KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 03
(Tien Kumalasari)
Melihat wajah pak Truno yang tampak tidak bersahabat, hati Sutris menciut. Ia ingin pergi saja, tapi pak Truno sudah terlanjur melihatnya. Jadi dengan perasaan takut-takut, ia mendekat.
“Kamu itu apa tidak bisa bicara baik, memanggil baik-baik, dan tidak berteriak-teriak seperti kamu sendiri yang punya telinga?”
Sutris nyengir sambil membungkuk.
“Maaf Pak, aku pikir pak Truno tidak ada di rumah.”
“O, jadi kalau kamu datang kemari, dan merasa aku tidak ada di rumah, lalu kamu memanggil manggil Rumi atau mboknya sekalipun, dengan berteriak-teriak?”
“Itu … anu Pak, biasaya mereka ada di belakang, dan takutnya tidak mendengar.”
“Dasar kamu itu orang kasar, tidak bisa bersikap sopan. Mau apa kamu datang kemari? Dan aku peringatkan kamu ya, jangan lagi memberi apa-apa kepada Arumi. Aku tidak suka.”
“Arumi ada?”
“Sedang di belakang, membantu mboknya mencuci. Ada apa?”
“Apa benar, tadi Arumi pergi dengan seorang laki-laki dengan mobil?” tanya Sutris takut-takut.
“Apa maksudmu? Mengapa kamu menanyakannya, dan apa urusanmu dengan apa yang dilakukan keluargaku?” pak Truno benar-benar marah. Sutris tidak tahu tata krama. Dan menanyakan hal yang bukan urusannya.
“Bukan begitu Pak, saya sebagai teman, hanya mengingatkan. Arumi itu kan seorang gadis, kan tidak pantas pergi dengan sembarang laki-laki, nanti dikira Arumi itu gadis gampangan dan murahan.”
“Diaaamm!” pak Truno benar-benar marah. Dianggapnya Sutris sudah kelewatan. Secara tidak langsung, Sutris menuduh Arumi melakukan hal yang tidak pantas.
Sutris terlonjak kaget. Teriakan pak Truno sangat keras, karena diamuk amarah yang sudah sampai ke ubun-ubun.
Sutris melangkah setindak ke belakang.
“Saya hanya ….”
“Diam dan enyah dari hadapanku.”
“Ini demi kebaikan Arumi.”
“Enyaahhhh!! Kamu bukan apa-apanya keluarga ini. Biar kamu anak orang kaya, tapi kamu melakukan hal yang sudah kelewat batas. Kamu menuduh anakku melakukan hal yang tidak pantas?”
“Pak …. saya ….”
“Pergi tidak?” kata pak Truno penuh ancaman. Ia melangkah mendekati anak muda yang sudah melangkah mundur beberapa tindak, lalu berbalik lan pergi setengah berlari.
Terengah napas pak Truno karena menahan marah.
“Ada apa Pak?” tanya mbok Truno diikuti Arumi di belakangnya.
“Itu. Anak juragan kaya yang tidak tahu tata krama. Hampir saja aku hajar dia, kalau tidak keburu kabur.”
“Siapa sih Pak?”
“Siapa lagi kalau bukan Sutrisno, laki-laki bodoh yang tidak punya tata krama.”
“Sutris? Ngapain dia?” tanya Arumi.
“Entah dari mana asalnya, dia mengetahui kalau Arumi pergi dengan laki-laki bermobil, siang tadi.”
“Memangnya kenapa? Bukankah laki-laki itu yang hampir menyerempet Arumi?”
“Tapi dia yang tidak tahu apa-apa, menuduh Arumi pergi dengan laki-laki. Titik. Nadanya dia menuduh Arumi melakukan hal yang tidak benar, memalukan, tidak pantas. Apa aku tidak boleh marah?”
“Ya ampuuun, dari mana dia punya pikiran seperti itu?” keluh mbok Truno.
