Tuesday, December 3, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 28

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  28

(Tien Kumalasari)

 

Bachtiar mengucek matanya, dan bangkit dengan malas. Mengapa ibunya memarahinya? Kalau Luki kecelakaan, bukankah dirinya tidak bersamanya?

“Tiar, kamu sudah bangun kan? Kamu mendengar apa yang ibu katakan bukan?”

“Iya. Tiar mendengarnya. Mengapa Ibu seperti menyalahkan Tiar? Bukankah dia pergi sendiri?”

“Kamu tadi bersamanya kan?”

“Tapi dia sudah pulang sendiri.”

“Karena kamu menolaknya untuk menginap di rumah kamu. Sehingga terjadilah kecelakaan itu. Ini ibu sedang ada di rumah sakit, karena pihak rumah sakit menghubungi ibu.”

“Apa hubungannya Tiar tidak mengijinkan menginap, dengan kecelakaan itu?”

“Dia mengantuk sekali, sehingga tidak bisa mengendalikan kemudi. Dia menabrak pohon, dan kepalanya terluka parah.”

“Mengapa Ibu menyalahkan Tiar? Mana bisa seorang gadis menginap di rumah seorang laki-laki lajang? Itu tidak pantas. Belum lagi kalau ada tetangga mengetahuinya. Mengapa Tiar bersalah dalam hal ini?”

“Dia sudah sambat mengantuk. Harusnya sedikit saja kamu menaruh belas kasihan.”

“Rasa kasihan tidak harus membuat orang menerjang larangan. Tiar tidak mau disalahkan,” kata Bachtiar yang kemudian hilang rasa kantuknya karena amarah sang ibu.

“Kamu memang keterlaluan.”

“Tolong Bu, jangan menyalahkan Bachtiar. Bachtiar hanya memegang tata krama dan susila. Harusnya Luki sebagai seorang gadis lebih mengerti. Atau karena kelamaan di luar negri maka dia lupa pada aturan dan tata krama di negeri sendiri?”

“Jangan mencoba menggurui ibu dengan perkataanmu itu. Cepat pergi ke rumah sakit untuk menungguinya.”

“Menungguinya?”

“Ya iyalah Tiar, di sini dia tidak punya siapa-siapa. Masa ibu yang harus menungguinya.”

“Apakah lukanya parah?”

“Kamu lihat saja sendiri, jangan banyak bertanya pada ibu. Begitu kamu datang, ibu mau pulang. Kasihan dia.”

Bu Wirawan langsung menutup ponselnya.

Bachtiar menghela napas kesal. Ia yakin lukanya tidak begitu parah. Buktinya bisa bercerita pada ibunya, mengadu bahwa dalam keadaan mengantuk dirinya tidak mengijinkan Luki menginap.

Bachtiar ingin kembali tidur, tapi mengingat sang ibu yang masih ada di rumah sakit, ia mengurungkannya. Pasti sudah sejak tadi ibunya menunggu di rumah sakit.

Bachtiar mencuci wajahnya, lalu berganti pakaian, kemudian bergegas menuju ke rumah sakit.

***

Begitu sampai di rumah sakit, ia melihat ibunya sedang menelpon di lobi. Bachtiar mendekat, lalu sang ibu menghentikan pembicaraannya.

“Ibu sama siapa?”

“Sendiri, begitu ditelpon dari rumah sakit, ibu meminta sopir untuk mengantarkan. Ayahmu sedang ke luar kota. Ibu sudah sejak jam dua ada di sini.”

“Ya sudah, ibu pulang saja.”

“Dia sudah di ruang inap. Ibu antarkan kamu ke sana, lalu ibu mau pulang. Tunggui dia supaya hatinya tenang.”

“Ibu tidak menelpon keluarganya?”

“Baru saja ibu menelpon, tapi mereka kan baru bisa datang besok pagi, atau siang. Tergantung mendapatkan pesawat jam berapa.”

