KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 04
(Tien Kumalasari)
Pintu mobil itu terbuka, dan seseorang turun. Senyuman Arumi melebar. Ia tak mungkin melupakan pria tampan nan baik hati itu.
“Arumi.”
Arumi berhenti, lalu meletakkan kelentingnya di tanah. Berat, tahu.
“Om Bachtiar?”
“Hei, dulu kamu panggil aku ‘mas’ sekarang kenapa diganti ‘om’? Tua an dong aku?” kata Bachtiar sambil tertawa.
“Aku kan masih kecil, sedangkan om Bachtiar sudah jauh di atas saya.”
“Nggak mau, panggil aku mas Tiar, lebih manis kan?”
“Mas Tiar?”
“Iya. Hayo, cepat panggilannya diganti.”
Arumi terkekeh, dan kembali Bachtiar seperti melihat matahari terbit dibalik gunung.
“Kok malah tertawa sih?”
“Baiklah, mas … Tiar.”
“Nah, begitu lebih bagus. Aku belum tua lhoh, aku masih perjaka ting-ting.”
“Huh, siapa yang nanya?” kata Arumi menggoda.
“Aku memberi tahu kamu, nggak usah nanya nggak apa-apa kok. Kamu mau ke mana?”
“Pulang, dari mengantar makanan untuk bapak.”
“Itu bawa apa?”
“Air.”
“Air?”
“Iya, untuk makan dan minum, kami mengambil air dari sumber. Di rumah ada belik, tapi airnya keruh. Kami harus mengendapkan dulu sebelum memakainya.”
“Ooh, berat dong. Kelenting ini kira-kira berisi air lima atau enam liter ya?”
“Nggak tahu, nggak pernah ngukur.”
Bachtiar terkekeh. Arumi ternyata lucu.
“Kenapa sih, om … eh … mas Tiar sering lewat sini?”
“Suka ketemu kamu,” canda Bachtiar.
“Bohong.”
“Benar kok.”
“Sebelum ketemu aku kan sudah lewat sini.”
“Iya, benar. Aku sedang mengerjakan proyek di dusun ini.”
“Proyek apa?”
“Membangun pasar yang lebih bagus dan besar.”
“Oo, itu om yang buat?”
“Kok om lagi sih?”
“Mas yang bikin?”
“Aku yang membuat proyek itu, yang mengerjakan ya banyak. Kamu tidak tahu?”
“Tahu kalau ada bangunan baru untuk pasar, tapi nggak tahu kalau pemimpin proyeknya Mas.”
“Nanti akan aku buat tandon air bersih yang besar untuk desa ini, supaya kamu tidak bolak balik ke sumber air. Berat lhoh itu.”
“Benar, tapi tiap hari aku melakukannya, sudah biasa. Benar, mau bikin tandon air bersih di desa ini?”
“Sedang aku pikirkan.”
“Ya sudah, aku mau pergi dulu,” kata Arumi sambil membungkuk untuk mengangkat kelentingnya. Tapi agak susah, karena kelenting itu terletak di bawah. Biasanya kalau Arumi mau menggendongnya, kelenting itu diletakkan di atas batu, sehingga lebih mudah mengaitkan selendangnya dan meletakkannya di pinggang.
Bachtiar tersenyum sambil membantu mengangkatnya.
“Kamu berdiri saja, biar aku mengangkatnya."
“Uuuppps !”
Dan dengan cekatan Arumi sudah mengikatnya dan meletakkannya di pinggang kirinya, dan menalikan sisa selendang di dadanya.
“Lumayan berat yah? Rumahmu jauh?”
“Nggak, setelah satu petak kebun itu aku sampai di rumah,” katanya sambil melangkah pergi.
Bachtiar menatapnya iba. Ia sudah merasakan, bagaimana beratnya kelenting berisi air itu. Lima atau enam kiloan beratnya. Dan itu dilakukannya setiap hari? Gadis mungil dan lucu itu?
“Arumi, aku antar saja,” teriak Bachtiar, tapi Arumi terus saja melangkah.
“Aku sudah biasa. Biar saja. Masa Mas mau mengantarkan aku setiap hari?”
Bachtiar terpana, melihat langkah lincah gadis dusun yang tanpa alas kaki menginjak tanah berbatu, tampak seperti kijang berloncatan dengan riang.
“Bapak pocung, dudu watu dudu gunung ….” senandung nyaring itu sayup terdengar di telinga Bachtiar. Ia merasa hatinya dibawa pergi.
“Ya Tuhan. Apa yang terjadi pada diriku ini? Dia masih gadis kecil, sederhana dan hanya gadis biasa.”
Ada yang menelikung perasaannya, dan memintanya agar bertemu dan bertemu setiap hari. Dan itu membuatnya heran.
***
Arumi menuang air ke dalam gentong, simbok menatapnya heran.
“Tumben lama baru pulang, aku mau menjerang air untuk membuat minum kalau nanti bapakmu pulang sewaktu-waktu.”
“Habis sama sekali ya Mbok?”
“Habis. Gentongnya baru simbok kuras.”
“Tadi ketemu mas Tiar dijalan, ngobrol sebentar.”
“Siapa itu mas Tiar?”
“Itu lho Mbok, yang hampir nyerempet Rumi, terus membeli makanan buat kita untuk menukar makanan bapak yang tumpah.”
“O, dia? Kok sering lewat sini?”
“Dia itu kan pimpinan proyek pasar yang baru dibangun itu Mbok.”
“O, dia? Yang namanya mas Tiar itu?”
“Namanya Bachtiar, dia minta Rumi memanggil dia mas Tiar.”
“Rupanya dia masih ingat kamu.”
“Dia bilang mau membuat tandon air bersih untuk desa kita Mbok.”
“Apa itu tandon air bersih?”
“Ya tandon air bersih. Nggak tahu bagaimana caranya, dia akan membuat tandon air bersih yang bisa digunakan orang satu desa.”
“Berarti tandon airnya besar sekali dong nduk.”
“Iya, pastinya. Kalau sudah jadi, Rumi tidak usah menggendong kelenting setiap hari.”
“Wah, benarkah?”
“Iya, katanya begitu. Barangkali kasihan melihat Arumi menggendong kelenting setiap hari. Tapi itu bukan untuk Arumi saja Mbok, untuk orang sedesa.”
“Iya, simbok tahu. Ya sudah, simbok mau merebus air dulu sekarang. Kamu makan sana dulu, sudah simbok siapkan.”
“Simbok sudah makan?”
“Tadi ngicipin sayur, kebablasan. Ngicipnya sepiring, simbok tambahin nasi sekalian. Kenyang sudah.”
“Kalau sepiring bukan ngicipin namanya,” kata Arumi sambil terkekeh.
Ia kebelakang untuk mencuci kaki tangannya sebelum kemudian makan dengan lauk oseng daun pepaya buatan simbok dan sambal teri yang aromanya sudah menggugah selera.
***
Saat istirahat siang, Bachtiar duduk di dalam kantornya. Di depannya ada sepiring nasi urap dengan telur rebus dan sepotong bandeng goreng. Bachtiar belum menyentuhnya. Bayangan Arumi tiba-tiba melintas. Gadis kecil dengan kaki seringan kaki kijang, menggendong tempat air yang lumayan berat, melakukannya dengan suka ria. Bahkan menolak untuk diantarkan. Dan senyumnya itu, lesung pipit yang manis itu ….
“Kok belum dimakan Pak?”
Sebuah suara mengejutkannya. Suyono, yang menjadi mandor, anak pak lurah, masuk ke dalam dan melihat makanan yang tadi disiapkannya belum tersentuh.
“Apa tidak enak? Apa Bapak mau makan yang lain?”
“Tidak, ini cukup. Beberapa hari yang lalu sudah pernah kamu belikan, dan enak, aku suka. Duduklah, kamu sudah makan?”
“Sudah,” katanya sambil duduk, lalu Bachtiar mulai menyendok makanannya.
“Ini enak, aku suka. Di kota jarang pembantu menyiapkan makanan seperti ini.”
“Hanya masakan orang desa, Pak.”
“Justru makanan orang desa itu enak, benar kok, aku suka.”
Bachtiar makan dengan lahap.
“Saya belikan kopi, Pak?”
“Tidak, air putih saja, ini sudah ada.”
“Oh, baiklah.”
“Kamu tahu ada gadis dusun yang bernama Arumi?”
“Siapa? Arumi? Anak pak Truno, petani miskin itu?”
“Entah miskin atau kaya, aku menanyakan Arumi, kamu tahu?”
“Tahu Pak, kasihan gadis itu.”
“Kenapa kasihan?”
“Dia itu memang cantik, tapi masih kecil. Sayang sekali orang tuanya sudah tega menjualnya kepada orang kaya.”
Bachtiar terkejut. Apa yang didengarnya tak pernah dia duga. Orang tuanya menjualnya? Sepertinya dia gadis biasa saja, kalau gadis yang dijual, pastilah berdandan, bersolek.
“Kata siapa?”
“Beberapa hari yang lalu, ada anak pak carik yang melihatnya pergi dengan seorang anak muda. Dia memakai mobil. Coba Bapak bayangkan. Gadis kecil itu, sudah dibawa-bawa dengan mobil.”
“Dibawa mobil?”
“Baru beberapa hari yang lalu, Pak. Tepatnya di hari Selasa. Lalu tersebarlah berita memalukan itu.”
Beberapa hari yang lalu, dibawa mobil? Hari Selasa? Bukankah itu dirinya, dan mobil itu adalah mobilnya? Bachtiar tersenyum dalam hati. Orang desa gampang sekali terpengaruh oleh sesuatu yang belum jelas asal usulnya. Kasihan Arumi. Tapi dia akan menanyakan kebenarannya.
“Kalau bapak menyukai salah seorang gadis dusun, jangan Arumi. Dia bekas orang,” lanjut Suyono.
“Benarkah?”
“Tentu saja benar, Pak. Saya mendengarnya dari orang yang sangat bisa dipercaya, karena dia melihat dengan mata kepalanya sendiri.”
“Apa yang dia lihat?”
“Ya tadi seperti yang saya katakan itu Pak, Arumi dibawa pergi dengan mobil oleh seorang laki-laki.”
“Apa yang kemudian dilakukan oleh mereka?”
“Ah, bapak seperti tidak tahu saja, kalau laki-laki membawa pergi seorang perempuan, masa hanya akan saling pandang, lalu gadis itu diantarkan pulang?” kata Suyono sambil terkekeh. Tapi Bachtiar tidak tersenyum.
Hanya karena dia mengantarkan Arumi membeli makanan untuk bapaknya, lalu orang melihatnya seperti sesuatu yang tidak pantas, atau bahkan membayangkan sesuatu yang mesum.
“Sebaiknya jangan dulu menuduh yang bukan-bukan.”
“Kenapa Bapak masih belum percaya? Ini benar Pak, sayang kedudukan Bapak kalau Bapak sampai suka kepada gadis bekas orang. Lagipula dia hanya anak orang miskin. Nggak pantas untuk Bapak. Tapi kalau hanya untuk main-main saja ya tidak apa-apa. Lumayan lah, dia cantik kok. Yang penting kan bayarannya. Terkadang saya ingin mencobanya."
Bachtiar sangat kesal. Ia meletakkan sendok makannya biarpun baru habis separuh. Ada rasa sakit mendengar Arumi direndahkan. Ingin ia membelanya, lalu menampar mulut kotor yang bercuap dengan cengengesan.
“Kok sudah Pak?” tanya Yono melihat Bachtiar meletakkan sendoknya.
“Sudah kenyang,” kata Bachtiar sambil berdiri, meninggalkan Suyono yang melongo tak mengerti.
“Pak, kecuali itu saya ingin bicara sama Bapak, ada yang pesan kios dan akan membayarnya sekarang.”
“Nanti saja,” katanya sambil berlalu.
“Apa Pak Bachtiar marah? Sepertinya kok marah. Tapi kenapa? Aku kan hanya mengingatkan?” gumamnya sambil berdiri dan kemudian berteriak memanggil anak buahnya agar membersihkan sisa makan sang pimpinan.
***
Pak Carik sudah ada di rumah pak Lurah di sore hari itu. Bukan untuk menemui pak Lurah, tapi Suyono, anak pak Lurah yang menjadi mandor proyek. Soalnya ketika dia pesan kios yang sedang dibangun beberapa hari yang lalu belum ada jawabannya, padahal dia sudah menyiapkan uangnya.
“Mengapa belum ada jawaban No?”
“Tadi saya mau bicara soal itu, tapi pak Bachtiar rupanya belum berkenan membicarakannya.”
“Apa kamu tidak bilang bahwa aku siap membayarnya sekarang?”
“Saya sudah bilang, tapi pak Bachtiar belum ingin membicarakan soal jual beli itu. Tampaknya hatinya sedang tidak berkenan.”
“Memangnya kenapa?”
“Nggak tahu juga sih, barangkali karena saya membicarakan Arumi siang hari itu, lalu dia kecewa setelah saya ceritakan Arumi itu sebenarnya seperti apa.”
“Kok tiba-tiba bicara soal Arumi?”
“Pak Bachtiar tiba-tiba bertanya, apa saya kenal Arumi, ya saya bilang apa adanya. Bahwa Arumi itu gadis yang bisa dibawa-bawa, lalu saya sarankan cari yang lain, kalau memang ingin dekat dengan gadis desa ini. Tapi tampaknya dia kesal. Saya juga heran. Apa dia kecewa dengan keadaan Arumi ya?”
“Arumi gadis yang tidak berharga. Sudah tersebar di seluruh desa kalau dia itu bukan gadis baik-baik.”
“Itulah, saya juga bilang begitu.”
“Kalau memang dia ingin cari istri, kenapa kamu tidak menawarkan Wahyuni saja, anak sulungku itu.”
“Wahyuni?”
“Iya, dia anakku, gadis baik-baik.”
Suyono tertawa sinis.
“Pak Carik tahu, yang namanya pak Bachtiar itu ganteng, tampan, gagah, kaya raya. Lha kalau Wahyuni disandingkan sama dia, mana cocok. Saya saja nggak suka,” kata Suyono seenaknya.
“Kamu jangan menghina anakku. Memang dia tidak cantik, tapi dia baik, rajin, dan penurut.”
“Nggak ah, nggak berani saya. Kalau pak Carik mau, coba saja temui dia dan tawarkan anak gadis Bapak itu.”
Pak Carik pulang dengan perasaan kecewa. Bukan hanya inden kios belum terlaksana, tapi juga karena sang mandor menghina anak gadisnya. Pak Carik juga heran. Istrinya cantik, mengapa anak gadisnya tidak secantik ibunya. Pak Carik tidak sadar bahwa Wahyuni mirip dirinya.
***
Malam hari itu Bachtiar yang sudah punya rumah sendiri kedatangan ayah ibunya. Tapi bukan hanya ayah ibunya yang datang. Mereka juga mengajak seorang gadis cantik dengan rambut di cat coklat kemerahan. Bachtiar memalingkan muka. Ia risih dengan cara gadis itu memandang.
“Tiar, apa kamu tidak lagi mengenal dia? Dia Luki, teman masa kecil kamu,” seru ibunya melihat sikap Bachtiar yang tidak bersahabat.
Bachtiar menatapnya, lalu ia teringat. Tapi wajah Luki kecil itu sudah tak ada di sana. Yang ada hanyalah gadis genit, manja dengan dandanan menyolok.
“Tiar, kamu benar-benar lupa sama aku? Lima tahun aku di luar negri. Lumayan lama kita berpisah ya?” kata Luki kemayu.
“Ya, sudah sangat lama. Silakan duduk,” katanya mempersilakan, sementara ayah dan ibunya sudah lebih dulu duduk di sofa.
“Luki, Bachtiar lebih suka rumah sendiri, takut mengganggu ayah dan ibunya karena dia sering pulang malam.”
“Karena dia sibuk bekerja kan?” kata Luki.
“Iya, benar. Kelak kamu harus bisa mengerti.”
Bachtiar tertegun. Apa maksud kata-kata ibunya?
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteHoreeee
DeleteπͺΌππͺΌππͺΌππͺΌπ
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ€©
KaBeTeeS_04 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhaiππ¦
πͺΌππͺΌππͺΌππͺΌπ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng In
DeleteLama nggak muncul
Matur nuwun mbak Tien-ku ketika bulan tinggal separuh telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteMatursuwun mb Tien, smg sht sll
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun Yangtie
Alhamdulillah... matur nuwun bunda Tien, smg sehat2 sellau
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Wiwik
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Maturnuwun bu Tien, salam sehat dan aduhai ya bun
ReplyDeleteSami2 ibu Sri
DeleteSalam sehat dan aduhai
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda tien
Sami2 ibu Endah
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat π€²πππ
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah " Ketika Bulan tinggal Separuh - 04" sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat san bahagia selalu.
Aamiin Yaa Robbal' Aalamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Selamat mpm dan terima ksih bunda cerbungnya..slm sht sll unk kel bunda ππ₯°❤️πΉ
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah sudah tayang, semoga Bahtiar mau membersihkan nama baik Arumi
ReplyDeleteSalam sehat selalu buat Tien
ReplyDeleteSalam sehat juga ibu Siti Wiyati
DeleteApa kabar?
Waduh kasihan Arumi difitnah jauh sekali, bagaiman nasib gadis kecil yg tak berdosa itu, tunggu besok lagi aaaah
ReplyDeleteMks bun KBTS 04 nya....selamat mlm bun...sehat" selalu ya
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Supriyati
Awal2 bukaan sdh ada fitnah ya...
ReplyDeleteNggih pak
DeleteMatur nuwun jeng Tien, salam sehat penuh berkat tetap semangat.
ReplyDeleteSami2 mbak Yaniiiikkk
DeleteAlhamdulillah " KBtS - 04" sdh hadir
ReplyDeleteMatursuwun Bu Tien, semoga sehat dan bahagia selalu. Aamiin Yaa Robbal' Aalamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Alhamdulillah Arumi dah muncul ...
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak TienπΉπΉπΉπΉπΉ
Sami 2 jeng Susi
DeleteMatur nuwun ibu ππ»
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 04* sdh hadir...
Demoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien "Ketika Bulan Tinggal Separuh 04" sdh tayang
Semoga membawa kebahagiaan buat kita semuanya, n buat bu tien semoga sehat² selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Wah, ide baru nih ibu Tien...nampaknya konfliknya unik, memang ibu Tien piawai sekali merangkai kisah dan bikin baper pembacanya ya...terima kasih, ibuu....sehat selalu.ππ»π
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nana
Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 04 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin.
Begitu mudah nya berita 'miring' tersebar ke seluruh Desa, berita yng blm di teliti kebenaran nya. Kasihan Arumi. Semoga Bachtiar bisa mengklarifikasi.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2MasMERa
DeleteBegitulah, berita buruk pasti cepat terkenal. Bahkan orang sering menambah dengan bumbu" yang akan menambah sedapnya berita tersebut..
ReplyDeleteAkankah mas Tiar mencari kebenarannya, kita tunggu saja bagaimana nanti.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteBachtiar sdh mulai kepincut Arumi ya ...
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya, π€π₯°