“Kok dia bisa tahu kalau aku pergi dengan laki-laki bermobil?”
“Aku tidak menanyakannya dan tidak ingin tahu dari mana datangnya berita itu. Yang jelas dia bicara yang sangat tidak pantas dan aku ingin menghajarnya,” omel pak Truno yang masih saja marah, lalu masuk ke dalam rumah.
“Pasti ada orang yang melihatmu, lalu mengatakan kepada orang-orang dan Sutris melihatnya,” kata mbok Truno.
“Tapi kenapa dia datang kemari untuk menuduh Rumi melakukan hal yang tidak pantas?”
“Nggak tahu tuh, apa maksudnya? Barangkali benar kata bapakmu kemarin, bahwa Sutris suka sama kamu, lalu dia marah mendengar kamu pergi dengan seorang laki-laki, tanpa tahu dia siapa dan mengapa.”
“Mas Sutris suka sama aku … tapi aku nggak suka tuh, lagian aku belum memikirkan yang begituan.”
“Kamu benar. Kamu masih kecil. Kalau besok kamu menikah, tidak usah mencari yang kaya, tapi yang perilakunya baik, dan bisa membahagiakan kamu.”
“Entahlah Mbok, Arumi belum memikirkannya. Ayo kita lanjutkan pekerjaan kita sebelum petang.”
***
Di rumahnya, pak Carik uring-uringan karena lagi-lagi Sutris kabur ketika di suruh menunggu toko. Ketika dia kembali, yang ada justru Wahyuni, yang mengadu kepada bapaknya tentang tuduhannya kepada Arumi, sehingga membuat pak Carik semakin marah.
“Bu, coba kamu beri tahu anakmu itu. Belum bisa apa-apa sudah main suka sama perempuan. Perempuannya nggak bener pula,” omelnya kepada sang istri.
“Pak. Sutris itu kan memang sudah dewasa, kalau dia suka sama seorang gadis, itu kan sudah lumrah.”
“Kamu tadi tidak mendengar apa yang aku katakan? Gadis itu nggak bener. Masih anak-anak tapi kelakuannya memalukan. Rupanya Truno memang ingin menjual anaknya itu kepada orang kaya.”
“Belum-belum jangan menuduh yang bukan-bukan. Kalau tidak benar, namanya fitnah. Dosa lho fitnah itu.”
“Bagaimana dengan melakukan hal yang tidak bener seperti dilakukan Arumi itu? Dosa atau bukan? Dibawa laki-laki yang bukan siapa-siapa, ya sudah jelas pasti melakukan sesuatu yang tidak bener?”
“Tapi kita kan tidak tahu, perginya karena apa, kemana, ada urusan apa, ya jangan langsung menuduh begitu. Setahuku, Rumi itu gadis yang baik,” kesal bu Carik.
“Tanya saja sama anakmu. Wahyuni yang melihatnya, masa aku mengarang? Mana sekarang Sutris?”
“Tidur, katanya kepalanya sakit.”
“Dasar, kamu terlalu memanjakan dia. Karena itu kelakuannya juga nggak benar. Susah diatur. Aku mau menjodohkan dia sama anak pak lurah saja, yang sekarang masih sekolah di kota. Sudah jelas dia sejajar dengan kita, bukan dengan orang miskin yang kelakuannya memalukan,” kata pak Carik sambil masuk ke dalam kamar.
Bu Carik yang kesal segera menghampiri Wahyuni yang bermalas-malasan di dalam kamarnya juga.
“Kamu juga nih, yang bikin gara-gara, sampai ayahmu marah-marah.”
“Ada apa sih Bu?”
“Kamu ngomong apa sama ayahmu?”
“Ngomong apa? Ya ngomong banyak, aku tadi kan membantu jualan di toko?”
“Kamu ngomong tentang Arumi kan? Kamu melihat dia pergi sama laki-laki dengan mobil. Ya kan?”