Mereka memasuki ruang rawat Luki, dan Bachtiar melihat Luki memejamkan matanya. Selang infus tersambung ke lengannya. Kepalanya berbalut perban. Mendengar langkah-langkah kaki, mata Luki terbuka.

“Tiar …” katanya sambil menangis.

“Kamu kenapa?” katanya tanpa menyentuhnya.

“Aku menabrak pohon asam. Habisnya, aku ngantuk sekali. Aku ingin menginap di rumah kamu, tapi kamu melarangnya,” sesalnya dengan isak.

“Lukamu bagaimana?”

“Parah.”

“Ya sudah, ibu mau pulang dulu ya, biar Bachtiar menemani kamu,” kata bu Wirawan sambil mencium kening Luki. Bachtiar memalingkan muka. Ia merasa, ibunya sangat menyukai Luki.

Luki hanya mengangguk.

“Separah apa? Kamu bisa bicara begitu lancar.”

“Dokter sudah menyuntik penghilang rasa sakit. Tapi kepalaku masih terasa berat. Mobil sebelah kiri ringsek. Kepalaku terantuk kaca, dan ada luka pecahan kaca.”

“Nanti aku tanyakan kepada dokter separah apa keadaanmu.”

Begitu bu Wirawan pergi, Luki meminta agar Bachtiar menungguinya di rumah sakit.

“Tidak bisa. Aku harus bekerja.”

“Tiar, kamu tidak kasihan pada aku ini?”

“Kamu bukan anak kecil. Banyak perawat menjagamu. Lagi pula keluargamu akan datang hari ini.”

“Tiar, aku takut sendirian.”

“Aku akan minta salah seorang perawat menjagamu di sini.”

Luki kehabisan akal untuk merayu Bachtiar agar mau menungguinya. Ia sudah tahu Bachtiar tidak menyukainya, tapi dalam keadaan dia terluka, apakah masih tidak mau menunjukkan belas kasihannya. Wajahnya menjadi murung.

“Aku akan segera pulang, nanti aku akan menelpon dokter yang merawat kamu,” katanya sambil berdiri dari kursi di samping tempat tidur yang semula didudukinya.

“Tiar.”

“Aku akan menemui perawat dan meminta salah seorang untuk menemani kamu di sini,” katanya sambil berlalu.

Luki menatap punggungnya dengan rasa putus asa. Ia mencari-cari ponselnya, tapi ia tak menemukannya. Ia ingin mengatakan kepada bu Wirawan bahwa Bachtiar tak mau menungguinya seperti yang dijanjikan bu Wirawan tadi.

***

Bachtiar sampai di rumahnya ketika suasana terang mulai merayapi bumi. Temaram yang tertinggal, mulai sirna. Bachtiar turun dari mobilnya, langsung masuk ke rumah dan mandi.

Ia ingin berangkat ke dusun Sabrang. Untuk melihat perkembangan pembuatan saluran air, tapi sekaligus untuk menemui Arumi.

Begitu keluar dari kamar mandi dan meraih baju ganti, ponselnya berdering lagi.

Bachtiar merasa kesal, ketika melihat ibunya menelpon. Ia tak ingin mengangkatnya, tapi ponselnya terus berdering.

“Ya, ibu.”

“Mengapa kamu pulang? Baru saja telpon dari rumah sakit mengatakan bahwa kamu tidak bersedia menemani Luki.”

“Pasti Luki yang menelpon ibu kan?”

“Ponsel Luki hilang, dia meminjam ponsel salah seorang perawat.”

“Ibu kan tahu bahwa Bachtiar harus bekerja?”

“Tapi Luki takut sendirian di kamar rawatnya.”

“Bachtiar sudah meminta perawat untuk menemaninya. Bachtiar tidak bisa menungguinya. Lagi pula lukanya tidak begitu parah.”

“Mengapa kamu meremehkan keadaan Luki? Kamu lihat kepalanya berdarah-darah kan?”

