Wednesday, November 13, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 11

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  11

(Tien Kumalasari)

 

Ada perasaan tak enak di hati Arumi mendengar perkataan Luki yang mengucapkannya sambil menatap tajam. Apa yang sebenarnya dipikirkan orang kota nan cantik ini terhadap dirinya? Arumi ingin agar wanita itu segera pergi, tapi ia malah menatap rumahnya dan keadaan sekelilingnya. Memang hanya rumah sederhana, dindingnya tidak disemen. Gentingnya ada yang bolong dan belum sempat dibetulkan, hanya ada sedikit halaman yang ditumbuhi pohon kelapa dan mangga Talijiwa. Tampaknya gadis itu memandang rendah keluarga miskin ini.

“Apa Bachtiar sering kemari?” tanyanya lagi sambil menatap Arumi.

“Sering. Eh … beberapa kali saja … kami belum lama kenal,” kata Arumi yang meralat ucapan sebelumnya, karena beberapa kali datang dianggapnya sudah sering. Tapi ucapan itu membuat wajah Luki menjadi gelap.

Arumi, gadis dusun yang sederhana ini memiliki kulit yang putih dan halus. Tampaknya sengatan matahari tak mampu menyamarkan warna putih kulitnya menjadi gelap. Barangkali juga karena setiap hari makan sayur yang tentunya membuat kulitnya menjadi sehat, entahlah. Yang jelas Arumi yang berdiri di depan Luki itu mampu membuat Luki cemburu. Ia tahu, kalau wajah polos itu dipoles sedikit saja, kecantikannya sendiri tak akan mampu menandingi gadis dusun itu.

“Sering?” Luki mengulang kata sering yang diucapkan pertama kali oleh Arumi.

Arumi tertawa. Mentertawakan dirinya yang telah salah ucap dihadapan ‘calon istri’ laki-laki baik yang selalu menjadi penolongnya itu.

“Bukan sering, kan saya sudah meralatnya. Hanya beberapa kali datang.”

“Ada urusan apa?”

Arumi mengerutkan keningnya. Pertanyaan Luki terdengar seperti mengintimidasi. Kalaupun ada urusan, apa ia harus melaporkannya kepada si cantik yang semakin lama semakin membuatnya kesal itu?

“Hanya main saja,” jawab Arumi seenaknya.

“Main?”

Perkataan ‘main’ itu membuatnya curiga. Bachtiar, pemuda tampan ganteng yang penuh pesona itu sering main ke rumah si gadis desa yang kelihatan bersinar wajahnya ini? Hanya main, atau apa? Lagipula gadis itu masih seperti gadis ingusan.

“Ya, main. Dia sangat baik kepada keluarga kami,” kata Arumi lugu, bukan bermaksud memanas-manasi, tapi dia bicara apa adanya.

Luki yang merasa kesal tiba-tiba membalikkan tubuhnya, menghampiri mobilnya kemudian berlalu.

Arumi mengerutkan keningnya.

"Orang kota, wajahnya cantik, sepertinya berpendidikan, tapi tidak punya sopan santun. Meskipun ini rumah orang dusun, jelek, tapi mau pergi itu harusnya ya pamit, atau mengucapkan apalah. Kok langsung ngibrit,” omel Arumi sambil masuk ke dalam rumah. Aroma wangi yang menguar dari tubuh Luki menebar sampai ke dalam rumah.

“Orang kaya, tubuhnya wangi seperti aroma seribu bunga,” gumam Arumi lagi.

“Siapa?” tanya bapaknya.

“Orang,” jawab Arumi yang masih merasa kesal.

“Iya, bapak tahu itu orang, bukan dedemit. Maksud bapak tuh siapa dan ada perlu apa datang kemari.”

“Dia mengaku sebagai calon istri mas Bachtiar.”

“O, calon istri nak Tiar? Kenapa tidak disuruh masuk? Nak Tiar baik pada keluarga kita, sepantasnya kalau kita juga baik kepada calon istrinya,” kata pak Truno.

