Wednesday, December 25, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 47

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  47

(Tien Kumalasari)

 

Bu Nuke terkejut atas sambutan sahabatnya ketika dipeluk. Tak terduga, dan membuatnya kemudian bengong. Tas tangannya yang apik jatuh ke lantai, kemudian dipungutnya sambil bersungut-sungut.

“Mbakyu ini sakit apa sih? Kata pembantu sakit perut, tapi sikapnya kayak orang sakit jiwa,” gerutunya pelan, hampir tak terdengar, dan untunglah memang bu Wirawan tak mendengar. Kalau saja dia mendengar, barangkali dia sudah meraih botol infus yang masih agak penuh lalu dilemparkannya kepada ‘sang sahabat’.

“Mbakyu tidak mengenali aku ya? Ini aku, Nuke. Prihatin mendengar mbakyu sakit,” katanya sambil duduk lebih santai.

Tapi bu Wirawan tidak menatapnya sama sekali. Matanya kembali terpejam.

Bu Nuke meraih tangannya, pelan, tapi bu Wirawan mengibaskannya.

“Bachtiaaar," justru bu Wirawan memanggil Bachtiar. Tapi kemudian Arumi bergegas mendekat.

“Mas Bachtiar belum datang Bu, tadi kan pamit ke kantor sebentar,” katanya tanpa menatap bu Nuke.

“Kalau begitu suruh orang ini pergi. Bukankah dokter menyuruh aku tak boleh banyak pikiran?”

Arumi menatap sang tamu dengan heran. Bukankah mereka bersahabat? Mengapa ibu mertuanya menyambut sinis dan bahkan menyuruhnya pergi?

“Mbakyu, mengapa Mbakyu bersikap begini, apa Mbakyu lupa siapa aku? Aku ini Nuke, Mbakyu. Nuke, ibunya Luki,” katanya sambil menggoyang-goyangkan kaki bu Wirawan.

“Arumi, apa kamu tidak mendengar perintahku?” katanya pelan, tapi tandas.

Arumi kembali menatap bu Nuke, yang masih tampak kebingungan.

“Kalau dia ada, aku jadi kepikiran yang tidak-tidak, nanti dokter memarahi aku,” lanjutnya.

Arumi jadi bingung, Ia memang tak suka pada ibunya Luki yang selalu merendahkan dia, tapi mengusirnya? Arumi tidak pernah bersikap kasar kepada siapapun juga. Mengusir halus? Bagaimana caranya? Walau halus sekalipun, yang namanya mengusir juga tetap seperti tindakan kasar.

“Arumi!” nada suara bu Wirawan menjadi agak tinggi.

Bu Nuke segera berdiri. Ia tahu bahwa dia diusir, dan yang disuruh mengusir adalah Arumi. Ia menatap Arumi dengan penuh kebencian. Kenyataan bahwa bu Wirawan telah berbaikan dengan menantunya yang gadis dusun itu, membuatnya sakit. Arumi belum sempat mengucapkan apapun, ketika kemudian bu Nuke beranjak pergi dengan cepat. Ia bahkan lupa bahwa kedatangannya adalah untuk memintakan maaf kepada Arumi atas semua kesalahan Luki terhadapnya.

Sebelum bu Nuke sampai ke pintu, Arumi justru sempat berteriak.

“Maaf Bu.”

Tapi bu Nuke tak menggubrisnya. Ia membuka pintu dan menutupnya dengan keras. Arumi menghela napas, kemudian menatap sang ibu mertua yang juga sedang menatapnya.

“Mengapa ibu mengusirnya?” tanyanya hati-hati.

“Kamu tidak merasa kesal kepada orang yang telah mencelakaimu?”

Arumi tak menjawab.

“Dia mamalsukan surat dari rumah sakit, anaknya yang bernama Luki pernah menculik dan hampir mencelakai kamu,” katanya pelan.

"Kalau saja aku yang diperlakukan seperti itu, aku pasti sudah mendampratnya habis-habisan. Kamu tampak biasa saja," lanjutnya.

“Kebencian itu kan hanya akan menyakiti diri kita? Kalau kita bisa melepaskan rasa benci itu, maka perasaan kita akan menjadi nyaman. Sekarang ini saya tidak merasakan apa-apa. Sakit hati? Tidak. Dendam, juga tidak. Dan itu membuat saya merasa selalu nyaman.”

Bu Wirawan menatapnya tajam. Gadis ini, yang bocah dusun, tapi bisa bicara tentang kebajikan, ketenangan jiwa. Tidak benci, tidak dendam? Ya Tuhan, sudah lebih setengah abad umurnya, tapi bu Wirawan belum pernah bisa menjalaninya. Kalau dia kesal, marahlah dia. Bagaimana caranya melepaskan rasa benci dan kesal? Masa ia harus berguru kepada bocah dusun yang lugu, yang tak pernah membencinya walau dia benci setengah mati padanya. Ia bahkan merawatnya penuh perhatian. Sikap tak acuhnya tak membuatnya mundur, dan tetap melayaninya dengan manis. Terbuat dari apa hati perempuan ini?

Dan bu Wirawan terus menatapnya.

“Apa yang Ibu pikirkan?” tanya Arumi sambil tersenyum.

“Apa kamu tahu bahwa aku sangat membencimu?”

“Bagaimana kalau saya tidak tahu, dan bagaimana kalau saya tahu?”

“Kalau tidak tahu, rasanya tidak mungkin. Aku selalu mengucapkan kata-kata pedas di hadapanmu. Merendahkan kamu, menghina kamu. Tapi kalau tahu, mengapa sikapmu tetap manis dan santun terhadapku?”

Arumi tertawa pelan, kedua tangannya memegangi tangan mertuanya dengan lembut.

“Bukankah semua yang Ibu katakan itu benar? Bahwa saya gadis dusun, bodoh, tidak menarik, berpakaian lusuh. Bagaimana saya harus bersikap kalau memang itu adalah benar? Masa saya harus menjawab ‘tidak’?”

“Arumi, sekarang aku mengerti, mengapa Bachtiar memilih kamu, dan bukan gadis modern yang pintar dan berpenampilan menarik serta tak ada cacat celanya ketika dipandang. Aku minta maaf,” lalu air mata merebak dipelupuknya, membuat Arumi justru merasa serba salah. Bukan kata maaf itu yang Arumi inginkan, tapi sikap baik dan mau menerima dirinya itulah yang ia dambakan. Ia bukan hanya mencintai Bachtiar, tapi juga ingin mencintai seluruh keluarganya. Kalau boleh, dia juga ingin dicintai seperti keluarga sendiri juga. Tapi sebenarnya dia tidak begitu berharap, mengingat perbedaan status yang bagaikan bumi dan langit, diantara keluarganya dan keluarga Bachtiar.

Arumi mencium tangan ibu mertuanya dengan manis.

“Jangan Ibu pikirkan apapun. Ketika Ibu mau berbicara dengan saya, walau sedikit saja, saya sudah merasa senang. Mengapa Ibu harus meminta maaf?”

“Aku menyakiti kamu, bukan?”

“Tidak, sungguh tidak, Bu.”

“Terima kasih, Arumi.”

Bahkan baru hari ini sang ibu menyebut namanya, dan itu membuat Arumi merasa sangat bahagia.

“Oh ya, saya ada tamu dari desa, mereka datang kemari karena mendengar Ibu sakit, tapi tadi tidak berani mengganggu, karena dilihatnya Ibu tidur.”

“Iya, aku juga mendengarnya.”

“Bolehkah kemari mendekati Ibu?” tanya Arumi, hati-hati.

“Ya, tentu saja.”

“Bu Carik, ini ibu sudah bangun," kata Arumi memanggil tamu-tamunya.

Mereka bertiga berdiri dan mendekati tempat tidur bu Wirawan.

“Ini mas Yono, dulu anak buahnya mas Tiar. Ini Wahyuni, istrinya, dan ini bu Carik, ibu mertua mas Yono,” kata Arumi memperkenalkan.

"Ikut prihatin, mendengar Ibu sakit,” kata bu Carik.

“Terima kasih banyak. Hanya gangguan lambung, karena makan tidak teratur,” kata bu Wirawan pelan. Wajahnya sama sekali tak menunjukkan rasa benci ataupun kesal. Orang desa, tiba-tiba bukan membuat bu Wirawan merasa jijik atau mengecilkannya, karena berkaca pada Arumi yang juga orang desa, tapi bersikap begitu lembut dan santun.

“Ibu, ini bu Carik membawa pisang ambon dan pisang kepok suluhan, dua hari lagi bisa dibuat kolak atau direbus biasa,” kata Arumi.

“Aku sangat suka pisang rebus. Terima kasih, mengapa repot-repot?”

“Tidak repot, itu mengambil dari kebun sendiri,” kata bu Carik.

“Menyenangkan kalau punya kebun pisang,” kata bu Wirawan.

“Arumi, suguhin tamu-tamu dengan pantas. Ada kue-kue yang kemarin dibawa orang-orang kantor. Masa aku harus menghabiskan sendiri.”

“Iya Bu.”

Ketika mereka sudah kembali duduk, Bachtiar datang dan sangat gembira menyambut kedatangannya.

“Maaf, aku agak lama.”

“Tidak apa-apa, pak Bachtiar, kami juga belum lama.”

“Sudah ketemu ibu?”

“Sudah. Ibu senang menerima kedatangan sahabat dari desa.”

“Syukurlah,” kata Bachtiar.

Bu Carik segera mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu menemui Arumi dan memintakan maaf atas kesalahan suaminya. Bachtiar menatap istrinya, yang disambut senyuman.

“Mengapa minta maaf? Aku sudah memaafkan sejak lama,” katanya sambil memegangi tangan Wahyuni.

“Kapan punya anak?” kata Arumi ceplas-ceplos, membuat wajah Wahyuni merah menahan malu.

“Doakan saja. Kamu sendiri juga harus segera punya momongan lhoh,” seru bu Carik, yang membuat Arumi ikutan tersipu.

“Arumi mau sekolah dulu Bu, biarkan saja. Dia masih kecil,” ledek Bachtiar, yang kemudian berteriak karena Arumi mencubitnya.

Benar-benar tampak meriah pertemuan itu, membuat bu Wirawan merasa menemukan suasana yang berbeda. Rupanya derajat dan harta tidak serta merta membuat orang bahagia. Justru kesederhanaan adalah keakraban yang tulus. Mana pernah bu Wirawan membayangkan akan berdekatan dengan orang-orang sesederhana dan setulus mereka? Dan ternyata semuanya terlihat manis.

***

Bu Nuke mengomel panjang pendek di dalam kamar hotelnya. Ia tidak mengerti pada sikap sahabatnya yang berbalik seratus delapanpuluh derajat terhadap dirinya. Ia datang memeluknya dengan hangat, tapi bu Wirawan malah mengusirnya. Tidak langsung kepadanya pula, suruhan menantu desanya yang dulu amat dibencinya. Kapan mereka kompak dan kapan sahabatnya itu bisa menerima gadis desa itu sebagai menantunya?

Gara-gara merasa tersakiti, maka bu Nuke lupa maksud kedatangannya yang adalah untuk meminta maaf kepada Arumi. Walau enggan, bukankah dia harus melakukannya? Tapi bagaimana kalau kemudian yang terjadi adalah dirinya malah diusir oleh sahabat yang sejak lama selalu mendukungnya?

Tadi juga ketemu Arumi, tapi mulutnya seperti terkunci ketika ingin mengucapkannya, lebih-lebih ketika itu ia sedang sangat marah mengingat sikap bu Wirawan kepadanya.

Ketika asyik melamun itulah ia kemudian tak menyadari bahwa ponselnya sudah berdering lama sekali. Begitu sadar, bu Nuke segera mengangkatnya. Dari suaminya.

“Ya, Pa.”

“Kamu sudah ketemu gadis itu? Siapa namanya? Arumi kan?”

“Belum Pa, eh .. sudah.”

“Gimana sih jawabannya, nggak jelas. Jadi sudah ketemu, dan sudah meminta maaf?”

“Belum.”

“Lhoh, lha ngapain kamu ketemu dia? Mengajaknya bercanda?” kesal sang suami.

“Situasinya tidak mendukung.”

“Apa maksud Mama?”

Lalu bu Nuke menceritakan kepada suaminya, bahwa kedatangannya menemui bu Wirawan tidak diterima dengan baik, bahkan dia diusirnya.

“Diusir? O, aku tahu. Sebenarnya aku menelpon ini juga ada hubungannya dengan pertemuanku dengan dokter Suharto.”

“Dokter Suharto?”

“Yang menangani sakitnya Luki setelah dioperasi. Ia mendapat berita dari temannya, dokter Adi, bahwa Mama telah memalsukan nama rumah sakitnya dengan memberi catatan sakit Luki yang disebut sangat parah. Kanker stadium akhir dan rumah sakit tidak sanggup menanganinya. Benarkah?”

“Ap … apa? Aku … aku … “

“Pemalsuan itu membuat pihak rumah sakit keberatan. Kemungkinan, Mama akan dilaporkan atas pemalsuan surat itu.”

“Ap ..ap .. apa? Dilaporkan? Bagaimana … dia bisa tahu? Bachtiar melaporkannya?”

“Dia punya teman namanya dokter Adi. Dokter Adi membawa surat dengan kop resmi rumah sakit, dimana mas Harto menjadi pimpinan di sana. Dan ternyata surat yang dibawa dokter Adi itu palsu.”

“Lalu … lalu bagaimana? Apakah aku .. juga akan .. dipenjara?” akhirnya bu Nuke menangis. Bukan tangis pura-pura seperti ketika membujuk Bachtiar.

“Aku sedang mengupayakan jalan damai, seandainya mereka belum melaporkannya. Kamu memang keterlaluan Ma, barangkali bu Wirawan sudah mendengar kebohongan ini juga, sehingga marah sama Mama.”

“Lalu apa yang harus aku lakukan Pa?”

“Belum tahu. Masalahmu sedang aku urus. Temui Arumi kalau bisa.”

Bu Nuke menangis sejadi-jadinya ketika sang suami menutup ponselnya tiba-tiba. Penyesalan demi penyesalan mengungkung perasaannya.

***

Pagi hari itu bu Wirawan siap untuk pulang, dengan catatan makan teratur dan tidak boleh banyak pikiran. Bachtiar menunggu dokter yang akan memeriksanya sebelum pulang, sedangkan bibik membantu mengemasi barang-barang yang harus dibawa.

“Arumi mana?” tanya bu Wirawan.

“Arumi pulang pagi-pagi, karena hari ini dia harus sekolah,” jawab Bachtiar.

“Oh, iya. Aku lupa. Kemarin dia sudah mengatakannya.”

“Ketika dia pulang, Ibu masih tidur.”

“Aku tidur nyenyak sekali.”

“Syukurlah. Berarti Ibu sudah sehat. Nanti  setelah di rumah, Ibu harus mentaati semua anjuran dokter. Makan teratur, tidak terlalu capek dan banyak pikiran.”

“Iya, aku tahu. Kemarin dulu itu aku bingung memikirkan banyak masalah.”

“Masalah apa?”

“Masalah Luki, aku kaget sekali ternyata Luki mampu melakukan hal buruk seperti itu.”

“Makanya, kalau menilai orang itu jangan hanya dari penampilannya saja.”

“Iya, ibu tahu. Sekarang ibu  mengerti, kamu telah memilih istri dengan benar. Arumi gadis yang baik.”

“Bachtiar mengerti, pada suatu hari ibu akan senang memiliki menantu Arumi.”

“Cepatlah punya anak, ibu ingin segera menggendong cucu.”

Bachtiar terbahak.

”Sabar Bu, Arumi biar menyelesaikan sekolahnya dulu.”

“Iya, benar. Ibu sabar menunggu kok.”

***

Siang hari itu Bachtiar pulang dari kantor.  Sebelum sampai di rumah, ia bertemu bu Nuke yang sedang berjalan kaki. Bachtiar heran, apa bu Nuke baru datang dari rumahnya? Bachtiar menghentikan mobilnya.

“Dari mana Tante?” tanyanya setelah turun.

“Sebenarnya aku dari rumahmu, maksudnya ingin ketemu istrimu.”

“Arumi di rumah pastinya. Apa dia pergi ya?”

“Ada, tapi aku nggak jadi masuk.”

“Kenapa?"

"Aku tidak menyangka, tanpa ada suaminya, Arumi menerima kedatangan seorang laki-laki di rumah.”

“Apa?”

***

Besok lagi ya.

 

71 comments:

  1. πŸŽ„πŸŽ…πŸŽ„πŸŽ…πŸŽ„πŸŽ…πŸŽ„πŸŽ…
    Alhamdulillah πŸ™πŸ’ž
    KaBeTeeS_47 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat, bahagia
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam aduhaiπŸ¦‹πŸ˜
    πŸŽ„πŸŽ…πŸŽ„πŸŽ…πŸŽ„πŸŽ…πŸŽ„πŸŽ…

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien ..Salam SeRoJa Bismillah Biidznillah🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah.... Yg kutunggu sdh datang.... Matur Nuwun mbak Tien...πŸ™πŸ˜˜❤️
    Senantiasa sehat njih mbaak....
    Salam aduhai dr Surabaya πŸ™πŸ˜❤️❤️

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Nuwun jeng Dewi
      SΓ lam aduhai dari Solo

      Delete
  5. Alhamdullilah terima ksih bunda..slmt mlm dan salam sehat sll dri slbmi unk bunda sekeluargaπŸ™πŸ₯°πŸŒΉ

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah....
    Syukron Bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu dan selalu sehat. Aamiin. 🀲🀲🀲

    Orang jika hatinya dipenuhi kedengkian ya kaya bu Nuke itu, masak guru homeschooling dikira Arumni 'selingkuh'???

    Bu Tien memang "OYE"

    ReplyDelete
  7. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien semoga ibu sekeluarga sll sehat dan dalam lindungan Allah SWT, salam sehat dan aduhai aduhai bun

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Nuwun ibu Sri
      Sehat dan aduhai 2xg

      Delete
  8. Ibu Nuke memang luar biasa wataknya. Sdh punya kesalahan setinggi langit, masih mau mencari kesalahan orang lain.
    Trima kasih episodenya bu Tien. Salam hangat d manis selalu.

    ReplyDelete
  9. Hehe...siapa tamu Arumi ya? Apakah Sutris? Mulai ada konflik, seru nih...πŸ˜…

    Terima kasih, ibu Tien. Salam damai sejahtera.πŸ™πŸ»

    ReplyDelete
  10. Matur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya πŸ€—πŸ₯°

    Waduh bikin deg-degan nih Bu Tien 🀭, kirain cerita nya mau selesai , bisa saja itu gurunya Arumi ,,😁😁jd terbawa emosi , salam Aduhaiii

    ReplyDelete
  11. Arumi bersama laki - laki di rumah pasti gurunya, Bu nuke berprasangka buruk

    ReplyDelete

  12. Alhamdullilah
    Matur nuwun Cerbung *KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 47* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  13. Wah ...... tambah sèru mana Bahtiar suka gampang percaya, jangan2 Bu Nuke manas2in Bahtiar.
    Terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien "KBTS~47" nya. Semoga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah... ada pelajaran yg bisa kita petik. Semoga kita bisa menjalaninya dgn baik dlm kesehariannya. Matur nuwun sanget Bu Tien. Mugi Ibu & kelg tansah pinaringan sehat.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bagus skli tuh pelajaran bagi kita bersama

      KaBeTeeS 47
      Kita hrs selalu berbuat baik terhadap siapapun
      Hapus kebencian yg men dalam
      Arumi meskipun gadis dusun tp berhati mulia

      Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
      Ttp semangat dan ttp ADUHAI

      Delete
    2. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Nuwun pak Sis

      Delete
  16. Yang terlibat kejahatan akan diperiksa semua. Kalau bu Wirawan mungkin hanya sebagai saksi.
    He he he... Arumi sedang sekolah, tentu yang mengajar pak guru.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  17. Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 47 telah tayang

    Terima kasihi Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Pakdhe Tom dan Amancu di Sala.

    Tambah seru nih, Luki tersandung hukum krn kasus Penculikan dan Ibu nya tersandung hukum krn kasus Surat Palsu.
    Arumi tentu saja mau memaafkan Luki, tetapi pihak Rusah Sakit nama nya yang di palsukan, tentu saja tdk mau terima.
    Rasakan buah Simalakama yang kau perbuat ya tante Nuke..😁

    ReplyDelete
  18. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu....

    ReplyDelete
  19. Arumi...nnt minta sama mas Tiar, agar guru homeschooling nya wanita ya, agar tdk di gosipin oleh tante Nuke...😁😁

    ReplyDelete
  20. Nah ketahuan tuh tante Nuke kebiasaan ngerumpi, ngegosip tuh.
    Mau ngracun Tiar.
    NggamblΓ¨h wΓͺruh sitik, lambΓ© nΓ© dredeg klomat klamet kepingin dremimil, mbok sudah diganjel camilan biar jadi mama besar gitu.
    Lupa lagi mau minta maaf sama Rumi, jenthat jenthit ora niat minta maaf sama Rumi.
    Masih aja kepingin bikin heboh

    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien

    Ketika Bulan Tinggal Separuh yang ke empat puluh tujuh sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    πŸ™

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Nuwun pak Nanang atas kecrigisannya

      Delete
  21. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien ketika bulan tinggal separuh 47 sdh tayang
    Semoga bu tien selalu sehat² n dimudahkan dlm segala urusannya

    ReplyDelete

  22. Semoga masih panjang cerbungnya.
    Orang laki2 itu bukan gurunya, tapi orang lain.....sehingga. ....ijik dawa...

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillaah Ketika Bulan Tinggal Separuh - 47 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat selalu
    Aamiin Yaa Robbal' Aalamiin

    ReplyDelete
  24. Ibu Nuke ibarat semut kerengga, walau perut sudah pecah tapi masih berusaha menggigit...
    Terimakasih Mbak Tien..

    ReplyDelete
  25. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  26. Alhamdulillah.Maturnuwun cerbung hebat 🌹 semoga Bunda selalu sehat wal afiat πŸ€²πŸ™πŸ™πŸ™

    ReplyDelete

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 17

  JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  17 (Tien Kumalasari)   Wanda mengerucutkan bibirnya. Walau pelan, tapi suara Guntur berupa hardikan, sangat m...