“Memang iya. Yuni melihat sendiri kok, bukan bohong.”
“Tapi kamu juga menuduh yang tidak-tidak pada Arumi. Semuanya belum jelas. Belum tentu Arumi melakukan hal yang tidak benar, kamu sudah merasa yakin saja. Kalau itu tidak benar, namanya kamu itu memfitnah. Dosa, tahu.”
“Ibu jangan menyalahkan Wahyuni dulu, kalau Ibu melihatnya, pasti ibu juga yakin kalau Arumi melakukan hal yang tidak benar.”
“Cuma melihat dia pergi. Untuk apa, ada urusan apa, kan belum jelas. Arumi itu setahu ibu, gadis yang baik.”
“Huh, gadis yang baik. Dia itu merasa cantik, kecentilan, suka meremehkan orang lain. Memang sih Yuni ini nggak cantik, tapi Yuni nggak pernah jahat sama dia.”
“Lha itu, menuduh yang belum jelas, apa bukan jahat namanya?”
“Ibu aneh, mengapa justru membela Arumi yang bukan siapa-siapanya Ibu?” kesal Wahyuni.
“Bukan ibu membela yang bukan siapa-siapa. Ibu nggak suka kamu bersikap begitu. Kelihatan sekali kalau kamu itu nggak suka sama dia. Dengar ya, cantik atau tidak cantik itu pemberian Yang Maha Kuasa. Yang cantik tidak boleh sombong, yang kurang cantik tidak boleh iri hati. Dan cantik wajahnya itu bukan sesuatu yang luar biasa. Yang paling mulia adalah cantik di dalam sini, bukan di sini,” kata bu Carik sambil menunjuk ke arah dadanya. Lalu ke wajahnya.
Wahyuni diam. Kemudian ia berbaring dan menelungkupkan wajahnya di atas bantal. Memang benar, sebenarnya dia iri pada Arumi. Arumi yang umurnya jauh di bawahnya itu sangat cantik dan banyak yang suka, berbeda dengan dirinya, yang seringkali dijauhi orang karena mulutnya yang tajam dan hatinya yang culas.
Tiba-tiba terdengar pak Carik berteriak. Mencegah suaminya bertambah marah, bu Carik segera keluar.
“Ada apa?”
“Aku sudah menelpon pak lurah dan bicara tentang keinginanku menjodohkan Sutris dengan Marini, anaknya yang sekarang masih sekolah di kota. Dan pak lurah tampaknya setuju,” katanya dengan wajah gembira.
“Pak, mengapa Bapak justru mencarikan jodoh untuk Sutris, yang jelas-jelas dia itu seorang laki-laki, padahal Sutris itu punya kakak perempuan yang sudah saatnya bersuami.”
“Maksudmu aku harus mencarikan suami dulu untuk Wahyuni?”
“Ya iya lah, anak laki-laki itu tidak perlu tergesa-gesa menikah, sedangkan Yuni itu sudah berumur.”
“Tadi aku sudah bicara juga tentang anak laki-laki pak carik yang jadi mandor proyek, tapi tampaknya pak lurah tidak tertarik. Katanya, anak laki-lakinya itu suka memilih calon istri sendiri, tidak mau dicarikan. Lagi pula kita kan harus tahu diri Bu, Yuni itu tidak begitu cantik. Malu kalau kita menawar-nawarkan pada orang lain. Sedangkan Sutris itu ganteng, gagah. Pasti banyak yang suka. Tidak apa-apa Sutris menikah lebih dulu, pelan-pelan nanti kita carikan jodoh untuk Wahyuni.”
Wahyuni yang ada di dalam kamar mendengar pembicaraan itu. Hatinya bagai teriris. Dia memang tidak cantik, dan sudah dua kali sang ibu menjodohkannya dengan seseorang, tapi ditolak. Ia lebih menenggelamkan kepalanya dibantal, untuk menyembunyikan tangisnya.
