Wednesday, October 23, 2024

MASIH ADAKAH MAKNA 36

 MASIH ADAKAH MAKNA  36

(Tien Kumalasari)

 

Agak lama mereka berpandangan, seperti saling mengingat, apakah pernah mengenal sebelumnya. Seperti mengenal, tapi ragu. Tapi Rohana lebih cepat mengenalnya. Laki-laki itu pernah sangat dikenalnya. Sudah setua dirinya, tapi tidak seganteng bekas suaminya. Ia pernah merayunya, bukan karena tertarik pada wajahnya, tapi karena minta keringanan atas pembayaran hutangnya.

“Apa ini bu Rohana?” walau lebih lambat mengenalnya, tapi laki-laki itu lebih dulu menyapanya.

Rohana tak mampu mengelak. Dia mengangguk, sambil berusaha melepaskan tangannya dari cekalan laki-laki itu.

“Pak Ratman?”

“Iya, benar. Saya Ratman. Tapi saya heran melihat penampilan Ibu. Ini sungguh berbeda. Sungguh. Kalau tidak karena sangat dekat, saya tidak akan bisa mengenali ibu. Ibu kelihatan lebih muda dengan kerudung itu.”

Rohana tersenyum tipis. Pujian dan sanjungan tak lagi membuatnya merasa hebat dan menarik. Ia tidak memikirkannya.

“Saya memang ingin merubah diri saya. Saya tidak mengira bisa bertemu di sini. Sofia teman saya, jadi saya menyempatkan waktu untuk mengantarkannya ke peristirahatannya yang terakhir.”

“Saya kenal almarhum suaminya. Dulu teman bisnis saya, tapi kemudian usahanya bangkrut lalu dia sakit-sakitan. Sekarang ini semoga Sofia sudah ketemu di sana,” katanya sambil menerawang ke arah jauh.

“Saya permisi,” kata Rohana yang ingin cepat-cepat pergi. Ia tak ingin mengatakan kepada setiap orang tentang perjalanan hidupnya.

“Eh, tunggu. Bukankah ibu ini juga ibunya Tomy?”

Rohana menghentikan langkahnya. Disebutnya nama Tomy membuatnya kembali dirundung kerinduan.

“Syukurlah kalau Bapak masih ingat.”

“Tapi saya tadi melihat Tomy di sini,” kata pak Ratman sambil melihat ke sekeliling tempat pemakaman itu.

“Pak Ratman melihat Tomy?”

“Ya, saya sempat menyapanya, tapi karena saya datang terlambat, jadi saya meninggalkannya untuk menaburkan bunga di sini. Tadi dia sedang berbincang dengan Lukman, anak Sofia yang jadi pelukis itu.”

Pak Ratman masih mencari-cari, demikian juga Rohana, tentu saja.

“Itu dia!!” serunya ketika melihat Tomy sudah ada di luar area makam. Ia hampir memasuki mobilnya ketika mendengar teriakan pak Ratman.

Hati Rohana tergetar. Ia benar-benar melihat Tomy, anak yang dirindukannya. Tapi ia merasa bimbang. Ketika pak Ratman bergegas mendekati Tomy, Rohana tak segera mengikutinya.

“Tomy, lihat siapa yang aku temukan,” teriaknya.

Rohana masih terpaku di tempatnya. Ia menahan kerinduan yang menyesak dadanya. Serasa ingin terbang dan memeluk dalam dekapannya. Tapi ada rasa enggan yang menahannya. Rasa merasa rendah dan tidak pantas. Rasa tak ingin mempermalukan sang anak yang tampak keren dengan mobil mewahnya.

Rohana membalikkan tubuhnya, dan pergi ke arah yang berlawanan. Ia berharap ada pintu lain yang bisa membawanya kabur.  Tersaruk kakinya oleh batu kerikil yang tersebar di pelataran tanah pemakaman itu.  Ia tak ingin jatuh, karena itu langkahnya tersendat, dan langkah itu benar-benar terhenti ketika sepasang tangan kekar memeluknya.