“Nanti Bachtiar akan menelpon dokter yang merawatnya, ibu tidak usah khawatir. Lagi pula keluarganya akan datang. Jadi ibu tidak usah mencemaskannya.”

“Tiar, kamu keterlaluan.”

“Maaf, Bu. Tiar harus berangkat pagi-pagi,” kata Bachtiar yang langsung menutup ponselnya. Kalau dia harus meladeni ibunya, bisa berjam-jam keberangkatannya tertunda.

***

Pagi hari itu Arumi sudah menjinjing keranjangnya, yang berisi sayuran, dan sebelahnya lagi menjinjing dagangan rempeyek yang akan dijualnya di pasar.

Baru saja dia keluar dari halaman rumahnya yang sempit, sebuah mobil berhenti di depannya.

Arumi tidak melupakan mobil itu, tapi dia terkejut setelah berbulan-bulan tidak bertemu, mengapa si dia menghentikan kendaraannya di depan pagar rumahnya.

Jendela mobil terbuka, wajah yang sudah lama dilupakannya nongol sambil tersenyum.

“Arumi, mau ke mana?”

“Ke pasar. Mau jualan.”

“Ayo aku antar,” katanya sambil turun dari mobil.

“Tidak usah Mas, saya biasa berjalan sendiri.”

“Kali ini aku akan mengantarkan kamu, sekaligus akan melihat proyek air bersih itu apakah sudah selesai atau belum, ayolah,” kata Bachtiar memaksa sambil meraih keranjang-keranjang yang dibawa Arumi. Jadi akhirnya mau tak mau Arumi mengikutinya.

Bachtiar meletakkan keranjang-keranjang itu di belakang, lalu membukakan pintu untuk Arumi, di samping kemudi.

Bachtiar menjalankan mobilnya pelan, dan melihat sikap Arumi yang dingin dan kaku.

“Arumi, apa kamu marah sama mas Tiarmu ini?”

Arumi menahan senyuman dalam hati. Mas Tiarmu? Kapan dirinya memiliki dia?

“Marah ya?”

“Tidak.”

“Mengapa sikapmu dingin, seperti tidak suka bertemu aku?”

“Entahlah. Lama tidak bertemu, rasanya asing saja.”

Bachtiar tertawa pelan.

“Asing ya? Karena tiba-tiba aku menemui kamu setelah lama tidak berjumpa?”

“Mungkin.”

“Aku kangen sama kamu,” kata Bachtiar pelan, sambil melirik ke arah Arumi. Ia melihat wajah Arumi memerah.

Ungkapan kangen itu menggetarkan hati Arumi. Arumi kecil tiba-tiba bisa merasa, bahwa sebuah kedekatan akan menimbulkan getaran-getaran aneh yang tidak dimengertinya. Dulu, ketika masih sering berjumpa, Arumi sangat mengagumi Bachtiar. Rasa kagum yang disebabkan oleh kebaikannya, perhatiannya, lalu tiba-tiba merasa sedih ketika merasa diabaikan. Arumi belum menyadari perasaan apa itu. Lalu sekarang ada debar aneh, ini belum pernah dirasakannya. Arumi mulai meningkat dewasa?

“Kamu tidak kangen sama mas Tiar?”

Arumi menoleh ke arah pria di sampingnya, tapi tidak menjawab pertanyaannya.

“Dulu aku pernah ingin menemui mas Bachtiar, tapi mas Bachtiar tidak mempedulikan aku.”

“Menemui untuk apakah? Pasti bukan karena kangen.”

“Aku ingin memarahi mas Tiar, mengapa tiba-tiba menghajar mas Sutris yang tidak salah apa-apa.”

“Oh, ya Tuhan. Itu aku sangat menyesal.”

“Katakan mengapa?”

Bachtiar merasa seperti anak kecil yang sedang dimarahi ibunya. Ia ingat, ketika itu ia mengingat pesan di ponselnya dari seseorang yang tidak dikenalnya. Pesan itu membuat hatinya panas, marah.

