MASIH ADAKAH MAKNA 34
(Tien Kumalasari)
Rohana terus melangkah. Hatinya serasa diiris dengan ribuan sembilu. Ternyata sebuah usaha baik masih menimbulkan prasangka. Ternyata keinginannya untuk menjadi baik tidak membuat orang percaya. Iya lah, seorang peminta-minta, atau seorang yang hidup di jalanan, kemudian memiliki uang sepuluh juta untuk membayar ‘hutang’? Walau ia bisa menerima perlakuan itu, tapi rasa sakit itu membuat air matanya tak berhenti bergulir.
Tadi ia berpamit kepada ‘majikannya’ untuk membayarkan uang gajinya demi menambah ‘cicilan hutangnya’ kepada pak Trimo. Tapi suara pak Trimo, orang yang selama ini selalu bersikap baik padanya, ternyata sangat membuatnya sakit. Ia membawa uang gajinya kembali, karena bagaimanapun pasti dikiranya uang itu dari hasil yang tidak benar.
Sambil mengusap air matanya, ia menunggu angkutan kota untuk menuju ke rumah keluarga Pratama kembali.
Tapi tiba-tiba seorang pengendara motor berhenti tepat di depannya, sehingga menghentikan langkahnya.
Rohana menatapnya tak berkedip. Wajah itu serasa pernah dikenalnya, tapi ia lupa di mana. Tapi pengendara sepeda motor itu rupanya mengenalinya.
“Ibu Rohana ya?”
Rohana mencoba mengingat-ingat, kapan pernah bertemu laki-laki itu. Ia bukan lagi seorang anak muda. Umurnya pastilah di atas 40 an tahun. Tapi wajahnya yang bersih, walau tidak terlalu tampan, tampak seperti seseorang yang berhati baik. Kalaupun dia penjahat, untuk apa menjahati perempuan tua yang miskin seperti dirinya?
“Ibu pasti lupa pada saya. Dulu, waktu bu Rohana sering bepergian bersama ibu saya, saya masih remaja.”
Rohana harus memeras otaknya untuk mengingat-ingat. Air mata di wajahnya sudah mengering, karena sengatan matahari yang cukup panas.
“Ibu Rohana ingat ibu saya, namanya Sofia.”
Rohana terhenyak. Sofia adalah temannya berhura-hura di masa itu. Pada suatu hari Sofia berhutang padanya sebanyak dua puluh juta, lalu kabur, dan tak pernah kembali ke kelompok hura-huranya lagi. Waktu itu uang Rohana masih berlimpah. Kehilangan duapuluh juta tidak pernah dipikirkannya. Ia juga lupa tentang uang yang dibawa kabur Sofia.
“Ibu lupa?”
“Sofia …. dia ….”
“Ini wajah ibu saya ketika masih agak muda,” laki-laki itu menunjukkan sebuah wajah di layar ponselnya. Rohana tidak melupakannya.
“Aku ingat dia.”
“Sejak sepuluh tahun yang lalu, ibu saya mencari-cari Ibu. Saya tadi mengingat-ingat wajah Ibu, yang walaupun sudah jauh lebih tua, tapi tidak pernah saya lupakan. Ibu masih mirip puluhan tahun yang lalu, walau penampilan Ibu berbeda."
“Oh ya? Kamu itu kan yang sering mengantar Sofia dengan mobil antik itu? Kamu kan yang suka melukis? Bahkan kamu pernah melukis wajahku?”
“Iya, saya Lukman.”
“Aku ingat, Lukman. Sekarang apa kabar Sofia?”
“Itulah Bu. Sekarang ibu sudah sakit-sakitan. Tadinya di rumah sakit, tapi karena biaya membengkak, ibu minta di rawat di rumah. Ibu selalu menyebut-nyebut nama ibu Rohana. Katanya ia merasa bersalah.”
“Ah, tidak. Semua orang pasti pernah melakukan salah.”
“Maukah Ibu menemui ibu saya?”