Angin yang kencang mengibarkan ujung hijabnya, lalu tangan kekar itu membalikkan tubuhnya.

“Ibu ?”

Rohana menatap wajah gagah dan tampan itu tak berkedip. Wajah yang mirip sang ayah, keras tapi sinar matanya tenang, menenggelamkannya dengan rasa tak berdaya. Dan ia benar-benar tak berdaya ketika Tomy memeluknya dalam rengkuhan yang sangat erat.

“Ibu …,” bisiknya serak. Pastilah, ia menahan tangis, sementara air mata Rohana sudah terburai, membasahi dada anaknya.

“Kemana saja Ibu selama ini? Mengapa Ibu pergi? Kami sangat merindukan Ibu,” kata Tomy sambil mengelus punggung sang ibu.

“Biarkanlah ibu pergi. Ibu sudah menemukan kehidupan yang nyaman. Ibu senang melakukannya. Cukuplah melihat kalian hidup bahagia. Walau tak ada di dekat kamu, ibu selalu berdoa. Untuk kamu dan anak istrimu, juga untuk Satria beserta anak istrinya,” suara itu masih terdengar seperti isak.

Tomy merasa menemukan ibu yang lain. Ibu yang lembut dan penuh cinta kasih. Ibu yang jauh dari sifat arogan dan mau menang sendiri, ibu yang memeluknya hangat, dan itu belum pernah dirasakannya.

“Ayo kita pulang,” kata Tomy.

Sementara itu pak Ratman yang telah mempertemukan ibu dan anak itu kemudian pamit pergi terlebih dulu karena ada urusan. Seorang sopir menunggunya di mobil.

“Kita pulang sekarang,” kata Tomy sambil menatap ibunya yang tampil dengan penampilan berbeda. Bajunya lumayan bagus, berwarna gelap, tapi tampak sederhana. Hijab warna kelam menutupi rambut putihnya. Wajah cantiknya telah lama pudar, tapi Tomy melihat, di mata itu ada sinar. Sangat lembut dan penuh cinta.

“Ayuk Bu,” Tomy mengulangnya beberapa kali, karena Rohana diam terpaku.

“Kamu pulanglah. Biarkan ibu pergi,” katanya sambil meraih pipi sang anak dan mengelusnya.

“Apa maksud Ibu? Lama sekali kami mencari Ibu, dan setelah bertemu, Tomy harus membiarkan Ibu pergi lagi?”

“Tomy, ibu tidak pantas berada di antara kalian.”

“Seburuk apapun, seorang ibu layak hidup diantara anak cucunya.”

Tomy meraih lengan ibunya, menariknya berjalan di sampingnya.

Rohana meronta.

“Tomy, ibu senang sudah melihatmu. Tapi biarkan ibu pergi.”

Tiba-tiba Tomy menjatuhkan dirinya di tanah, berlutut didepan sang ibu, membiarkan air mata mengucur dari sepasang matanya.

“Tomy, jangan bandel.”

“Kalau Ibu tidak mau pergi bersama Tomy, Tomy akan terus berlutut di sini.”

“Tomy, ibu tinggal bersama sebuah keluarga yang sangat baik. Yang melindungi ibu dan tidak menganggap ibu sebagai pembantu, walau ibu bekerja di rumah itu.”

Tomy terbelalak. Ia mendongak menatap ibunya. Perkataan ‘pembantu’ mengusik perasaannya. Sang ibu jadi pembantu?

“Memangnya kenapa kalau ibu jadi pembantu? Lihat. Kamu malu kan? Kamu merasa memiliki kasta yang lebih tinggi dan menganggap hina ibumu ini?”

Tomy merangkul kaki sang ibu.

“Tidak, bukan begitu Bu. Bukan Tomy menganggap hina. Bukankah itu lebih bagus? Sehingga Ibu tak lagi berpanas dan berhujan setiap saat? Tapi sekarang Ibu sudah bertemu anak Ibu, sepantasnyalah Ibu hidup bersama keluarga sendiri, bukan keluarga orang lain.”

“Biarkan ibu pergi.”

“Tomy sudah bilang, tak akan berdiri dari sini sampai Ibu mau ikut bersama Tomy.”

Rohana melepaskan tangan Tomy yang memeluknya. Ia tahu, Tomy hanya mengancamnya. Ia segera berjalan melintasi Tomy, menuju ke arah jalan keluar. Ada perasaan bingung memenuhi hatinya. Ingin rasanya mengikuti sang anak, tapi ada yang menahannya. Rasa rendah diri, dan entah perasaan apa lagi. Lagi pula Rohana tidak mungkin pergi begitu saja. Keluarga Kartika sangat baik, ia harus kembali. Ia senang tak mendengar Tomy mengejarnya. Air matanya bergulir, dan perasaan bahagia menyelimutinya. Anaknya masih selalu menyayanginya. Ia yakin demikian juga yang dirasakan Satria.

Ketika hampir sampai di ujung jalan, agak jauh dari tanah pemakaman, Rohana menoleh ke arah belakang, dan melihat mobil Tomy masih ada di tempatnya semula. Jantung Rohana berdesir, ia membalikkan tubuhnya, lalu dari balik pagar ia melongok ke dalam halaman tanah pemakaman itu, dan melihat Tomy masih berlutut di sana. Bergeming walau panas menyengat tubuhnya. Hati Rohana serasa diremas-remas. Setengah berlari dia kembali, dan bersimpuh di depan Tomy sambil berurai air mata.

“Tomy, bawalah ibu pulang.”

Dan sengatan matahari yang menyala tiba-tiba terasa sejuk oleh semilir angin yang mengelus hati dan jiwa.

***

Monik merasa senang ketika sang suami menelpon, bahwa dia benar-benar bertemu ibunya di pemakaman Sofia. Ia segera menelpon Minar yang tentu saja segera mengabari suaminya.

Berita bahagia itu segera tersebar diantara anak cucu Rohana. Walau masih was-was ketika merasa bahwa nanti Rohana akan kabur lagi, tapi Satria dan istrinya akan membiarkan sang ibu memilih tinggal di mana dan kehidupan seperti apa yang diinginkannya.

“Iya Mas, aku juga khawatir, bagaimana nanti kalau ibu kabur lagi,” kata Minar ketika bertelpon dengan suaminya.

“Kalau ibu lebih suka tinggal bersama Tomy, biarkan saja. Tomy adalah anak yang dirawatnya sejak masih bayi, sedangkan aku bertemu ibu ketika menjelang dewasa, saat aku mulai kuliah di Jakarta. Barangkali ada perasaan berbeda dari ibu, walau sama-sama anak yang dilahirkannya.”

“Iya, aku tahu. Nanti kita akan bicarakan bersama yang lainnya. Kita harus membuat ibu kerasan tinggal di suatu tempat, entah di mana tempat yang diinginkannya. Walau tidak dirawat sejak masih bayi, tapi kasih sayang seorang ibu pasti tidak akan berbeda.”

“Semoga saja begitu. Sebentar lagi aku pulang menjemput kamu, lalu bersama-sama ke rumah Tomy. Kabari Tegar, kalau bisa mintalah agar segera menyusul.”

“Baiklah.”

***

Pak Trimo dan Binari sudah ada di rumah siang hari itu. Memang warungnya tidak buka sepanjang hari, hanya pagi sampai siang saja. Nasi liwet pantasnya dimakan pagi, atau malam hari, tapi pak Trimo memilih istirahat setelah siang, untuk mempersiapkan dagangan lagi pada keesokan harinya. Kecuali itu ia tak ingin Binari kecapekan sehingga tak ada waktu yang cukup untuk belajar. Binari sudah berjanji akan mempersiapkan untuk ujian masuk pada tahun berikutnya, dan karena itu dia terus belajar dan belajar.