***
Bu Carik heran, pak Carik hanya memerintahkan Sutris untuk mendahului membuka toko. Padahal biasanya pak Cariklah yang berangkat lebih dulu.
“Aku mau menemui mandor bangunan yang anaknya pak lurah itu, harus pagi, kalau agak siang sedikit dia sibuk."
“Katanya dia tidak mau dijodohkan dengan Wahyuni? Katanya mau cari sendiri?”
“Ini bukan masalah jodoh. Kamu kan tahu, ada perusahaan besar yang akan membangun pasar di desa kita ini. Aku tidak mau ketinggalan. Toko kita itu besar, aku akan memesan tiga kios sekaligus, atau empat, dan harus yang di depan. Kalau besok-besok, bisa kedahuluan yang lain.”
“O, masalah bangunan pasar itu?”
“Iya. Aku harus segera pesan. Kalau perlu akan aku bayar dulu saja sekalian, kalau kedahuluan yang lain, lalu aku mendapat bagian yang agak ke dalam, bisa repot.”
“Tapi baiknya ya sarapan dulu, itu Sutris sama Yuni sudah pada sarapan. Yuni bilang katanya mau ikut ke toko.”
“Aku nanti sarapan di jalan saja. Daripada telat.”
“Jam segini apa mandor proyek sudah ada di tempat kerja?”
“Ya belum, aku akan menemuinya di rumah. Dia kan anaknya pak lurah?”
“Ya sudah, terserah Bapak saja.”
Begitu suaminya berangkat, bu Carik menghampiri anak-anaknya di ruang makan, mereka sedang berbincang tentang perjodohan, yang membuat Sutris uring-uringan.
“Bu, Bapak akan menjodohkan aku sama anaknya pak lurah?”
“Tadi malam, katanya begitu. Ibu nggak ikutan,” kata bu carik sambil duduk menemani anak-anaknya.
“Maksud ibu itu kan lebih dulu Wahyuni yang dicarikan jodoh, malah kamu, gimana sih bapakmu itu?" lanjutnya.
“Aku nggak mau. Yang benar, carikan jodoh untuk mbak Yuni dulu, aku kan adiknya,” kata Sutris bersungut-sungut.
“Nanti kamu bilang sendiri sama bapakmu. Kalau ibu yang ngomong, nanti salah.”
“Kamu jangan membantah Tris, ikut kata orang tua saja, menikah dengan pilihan bapak. Jangan memikirkan mbakyumu ini, mbakyumu ini nggak cantik, nggak ada yang mau,” sungut Wahyuni.
“Wahyuni, kamu tidak boleh mengatakan itu. Kan ibu sudah bilang, yang utama itu hatinya, kelakuannya, budi pekertinya. Kalau semua itu baik, barulah namanya cantik. Kalau cantik wajah itu kan hanya wajah. Bapakmu selalu bilang, ibu dulu cantik, setelah tua jelek, keriput. Ya iyalah. Tapi itu sebuah ungkapan, bahwa kecantikan raga itu hanya sesaat, tapi kecantikan budi akan tetap abadi sampai kapanpun. Jadi kamu jangan berkecil hati kalau merasa wajahmu kurang cantik. Jaga kelakuan dan perilaku, karena orang tidak selalu tertarik pada wajah yang cantik. Budi yang cantik itu lebih berharga.”
Wahyuni diam, entah apa yang dipikirkannya. Benarkah petuah sang ibu bisa masuk ke dalam hatinya?
Sementara itu Sutris masih saja uring-uringan. Ia segera menyelesaikan sarapannya, lalu mengambil kunci toko dan pergi.
Wahyuni yang mau ikut ke toko berteriak.
“Tungguuuuu, aku ikuttt.”