“Mana mau dia masuk? Dia memandangi rumah kita saja seperti orang jijik. Orang kaya mana mau singgah di rumah orang miskin seperti kita,” omel Arumi yang membuat kemudian simbok menegurnya.

“Nggak boleh bilang begitu. Belum tentu dia punya perasaan seperti yang kamu katakan itu.”

“Kelihatan mbok, orang baik atau bukan.”

“Eh, dari mana kamu menilai bahwa dia bukan orang baik?”

“Kelihatanlah Mbok. Ngomong seenaknya, lalu pergi ya begitu saja. Tanpa pamit, tanpa mengucapkan apa.”

“Dia kemari ada perlu apa?” tanya pak Truno.

“Mencari calon suaminya.”

“Mengapa dia mengira bahwa calon suaminya ada di sini?”

“Nggak tahu Pak. Barangkali diberi tahu oleh seseorang, bahwa mas Tiar sedang ada di rumah ini.”

“Sayang nak Tiar sudah keburu pulang.”

“Mas Tiar balik ke proyek, tadi mengatakan begitu.”

“Pasti dia juga mencari ke sana.”

“Iya, biarkan saja."

“Lain kali kalau menghadapi tamu jangan sambil mencibir begitu. Kok sepertinya kamu nggak suka sama dia.”

“Dia yang sepertinya nggak suka sama Rumi. Rumi bingung, memangnya salah Rumi apa, coba?”

“Kamu nggak sopan, barangkali.”

“Simbok ada-ada saja. Arumi bersikap sangat manis sama dia, tapi nggak tau kenapa, dia sepertinya nggak suka. Masa dia bertanya, ada urusan apa dia datang kemari. Nggak sopan.”

“Kamu jawab apa?”

“Rumi jawab ‘main’.”

“Kenapa kamu tidak menerangkan bagaimana kita mengenal nak Bachtiar?” kata sang ayah.

“Enggak Pak, terlalu panjang,” jawab Arumi sambil melangkah ke belakang untuk menuang air minum.

Arumi memang gadis dusun, tapi dia tak suka diperlakukan seenaknya. Kalau dia merasa benar, tak ada yang ditakutinya. Bapak dan simboknya hanya geleng-geleng kepala. Ia tahu, pasti tamunya bersikap tak menyenangkan anak gadisnya.

***

Luki menuju proyek, tapi ia tak menemukan Bachtiar. Ia bertemu Suyono yang sedang duduk di depan kantor Bachtiar. Terpesona oleh kecantikan Luki, Suyono segera menyambut kedatangannya dengan keramahan paling manis yang dimilikinya.

“Mbak mau memesan kios-kios yang sedang dibangun? Akan saya catat dulu, nanti akan saya sampaikan ke pak Bachtiar. Untuk nona cantik pasti akan diberi harga yang istimewa.” kata Suyono dengan senyuman yang dibuat-buat, membuat Luki muak melihatnya.

“Aku mencari Bachtiar.”

“Oh, pak Bachtiar sedang keluar. Kelihatannya sedang melihat lokasi baru yang akan dijadikan proyek yang lain. Kalau tidak salah untuk tandon air bersih, begitu Mbak.”

“Di mana letaknya?”

“Pak Bachtiar ditemani salah seorang rekan, sedang mencari lokasinya, saya belum tahu persis. Memangnya Mbak saudara pak Bachtiar?”

“Aku calon istrinya.”

“Apa?”

Dari terkagum-kagum dan seolah merasa bisa menarik hati gadis di depannya, Suyono menjadi terkejut. Dia membungkuk penuh hormat, takut si cantik melaporkan sikapnya yang genit kepada Bachtiar.

“Maaf, Bu. Saya tidak tahu. Kalau begitu silakan menunggu di dalam. Itu kantor pak Bachtiar.”

“Apa dia akan lama?”

“Entahlah, tapi perginya sudah agak lama, pastinya sebentar lagi akan kembali. Silakan duduk, saya pesankan minuman untuk Ibu … eh, bolehkah saya tahu nama Ibu?”

“Luki.”