Ketika Binari menyuguhkan cemilan ke hadapan sang ayah, dilihatnya sang ayah seperti sedang melamun.

“Apa yang Bapak pikirkan?” tanya Binari sambil duduk di depan sang ayah.

“Uang bu Rohana itu. Kita tidak bisa membawanya terus menerus. Itu bukan milik kita.”

“Tapi bu Rohana tidak datang-datang kemari lagi. Apakah dia marah?”

“Entahlah, mana yang membuatnya marah. Karena kita akan mengembalikan uangnya? Atau karena aku mengatakan bahwa uang itu tidak jelas dari mana asalnya?”

“Pasti dia tersinggung. Bapak seperti menuduh bu Rohana melakukan hal yang tidak benar.”

“Bagaimana aku tidak berpikiran buruk? Tiba-tiba dia punya uang sepuluh juta, dan kamu tahu, waktu datang aku melihat wajahnya seperti ada bekas-bekas luka. Wajarlah kalau aku curiga.”

“Kalau dia melakukan hal benar, harusnya tidak marah.”

“Atau sebaliknya. Karena dia melakukan hal yang tidak benar, maka dia marah karena orang lain bisa menebak apa yang dilakukannya.”

“Bagaimana kalau uang itu kita serahkan saja pada keluarga pak Satria?”

“Dulu bapak pernah mengatakannya, tapi mereka tidak mau menerima. Mereka lebih berharap agar aku mengembalikannya kepada bu Rohana. Apalagi setelah mereka memberi atau menukar uang kita yang hilang pada waktu itu.”

“Kalau bu Rohana tidak datang kemari, bagaimana?”

“Bagaimana kalau kita sedekahkan saja uangnya ke sebuah panti asuhan atau ke masjid, agar pahalanya bisa diterima bu Rohana juga.”

“Tapi Bapak harus tetap mengatakan hal itu kepada keluarga Satria.”

“Kamu kabari saja nak Tegar, dan katakan tentang uang itu.”

“Baiklah. Bukankah lebih baik begitu?”

***

Tomy membawa ibunya pulang dengan perasaan bahagia. Rohana juga mendengar, ketika Tomy menelpon istrinya, dan dia tampak bahagia.

“Bu, Monik juga mengatakan kalau dia sudah mengabari keluarga Satria. Mereka sangat bahagia mendengar Tomy sudah menemukan Ibu.”

“Tapi aku tidak bisa pergi begitu saja. ‘Majikanku’ orang baik, jangan sampai dia mengira bahwa ibumu ini tidak tahu tata krama.”

“Tentu saja. Nanti akan Tomy temani ibu untuk mengatakan kepada ‘majikan’ ibu, bahwa anak-anak Ibu berharap Ibu kembali kepada mereka.”

“Aku banyak belajar dari mereka. Aku mengerti tentang kasih sayang juga dari mereka. Aku mengerti tentang kebesaran Tuhan yang tiada taranya, adalah juga setelah berada diantara mereka.”

“Dan ibu kelihatan lebih cantik dengan hijab itu. Besok Monik akan membelikan ibu baju dan hijab yang lebih baik, di toko yang terbaik.”

“Tidak. Apa maksudmu? Yang terbaik bagi seorang manusia bukan dilihat dari pakaian yang dikenakannya, tapi dari hati yang dimilikinya.”

Tomy terpana. Itu kata-kata bijak dari ibunya yang belum pernah didengarnya.

Rasa mengharu biru segera memenuhi dadanya.

“Bu, kita mampir ke kantor dulu, baru ke rumah ‘majikan’ ibu ya, soalnya tadi Tomy meninggalkan sebuah pekerjaan, dan Tomy hanya pamit sebentar.”

“Jangan lama. Kita harus segera bertemu 'majikan' ibu. Semoga siang hari ini dia pulang untuk makan.”

“Nanti ibu katakan alamatnya, sekarang ke kantor dulu ya.”

Ketika mobil Tomy memasuki halaman kantornya, dilihatnya Indi berlari ke arah parkiran dengan tergesa-gesa.

“Indi, ada apa?” teriak Tomy masih dari dalam mobil.

“Kakek baru saja datang, terkena serangan jantung. Sekarang sudah dilarikan ke rumah sakit, bersama mas Boy.”

***

Besok lagi ya.

39 comments:

  1. Alhamdulillah MAM 36 sdh hadir. Maturnuwun Bu Tien

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. 💜🪻💜🪻💜🪻💜🪻
    Alhamdulillah 🙏🤩
    eMAaeM_36 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat, bahagia
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam aduhai😍🦋
    💜🪻💜🪻💜🪻💜🪻

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun mbak Tien-ku Masih Adakah Makna tayang

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah cerbung MAM inspiratif untuk Baik 👍🩵semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  6. Alhamdulilah "Masih Adakah Makna 36" sudah tayang, maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🙏🙏🌷🌷🩷🩷

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah.... maturnuwun Bu Tien.
    Sehat selalu

    ReplyDelete
  8. Alhamdullilah terima kasih bunda🙏🥰🌹❤️

    ReplyDelete
  9. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...

    ReplyDelete
  10. Matur nuwun bu Tien yg baik. Akhirnya Rohana sadar dan menjadi orang baik

    ReplyDelete
  11. Matur nuwun mbak Tien....

    Semoga sehat dan bahagia selalu.

    ReplyDelete
  12. Rohana sudah hampir selesai. Mungkin tinggal menunggu waktu, menyelesaikan uang ditangan pak Trimo.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  13. Terima kasih Bunda Tien Kumalasari, maaf baru sempat komen lagi di blog, semoga Bunda dan keluarga sehat selalu Aamiin

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien,
    Semoga Bu Tien tetap sehat njih ...

    ReplyDelete

  15. Alhamdullilah
    Cerbung *masih adakah makna 36* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah telah tayang MASIH ADAKAH MAKNA(MAM) 36, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  17. Matur nuwun bu Tien..🙏
    Mugi tansah kaparingan sehat njih..

    ReplyDelete
  18. Hamdallah...cerbung Masih Adakah Makna part 36 telah tayang

    Terima kasih Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin

    Adegan yang mengharukan, pertemuan antara Rohana dengan anak kesayangan nya s Tomy.

    Saking terharu nya, Inyonge dadi melu mbrebes mili..iki..🥲

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah MASIH ADAKAH MAKNA?~36 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲..

    ReplyDelete
  20. Alhamdulill@h akhirnya rohana benar" menjadi orang baik,

    Mks bun MAM 36 nya....selamat mlm bun selamat intirahat smg selalu sehat, selalu bahagia bersama kelrg tercinta...aamiin yra

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah " Masih Adakah Makna - 36" sdh hadir.
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dsn bahagia selalu.
    Aamiin Yaa Robbal' Aalamiin
    Salam Aduhai Bunda..🙏

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien,
    Salam sehat wal'afiat ya 🤗🥰

    Masih terharu, dg Rohana.. apakah akan bertemu dg p Drajat.
    Mungkin p Drajat tdk lama ya...maunya Indi segera menikah

    ReplyDelete
  23. Waduh, sudah senang ada pertemuan2 membahagiakan...eh, pak Drajat kena serangan jantung...tegang lagi deh. Nampaknya masih panjang nih ceritanya...😀

    Terima kasih, ibu Tien. Salam hormat.🙏🏻🙏🏻🙏🏻

    ReplyDelete
  24. Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu aduhai

    ReplyDelete
  25. Mohon bantuan nya dishare ulang cerbung Masih adakah makna episode 35, makasih

    ReplyDelete

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...