Saturday, January 25, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 20

 

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  20

(Tien Kumalasari)

 

Zaki membuka pintu rumah, lalu melambaikan tangan ke arah Wanda yang masih berdiri di tangga teras.

“Ayo, masuklah. Di sini tidak ada siapa-siapa. Tidak usah sungkan.”

Wanda perlahan masuk. Zaki menghidupkan lampu kamar tamu, karena cuaca sore membuat redup suasana di dalam rumah.

“Rumahmu bagus. Kamu rajin yah, bersih-bersih rumah sendiri?”

“Bukan aku, ada pembantu, yang datang pagi, pulang sore. Dia hanya bersih-bersih rumah, mencuci, setrika, sudah.”

Lalu mereka duduk berdampingan, di sebuah sofa.

“Masak juga, pastinya, buat kamu makan?”

“Aku selalu makan di luar. Tidak suka masakan rumahan.”

“Orang tuamu di mana?”

“Di Jakarta. Mungkin aku juga akan pindah ke sana. Mungkin, belum tentu juga. Barangkali aku bisa menjual suaraku. Tapi itu tidak penting. Uang? Aku selalu diberi orang tuaku. Menyanyi hanya hobi. Aku punya alat-alat band lengkap, tapi aku titipkan di rumah teman. Aku lebih suka latihan di sana. Rumahku kecil, brisik,” Zaki bercerita panjang lebar tentang dirinya. Wanda hanya mengangguk-angguk.

Masalah uang, Wanda tidak heran. Dia juga punya uang cukup dari orang tuanya.

“Mau minum apa?” kata Zaki sambil berdiri.

“Atau kamu mau memilih sendiri? Di dalam kulkas ada banyak minuman. Yang tawar, yang manis, yang bersoda. Atau minuman yang memabokkan?”

Wanda menggelengkan kepalanya.

“Sembarang saja. Terserah kamu.”

Zaki berdiri, dan tak lama kemudian dia keluar sambil membawa dua botol minuman.

“Terima kasih. Ini tidak membuat mabuk bukan?” tanya Wanda.

“Tidak, yang mabuk justru aku. Tanpa minumanpun aku sedang mabuk.”

“Kamu mabuk?”

“Mabuk karena tubuhmu baunya harum,” kata Zaki sambil mendekatkan kepalanya ke wajah Wanda.

Wanda belum pernah berdekatan dengan pria sedekat itu. Wajahnya memerah, lalu ia beringsut menjauhinya.

Tapi Zaki laki-laki yang matang. Ia tahu bagaimana menundukkan hati wanita.

“Kamu takut? Kamu belum pernah pacaran?”

Wanda menggelengkan kepalanya. Sebenarnya dia sedang gemetaran.

Zaki tersenyum.

“Santai saja, Wanda. Oh ya, aku buatkan roti bakar, mau?”

Tapi tanpa menunggu persetujuan, Zaki langsung berdiri dan beranjak ke arah dapur.

Wanda menghela napas panjang. Ia merasa bingung, atau entah oleh perasaan apa. Keringat dingin membasahi telapak tangannya. Ketika kemudian Zaki datang dengan membawa dua piring kecil dengan roti bakar selai coklat, Wanda mengatakan bahwa ia ingin pulang.

“Mengapa pulang? Kepalang tanggung, sudah aku buatkan nih, dimakan dulu. Ini jam berapa, aduh, sudah jam enam lebih. Aku kira sudah tidak ada travel jam segini,” kata Zaki enteng.

“Lalu aku bagaimana nih?” tiba-tiba Wanda merasa takut.

“Tidak apa-apa. Kamu aman disini. Ayo dimakan dulu rotinya, enak, masih hangat. Biasanya kalau ngemil aku memilih roti bakar buatan sendiri.”

Wanda meraih piring kecil itu, dan mengambil sepotong demi sepotong roti yang memang sudah dipotong kecil-kecil itu, dengan sebuah garpu.

“Enak?”

Wanda mencoba menenangkan diri. Memang hari mulai gelap. Tak ada travel.

“Ada kamar kosong di situ, kamu boleh tidur dengan nyenyak. Besok pagi aku antarkan kamu ke Semarang.”

“Ke Semarang? Kalau begitu sekarang saja,” kata Wanda.

“Tidak bisa. Mataku agak kurang jelas kalau malam, jadi takut mengemudi, apalagi jauh. Memangnya kenapa? Kamu seperti ketakutan begitu.”

“Tidak, baiklah, apa boleh buat,” kata Wanda pasrah. Lagipula orang tuanya baru akan pulang besok sore.

Seharian itu Wanda melupakan Guntur. Zaki sangat pintar menghibur.

“Mau tidur sekarang? Aku bereskan dulu kamarmu. Masa harus tidur di kamarku,” canda Zaki.

Tapi Wanda belum ingin tidur. Tiba-tiba ia teringat Guntur. Ia menyesal, mengapa tadi tidak minta diantar ke rumah Guntur saja? Hanya sehari di rumah sakit, berarti lukanya tidak parah. Tapi temannya kemarin cerita kalau kepalanya berdarah-darah.

“Ya sudahlah. Barangkali besok Zaki mau mengantarku ke rumah Guntur, sebentar juga tidak apa-apa. Sebelum sore pasti sudah sampai di rumah, dan aku tak akan kena marah,” kata batin Wanda.

Ketika Zaki sudah kembali duduk, ia tampak membawa CD.

“Mau nonton film dulu? Belum ngantuk kan?”

“Zak, besok sebelum pulang mampir ke rumah Guntur sebentar ya.”

“Boleh, tidak masalah,” katanya sambil memasang CD yang pastinya berisi film.

Lalu ia duduk di samping Wanda, berdua menunggu film diputar. Tapi tiba-tiba Wanda berteriak.

“Kok film begituan?”

“Memangnya kenapa? Kamu bukan anak kecil lagi kan?”

Tapi mata Wanda tak beralih dari arah layar kaca. Zaki tertawa dalam hati.

Ketika film usai, malam sudah semakin larut. Apa yang terjadi? Pasti akan ada sesal esok hari.

***

Bu Raji masih terjaga, menunggui Guntur yang belum juga tidur. Berkali-kali ia menjenguk ke dalam kamar anaknya. Ia tak begitu saja merasa tenang, walau dokter mengatakan tak ada yang cedera pada tubuhnya. Tapi luka di kepala, membuat Bu Raji merasa ngeri.

“Kamu belum tidur? Apa kepalamu masih merasa sakit?”

“Tidak Bu, Ibu saja tidurlah. Ini sudah malam.”

“Mengapa kamu belum tidur juga?”

“Guntur sudah bisa tidur tadi, ini baru saja terjaga karena haus.”

“Berkali-kali ibu melongok ke kamar kamu, kamu masih terjaga.”

"Sekarang Guntur sudah mengantuk lagi. Ibu tidur saja.”

Ketika bu Raji meninggalkan kamarnya untuk yang kesekian kalinya, Guntur memang belum merasa mengantuk. Bayangan Kinanti selalu terbawa, dan ucapannya masih terngiang ditelinganya. Ia merasa heran, apa benar dirinya ada di hati Kinanti? Jangan-jangan hanya ingin menyenangkan hatinya. Tapi untuk apa? Mungkin juga dia bercanda. Tapi mengapa ia tak tampak seperti bercanda. Guntur juga melihat wajahnya yang merah padam ketika dia menanyakannya. Apa arti semua itu?

Malam sudah larut, ketika Guntur terlelap dalam mimpi-mimpinya.

***

Wanda terbangun ketika sinar matahari mengintip dari korden jendela kamar.

Ia terkejut mendapati dirinya berada di sebuah kamar yang asing. Ia juga mendapati pakaiannya yang berantakan. 

"Apa ini, aku di mana. Dan mengapa seperti ini? Apa yang terjadi?

Wanda bangkit, lalu menyadari bahwa dia tidak sendiri. Ia tadi berada dalam selimut yang sama.

"Zaki?"

Wanda berteriak. Ia baru sadar apa yang terjadi. Ia baru mengerti bahwa dirinya tidak bermimpi. Semalam ... ya ampuun.. ada sesuatu ... sesuatu yang tak pernah dibayangkannya. 

"Zakiii!" Wanda berteriak lagi sambil mengguncang tubuh Zaki yang masih terlelap.

Zaki hanya menggeliat. Lalu kembali memejamkan mata.

Wanda turun dan mengambil pakaian yang berserakan. Tertatih ia ketika berjalan kearah kamar mandi. 

"Duuh... sakit semua rasa tubuhku. Mengapa bisa terjadi? Aku sudah gila," gumamnya berkali-kali.

Ketika dia kembali, dilihatnya Zaki sudah membuka matanya.

"Kamu sudah mandi?” tanya Zaki.

"Antarkan aku pulang," katanya kesal.

"Heii... mengapa cemberut? Semalam kamu begitu manis," kata Zaki sambil tersenyum. Lalu ia  bangkit dan melompat turun begitu saja, dan seenaknya berjalan ke  kamar mandi. Wanda memalingkan muka karena malu.

***

"Kamu sudah bangun?" tanya bu Raji ketika melihat Guntur dari dalam kamarnya.

"Sudah dari tadi Bu. Ibu sedang masak?"

"Tidak. Ibu hanya beli lauk matang untuk sarapan."

"Sebenarnya Guntur saja tadi yang beli Bu, warung makan agak jauh dari sini bukan?"

"Tidak juga. Sebelum perempatan ada warung kecil yang menjual beberapa lauk."

"Ibu jangan terlalu memikirkan Guntur. Guntur tidak sakit apapun."

" Luka sampai kepala dijahit ... tidak apa-apa?"

"Tidak seberapa. Guntur masih bisa melakukan banyak hal. Dua hari lagi Guntur akan ketemu Kinanti dan membicarakan tentang kelanjutan kuliah. Pak Bono sudah mengingatkannya."

"Iya. Ibu tahu. Tapi jangan melarang ibu melakukan apa-apa. Ibu juga merasa sehat."

"Benar?"

"Ibu akan tetap kuat dan akan menunggui kamu sampai menjadi orang."

"Aamiin, benar ya Bu, Ibu harus selalu sehat."

"Iya, sudah jangan ngomong saja. Ayuk sarapan."

***

Menepati janjinya, Zaki mengantarkan Wanda pulang ke Semarang.

Disepanjang jalan tak henti2nya Zaki menggoda Wanda yang terus menerus cemberut.

"Kamu jangan marah. Bukankah malam tadi begitu indah?"

"Kalau aku hamil bagaimana?"

" Itu bagus."

"Apa maksudmu bagus?"

"Aku jelas ayahnya. Ya kan?"

"Kamu mau bertanggung jawab?"

"Percayalah. Tapi biasanya mereka lalu menggugurkan kandungannya," kata Zaki enteng tapi membuat mata Wanda terbelalak.

"Biasanya? Kamu sudah sering melakukannya?" pekik Wanda.

Zaki tertawa.

"Wanda. Ini hal biasa bagi anak muda seperti kita kan?"

Tiba-tiba ponsel Wanda berdering. Dari ayahnya.

"Ya Pak."

“Wah, ternyata acara siang dibatalkan, karena sudah banyak yang pada pulang.”

“Lalu bagaimana?”

“Bapak pulang hari ini, ini sudah ada di pesawat. Tapi ada oleh-oleh buat kamu, dari tante-tantemu. Kamu pasti senang.”

“Aap … app …pa?”

“Hei, kenapa kamu gugup? Kamu lihat saja nanti, sebentar lagi bapak dan ibumu sudah sampai rumah. Kamu tidak main ke mana-mana kan?”

“Ti … tidak.”

“Bagus. Siap-siap menerima oleh-oleh yang kamu pasti akan sangat suka.”

Wanda menutup ponselnya, wajahnya pucat pasi.

“Ada apa?”

“Ayahku pulang siang ini, bagaimana Zak?”

“Kamu takut?”

“Takut dong Zak, aku kan bilang tidak ke mana-mana. Ini bagaimana? Kamu harus ngebut Zak. Aku nggak mau kena marah?”

“Waduh, ngebut? Jalanan begini ramai, karena ini akhir pekan. Kamu harus mengerti.”

“Kamu juga harus mengerti Zaki, aku tidak mau kena marah. Aku mau segera sampai di rumah.”

“Kalau begitu kamu terbang saja sana,” kesal Zaki.

Padahal Wanda benar-benar ketakutan.

“Ini kan salah kamu. Mengapa aku harus menginap di rumah kamu!” Wanda mulai berteriak.

“Hei, jangan berteriak. Kamu juga mau. Kamu suka. Mengapa sekarang menyalahkan aku?”

“Bukankah kamu memaksa?”

“Siapa bilang aku memaksa? Aku biasa saja. Kamu juga mau. Kamu suka. Kamu menikmatinya.”

“Zaki!! Jangan bicara masalah semalam. Aku hanya memikirkan untuk segera sampai ke rumah.”

“Kamu melihat nggak, jalanan sangat ramai. Aku sudah menyalip kendaraan beberapa kali karena kamu. Tapi lihatlah, aku tidak bisa selamanya memacu kendaraan tanpa perhitungan.”

“Zaki, tolonglah! Aku takut sekaliii!”

“Diaaaam!!” Zaki kehilangan kesabarannya. Rengek Wanda seakan tidak melihat situasi jalanan. Zaki sudah mempercepat laju kendaraannya, tapi tidak bisa seperti yang diinginkan.

“Ya ampuun, Zaki … tolong akuuu,” Wanda semakin panik, dan itu juga membuat Zaki semakin marah.

“Diaaam, atau aku lempar kamu keluar!”

Wanda menangis terisak, tapi lama-lama tangisan itu menjadi semakin keras.

“Teruslah menangis!! Aku benar-benar akan melempar kamu keluar nih!!”

“Zakiiiii!! Kamu harus mengertiii…”

Zaki mendiamkannya, tapi karena Wanda terus berteriak, Zaki melayangkan sebelah tangannya untuk menampar Wanda, membuat Wanda menangis semakin keras.

***

Bibik pembantu sudah selesai membersihkan rumah di siang hari itu. Ia bersiap mengunci lagi rumahnya, untuk melihat jemuran di belakang rumah, tapi tiba-tiba sebuah taksi berhenti di halaman.

Bibik urung menutup pintu, karena melihat kedua majikannya turun dari atas taksi. Tapi ada rasa takut di hati bibik, karena Wanda belum pulang sejak kemarin. Padahal wanti-wanti Wanda meminta agar bibik tidak mengatakan kalau Wanda pergi kemarin pagi.

“Aduh, bagaimana jawabku nanti kalau tuan dan nyonya bertanya?” kata bibik dalam hati, sambil mengambil bawaan sang majikan yang masih ada di bagasi taksi.

“Kok sepi, mana Wanda?”

Bibik bergegas ke belakang, pura-pura tak mendengar pertanyaan tuan majikan. Padahal ia tahu bahwa pada akhirnya mereka juga akan melihat bahwa Wanda tidak ada di rumah.

“Mana Wanda? Masih tidur ya?” ganti sang nyonya majikan bertanya, sambil mengarah ke kamar Wanda.

“Matiiih… aku,” desah bibik. Tapi tuan majikan mendengarnya.

“Ada apa? Kenapa mati?”

“Itu … tuan … non Wanda … non Wanda … tidak ada di rumah ….” gugup bibik menjawabnya.

“Apa katamu? Wanda pergi?” teriak pak Wita.

“Wanda tidak ada di kamarnya, ke mana dia?” bu Wita keluar dari kamar Wanda dan kecewa karena tidak menemukan anaknya di sana.

“Ke mana nona?”

“Tu … tuan, nona pergi …”

“Kapan perginya? Tadi aku menelpon, dan bilang kalau aku sudah mau pulang.”

“Sejak … sejak kemarin, Tuan …” bibik terpaksa berterus terang. Lebih baik dimarahi Wanda dari pada kena marah majikan lalu dipecat.