“Ibu Luki, namanya bagus sekali. Silakan masuk. Mau minum apa? Teh, kopi, jahe?”

“Ada jus nggak?”

“Wah, nggak ada Bu, adanya yang saya sebutkan tadi.”

“Kalau begitu nggak usah. Biar aku menunggu di sini,” kata Luki sambil duduk didalam ruangan yang menjadi kantor Bachtiar.

Ia mengipas-ngipas dengan tangannya karena merasa gerah.

“Nggak ada AC ya?”

“Nggak ada Bu, adanya kipas angin, akan saya nyalakan.”

Suyono dengan terbungkuk-bungkuk segera menyalakan kipas angin yang ada di ruangan itu.

“Kamu kok tidak bekerja seperti yang lainnya?”

“Saya itu mandor Bu, salah satu mandor yang dekat dengan pak Bachtiar.”

“Oh,” katanya sambil mengipas-ngipas dengan tangannya. Bukan karena angin yang berputar di belakangnya kurang keras, tapi karena bau keringat Suyono yang menyengat ketika ikut duduk di dalam ruangan.

“Masih terasa gerah ya Bu?”

“Tidak. Lebih baik kamu keluar, biarkan saya sendirian.”

“O, baiklah.”

Tapi ketika Suyono melangkah keluar, Luki memanggilnya lagi. Ada yang ingin ditanyakannya, mengingat pengakuan Suyono bahwa dia dekat dengan Bachtiar.

Suyono membalikkan tubuhnya.

“Ya Bu.”

“Apa kamu tahu gadis yang namanya Arumi?”

“Arumi? Mengapa Ibu menanyakan dia? Dia itu gadis cantik yang menjadi kembang desa di sini. Tapi dia masih kencur.”

“Masih kencur itu apa?”

“Bau kencur. Masih anak-anak. Dia baru lulus dari SMP.”

“Kamu tahu nggak, Bachtiar suka main ke rumah dia?”

“Kok bu Luki tahu?”

“Iya apa tidak? Kamu tahu atau tidak?”

“Saya tahu, pak Bachtiar menaruh perhatian pada keluarga pak Truno.”

“Siapa pak Truno?”

“Bapaknya Arumi.”

“Apa Arumi kenal dekat dengan Bachtiar?”

“Saya tidak tahu persis Bu, tapi dulu pak Bachtiar pernah menanyakan pada saya tentang Arumi. Dulu, sebelum kemudian kenal dengan sendirinya.”

“Ya sudah, aku mau menelpon Bachtiar saja. Kamu keluar saja.”

“Biasanya kalau sedang ada pekerjaan, pak Bachtiar tidak suka ditelpon.”

Luki mengeluh, ponsel Bachtiar mati.

“Benar kan?”

Tapi kemudian justru ponsel Suyono yang berdering.

“Ini dari pak Bachtiar,” kata Suyono sambil mengangkat ponselnya.

“Kalau sudah berikan padaku,” titah Luki.

“Ya Pak, ini ada … oh … mau langsung pulang? Tidak kembali ke proyek? Oh, syukurlah. Ini ada …”

Belum selesai Suyono bicara, Bachtiar sudah mematikan ponselnya.

“Gimana sih kamu, kan aku bilang aku mau bicara?” kesal Luki.

“Tiba-tiba pak Bachtiar mematikan ponselnya. Saya baru mau bilang bahwa ada bu Luki di sini.”

“Coba hubungi lagi.”

Suyono memutar nomor Bachtiar, tapi ponselnya sudah dimatikan. Ia mengangkat bahu, dan membuat wajah Luki semakin muram.

“Tadi pak Bachtiar hanya bilang kalau tidak kembali ke proyek, masih ada yang dibicarakan dengan rekannya, lalu mau langsung pulang, begitu Bu.”

“Di mana dia berada sekarang ini?”

“Saya tidak tahu Bu, rupanya sudah ada kesepakatan tentang pemilik lahan atau entahlah, yang jelas pak Bachtiar ingin membuat proyek baru di desa ini. Dan sedang sibuk mengurusnya.”

“Sia-sia aku datang kemari,” gerutu Luki sambil bangkit.

Ia keluar dari ruangan kantor Bachtiar, dan menutup hidungnya ketika melewati Suyono, yang tersenyum cengar-cengir tanpa sadar bahwa bau keringatnya sangat mengganggu.

***

Bu Wirawan sedang duduk sendirian ketika Luki pulang ketika hari masih sore. Wajahnya yang muram, menunjukkan bahwa hatinya sedang tidak senang.

“Kok cemberut? Bachtiar marah melihat kamu menyusulnya?”

“Malah Luki tidak ketemu dia,” katanya sambil duduk di depan bu Wirawan.

“Tidak ketemu? Kamu kesasar? Tidak bisa menemukan di mana tempat proyek yang sedang digarap Bachtiar?”

“Ketemu proyeknya, tapi Bachtiar tidak ada.”

“Kamu tidak menelponnya, supaya dia tahu bahwa kamu menyusul ke sana?”

“Ponselnya mati. Bahkan karyawannya tidak bisa menghubunginya. Katanya dia sedang sibuk membuat proyek baru di desa itu,” sungut Luki.

“Ya sudah, nanti setelah ayah Tiar datang, kita ke rumahnya. Biar ibu bicara lagi sama dia.”

“Bachtiar sedang mengincar seorang gadis.”

“Apa?”

“Di desa itu ada seorang gadis cantik, Bachtiar sering mengunjunginya. Itu sebabnya dia menolak Luki.”

“Kamu dapat beritanya dari mana? Jangan percaya gosip.”

“Bukan gosip Bu, Luki bertemu sendiri dengan gadis itu.”

“Kamu? Bertemu dengan gadis itu? Dia gadis desa, atau gadis kota yang kebetulan ada di sana?”

“Gadis desa yang benar-benar desa. Dia sangat sederhana, tapi dia cantik.”

“Ah, yang namanya gadis desa itu cantiknya seperti apa sih Luk, kamu ada-ada saja. Jangan karena dibakar cemburu lalu kamu menduga yang tidak-tidak. Bachtiar itu temannya banyak, cantik-cantik, pintar-pintar. Beberapa kali ibu menjodohkannya, tapi sama sekali Bachtiar tidak tertarik. Dan sekarang dengan seorang gadis desa?”

“Luki tidak tahu persisnya bagaimana. Mungkin Bachtiar baru tertarik, entahlah. Tapi gadis itu dengan wajah berseri mengatakan bahwa Bachtiar sering ke rumahnya.”

“Dia anak orang kaya? Kepala dusun, barangkali?”

”Dia anak orang miskin. Tampaknya petani biasa. Rumahnya benar-benar gubug. Sama sekali tidak bisa disebut rumah, kalau dibandingkan dengan rumah-rumah lainnya.

“Kalau begitu jangan berpikir terlalu jauh. Nanti kita bicara serius kalau sudah ketemu. Sekarang istirahat sana, dan mandi. Sebentar lagi ayah Tiar datang, aku mau menyiapkan minum hangat dulu,” kata bu Wirawan sambil berdiri.

Luki melangkah ke kamarnya, masuk ke kamar mandi dengan perasaan malas. Bayangan gadis kecil yang berkulit mulus dan cantik melintas. Antara percaya dan tidak, Luki tetap merasa khawatir.

***

Sutris duduk di sebuah cakruk di pinggir sawah, agak jauh dari rumahnya. Ia mengangkat kedua lututnya, merangkulnya dengan wajah kusut. Penolakan ayahnya ketika ia mengutarakan perasaan cintanya kepada Arumi sangat membuatnya sedih. Sejak kemarin dia tidak pulang, membuat pak Carik dan bu Carik kebingungan.

Menyuruh Wahyuni mencari tanpa hasil, bu Carik berangkat sendiri mencarinya. Ia tertegun ketika melihat Sutris duduk sendirian di cakruk itu.

“Tris, apa yang kamu lakukan?”

Sutris terkejut, ia tak mengira sang ibu menyusulnya.

“Mengapa sejak kemarin kamu tidak pulang? Bapakmu bingung mencari kamu. Apa yang kamu lakukan di sini?”

“Sutris tidak akan pulang.”

“Apa maksudmu?”

“Kalau bapak tidak mau melamar Arumi, Sutris tidak akan pulang. Sutris akan pergi jauh. Tidak mau pulang.”

Bu Carik tertegun. Karena Arumi?

***

Besok lagi ya.

67 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang

    ReplyDelete
  2. 🌴🌷🌛🌛🌜🌜🌷🌴

    ***************************
    Alhamdulillah, KaBeTeeS_11 sudah tayang.

    Terima kasih
    Bu Tien, tetap berkarya. Membuat orang tersenyum itu bahagia.
    Salam SEROJA dari Bandung.

    ***************************

    🌴🌷🌛🌛🌜🌜🌷🌴

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah..matur sembah nuwun Mbak Tien
    KaBeTeeS _11 sudah tayang
    Salam ADUHAI..dari Bandung

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yèn salamku ditampa ora ya karo juragan gori.

      Delete
    2. Sami2 jeng Ning
      ADUHAI dari Babar Layar

      Delete
  4. 💚☘️💚☘️💚☘️💚☘️
    Alhamdulillah 🙏🤩
    KaBeTeeS_11 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat & bahagia.
    Aamiin.Salam seroja😍🦋
    💚☘️💚☘️💚☘️💚☘️

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah... matur nuwun Bunda Tien, smg sehat2 selalu

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  7. Mks bun KBTS 11 nya....selamat malam ...salam sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sami2 ibu Supriyati
      Selamat siang
      Salam sehat juga

      Delete
  8. Maturnuwun bu Tien , alhamdulilah cerbung kesayangan sdh tayang.. salam hangat dan aduhai aduhai bun

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH~11 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲..

    ReplyDelete
  10. Luki sudah pasang kuda kuda, siap menghajar yang dia anggap musuh. Tapi yang dikejar malah lari makin jauh...
    Arumi masih terlalu kecil, mas Tiar tentu terlalu lama menunggu.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    semoga sehat walafiat

    ReplyDelete

  12. Alhamdullilah
    Matur nuwun Cerbung *KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 11* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  13. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  14. Ya Arumi ...
    Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  15. Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 11 telah tayang

    Terima kasihi Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin

    Luki cemburu melihat kecantikan Arumi, gadis desa nan lugu. Luki tahu klu wajah Arumi di poles sedikit saja, kecantikannya sendiri tak akan mampu menandingi gadis dusun tsb...😁
    Luki mengaku kalah sebelum bertanding..nih.. 😁😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  16. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Cerbung sdh tayang
    Terima kasih bu tien
    Semoga bu tien selalu sehat²

    ReplyDelete
  17. Matur nwn bu Tien, srmoga sehat selalu 🤲

    ReplyDelete
  18. Wao ..makin seru aja...
    Terima kasih Bunda Tien ...salam sehat

    ReplyDelete
  19. Keren Arumi, berani juga ke Luki, salut 👍👍👍
    Rumah nya ada mangga Tali jiwo, ingat rumah lama yg kena gusur ,, buahnya banyak , rambutan Rapiah,.

    Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya, Allaah Subhaanahu wata'ala selalu melindungi, Aamiin Ya Rabbal 'aalamiin 🤗🥰💖

    ReplyDelete
  20. Wah, Sutris...Sutris...gara-gara patah hati dengan Arumi, nanti jadi 'sutris' (stress) beneran lho...cocok dengan namanya, wkwk...😀

    Terima kasih, ibu Tien...semoga sehat selalu.🙏🏻🙏🏻🙏🏻

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah, terimaksih mbakyu sehat selalu

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien, salam hangat...semoga sehat selalu bersama amancu

    Reply

    ReplyDelete
  23. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 12

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  12 (Tien Kumalasari)   Sutris kembali merangkul lututnya, kali ini dengan menyembunyikan wajahnya di antara ...