“Bagaimana kamu bisa mengenali wajahku, yang sudah jauh lebih tua, beda penampilan juga. Karena aku sekarang miskin, papa,” kata Rohana dengan wajah sendu.
“Saya pernah melukis wajah ibu Rohana. Saat muda, dan bagaimana nanti setelah tua. Dulu ibu Rohana sangat cantik. Lihat, saya melukis wajah Ibu saat tua. Hanya bedanya lukisan ini tidak memakai jilbab.”
Rohana terbelalak melihat wajahnya pada lukisan yang terpampang di ponsel Lukman. Itu memang dirinya saat sekarang. Senyumnya mengembang. Lukman memang pelukis yang hebat.
“Ibu, ibu saya pasti senang kalau bisa bertemu Ibu. Katanya ia merasa bersalah, tapi saya tidak tahu apa kesalahan yang ibu saya perbuat pada Ibu.”
“Di mana ibu kamu tinggal?”
“Tidak jauh dari sini, ibu berani membonceng sepeda motor saya?”
“Baiklah, tapi saya tidak bisa lama, karena saya bekerja di sebuah rumah dan harus segera kembali.”
“Saya belum mendengar bagaimana ceritanya sehingga Ibu seperti ini. Tapi yang penting Ibu menemui ibu saya dulu. Dia sakit parah.”
“Baiklah, ayo kita temui dia.”
Rasa hati Rohana sudah berbeda, Dulu, barangkali dia tidak akan peduli kepada derita orang lain. Tapi sekarang dia sudah berbeda. Mendengar kisah Sofia yang sakit-sakitan, jatuh rasa iba dihatinya. Karenanya dia bersedia mengikuti Lukman untuk menemui teman lamanya.
***
Ketika Binari kembali ke warung dengan membawa amplop yang dulu diberikan Rohana, ia tak melihat Rohana ada di sana. Tegar sedang berbincang dengan ayahnya, yang merasa menyesal karena Rohana tak mau dihentikannya.
“Memang susah Nak, bu Rohana sama sekali tidak mau berhenti. Tampaknya dia juga marah ketika saya mau mengembalikan uang yang dulu diberikannya.”
“Iya Pak, saya bisa mengerti. Jarak dari warung ini dan tempat saya berada tidak bisa diprediksi akan berapa lama bisa sampai lalu bertemu dengannya, sedangkan nenek selalu pergi dengan tergesa-gesa.”
“Saya minta maaf, Nak. Mau bagaimana lagi? Bu Rohana bukan anak kecil, dan tidak mungkin saya mengikatnya sehingga dia tidak bisa pergi.”
“Ya sudah. Tidak apa-apa. Barangkali memang belum saatnya saya bisa bertemu nenek. Tapi saya masih akan mencoba, barangkali bisa bertemu di daerah ini.”
“Tadi saya juga sudah secepatnya memberi tahu Mas, begitu dia datang,” kata Binari.
“Aku masih ada di kampus, dan aku juga ngebut tadi.”
“Lain kali tidak usah ngebut, jalanan ramai lho Mas. Tapi menyesal juga aku, tidak bisa mempertemukan Mas dengan bu Rohana. Padahal beberapa kali dia datang kemari.”
“Bu Rohana sangat sulit. Dia selalu datang dan pergi dengan tergesa-gesa. Kalau saja tadi dia mau berhenti dan saya suguhkan makan, barangkali Nak Tegar masih bisa bertemu. Tapi karena terbawa perasaan marah, jadi ia sama sekali tidak mau mendengar perkataan saya," kata pak Trimo.
“Mengapa dia marah ya Pak?”
“Gara-gara saya mau mengembalikan uangnya. Saya malah tidak sempat memberi tahu bahwa bu Satria sudah memberi saya uang.”
“Ya sudah, kalau begitu saya pamit dulu, semoga saya bisa melihat nenek di sekitar tempat ini.”
“Tidak mau makan dulu Mas?”
“Terima kasih Binari, lain kali saya pasti akan sarapan di sini sebelum kuliah.”
Binari tersenyum. Tegar menatapnya kagum. Ketika memakai hijab, Binari tampak lebih cantik. Ia tak butuh melihat ekor kuda yang selalu membuatnya merasa lucu. Yang ini lebih menawan.