“Kemarin?” pak Wita dan bu Wita berteriak hampir bersamaan.

Tiba-tiba ponsel pak Wita berdering. Tanpa membaca siapa yang menelpon, langsung diangkatnya.

“Hallo, benar saya dengan Bapak Suwita?” suara dari seberang.

“Ini saya.”

“Saya dari kantor polisi.”

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

53 comments:

  1. 💚🪴💚🪴💚🪴💚🪴
    Alhamdulillah 🙏💝
    JeBeBeeL_20 sdh tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat, bahagia
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam aduhai🦋😍
    💚🪴💚🪴💚🪴💚🪴

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Sari
      Aduhai

      Delete
  2. 🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃

    Alhamdulillah.. Syukron..🙏

    JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 20, sudah tayang.

    Semoga Bu Tien selalu sehat dan berkarya. Aamiin 🤲 🤲 🤲

    🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang

    ReplyDelete
  4. Matur nwn bu Tien, salam sehat dari mBantul

    ReplyDelete
  5. Matur nwn bu Tien, salam sehat dari mBantul

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbungnipun 🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah, matur nuwun mbakyu Tien "JBBL~20"nya
    Salam hangat, semoga sehat selalu....makin ADUHAI

    Reply

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Sis
      ADUHAI

      Delete
  8. Alhamdulillah JaBiBuLa 20 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu Tien🙏
    Sugeng ndalu, mugi Bu Tien & kelg tansah pinaringan sehat & bahagya 🤲

    ReplyDelete
  9. Alhamdullilah sdh tayang jbbl nya bunda..terima ksih dan slmt weekend bersm keluarga..salam seroja dan tetap aduhai unk bundaqu🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah sudah tayang
    Terima kasih bunda semoga sehat walafiat
    Salam aduhai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Endah
      Aduhai

      Delete
  11. Alhamdulillah JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU~20 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete
  12. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga tetap sehat walafiat...

    ReplyDelete
  13. Alhamdulilah , maturnuwun bu Tien... sehat sehat nggih bun

    ReplyDelete

  14. Alhamdullilah
    Matur nuwun Cerbung *JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 20* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Wedeye

      Delete
  15. Alhamdulillah... Sehat selalu mbakyu

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),20 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  17. Nah... sukses kan Wanda dan Zaki bersenang senang. Tapi berbuah sesuatu yang tidak menyenangkan. Mungkin mobil Zaki kecelakaan??
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Latief

      Delete
  18. Kntr polisi? Jgn2 kec lg? Mana mlm minggu lg? Jwbnnya hari Senin ya mb Tien? Slmt malming mb Tien...saatnya bersama keluarga...trmksh jbblnya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selamat malming juga jeng Sapti
      Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun

      Delete
  19. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien tayangan cerbungnya
    Semoga sehat² selalu

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah... terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhaiii

    ReplyDelete
  21. .Terima kasihi Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 20 Layu...sampun tayang.
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala.
    Selamat berakhir pekan Bunda.

    Waduh kasihan.. Wanda...sudah jatuh, ketimpa tangga. Eh...salah..😁..habis bersenang senang..menyesal kemudian, kecelakaan di jalan lagi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  22. Begitu kesampaian maunya maen buang dijalan aja, syukur biså sadar bisa ditanyai.
    Kalau sampai parah pakai banget aduh susah juga ngelacaknya, kepanikan dasarnya susah mikir jernih.
    Awal keraguan sebenarnya juga tanda, mesthi tegar ambil sikap.
    Nggak peduli berusaha tetap pada sikap tegas, walau bagaimana pun baru dikenal, waspada sangat perlu.
    Bênêr bênêr grandong tuh orang, ikut prihatin


    Terimakasih Bu Tien
    Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke dua puluh sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun mas crigis

      Delete
  23. Wanda kecelakaan...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete

DIMANA

 DIMANA (Tien Kumalasari) Hai malam Temaram dan gelap menyelimutimu Sepi menyengat Dingin menyergap Nanap mataku memandangi langit Tak tampa...