibunya.

***

Guntur mengetuk pintu kamar ibunya, setelah memasuki rumahnya yang tidak terkunci. Sang ibu terbaring lemah, membuat Guntur sangat terkejut.

“Ibu sakit?”

“Tidak, hanya capek saja. Maklum, orang setua ibu memang begini, sering merasa capek,” kata sang ibu sambil bangkit.

“Maaf lama sekali tidak menjenguk Ibu.”

“Tidak apa-apa, yang penting kamu baik-baik saja. Yang penting lagi, kamu hidup bahagia. Kamu datang bersama Kinanti?” tanya sang ibu sambil turun dari tempat tidur. Guntur memeluknya erat.

“Biar ibu buatkan minum dulu. Kamu bersama Kinanti kan? Mana dia?”

“Guntur datang sendiri, Bu.”

“Mengapa tidak kamu ajak Kinanti? Ibu kangen sekali. Biasanya dia menjenguk ibu bersama bu Bono, dan kedua anakmu.”

“Bu, Guntur ingin mengatakan sesuatu.”

Bu Raji tertegun melihat wajah Guntur yang layu.

“Kami … sudah bercerai.”

Bu Raji kembali terduduk. Lemas tiba-tiba.

“Kamu bercanda?”

“Benar Bu, kami sudah bercerai.”

Bu Raji kembali terbaring di ranjang. Tubuhnya terasa lemas. Sebenarnya ia memang sakit, tapi disembunyikannya seperti yang sudah-sudah. Dan mendengar bahwa anaknya bercerai dengan istrinya, tubuhnya menjadi semakin lemas. Tangannya gemetar ketika meraih tubuh sang anak.

“Apa yang kamu lakukan? Istri sebaik Kinanti, tak banyak di dunia ini. Keluarganya juga sangat baik, bahkan sebelum kamu menjadi menantunya.”

“Guntur mau menikah lagi,” kata Guntur lirih.

“Kamu sudah gila?” umpatan kasar yang tak pernah terlontar itu tiba-tiba meluncur begitu saja dari mulutnya.

Guntur menundukkan wajahnya. Sorot mata tua itu tampak berpijar, seperti menyemburkan api. Guntur meraihnya, dan merangkulnya, tapi sang ibu berteriak dengan suara gemetar, lalu menyingkirkan tangan Guntur yang memeluknya.

“Jangan menyentuhku.”

“Maafkan Guntur Bu.”

“Pantas saja, lama sekali Kinanti tidak datang ke rumah ini. Aku pikir dia terlalu sibuk. Pasti karena kelakuan kamu yang tidak benar.”

“Maafkan Guntur Bu.”

“Pergilah, dan jangan lagi datang ke rumah ini.”

“Ibu, calon istri Guntur itu sangat baik dan mencintai Guntur dengan sepenuh hati.”

“Apa istri kamu mencintai kamu dengan separuh hati?”

“Kami berjauhan, Guntur tergoda.”

“Siapa perempuan pembawa petaka itu?” lagi-lagi bu Raji berteriak.

“Ibu sudah mengenalnya, dia Wanda.”

“Apa? Perempuan tak tahu malu itu?”

“Dia sudah berubah.”

“Pergilah, pergi kamu, dan jangan lagi datang ke rumah ini. Aku tak pernah punya anak yang tidak tahu membalas budi.”

“Ibu, Guntur harus menikahinya. Dia hamil.”

“Pergi kamu, pergiiii!!”

“Bu, maafkan Guntur,” kata Guntur lirih.

“Kalau kamu tidak mau pergi, ibu yang akan pergi,” kata bu Raji sambil berusaha bangkit.

“Ibu tidak mau memaafkan Guntur?”

“Pergi kamu, pergiii,” bu Raji semakin berteriak, walau suaranya bergetar.

Guntur berdiri, lalu melangkah ke pintu. Sedianya dia ingin memohon restu, tak tahunya malah kena marah dan malah diusir dari rumah.

Guntur berdiri di pintu, menatap ibunya dengan pilu. Sang ibu membalikkan tubuhnya, membelakanginya.

Guntur melangkah pergi. Ia berharap, ketika marahnya reda, dia akan memaafkannya.

Tapi tidak, bu Raji menangis sepanjang malam. Tubuhnya yang ringkih terasa semakin lemah. Sama sekali dia tak menyangka, anak yang menjadi orang karena kebaikan keluarga Bono, justru menyakiti keluarga itu dengan mengkhianati perkawinannya.

***

Pagi hari itu Kinanti menggendong si kecil sebelum berangkat bekerja. Ia sudah menyuapi Emmi, dan memandikannya. Ia tak ingin kehilangan momen berdekatan dengan anak-anaknya, walau hanya pagi sebelum berangkat bekerja, dan sore hari sepulang kerja. Ia tak menuntut apapun dari perceraiannya dengan Guntur. Ia akan menghidupi dan membesarkan anak-anaknya dengan keringat yang menetes dari tubuhnya.

“Mana Emma, biar sama nenek. Kamu terlambat nanti,” kata bu Bono sambil mengambil Emma dari gendongan ibunya.

Kinanti mendekap dan mencium sang anak sebelum mengulurkannya pada ibunya.

“Kinanti sudah memanggil taksi Bu.”

“Baiklah, ibu hanya takut kamu terlambat kalau kelamaan menimang Emma.”

Emma sudah bisa berjalan, tapi Kinanti lebih suka menggendongnya. Untuk itu bu Bono selalu memarahinya.

“Nanti menjadi kebiasaan, dia lebih suka digendong,” omel bu Bono.

“Gemes Bu, penginnya menggendong terus.”

“Anakmu sudah belajar berjalan, biarlah dia berjalan-jalan.”

“Iya, baiklah. Nanti akan Kinanti ajak dia jalan-jalan sepulang kerja.”

Tiba-tiba sebuah taksi berhenti. Kinanti beranjak mengambil tas kerjanya, tapi ia terkejut mendengar teriak ibunya.

“Itu kan bu Raji?”

Ternyata yang datang bukan taksi yang tadi dipanggilnya, melainkan taksi yang ditumpangi bekas mertuanya.

Melihat bu Raji berjalan tertatih, Kinanti beranjak menyambutnya.

“Ibu dari mana?” tanya Kinanti.

“Kinanti,” tiba-tiba bu Raji memeluk Kinanti, dan Kinanti merasa tubuh bu Raji sangat panas.

“Ibu sakit?”

Tapi bu Raji tak menjawab. Ia jatuh terkulai di pundak Kinanti.

“Bu, Ibu …”

“Kenapa dia?”

“Entahlah, tiba-tiba pingsan begini. Bu Raji sakit ini Bu.”

“Bawa masuk ke rumah, biar bibik mengurusnya.”

“Tidak, biar Kinanti bawa ke rumah sakit saja. Ini bukan sakit biasa.”

Tepat pada saat itu taksi pesanan Kinanti datang. Kinanti segera memapah bu Raji ke arah taksi, lalu memintanya agar membawa ke rumah sakit.

Di sepanjang perjalanan, Kinanti terus berusaha mengajak bicara bekas mertuanya itu, tapi tak ada jawaban. Kinanti sangat khawatir. Tubuh bu Raji panas sekali. Ia mencari nomor kontak Guntur, tapi dia telah menghapus nomor itu. Atau telah memblokirnya, entahlah. Kinanti tak mengingatnya.

Ketika petugas mendorong brankar yang membawa tubuh bu Raji, dokter Rifai memanggil namanya.

“Kinanti, ada apa?”

“Dia … bu Raji, tadi tiba-tiba pingsan.”

“Siapa dia?”

“Ibunya dokter Guntur,” jawab Kinanti singkat, membuat dokter Rifai heran.

“Bekas mertuamu?”

“Ya.”

Kinanti ikut masuk keruang IGD. Menyaksikan bu Raji yang segera ditangani.

“Apa dia tinggal di rumahmu?” tanya dokter Rifai.

“Tidak, tadi kebetulan saja dia datang ke rumah, tapi dalam keadaan sakit,”

“Aku prihatin untukmu, Kinanti. Dan kamu wanita yang sangat baik. Mau merawat bekas mertua, sementara_”
”Terima kasih, dokter,” Kinanti memotong perkataan dokter Rifai. Ia beranjak mendekati bekas mertuanya yang tampaknya mulai sadar.

“Kinanti, aku di mana?”

“Ibu di rumah sakit. Tadi ibu datang ke rumah dan pingsan.”

“Bawa aku pulang, aku pulang saja,” bisiknya lemah.

“Ibu harus dirawat, boleh pulang kalau sudah sembuh.”

Tiba-tiba bu Raji mengalirkan air mata.

“Maafkan aku, Nak. Guntur menyakiti kamu.”

Kinanti meletakkan jari telunjuknya di mulut, meminta bu Raji tidak banyak berkata-kata. Kinanti mengerti, rupanya bu Raji baru tahu apa yang terjadi pada rumah tangga anaknya. Mungkin setelah menemui ibunya kemarin, Guntur langsung ke rumah ibunya sendiri.

Dokter yang menangani bilang, bu Raji harus dirawat. Sakitnya parah. Sudah lama levernya bermasalah.

“Dokter Guntur sudah diberi tahu?” tanya dokter Rifai.

Kinanti menggeleng.

“Dia harus diberintahu. Bekas mertua kamu sakit parah, dia akan dibawa ke ruang ICU untuk penanganan lebih lanjut."

Kinanti sibuk mencari nomor kontak Guntur, karena dia sudah memblokirnya, atau sudah dihapusnya?

“Biar aku yang menghubungi dia,” kata dokter Rifai yang segera mengambil ponselnya.

Kinanti mengikuti bu Raji sampai ke ruang ICU.

“Aku ingin pulang ….” rintih bu Raji.

“Ibu harus menurut. Dirawat dulu supaya sembuh.”

“Titip cucu-cucuku,” suaranya hampir tak terdengar.

Tiba-tiba dokter Rifai muncul.

“Aku tidak tahu nomor dokter Guntur, tapi aku sudah menghubungi rumah sakitnya. Katanya tiga hari dokter Guntur ijin, karena hari ini dia menikah,” kata dokter Rifai pelan. Walau begitu, bu Raji mendengarnya. Memang Kinanti tak bereaksi, tapi bu Raji tiba-tiba pingsan lagi.

***

Pengantin baru layaknya menikmati kebahagiaan, tapi di hari itu Guntur tidak menikmatinya. Di hari yang sama pada saat akad nikah, Guntur mendapat kabar bahwa sang ibu meninggal dunia. Dunia seakan runtuh baginya.

Disaat pemakaman, Guntur tak berhenti memeluk gundukan tanah penuh bunga, dimana jasad ibunya terdiam dibawahnya. Sesal yang sangat menyakitkan adalah dia telah membuat sang ibu kecewa pada akhir hayatnya.

“Aku membunuh ibuku sendiri, ampuni Guntur, Ibu.”

Guntur teringat ketika sang ibu berkata, bahwa ia ingin hidup sampai Guntur menjadi orang. Tapi apa … sang ibu meninggal dalam rasa kecewa mendalam karena ulahnya.

Kinanti yang memerlukan datang melayat, menatapnya haru. Bukan karena tangisan Guntur semata, tapi lebih karena tahu tentang duka seorang ibu yang membuatnya tak lagi merasa bahwa dunia sangatlah indah. Bukankah begitu impian setiap ibu?

Kinanti melangkah keluar dari area pemakaman dengan perasaan tak menentu. Sebelum taksi yang dipesannya datang, datang suara dari arah kiri dan kanannya.

“Kinanti ….”

“Kinanti ….”

Dua suara yang berbeda, dan Kinanti tertegun ketika melihat ke arah kiri dan kanannya. Ada dokter Rifai, dan ada Ardi.

Hampir bersamaan keduanya sampai di dekat Kinanti.

“Bareng aku saja, bukankah kita searah?” kata dokter Rifai.

“Aku janji pada ibumu tadi bahwa akan mengantarkanmu pulang,” itu kata Ardi.

Kinanti tersenyum lucu. Mana yang harus diterimanya?

“Maaf, aku sudah memanggil taksi.”

Dan bersamaan dengan itu, taksi yang dipanggilnya benar-benar datang.

Kinanti melambai ke arah dua laki-laki ganteng yang menatapnya kecewa, lalu ia  masuk ke dalam taksi.

***

Berbulan-bulan telah berlalu setelah kejadian itu, di siang hari menjelang pulang, dokter Rifai menemui Kinanti di ruang prakteknya.

Agak kesal Kinanti, karena bagaimanapun dia menampakkan rasa tak suka, dokter Rifai tak pernah mau berhenti.

“Kinanti, jangan pulang dulu, ijinkan aku mengatakan sesuatu,” kata dokter Rifai.

Kinanti masih duduk di depan meja kerjanya, menunggu apa yang akan dikatakan dokter Rifai. Perawat pembantu selalu keluar lebih dulu setiap kali dokter Rifai datang, takut mengganggu.

“Kinanti, sesungguhnya aku ini amatlah menderita.”

Kinanti mengerutkan keningnya.

“Ada ketidak puasan dalam aku berumah tangga, karena istriku mandul.”

“Mengapa dokter mengatakannya pada saya?”

“Kinanti, kamu bukan lagi remaja yang tidak tahu apa-apa. Selama ini kamu pasti sudah tahu, apa sebenarnya maksudku.”

“Tapi saya tidak mengerti.”

“Kinanti, jadilah istriku,” barangkali merasa kelamaan menunggu, dokter Rifai langsung mengatakan apa yang ada di dalam hatinya.

Kinanti menatap tajam ke arah dokter Rifai. Bukankah sungguh terlalu, seorang laki-laki beristri kemudian meminang wanita lain?

“Jangan menganggap ini salah. Sungguh, aku ingin punya anak. Tolong penuhi permintaanku.”

“Tidak. Maafkan saya.”

“Kasihanilah aku, Kinanti. Aku jatuh cinta pada kamu.”

“Saya pernah merasakan bagaimana rasanya dikhianati suami, lalu saya harus membiarkan wanita lain merasakannya sama seperti yang saya alami? Tidak, Kinanti bukan wanita seperti itu dokter.”

“Apapun yang kamu minta,_”

“Tidak. Maafkan saya.”

Tanpa disangka, dokter Rifai tiba-tiba mendekat, lalu berlutut dihadapan Kinanti. Dan tanpa disangka pula, tiba-tiba seorang wanita cantik masuk ke ruangan itu, dan menarik dokter Rifai sampai terjengkang.

“Dasar perempuan murahan,” hardiknya, membuat mata Kinanti menyala.

***

Besok lagi ya.

63 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kung Latief malit, euy.....

      Matur nuwun bu Tien, salam seroja.
      Semoga bu Tien diberikan kesehatan yang prima. Aamiin yaa Robbal'alamiin 🤲

      Delete
    2. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun mas Kakek

      Delete
  2. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL 43 sampun tayang, semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, sll bahagia dan diberikan rizki yang melimpah aamiin yra 🤲🤲
    Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷

    Ambyaaar ...penyesalan yg menyakitkan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Aduhai 2x deh
      Ambyaar

      Delete
  3. Walaah...dr.Rifai bikin gara-gara aja. Kasihan Kinanti...☹️

    Terima kasih, ibu Tien...salam sehat.🙏🏻

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah JBBL~43 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
    Semoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
    Aamiin YRA 🤲

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbungnipun 🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien

    ReplyDelete
  7. 🧡🍁🧡🍁🧡🍁🧡🍁
    Alhamdulillah 🙏🤩
    JeBeBeeL_43 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat & bahagia.
    Aamiin.Salam seroja😍🦋
    🧡🍁🧡🍁🧡🍁🧡🍁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Sari
      Aduhai

      Delete
  8. Kinanti sama ardi saja masih pejaka cintanya mendalam sejak gadis, gak ada yg nuntut,.. itu harapan pembaca makasih bunda

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah, matursuwun, semoga Bu Tien sehat selalu bersama keluarga

    ReplyDelete
  10. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  11. Inilah yg namanya dosa. 1 dosa yg diperbuat, untuk membenarkan diri, berbuat dosa lagi untuk menutupi dosa yg sebelumnya. Demikianlah Wanda, dan juga Guntur. Nggak tahu apa yg akan terjadi di hari depan mereka.
    Selamat malam untuk ibu Tien dan juga para pembaca.

    ReplyDelete
  12. Cerita yang ini bikin aku panas dingin terus...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jeng dokter sebentar lagi pasti hangat
      Salam hangat maksudnya

      Delete
  13. Alhamdulillaah JBBL- 43 sdh hadir
    Terims kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bshagia selalu.
    Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiin🤲
    Salam Aduhai Bunda🙏

    ReplyDelete
  14. Alhamdullilah, Matur nuwun bunda Tien
    JBBL 43 telah tayang...
    Semoga sll sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  15. Iya mesthi terasa, maksudnya ibu pasti punya insting kenapa pergi kerumah tanpa menantu yang di sayangi.
    Lha kok malah mau cari pangestu, pangestu lagi pergi kebengkel.
    Malah jadi nggak sakit lagi tå, kekecewaan yang sangat menambah beban disamping sakit yang lama dideritanya.
    Diruang kerja Kinan malah kedatangan pengusul bedah rumah, ini ruang saya jangan ganggu orang lagi kerja; keluar semua, waduh nganti kering; kêringkangan maksudté, mêrgå di surung karo ngomyang ngèlèk èlèk sing disurung; hi hi..
    Aneh jaré sekolah duwur, lakuné ngawur.
    Åjå åjå mantan kembang kampus, polas polès apus apus.
    Pindah waé yèn diganggu Rifai terus, puskesmas pirang-pirang gari milih sing cedhak omah waé.
    Jadi heboh itu rumah sakit, sesama dokter pada ribut, usir usiran.
    Bèn ora surung surungan manèh, padaké alaté tukang batu; tinggal sorong.
    Tapi ada lho yang sengaja mencari; kuwi lho, kan wis ora duwé manuk dadiné yèn dolan, nang pasar manuk, mbuh nggolèk manuk, åpå metuki bakul manuk, åpå sing arep tuku manuk, mbuh karêpé piyé, dasteran kok lungå pasar, pasar manuk sisan.
    Hé hé
    Blegitu repotnya, pegangan bênêr malah banyak salah sangka, kan cuma apa yang dilihat.
    Sampai mau nyosor memohon mohon paké mau nyruduk dengkulnya segala.
    Menutup malu kok malah menjengkang kan yang punya ruang kerja. Nggawé ribut diruang kerja orang.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke empat puluh tiga sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun mas crigis
      Mesti gawe guyu

      Delete
  16. Terima kasih Bunda Tien ...

    Jangan biarkan bunga ku layu...
    Kinanti sama Ardi aja ...

    ReplyDelete
  17. Terima kasih Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 43 Layu...sampun tayang.
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin

    Kasihan Bu Raji...gerah e...wis akut...ketambahan..pawartane Guntur wis pisahan, jadi sedane...ngenes. Ini semua gara gara Guntur yang tdk tahan goda.

    Alamak...dr Rifai tdk bisa nahan diri...wis kebelet...menjadikan nyonya Rifai salah paham sama Kinanti. Sing sabar ya Kinan, godaan mu msh bertubi...tubi...😁😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  18. Guntur genti sing stress.. merasa bahwa dia yang menyebabkan kematian ibunya. Juga masih ada rasa sayang keluarga, dan harus menikah dengan Wanda karena menghamili.
    Heran, Ardi sampai tua masih menjomblo, apa setia menunggu sampai Kinanti jadi janda.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  19. Guntur dikejar-kejar wanita, makanya tergoda. Sedangkan Rifa'i mengejar-ngejar dan menggoda Kinanti.
    Kinanti wanita kuat, tapi juga merasakan semprotan istri Rifa'i...
    Mbak Tien lebih hebat lagi, karena bisa membuat perasaan pemirsa dibawa sesukanya..
    Terimaksih Mbak Tien...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sami2 MasMERa
      Apa sih artinya nama itu?
      KP lover juga apa?

      Delete
    2. Nama saya adalah singkatan dari masalah yang dihadapi orang tua saya waktu lahir...
      Sedangkan KP-Lover itu adalah pecinta kejora pagi...

      Delete
  20. Màtur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰

    Waduh, ujian datang lg nih,, sabar bener Kinanti.

    ReplyDelete
  21. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun pak Wedeye

    ReplyDelete
  22. Bundaaa..maaf telat ngucapin mksih jbbl 43 nya..suwuun y bund..slm seroja dan aduhai dri skbmi 🙏🌹❤️🥰

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 42

CINTAKU JAUH Di PULAU SEBERANG  42 (Tien Kumalasari)   Arum terkejut, sekaligus tersipu. Ia melihat Listyo turun dari mobil dan menghampirin...