Tegar mengibaskan perasaan aneh yang selalu mengganggunya setiap kali bertemu Binari, kemudian berlalu.
***
Rohana terkejut melihat sosok wanita tua yang terbaring tak berdaya. Wajahnya yang penuh keriput tampak tak bercahaya. Ia menatap Rohana tak percaya, setelah Lukman mengatakan bahwa dia adalah memang Rohana.
“Sofia, kamu tidak mengenali aku lagi?” kata Rohana sambil duduk di kursi yang disediakan di samping tempat tidur Sofia. Tempat tidur sederhana, jauh dari kemewahan seperti dulu ketika mereka masih berteman.
“Kamu … benarkah kamu Rohana?”
“Tentu saja. Kita masih berteman, bukan?”
“Kamu masih cantik.”
Rohana terkekeh. Dia sudah merasa tua, dan akhir-akhir ini tak ingin berdandan lagi. Ia tahu Sofia hanya ingin menyenangkan hatinya.
“Sudah lama aku ingin bertemu denganmu, Rohana. Sebelum aku mati, aku harus bertemu dan mengembalikan uang yang dulu pernah aku pinjam," katanya pelan, seperti tak mampu mengeluarkan suara keras.
“Kamu mengatakan apa? Jangan bicara tentang kematian.”
“Aku sudah tua, dan sudah lama sakit. Lukman, ambilkan kotak di dalam kantung batik yang ada di dalam almariku,” perintahnya kemudian kepada Lukman.
Lukman segera pergi untuk menuruti perintah sang ibu, sementara seorang pelayan menyuguhkan secangkir kopi di atas meja, di dekat Rohana duduk.
“Ini rumah Lukman. Dia masih terus melukis, istrinya bekerja. Mereka hidup sederhana.”
Lalu Sofia menghela napas sedih.
"Harta itu tidak bisa menjamin kesejahteraan seseorang untuk selamanya. Kemewahan yang dulu membuat aku berkecimpung dalam lautan kesenangan, sudah sirna. Semuanya habis, setelah usaha suamiku bangkrut. Aku tidak bisa membayar hutangku kepadamu, lalu pergi menyembunyikan diri di tempat terpencil. Tapi Lukman menjemputku, mengajaknya hidup sederhana bersama keluarganya,” katanya panjang lebar, disertai napas yang terkadang memburu.
“Kamu jangan memikirkan hutang itu lagi, aku sudah melupakannya.”
“Tidak, hutang itu membebani aku. Aku mengumpulkan uang yang aku simpan, menunggu saat bertemu denganmu. Jangan sampai kalau aku mati sewaktu-waktu, hutang itu menghambat jalanku.”
“Sofia, kamu belum akan mati. Sembuhlah dan nikmati hidup ini. Aku juga bukan seperti dulu. Hartaku habis dan aku terlunta-lunta puluhan tahun. Aku tak ingin membebani anakku, dan sekarang aku bekerja menjadi pembantu di sebuah keluarga.”
“Kamu? Pembantu?”
“Memangnya kenapa? Aku sudah menikmati hidupku, lalu merusak hidupku, dan sekarang aku sedang mendandani hidupku.”
Sofia tampak terengah-engah. Ia sudah banyak bicara, dan lelah. Ketika Lukman datang dan membawa kotak yang dipesankan ibunya, Sofia menerimanya dengan tangan gemetar.
“Rohana, ini uang yang aku kumpulkan, uang kamu yang pernah aku pinjam,” katanya sedikit terengah. Tangan yang terulur tampak gemetar, dan Rohana dengan segera menerimanya.
“Ibu istirahat dulu saja,” kata Lukman yang cemas melihat wajah ibunya.
“Lukman, aku senang sudah bertemu Rohana,” katanya lagi.
“Sofia, ini tidak perlu. Kamu pasti memerlukannya untuk berobat. Aku tidak membutuhkannya.”
“Jangan, tak ada yang bisa mengobati. Aku menderita kanker yang sudah parah. Aku hanya menunggu bertemu kamu,” lalu Sofia memejamkan mata.
Rohana ketakutan. Wajah itu seperti kehilangan cahayanya.
“Lukman, bawa ibumu ke rumah sakit,” kata Rohana panik.
Lukman segera menelpon rumah sakit untuk meminta ambulans bagi ibunya.
***
Kartika sudah sampai di rumah, tapi dia tidak menemukan nenek Rohana. Semuanya tampak rapi, tak ada yang mencurigakan, tapi Pratama tak mau mempercayainya, Ia menuduh Rohana telah melakukan hal yang tidak benar.
“Coba periksa kamar kamu. Almari kamu. Jangan mudah percaya begitu saja,”
“Mas, dia sudah bekerja sebulan lebih, dan semuanya baik-baik saja. Kita tidak pantas mencurigainya.”
“Coba saja periksa kamar. Orang jahat selalu melakukan kejahatannya dengan sangat rapi. Ia melakukan hal baik selama sebulan, untuk membangun kepercayaan kita. Lalu setelahnya ….?”
Kartika masuk ke kamar dengan kesal. Ia tak suka suaminya menuduh Rohana melakukan hal buruk. Kamarnya masih rapi. Almari masih terkunci.
“Coba buka dulu, dan periksa barangkali ada yang hilang,” kata Pratama yang menyusul masuk ke dalam kamar.
Kartika membuka almari, semuanya rapi.
“Periksa kotak perhiasan,” titahnya lagi.
Tapi semuanya masih seperti semula. Kartika mengangkat kedua belah tangannya untuk meyakinkan suaminya bahwa tak ada yang berubah, tak ada yang hilang.
“Apa lagi yang harus diperiksa?”
Tak terima, Pratama juga membuka almarinya sendiri. Tapi memang Rohana tidak melakukan hal buruk di rumah itu. Seisi rumah diperiksapun juga tak ada yang berubah. Semuanya rapi, dan bersih. Rupanya sebelum pergi Rohana telah membersihkan rumah dan melakukan apa yang menjadi tugasnya.
“Tadi nenek pamit mau pergi sebentar untuk menemui seorang kenalannya. Kalau tidak salah akan menitipkan uang gajinya, untuk dibayarkan kepada temannya itu,” kata Kartika yang tidak mau menyebut soal pencurian yang pernah dilakukan Rohana.
“Kenapa kalau bilang sebentar, lalu sampai sore dan hampir malam dia belum juga kembali?”
“Barangkali ada sesuatu, atau jangan-jangan terjadi sesuatu yang … aduh, mengapa dia tidak punya ponsel sehingga aku tidak bisa menghubunginya? Aku justru mengkhawatirkannya.”
“Kamu berlebihan, Kartika.”
“Sungguh, perasaanku jadi tidak enak.”
“Tungguin saja dulu, aku mau mandi,” kata Pratama yang tidak setuju sang istri begitu panik memikirkan nenek.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti. Rupanya Azka datang sambil mengajak Indira.
Kartika menyambut di teras sambil tersenyum ramah.
“Indira, lama tidak bertemu kamu.”
“Iya Bu, setelah dulu kemari dan tidak bertemu Ibu, lalu belum datang kemari lagi,” kata Indira sambil mencium tangan Kartika.
“Itu sebabnya Azka tadi menjemputnya di kantor, Bu,” sambung Azka.
“Ayo masuklah,” ajak Kartika ramah.
“Kok ibu ada di depan? Bukan nungguin Azka kan?” kata Azka sekenanya.
“Memang bukan. Ibu sedang nungguin nenek.”
“Memangnya nenek ke mana?”
“Tadi siang pamit mau menemui temannya, kok sampai sekarang belum kembali,” kata Kartika yang kemudian menemani duduk tamunya di teras.
Tapi tiba-tiba sebuah taksi berhenti, dan Rohana turun dari sana dengan wajah menunduk.
***
Besok lagi ya.
🌹☘️🌹🤝🤝🌹🤝🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah eMaAeM_34 sudah hadir tepat waktu malam ini .....
Matur nuwun ... 🙏🙏
Rohana oh .... Rohana, mau berubah jadi orang baik saja, kok susah ya....
Ada saja yang mencibir...... Curiga ....
🌹☘️🌹🤝🤝🌹🤝🌹
Nuwun mas Kakek
Delete🎍🎋🎍🎋🎍🎋🎍🎋
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🤩
eMAaeM_34 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai😍🦋
🎍🎋🎍🎋🎍🎋🎍🎋
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Salam aduhai dehh
Matur nuwun mbak Tien-ku Masih Adakah Makna tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteHore
ReplyDeleteSuwun mb Tien
DeleteSami2 Yangtie
DeleteYup
ReplyDeleteYess
DeleteMatur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteTerima ksih bunda cerbungnya .slmt mlm salam seroja dan aduhai unk bunda🙏🥰❤️🌹
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSallam aduhai deh
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Salamah
DeleteAlhamdulillah telah tayang MASIH ADAKAH MAKNA(MAM) 34, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Sami2ibu Uchu
DeleteSalam sehat juga
Matur nuwun jeng Tien , salam sehat.
ReplyDeleteSami2 mbak Yaniiiik
DeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah cerbung MAM inspiratif untuk Baik 👍🩵semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏🙏
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda tien
Sami2 ibu Endah
DeleteAlhamdulillah... Mtnw, sehat selalu mbakyu 🙏🙏
ReplyDeleteSami2jeng Kun
DeleteSehat selalu juga
Aamiin
Deletealhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
semoga slalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nanik
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun ibu Atiek
DeleteMatur nuwun ibu 🙏🏻
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteHatur nuhun....
ReplyDeleteSami2 ibu Yati
DeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ... piawai sekali merubah Rohana jd sadar ...
🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 jeng Susi
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *masih adakah makna 34* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDeleteTerharu,,,,, Rohana hatimu baik 😭
Matur nuwun ibu Ika
DeleteAlhamdulillah MASIH ADAKAH MAKNA?~34 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲..
Terima kasih pak Djodhi
DeleteAamiin atas doanya
Terimakasih bunda Tien, cerbung asyiknya sudah tayang... salam sehat selalu, bahagia dan aduhaiii...
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAduhai juga
Memang, kadang orang tak mau tau perubahan pada diri orang lain yg benar" ingin merubah diri dari perilaku buruk menjadi perilaku baik, sabar ya Rohana, Allah pasti akan meridhoi umat nya yg benar" mau bertobat
ReplyDeleteMks bun MAM 34 nya, ....selamat malam,....salam sehat tetap semangat ya bun, jangan lupa jaga kesehatan
Terima kasih ibu Supriyati
DeleteMemang susah menjadi orang baik.
ReplyDeleteYa kan Kakek dan Nenek..
Nuwun pak Widay
DeleteSejuk
ReplyDeleteNuwun pak Joyo
DeleteAlhamdulilah "Masih Adakah Makna 34" sudah tayang, maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🙏🙏🌷🌷🩷🩷
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbaal'alamin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Nah, kan...ada lagi teman Rohana yg bangkrut krn berfoya-foya waktu dulu. Semoga belum terlambat bertobat.
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...semoga sehat selalu.🙏🏻
Aamiin Yaa Robbaal'alamin
DeleteMatur nuwun ibu Nana
Hamdallah...cerbung Masih Adakah Makna part 34 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin
Rohana balik ke rumah Majikan nya, di situ ada Azka, Indira, kenal kah mereka dengan penampilan nenek berjilbab. Harus nunggu bsk nih jawaban nya..😁
Aamiin Yaa Robbaal'alamin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Kalau Indi ketemu Rohana yang berjilbab lupa tidak ya. Rohana sudah berubah, baik penampilan maupun sifatnya.
ReplyDeleteMungkin banyak pembaca yang menerka akhir cerita dengan benar. Tapi menikmati proses perjalanan hidup itu yang menarik.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbaal'alamin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbaal'alamin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDelete