MASIH ADAKAH MAKNA 20
(Tien Kumalasari)
Minar dan Monik saling pandang. Ketika keluarganya membuat hidupnya berubah, ternyata sifat asli Rohana belum berubah. Angkuh, sombong, mau menang sendiri, semena-mena, suka merendahkan orang lain. Untuk kesombongan itu dia rela berbohong. Mungkin masih ada lagi sifat buruk yang dimilikinya. Tak ada pilihan bagus yang ada padanya. Monik dan Minar miris. Mereka saling pandang lalu mengangkat bahu. Kalau benda tidak berguna dan membuat tidak nyaman, pasti akan dibuang, tapi bagaimana dengan orang tua? Membuangnya pastilah durhaka.
Mereka melihat sang ibu memilih-milih, dan mereka tahu itu harganya ratusan ribu. Kalau dia mengambil beberapa potong saja, nilainya akan berjuta-juta.
Tak tahan, Monik mendekat.
“Ibu sudahkah? Berapa yang ibu pilih?” tanyanya berusaha lembut walau hati merasa jengkel. Monik lebih keras daripada Minar. Minar memang lembut hati, tapi Monik memiliki hati yang keras. Ia tak takut menentang kalau melihat perilaku yang tidak benar. Hanya saja ia masih mengingat bahwa sang ibu mertua baru saja kembali dari ‘pengembaraannya’. Dia harus bisa menahan diri.
Mendengar teguran Monik, alis Rohana berkerut dari kulit yang memang sudah mengkerut.
“Maksudmu apa? Ini baru tiga buah,” jawabnya lalu melirik ke arah teman yang tadi menegurnya, berharap sang teman melihat barang-barang yang dibelinya. Tapi dia sudah tak kelihatan lagi batang hidungnya.
“Bukankah itu cukup?” tanya Monik lagi.
“Mengapa kamu pelit? Kalian bekerja sama untuk menentang aku? Bukankah uang yang kalian bawa adalah pemberian anak-anakku?”
“Tentu saja Bu, dari mana kami punya uang kalau tidak diberi suami? Tapi bukankah masih ada barang lain yang akan ibu beli?”
“Ibu mau beli sepatu, kan?” sambung Minar.
“Satu lagi saja, dan ini untuk kali ini. Lain kali aku masih ingin baju lagi. Lagian pilihan yang bagus untuk aku sudah tidak ada lagi. Lain kali kita cari butik yang barang-barangnya jauh lebih bagus.”
“Bu, untuk apa beli baju-baju mahal? Tidak ada yang bisa menarik dari seseorang hanya dengan baju-baju mahal. Yang paling menarik dan membuat kita senang adalah perilaku yang baik.”
Ya ampun, Monik berani sekali. Minar sampai mendekat dan mencubit pinggangnya pelan, untuk mengingatkan agar jangan bicara terlalu kasar.
“Kamu bicara apa? Kamu dulu aku sayangi dan aku harapkan bisa menjadi menantu yang membanggakan, tapi sekarang kamu membuat aku kecewa. Lihatlah perempuan kampung itu, dia tak pernah mencela apa yang aku lakukan?”
“Perempuan yang ibu bilang kampung ini sangat menjaga ibu dengan caranya. Tapi apakah ibu tahu apa yang dipikirkannya? Ibu tak tahu apa yang ada di dalam hatinya. Bisa jadi dia marah dan kesal.”
“Apa katamu? Kalau kalian tidak rela aku membeli baju-baju ini, biarkan aku pergi saja. Siapa juga yang mau kembali kepada kalian?”
“Bu, sudahlah. Ibu mau beli lagi, ambillah. Satu lagi, lalu kita akan ke counter sepatu ya bu,” kata Minar sambil kembali mencubit pinggang Monik.
“Ah, aku lupa kalau harus beli sepatu juga. Baiklah, aku akan memilih satu lagi saja. Lalu ke counter sepatu. Ingat, aku tidak mau satu. Kalau aku kembali menjadi keluarga kalian, aku harus tampil lebih pantas,” katanya sambil mengambil lagi sepotong baju berwarna hijau tosca dengan pernik-pernik menyala. Benar-benar tak sadar seperti apa dirinya sekarang.
Mereka membawa sang ibu untuk mencari sepatu, setelah Minar membayar harga empat buah baju sang ibu mertua. Dua juta lebih.
“Hanya dua juta lebih, dulu aku membeli baju sepotong delapan ratus ribu, atau satu juta,” omelnya sambil berjalan ke arah counter sepatu.
Monik ingin membuka mulutnya, tapi Minar lagi-lagi mencubitnya.
“Hei, pinggangku sudah matang biru karena kamu mencubit aku terus menerus,” omel Monik yang diterima Minar dengan senyuman lucu.
“Nanti aku yang membayar sepatu ibu mertuamu itu,” kata Monik walau pelan tapi pedas, karena seakan dia tak mengakui Rohana sebagai ibu mertua. Untunglah Rohana sudah mendahului berjalan ke depan dan memilih sepatu, yang kali ini harganya benar-benar jutaan.
“Apa dia bukan ibu mertuamu juga?” balas Minar sambil tertawa.
“Ternyata menyebalkan. Setelah miskin perangainya berubah. Barangkali kita perlu membawanya ke dokter jiwa,” omel Monik lagi.
“Sssstt…. “
Keduanya kemudian duduk di bangku yang ada di counter itu. Membiarkan Rohana memilih-milih.
“Hei, kenapa kalian enak-enak duduk di situ? Bantu aku memilih,” teriak Rohana yang merasa kesal melihat kedua menantunya duduk santai.
“Kalau kami yang memilih, nanti ibu tidak suka,” jawab Minar, takut kalau Monik menjawabnya lebih dulu, yang pasti akan membuat mertuanya marah.
“Ini, aku sudah memilih satu, bagus atau tidak?”
Monik tetap duduk, dan pura-pura mencari sandal di deretan yang berbeda, sedangkan Minar mendekati mertuanya, meminta pelayan mengambilkan pasangan sepatu yang dipilihnya.
“Sudahkah Bu?”
“Jangan satu, kan harus gonta-ganti setiap kali keluar? Malu dong.”
“Memangnya ibu mau ke mana saja? Sudah tua sebaiknya lebih banyak istirahat di rumah,” kata Monik yang sudah berdiri di dekat mereka.
“Aku sudah tua, tapi aku tidak mau mendekam di rumah seperti burung di dalam sangkar. Kamu terlalu cerewet, aku mau ketemu Tomy dan mengadukan apa yang kamu katakan kepadaku, tadi. Kalau kamu keberatan membayarnya, pasti perempuan kampung itu bersedia membayarnya,” katanya sambil menuding ke arah Minar.
“Bu, kasihan Minar. Dia menuruti semua keinginan ibu, tapi ibu tetap saja mengatainya dengan perempuan kampung.”
“Biar saja, dia tidak keberatan kok. Bukankah itu benar?” katanya sambil melenggang ke arah deretan sepatu yang modelnya berbeda. Ia mengangkat salah satunya, dan Monik sudah menghambur ke dekatnya.
“Bu, itu sepatu hak tinggi. Ibu berani memakainya? Bisa-bisa ibu terjatuh lalu kaki ibu patah seperti dulu,” cela Monik lagi.
Rohana tak menjawab, sesungguhnya ia tahu kalau sudah tak pantas memakai sepatu hak tinggi. Lalu ia memilih lagi, jangan sampai beli yang murah.
Setengah hari lebih Monik dan Minar melayani sang ibu mertua belanja, sampai kemudian dia mengeluh lapar.
“Sudah siang, aku lapar sekali. Jangan membawaku ke rumah makan murahan. Aku sudah bosan menjadi miskin.”
“Tidak ada rumah makan murahan di sini. Itu, di sebelah ada rumah makan, aku juga lapar,” kata Monik sambil membawa belanjaan dibantu Minar. Ia mendahului dan mau tidak mau Rohana mengikutinya.
Mereka duduk di sebuah bangku kosong, yang ada di tengah ruangan.
“Ibu mau pesan apa? Ini daftar menunya,” kata Minar.
Rohana menarik buku menu, bukan memilih makanan yang disukainya, tapi memilih yang harganya mahal. Kali ini Monik dan Minar mendiamkannya. Banyak orang makan di tempat itu, malu kalau harus berdebat soal makanan.
Rohana memilih dua menu, nasi dan steak. Bukan main. Monik dan Minar heran, apakah mertuanya akan bisa menghabiskan makanan sebanyak dan seberat itu?
Ketika makan itulah Satria menelponnya, dan menanyakan apakah mereka jadi belanja.
“Iya Mas, Monik juga menemani aku, jadi aku senang ada teman berbincang.”
“Kalian ada di mana?”
“Lagi makan Mas, setelah ini pulang.”
“Belanja apa saja tadi?”
“Seperti yang semula kami rencanakan, beli baju, beli sepatu, lalu makanan kesukaan ibu. Tapi Monik ikut membayarnya dan lebih banyak.”
“Heii, apa katamu?” kata Monik menyela.
“Ya sudah Mas, kami lagi makan, nanti saja di rumah kita cerita-cerita,” kata Minar yang kemudian menutup ponselnya.
“Kenapa bicara sedikit, kamu tidak bilang suami kamu kalau aku minta dibelikan perhiasan, bukan seperti ini,” katanya sambil menunjuk ke arah jari tangannya yang memakai cincin milik Minar pagi tadi.
“Mas Satria lagi di kantor Bu, takut mengganggu,” jawab Minar sambil melanjutkan makan.
“Kalau bicara untuk kepentingan ibunya, masa dianggap mengganggu? Bukankah Satria orang besar di kantornya?”
“Siapapun dia dan apapun jabatannya, yang namanya di kantor itu selalu sibuk dan tidak bisa terlalu lama diganggu. Meskipun untuk kepentingan ibunya. Kecuali kalau mengabarkan orang sakit, atau apa,” sela Monik yang selalu kesal mendengar ucapan-ucapan mertuanya.
“Apa katamu? Jadi kamu berharap aku sakit? Atau bahkan meninggal, supaya aku bisa bicara dengan anakku?”
“Siapa yang mendoakan?” kata Monik walaupun dengan tersenyum tapi dadanya serasa ingin meledak.
“Bukan mendoakan Bu, intinya begini. Mengganggu yang lagi bekerja di kantor itu tidak baik, kecuali ada keperluan yang sangat mendesak,” sambung Minar.
“Misalnya aku sakit, atau meninggal?” katanya sengit, sambil menggigit daging yang agaknya sedikit alot.
“Kami tidak mendoakan. Doa anak-anak ibu adalah agar ibu sehat, panjang umur, gembira, bukankah begitu?” kata Minar.
“Anak-anakku, bukan kalian.”
Lalu Monik memukul kaki Minar pelan, berharap pembicaraan tidak dilanjutkan. Susah bicara dengan orang aneh.
“Minar, nanti belilah lauk di sini. Makanannya enak. Aku tidak suka masakan kamu, keasinan,” kata Rohana, selalu tanpa perasaan.
“Baiklah.”
“Padahal anak-anakku selalu bilang, masakan ibu Minar enak luar biasa,” kata Monik sambil menutupkan sendok garpunya, lalu mengelap mulutnya dengan tissue. Kali ini Minarlah yang memukul kaki Monik dengan kakinya.
Lalu terdengar Rohana mendengus.
Monik dan Minar saling pandang dan tersenyum penuh arti, ketika tiba-tiba Rohana berpamit untuk pergi ke toilet, sambil memegangi perutnya.
“Aduh, Minar, kalau begini terus aku bisa kurus kering,” keluh Monik setelah Rohana tak kelihatan lagi.
“Bersabarlah dulu, aku yakin suatu hari dia akan berubah dan mengerti bahwa dia disayangi oleh anak cucu dan menantunya."
“Itu sudah sifat dan bawaan sejak ada di dalam perut ibunya. Susah menjadi baik.”
“Entahlah, sudah puluhan tahun, dia masih tetap membenciku.”
“Dia tak berperasaan.”
“Sudahlah, mengatai orang tua bisa kualat.”
“Huh, kalau kelakuannya begitu terus, tidak ada orang yang tahan. Kecuali kamu,” ledek Monik.
Minar tersenyum sambil mencubit lengan Monik.
“Heii, dari tadi kamu menyakiti aku terus lhoh,” kata Monik sambil cemberut, tapi hanya pura-pura, karena tak lama lagi mereka sudah terkekeh-kekeh, entah apa yang membuatnya tertawa.
“Ibu lama sekali, jangan-jangan diare,” kata Monik.
“Bukaaan, ibu kekenyangan, makannya banyak luar biasa.”
***
Siang begitu terik. Rohana sudah tidur mengorok di atas sofa, setelah menata barang belanjaannya di dalam kamar. Entah karena kebiasaan lamanya yang sudah dijalani selama bertahun-tahun, tidur di kamar tidak membuatnya nyaman.
Monik sudah berpamit, karena Indi berkali-kali menelponnya.
Minar menata lauk yang tadi dipesan mertuanya, agar nanti saat makan malam bisa memanasinya dengan mudah.
Ketika itulah tiba-tiba Tegar pulang, langsung menuju ke ruang makan.
“Ibu masak apa tuh?” katanya sambil mencium tangan sang ibu.
“Itu bukan masakan ibu, tapi masakan yang dibeli nenek untuk makan nanti.”
“Ibu tidak masak?”
“Masak, kamu mau makan sekarang?”
“Iya, Tegar lapar nih. Tapi nggak mau makanan yang itu. Maunya masakan ibu.”
“Bersihkan diri dulu, lalu ganti pakaianmu, biar ibu siapkan makan untuk kamu.”
Tegar bergegas ke kamar, lalu membersihkan diri di kamar mandi, kemudian menuju ke ruang makan, di mana ibunya sudah menunggu.
“Hm, ini baru enak. Perkedel jagung, kesukaan Tegar.”
“Makan yang banyak.”
“Ibu tidak makan?”
“Tadi sudah makan di luar, menemani nenek dan tante Monik.”
“Tadi belanja apa saja?”
“Baju dan sepatu untuk nenek.”
“Habis berapa?”
“Ah, sudahlah, nggak usah ditanyakan. Tadi juga dibayarin tante Monik.”
“Apakah dia rewel minta yang aneh-aneh?”
“Tegar, bagaimanapun dia adalah nenek kamu. Kamu tidak boleh kesal atau marah pada dia.”
“Bu, kalau kelakuannya keterlaluan, masa nggak boleh marah? Lihat tuh, nenek tidur di sofa sambil ngorok. Kalau ada tamu bagaimana? Mengapa tidak ibu minta agar tidur di kamar?”
“Biarkan saja dia melakukan apa yang dia suka. Lama-lama dia akan bosan rewel.”
“Rewel bisa bosan?”
“Kalian mengata-ngatain aku?” tiba-tiba Rohana sudah muncul di ruang makan itu.
“Ibu sudah bangun?”
“Aku tahu kalian tidak suka aku di sini. Antarkan aku ke rumah Tomy saja.”
“Mengapa Bu, di sini juga rumah putra ibu.”
“Pokoknya ke rumah Tomy, sekarang,” Rohana berteriak.
“Baiklah, baiklah, sekarang Minar antarkan ibu ke rumah Tomy.”
***
Tegar bergeming. Ia tak ingin mengantarkan neneknya. Kalau sang nenek rewel, dia tak akan sabar menghadapinya.
Karenanya Minarlah yang mengantarkan Rohana, sambil membawa kopor kecil berisi pakaian Rohana yang tadi dibelinya.
Ketika sudah sampai di rumah Tomy, Rohana berteriak.
“Sepertinya aku mengenal rumah ini.”
Tapi ketika dia bergegas mendekati rumah, seorang laki-laki tua berdiri di teras. Rohana terpaku di tempatnya berdiri.
***
Besok lagi ya.
Hore
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteeMAaeM 20...telah tayang
Matur sembah nuwun Mbak Tien
Tetap sehat..Tetap semangaat .💪😍
Salam ADUHAI..dari Bandung
🙏😍💐🌹
Matur nuwun mbak Tien-ku Masih Adakah Makna tayang
ReplyDeleteTrmksh mb Tien, smg sht sll
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDelete☘️🌻☘️🌻☘️🌻☘️🌻
ReplyDeleteAlhamdulillah......
eMaAeM_20 sdh tayang.....
Matur nuwun bu Tien..... Salam ADUHAI 😊🥰
☘️🌻☘️🌻☘️🌻☘️🌻
Alhamdulillah, cerbung MAM ke 20.Rohana makin gemesin ABG tuek.pingin ngruwesss
ReplyDelete😅😂👍👏
Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏
Alhamdulillah.... terimakasih Bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Alhamdulilah "Masih Adakah Makna 20 " sudah tayang, maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🙏🙏🌷🌷🩷🩷
ReplyDeleteBiarin bun pembaca tambah erosi melihat kelakuan Rohana 😄😄😄
Alhamdulillah..
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien 🙏🙏
Sehat selalu kagem bunda..🤲🤲
Alhamdulillah
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeletematur nuwun bunda
salam sehat selalu
Alhamdulillaah. Trm ksh bu Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah telah tayang MASIH ADAKAH MAKNA(MAM) 20, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Terima kasih bu Tien yg baik. Rupanya Rohana makin merajalela
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *masih adakah makna 20* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Mungkinkah itu mantan suami ? Matur nuwun Bunda Tien Kumalasari
ReplyDeleteSebaiknya Rohana dibuang ke sungai saja. Nyebeli, biar nanti pak Drajat yang bisa mengatasi.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Iya ini cerita seperti pamer kebusukan kelakuan si rohana yang memuakan menjijikan berkepanjangan, tapi pembaca melalui anak menantu cucu dipaksa harus memaklumi...... 🤮🤮🤮
DeleteMatur suwun ibu 🙏🏻
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah MASIH ADAKAH MAKNA?~20 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin yra..🤲
Syukur... Rohana akan kena gertak pak Drajat mantan suaminya.. terimakasih bunda Tien, salam sehat, bahagia selalu dan aduhaiii.
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteSehat danbahagia selalu bersama AMANCU💖
Terima kasih bu Tien ... M A M ke 20 sdh tayang ... Smg bu Tien & kelrg happy dan sehat selalu ... Tetap semangat & Salam Aduhai .
ReplyDeleteKelakuan Rohana sangat menyebalkan ...
Sebaiknya dibawa ke rumah sakit jiwa ..
Rasain Rohana ... ada pak Drajat di teras rumahnya
Alhamdulillah " Masuh Adakah Makna - 20" sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu
Aamiin Yaa Robbal' Aalamiin
Salam Aduhai🙏
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDeleteSemangat bacanya , mau tau polahnya Rohana,... 🤩 Aduhaiii sekali
Gud
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil 'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien "MAM 20" telah tayang
Semoga bu tien trs sehat² selalu
Salam aduhai
Hamdallah...cerbung Masih Adakah Makna part 20 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin
Monik dan Minar sdh tahu kan klu mertua nya Rohana, mengalami gangguan jiwa, tunggu apa lagi, segera di bawa ke dokter Jiwa...dong
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteKapan Rohana berubah baik ya ??
Salam hangat selalu aduhai.
Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...
ReplyDeleteWaah...Rohana pakai 'aji mumpung' nih, mentang2 diharapkan kembalinya ke keluarga. Lebih baik dibiarkan pergi saja atau kirim ke panti werdha, biar belajar bersyukur dan hidup prihatin.😅
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Sehat2 selalu...🙏🙏😘😘😀
Ngatain minar orang kampung, apa dirinya bukan orang kampung, owalah rohana-rohana, mbok kamu ngaca doooong, siapa kamu dulu, wong kacang ko lali kr kulite
ReplyDeleteMks bun MAM 20 sdh....selamat malam, sehat" ya bun
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteGawan bayi....angèl dirubah...
ReplyDeleteHatur nuhun
ReplyDeleteSami2 jeng Yati
DeleteWah sifat Rohana blm juga berubah... Semakin membawa emosi jiwa... Semoga gak ada pembaca setia yg mempunyai sifat demikian... Harus di rukyah ya mbakyu Tien... Sehat selalu mtnw
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal"alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Kun
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteOh ada Pak Drajat di situ?...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 MasMERa
Delete🌸🌻🌸🌻🌸🌻🌸🌻
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🤩
eMAaeM_20 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai😍
🌸🌻🌸🌻🌸🌻🌸🌻
Aamiin Yaa Robbal"alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Terima ksih bundaqu slm sht sll🙏🥰🌹
ReplyDelete