“Mengapa Mas?”

“Saat kamu menghilang itu, semua orang kebingungan. Aku bahkan sudah melapor ke polisi. Ketika itu aku mendapat pesan, entah dari siapa,” lalu Bachtiar membuka ponselnya, lalu menunjukkan pesan dari seseorang itu kepada Arumi.

Arumi menerima ponsel itu dan membacanya. Matanya terbelalak.

“Ini dari siapa?”

“Aku tidak tahu. Aku marah sekali setelah membacanya, makanya aku jadi lupa diri, kemudian menghajar mas Sutris.”

“Aku diculik oleh orang, yang sampai sekarang aku tidak mengerti siapa pelakunya dan apa maksudnya. Ketika aku disekap di sebuah rumah terpencil, tiba-tiba mas Sutris muncul, lalu menyelamatkan aku.”

“Jadi bukan dia yang menculiknya?”

“Mengapa dia menculik?”

“Bagaimana tiba-tiba dia tahu bahwa kamu disekap di tempat itu?”

“Dia sedang pergi bersama ayahnya, lalu turun di jalan.”

“Sungguh aneh. Apa kamu tidak curiga, mas Sutris bekerja sama dengan penculik itu?”

“Jadi Mas curiga juga pada mas Sutris? Dia bertengkar dengan mereka lhoh.”

“Apa kamu dilukai, atau diperlakukan buruk, bahkan tidak senonoh?”

“Tidak. Mas Sutris bahkan tidak menyentuhku.”

Bachtiar diam. Ia bukan orang bodoh. Kalaupun Sutris kemudian berhasil membawa pulang Arumi, tapi keberadaan Sutris yang tiba-tiba, menimbulkan teka teki. Seperti ada yang mengatur. Tapi melihat Arumi begitu mempercayai Sutris, Bachtiar diam saja. Ia harus menyelidikinya, entah dengan cara apa. Mungkin saja Sutris bisa mengecoh Arumi, dan membuat Arumi percaya, tapi tidak dengan dirinya. Hanya saja, kenyataan bahwa Sutris tidak menyentuhnya, membuat Bachtiar sedikit lega. Lalu apa sebenarnya motif penculikan itu? Mengapa tiba-tiba dengan mudah Sutris bisa membawanya pulang? Siapa tahu, Sutris hanya ingin menarik hati Arumi, agar Arumi menyukainya.

“Baiklah, aku sangat menyesal. Tapi semalam aku sudah bertemu mas Sutris dan meminta maaf.”

“Mas Tiar ketemu mas Sutris di mana? Bukankah semalam pak Carik punya kerja?”

“Aku diundang oleh pak Lurah. Jadi aku datang.”

“Sendirian?”

“Sebenarnya ingin mengajak kamu,” kata Bachtiar bercanda, menghindari  jawaban  bahwa dia datang bersama Luki.

“Aku tidak datang.”

“Mengapa? Aku mencari-cari kamu diantara yang datang.”

“Malu, mereka orang-orang kaya.”

“Sikap rendah diri kadang-kadang kurang bagus.”

“Tidak begitu. Toh kami memang tidak diundang oleh keluarga pak Carik. Kalau yang mengundang hanya mas Sutris, ya lebih baik tidak. Bagaimana kalau sesampai di sana pak Carik tidak menyambut dengan baik?”

“Apa kemudian kamu menyukai Sutris?”

“Tidak, sejak dulu kami dekat, hanya sebagai teman saja. Sampai sekarang, biarpun dia pernah menyelamatkan aku, tapi aku dan mas Sutris tetap hanya berteman.”

“Barangkali dia suka sama kamu.”

“Tidak. Sekarang dia kuliah di kota, kami jarang ketemu.”

Sedikit perasaan lega itu belum menghilangkan kecurigaan Bachtiar atas terjadinya penculikan itu.

“Arumi, kamu mau jualan?”

“Iya, sayur dari kebun kebetulan sudah bisa dipanen. Tapi kalau tidak ada sayur, saya menjual keripik atau rempeyek.”

“Bu Truno yang membuat keripik?”

“Iya. Lumayan, aku bisa menabung.”

“Wauuuw, hebat. Untuk apa uangnya?”

“Di desa Kemuning dibuka sekolah SMA, karena tak begitu jauh, aku ingin sekolah di sana. Katanya masuknya gratis, dan uang sekolahnya tidak mahal.”

“Bagus sekali Arumi. Aku mendukungmu.”

“Terima kasih, Mas.”

“Besok begitu kamu lulus, aku akan melamar kamu,” katanya sambil tersenyum menatap Arumi. Tapi Arumi mendadak menjadi pucat. Dilamar pak Bachtiar? Laki-laki ganteng dan kaya raya? Pasti dia bercanda.

***

Besok lagi ya.

59 comments:

  1. Horeeee
    Terima kasih Bu Tien, sehat terus dan terus sehat ya..
    💪🤝🙏

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang

    ReplyDelete
  3. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah
    Terimakasih bunda tien

    ReplyDelete
  5. Alhamdulilah maturnuwun bu Tien, semoga bu Tien sll sehat dan bahagia, salam hangat dan aduhai aduhai bun

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Nuwun ibu Sri
      Aduhai aduhai deh

      Delete
  6. Maturnuwun Bu Tien ... semoga dehat selalu

    ReplyDelete
  7. Ciye ciye...Mas Tiar sudah berani kangen-kangenan dengan Arumi...dan berniat meng-upgrade pendidikannya demi impian masa depan, mantap!👍🏻👍🏻😀

    Terima kasih, ibu Tien...salam hormat, srhat selalu ya...🙏🏻😘😘

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Nuwun ibu Nana
      Salam hangat

      Delete
  8. Alhamdulillah, Bu Tien Kumalasari. Semoga sehat selalu... Aamiin Ya Rabbal 'Aalamiin...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Nuwun Abah.
      Apa kabar ?

      Delete
  9. Alhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah...Terimakasih Bunda...semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  11. Mas Tiar akan mengusut penculik Rumi. Tentunya agar semua masalah jadi terang benderang. Kalau Luki ditangkap, mau apa dia..
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  12. Matur nuwun jeng Tien.
    Asyik Arumi mau melanjutkan sekolah.

    ReplyDelete
  13. Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 28 telah tayang

    Terima kasihi Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin

    Tiar sedang approach...nih ye

    Krn rayuan Tiar, wajah Arumi...merah...pucat lan pasi...😁😁💐

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete

  14. Alhamdullilah
    Matur nuwun Cerbung *KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 28* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
    Salam hangat, sehat selalu dan bahagia bersama Amancu. Selalu dalam lindungan Alloh subhanahu wa ta'ala. Aamiin

    ReplyDelete
  16. Matur suwun bunda Tien semoga bunda selalu sehat.. Aamiin...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Indi
      Kereta sudah berangkat?

      Delete
  17. Hatur nuhun bunda..slm sht sll unk bunda🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah... Mtbw mvakyu, Sehat selalu❤

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Kun.
      Apa kabar ?

      Delete
  19. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien tayangan cerbungnya, semoga bu tien sehat² selalu n tetap semangat

    ReplyDelete
  20. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...

    ReplyDelete
  21. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun ibu Reni

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillaah bisa baca juga,.
    Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat ya, 🤗🥰 melelahkan ya acara JF5 , tp menyenangkan berjumpa PCTK. jawa , Palembang & Jambi . In syaa Allaah berjumpa lg di JF6 . Bandung

    Bikin gemes nih Bu Tien,. Ibunya Tiar & Luki berulah jd bikin kesel Bachtiar.😁🤭

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 29

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  29 (Tien Kumalasari)   Arum menyelesaikan administrasi dengan segera. Peringatan bahwa dia harus beristira...