***
Arumi melenggang sambil membawa rantang. Kelenting tempat air sudah dibawa ayahnya ketika berangkat. Begitu setiap hari. Jadi dia tinggal mengambilnya, mengisi air dan membawanya pulang.
Makanan yang dikirimkan kepada sang ayah sudah disantapnya dengan nikmat, lalu Arumi mengambil kelenting dan mengisinya dengan air dari sumber.
Lepas dari pematang sawah, Arumi berjalan di jalanan desa, sambil selalu bersenandung riang. Senyumnya yang merekah, menampakkan wajahnya yang sumringah dan memancarkan kecantikannya yang murni, tanpa polesan.
Arumi hampir menyeberang ketika sebuah mobil membunyikan klaksonnya keras.
Arumi terkejut, mulutnya mengerucut. Tapi cemberut itu sirna ketika sebuah wajah muncul di jendela mobil, setelah mobil itu berhenti di depannya.
“Arumi!!”
***
Besok lagi ya..l
Haiii
ReplyDeleteSuwun mb Tien
DeleteSami2 Yangtie
DeleteMatur suwun
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulilah sudah tayang cerbung " Ketika Bulan Tinggal Separoh 3 " maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Salam hangat dan aduhai aduhai bun πππ·π·π©·π©·
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Selalu aduhai aduhai
Matur nuwun mbak Tien-ku, Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteKomen panjangnya mana
Alhamdulillah
ReplyDeleteterimakasih bunda tien
Sami2 ibu Endah
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Atiek
Delete
ReplyDeleteAlhamdulillah KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH~03 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin yra..π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah KABETEES_03 sdh tayang.... Selamat membaca.
ReplyDeleteTerimakasih Bu Tien.
Sami2 mas Kakek
DeleteMks bun KBTS 3 nya.....selamat malam......salam hangat....smg bunda sehat" selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Supriyati
alhamdulillah
ReplyDeletemksh bunda
Sami2 ibu Nanik
DeleteTidak ada yang berfihak kepada Sutris. Tapi tentunya dia tidak akan tinggal diam. Bisa jadi Sutris menghimpun teman gangnya untuk mendapatkan keinginannya.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat π€²πππ
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Mbayangin Arumi Bachsin yg cantik jelita ...
ReplyDeleteAlhamdulillah
Syukron nggih Mbak TienπΉπΉπΉπΉπΉ
Sami2 ibu Susi
DeleteIya .. cantiknya sama
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
Deleteπͺ·πΈπͺ·πΈπͺ·πΈπͺ·πΈ
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ€©
KaBeTeeS_03 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat & bahagia.
Aamiin.Salam serojaππ¦
πͺ·πΈπͺ·πΈπͺ·πΈπͺ·πΈ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Ketemu lagi sama pemuda ganteng dan kaya sopan santun lagi
ReplyDeleteTerima kasih ibu Engkas
DeleteHamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 03 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin.
Ciamik petuah Bunda Tien dlm cerbung ini :...cantik wajah bukan sesuatu yang luar biasa, tetapi yang paling mulia adalah cantik di dlm dada sini ( cantik nya hati )...πππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 03* sdh hadir...
Demoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Nah, sudah muncul 1 tokoh antagonisnya, Wahyuni.π
ReplyDeletePenasaran bagaimana cara ibu Tien dengan piawainya memelintir alur cerita sehingga berujung pertobatan dan berakhir kebahagiaan seperti biasanya.π
Terima kasih, ibuuu...salam sehat. ππ»ππ»ππ»ππ
Sami2 ibu Nana
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Bam's
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteDuh hati-hati nyebrang nya Arumi..,π
ReplyDeleteWah Bahtiar ya...
Matur nuwun Bu Tien sehat wal'afiat semua ya ππ€π₯°
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Bachtiar datang lagi...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 MasMERa
DeleteAlhamdulillah. Matursuuwun Bu Tien
ReplyDeleteSalam hangat , semoga sehat wal'afiat semua nya. Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi