Thursday, October 3, 2024

MASIH ADAKAH MAKNA 19

 MASIH ADAKAH MAKNA  19

(Tien Kumalasari)

 

Minar tercenung mendengar kata suaminya. Sesungguhnya dia memang takut. Tegar belum pulang dan dia sudah berjanji untuk mengantarkan sang ibu mertua untuk belanja. Tapi ia tak memperlihatkannya kepada suaminya. Ia tersenyum dan mengangguk.

“Kalau takut kenapa-kenapa, panggil Tegar suruh pulang, lalu suruh mengantarkan belanja.”

“Ya Mas, kalau dia tidak ke kampus.”

“Aku berangkat dulu, atau kamu bisa meminta Monik untuk pergi bersamamu dan ibu, nanti.”

“O iya, biar aku telpon sekarang saja kalau begitu.”

Satria tersenyum, kemudian memasuki mobilnya, dan menjalankan mobilnya, berlalu dari halaman rumahnya.

Minar masuk ke dalam rumah. Ia mengambil ponselnya dan menelpon Monik.

“Iya Minar, sedianya sama mas Tomy mau ke situ, tapi mas Tomy ternyata punya urusan di kantor, jadi aku sendiri saja.”

“Baiklah, nanti kita sama-sama mengantar ibu ya. Mau belanja.”

“Belanja apa tuh? Mau masak-masak? Ibu sudah tidak rewel?”

“Rewel soal kamar sih tidak lagi, tapi nggak tahu nanti. Sudahlah, ini saatnya berbakti kepada mertua kita, ya kan?”

Monik tertawa pelan.

“Iya benar. Satu jam lagi aku sampai. Kalau mau aku mau mengajak Indi. Tapi dia belum tentu mau juga. Sepertinya dia berencana mau ke rumah sakit.”

“Coba aja nanti diajak. Siapa tahu dia mau.”

“Baik. Sejam lagi ya.”

“Aku tunggu.”

Minar masuk ke kamar, tapi tiba-tiba dari kamar sebelah Rohana memanggilnya. Memang Rohana kemudian mau mendapatkan kamar di sebelah kamar utama, dimana Satria dan Minar menempatinya.

Ketika Minar masuk, dilihatnya Rohana sudah memakai baju yang semalam disiapkannya. Ternyata sangat pas di tubuh Rohana karena bentuk tubuh mereka sama. Minar merasa lega, karena semalam sang mertua menolaknya mentah-mentah.

“Ibu kelihatan cantik.”

“Ini baju harga berapa? Kelihatan bahannya agak kasar,” tuduhnya.

“Minar lupa harganya Bu, tapi kain sebangsa itu, terasa adem kalau dipakai. Tidak membuat gerah walau udara sangat panas.”

“Terserah. Sekarang aku mengalah, tapi nanti aku mau baju yang bagus. Lebih bagus dari ini.”

“Baik. Ibu.”

“Tapi aku tidak biasa bepergian dengan polos begini.”

“Polos bagaimana maksud ibu?”

“Lihat ini. Tidak ada cincin, tidak ada giwang, tidak ada kalung,” katanya enteng.

“Oh, kalau begitu ibu pakai punya Minar saja, biar Minar ambilkan,” kata Minar sambil berlalu, sementara Rohana menatap sampai ke pintu dengan tatapan licik.

Ia kembali mematut dirinya, dan berdandan, karena Minar sudah menyiapkan alat untuk memoles wajah dan wewangian yang menyegarkan.

Tapi Rohana tidak mau menyentuh wewangian itu. Di dalam tas bututnya ada sebotol kecil minyak wangi yang disukainya, yaitu minyak wangi yang ditemukannya di dalam tas yang dipungutnya ketika terjadi kecelakaan di jalan. Rohana lupa pada apa yang dikatakan pak Trimo, tentang pemilik tas yang sebenarnya adalah cucunya.

Minar masuk dengan membawa sekotak kecil perhiasan.

“Ini, ibu bisa pakai.”

“Ini punya kamu?”

“Iya Bu. Tidak apa-apa ibu pakai.”

“Bukankah suami kamu yang membelikannya?”

“Tentu saja Bu, mana bisa Minar beli sendiri.”

“Baguslah, jadi aku tidak harus sungkan memakai perhiasan ini, karena anakku yang membelikannya,” katanya sambil satu persatu mengenakan perhiasan itu.

Ada cincin, kalung dan giwang, yang dipakainya tanpa merasa sungkan.

Minar menyembunyikan rasa kurang sukanya ketika sang mertua selalu merasa bahwa dia ikut memiliki barang-barang yang ada di rumah itu.

“Apa aku pantas memakainya?”

“Ibu sangat canrik.”

“Ini perhiasan murahan. Permatanya terlalu kecil.”

“Kami hanya mampu beli yang kecil-kecil Bu.”

“Nanti aku mau yang lebih besar.”

“Minar bilang sama mas Satria dulu.”

“Tentu saja, kamu bisa apa,” katanya sambil berputar di depan kaca.

Minar menahan tawanya. Ternyata setelah puluhan tahun menjadi nenek-nenek gelandangan, setelah menemukan sesuatu yang bagus, ia tidak bisa menyembunyikan kegenitannya. Baiklah, Minar yang masih merasa tersakiti, tidak ingin memendam rasa sakit itu. Dibiarkannya semua terjadi, dan diterima semuanya dengan ikhlas. Masih ada yang diharapkannya, yaitu sang ibu bisa mengerti hatinya yang sesungguhnya.

“Hei, mau ke mana kamu?” teriaknya ketika melihat Minar mau keluar dari kamar.

“Mau bersiap-siap dulu Bu, sebentar lagi kita berangkat. Nanti Monik juga mau ikut belanja."

“Belanja kok rombongan.”

“Biar rame Bu. Apa ada yang kurang?”

Rohana mengangkat sebelah kakinya dan digerak-gerakkannya kaki dibagian bawahnya. Minar segera mengerti.

“Sepatu ya Bu. Ada sepatu Minar, bisa ibu pakai dulu, nanti kita beli juga sepatu buat ibu.”

Minar segera keluar, dan kembali masuk dengan sepatu pantofel berwarna hitam.

“Ini, ibu coba dulu.”

“Pakaikan,” titahnya sambil duduk di kursi depan cermin.

Minar berjongkok, lalu mengenakan sepatu di kaki mertuanya.

“Wah … agak kebesaran. Ini sepatu kamu?”

“Iya Bu, tapi baru sekali Minar pakai. Lihat, masih mengkilap kan?”

“Kebesaran. Dasar kaki orang dusun.”

Minar memejamkan matanya sesaat. Umpatan orang dusun sudah didengarnya sejak Satria belum jadi calon suaminya, dan sekarang umpatan itu masih ada. Tapi Minar membiarkannya.

“Sementara ibu pakai dulu, diganjal tissue sedikit ya Bu, nanti kita beli yang pas di kaki ibu.”

“Mana tissuenya?”

Minar mengambilkan tissue di atas meja, kemudian menyumpalkannya ke ujung sepatu, lalu mengenakannya lagi di kaki sang ibu mertua.

“Sudah ya Bu.”

“Ayo kita berangkat.”

“Minar ganti baju dulu sebentar, sambil menunggu Monik.”

“Kenapa rombongan? Kamu berharap Monik yang akan membayar belanjaan itu?”

“Bukan Bu, mas Satria sudah memberikan uangnya pada Minar, nanti Minar yang akan membayar semua belanjaan Ibu.”

“Kalau begitu mana, aku saja yang membawa uangnya.”

“Uangnya ada di ATM, bercampur dengan uang belanja. Ibu tidak usah khawatir.”

Minar keluar dan berharap sang mertua tidak memanggilnya lagi. Ia masuk ke kamarnya dan berganti pakaian.

Ketika itu tiba-tiba Tegar datang. Ia langsung melihat kamarnya, dan merasa lega karena semuanya masih berada ditempatnya.

Minar yang keluar dari kamar dan melihat Tegar memasuki kamarnya, segera mengikutinya, lalu menutupkan kamarnya.

“Kamu tidur di rumah sakit?”

“Iya, pules tidurnya, subuh baru bangun.”

“Kenapa tidak langsung pulang?”

“Sarapan dulu.”

“Huh, dasar!”

“Mana dia?”

“Sssst, jangan keras-keras, dia ada di kamarnya.”

“Tidak jadi meminta kamar ini kan?”

“Dia hanya rewel, dan berusaha merepotkan. Sudah, mandi sana. Kamu mau ke kampus?”

“Ibu mau ke mana?”

“Belanja. Mengantarkan nenek.”

“Nenek mau belanja apa?”

“Banyak. Ada baju, sepatu, entah nanti. Kamu mau mengantarkan?”

“Tegar mau ke kampus. Mobilnya ibu bawa saja kalau mau belanja.”

“Baiklah, masih menunggu tante Monik.”

“Awas saja kalau dia rewel di toko,” katanya sambil beranjak ke kamar mandi.

Minar keluar sambil tersenyum, walau sebenarnya was-was juga dalam hatinya.

Ternyata Monik datang sendiri. Indira yang kurang suka pada neneknya lebih senang ke rumah sakit saja, bercanda dengan kakaknya.

“Ibu sudah siap?”

“Sudah, lihat tuh di kamar, lagi mematut diri,” kata Minar berbisik, sambil menunjuk ke arah kamar di mana Rohana ada di dalamnya.

Monik tersenyum, kemudian berjingkat mendekati kamar. Ia mengetuknya pelan.

“Sabar, aku sudah selesai!” teriaknya dari dalam.

“Ini Monik, Bu.”

Rohana membuka pintunya. Monik terpana. Di depannya sang nenek sudah memoles wajahnya dengan tebal, memakai lipstik merah tua, memakai gincu di pipinya, dan alisnya yang kemarin terlihat memutih, sudah berganti warna menjadi hitam tebal. Tidak sebanding dengan rambutnya yang sebagian besar sudah berwarna putih.

“Ibu cantik sekali,” pekik Monik, walau tersenyum geli dalam hati.

“Kamu mau ikut belanja?”

“Iya Bu, menemani Minar. Ibu ingin apa?”

“Ya nanti. Entah apa yang menarik. Mana perempuan dusun itu?”

“Ibu kok gitu, maksudnya Minar?”

“Iya, siapa lagi?”

“Minar itu kampungnya sama dengan kampung Monik.”

“Tapi dia kelihatan kampungan.”

“Jangan begitu Bu, bagaimanapun dia menantu ibu, yang sangat dicintai suaminya.”

Rohana ingin mengumpat lagi, tapi Monik berteriak dari arah depan.

“Aku siapkan mobilnya dulu.”

“Pakai mobilku saja Minar, kan sudah siap di depan.”

“Baiklah kalau begitu. Mobil Tegar sebenarnya juga tidak dipakai. Dia biasa kuliah naik motor.”

“Tidak apa-apa, cuma bertiga, mobil aku cukup.”

“Ayo ibu, ibu sudah siap?” tanya Minar yang juga heran, ibu mertuanya masih pintar berdandan. Hanya saja tidak disesuaikan dengan usianya yang semakin tua. Menegurnya? Mana berani. Monikpun tidak berani, buktinya dia diam saja.

***

Indi sudah ada di ruang rawat Boy. Ketika itu Boy sudah duduk di tepi ranjang, dan ada kruk penopang kaki yang dipegangnya.

“Mas mau ke mana? Kacihan, pacarnya tidak datang ya?” belum-belum Indi sudah memancing bahan ejekan.

“Siapa pacarku?”

“Aaalaaaahh, pakai tanya sih Mas. Mia dong, siapa lagi?”

“Dia harus ke Bandung, ada urusan, ayah ibunya kan di sana.”

“Oh ya? Awas saja lhoh Mas, jangan-jangan dia disuruh pulang karena mau dijodohin.”

“Kamu ngomongnya selalu nggak jelas. Kamu sendiri yang kemarin pacaran. Ya kan? Malam baru pulang, lalu nggak berani menyusul bapak kemari.”

“Ngarang. Aku kemarin tuh dari rumah om Satria, mengantarkan Azka mengambil mobilnya, lalu pulang dan tidur.”

“Yang bener?”

“Lagian kami nggak pacaran. Azka tuh masih kecil.”

“Lama-lama juga besar.”

“Aku juga semakin tua.”

Lalu keduanya terbahak.

“Aku mau jalan-jalan. Kata dokter besok aku boleh pulang. Tapi tetap masih harus berjalan pakai kruk.”

“Ayo kita jalan-jalan mengelilingi rumah sakit ini. Atau duduk di taman samping, udara di situ pasti segar.”

Boy mengangguk. Indira dengan sabar membantu Boy berdiri, lalu pelan-pelan melangkah keluar dari kamar. Ketika bertemu perawat, dia menawarkan kursi roda untuk Boy, tapi Boy menolak. Ia ingin melatih kakinya supaya tidak bergantung kepada kursi roda.

Walau tertatih, akhirnya mereka berdua sampai di taman, dan duduk berdua sambil menikmati segarnya udara pagi hari itu.

“Ceritakan tentang Azka,” kata Boy tiba-tiba.

“Cerita apanya? Kami baru saja kenal.”

“Dia masih kuliah?”

“Tidak, sudah bekerja di perusahaan ayahnya.”

“Tuh, kan sudah bekerja.”

“Memangnya kenapa kalau dia sudah bekerja?”

“Kamu bilang dia lebih muda.”

“Memang iya. Umurnya terpaut tiga atau empat tahunan dari aku. Aku sudah tanyakan kok.”

“Ya tidak masalah soal umur itu. Yang penting dia baik, setia, tidak mata keranjang,” kata Boy terkekeh.

“Jangan mikirin aku. Mas Boy lebih tua, harus mas Boy dulu yang memikirkan pacar. Eh, jangan pacar. Langsung cari istri dong.”

“Baru aku pikirkan.”

“Mia?”

“Menurutmu?”

“Mas Boy benar, suka sama dia?”

“Entahlah. Tapi kamu harus setuju. Kalau nggak, ya sudah, nggak jadi saja.”

“Lhoh, kok tergantung aku. Kalau memang mas Boy suka, ya sudah, jalani, lamar, menikah, punya anak yang banyak, nanti aku bantuin momong anak-anak kamu.”

Boy terbahak. Tapi Indi serius berkata bahwa dia tidak akan menentang keinginan kakaknya. Ucapan sang kakak bahwa kalau dirinya tidak suka maka dia tidak jadi menjadikan Mia pacar atau calon istri, membuat Indi trenyuh. Ternyata sang kakak memang menyayangi dirinya.

“Aku serius, ingin segera momong anak-anak kamu.”

“Belum-belum mikirin anak. Tapi terus terang aku khawatir kalau jadian sama Mia.”

“Kenapa memang?”

“Nanti berantem terus sama kamu, bagaimana?”

Sekarang ganti Indi yang terkekeh.

“Mas tidak tahu ya, kalau adik kamu ini sangat menyayangi Mas? Kalau memang Mas akan bahagia bersama dia, ya silakan.”

“Nanti kalian musuhan terus, aku sedih dong.”

“Tidak … tidak, aku sudah bukan kanak-kanak lagi, aku tidak akan berantem dengan siapapun, kecuali kalau aku disakiti.”

“Baiklah. Kita lihat saja nanti. Dia juga belum tentu mau sama aku.”

“Aaah, masa sih? Dia sukanya kan sejak kalian masih kanak-kanak?”

“Sok tahu ah.”

Lalu mereka bercanda dan merasa senang. Indi bahkan lupa mengadu kepada kakaknya atas kelakuan neneknya yang dia sama sekali tidak suka.

***

Monik sudah menghentikan mobilnya di sebuah supermarket. Rohana tak sabar untuk segera menemukan counter pakaian, dan dia akan segera memilihnya.

Monik dan Minar mengikutinya dari belakang, dan sudah mengatakan bahwa sang ibu mertua boleh memilih apa yang disukainya.

Tiba-tiba mereka melihat seorang wanita yang berpakaian mewah, mendekati Rohana.

“Ini kamu? Rohana?”

Rohana terkejut. Ia adalah teman yang dulu suka berfoya-foya bersama.

“Kamu Risa?”

“Kamu kok berbeda penampilan? Apa yang terjadi? Dimana kamu sekarang, lama kita tidak saling ketemu?”

Rohana menatap baju yang dipakainya.

“Aku sudah pindah ke luar kota. Ini aku mau beli baju, yang aku pakai adalah baju rumahan, soalnya lupa membawa baju. Sebentar ya, aku memilih baju dulu,” kata Rohana yang kemudian meninggalkan temannya, dengan kebohongan yang dibuatnya, lalu ia menghampiri deretan baju-baju mahal. Rohana yakin temannya pasti melihatnya memilih baju-baju itu. Malu dong, kalau kelihatan miskin.

***

Besok lagi ya.

62 comments:

  1. 🪻💜🪻💜🪻💜🪻💜
    Alhamdulillah 🙏🦋
    eMAaeM_19 sdh tayang.
    Matur nuwun nggih,
    doaku smoga Bu Tien &
    kelg slalu sehat & bahagia.
    Aamiin. Salam seroja. 😍
    🪻💜🪻💜🪻💜🪻💜

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal"alamiin
      Matur nuwun jeng Sari
      Salam aduhai

      Delete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Masih Adakah Makna tayang

    ReplyDelete
  3. Alhamdulilah "Masih Adakah Makna 19 " sudah tayang, maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🙏🙏🌷🌷🩷🩷

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal"alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Aduhai deh

      Delete
  4. Alhamdulillah... maturnuwun bunda... semoga sehat selalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal"alamiin
      Matur nuwun ibu Tutus

      Delete
  5. Alhamdulillah, cerbung MAM ke 19 makin heboh.bikin geregetan 😅😂👍👏
    Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal"alamiin
      Matur nuwun pak Herry

      Delete
  6. Alhamdulillah
    Terimakasih bunda tien

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah telah tayang MASIH ADAKAH MAKNA(MAM) 19, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  8. Wkwk...Rohana oh Rohana...makin hari kok makin ngelunjak ya...ga tau diri diangkat dari jalanan. Bikin jengkel aja...😬

    Terima kasih, ibu Tien...sudah bikin gemes pembaca. Salam sayang...🙏😀

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya kesabaran itu ada batasnya, jadi kenapa si "Rohana" yang jahat, pencuri, penipu, tukan bohong, tinggi hati sombong, masih saja di emong/asuh seolah-olah ada pembiaran bahkan pembenaran hal kelakuan busuk yang dibungkus dengan, "berbakti, kepada ibu, berbakti kepada mertua, berbakti kepada nénék" Padahal si "rohana" itu jahat laknat.... atau si rohana akan sadar karena gara gara dari parfum nya ketahuan dia yang curi tasnya Indi waktu Boy celaka... Hanya begitu....!?

      Delete
    2. Terima kasih perhatiannya pak Yoyok

      Delete
    3. Sami2 ibu Nana
      Salam sayang juga

      Delete
  9. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal"alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  10. alhamdulillah
    naturnuwun bunda
    semoga sehat selalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal"alamiin
      Matur nuwun ibu Nanik

      Delete

  11. Alhamdulillah MASIH ADAKAH MAKNA?~19 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal"alamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete

  12. Alhamdullilah
    Cerbung *masih makna 19* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  13. Nutul mulai sore kok gak bisa mauk yaa.

    ReplyDelete
  14. Hore bisa , matur nuwun jeng Tien , sampai ketemu

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien ...smg edannya Rohana tdk menjadi njadi 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  16. Wah bu Iin Maimun laju nih.
    Matur nuwun bu Tien yg baik
    Rupanya Rohana ketemu kawan lama. Segera menghindar takut badar

    ReplyDelete
  17. Hamdallah...cerbung Masih Adakah Makna part 19 telah tayang

    Terima kasih Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin

    Rohana tua tua keladi, makin tua makin menjadi anak yang baru gede 😁

    Nenek matre yng gengsi nya gede 😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal"alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  18. Berapa ya belanjaan ci nenek rohana? Pasti buadag, sebel aku! Pengen muntah

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah, eMAeM 19 sudah hadir.
    Matur nuwun bunda Tien.
    Selalu sehat dan bahagia bersama keluarga 🤲🙏

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien tayangan cerbungnya
    Semoga bu tien selalu sehat² n senantiasa dlm lindungan n bimbingan Allah SWT

    ReplyDelete
  21. Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia selalu....

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰

    Rohana top markotop, msh tak tergoyahkan kelakuan nya,, 😁🤭

    ReplyDelete
  23. Terimakasih bunda Tien,salam sehat selalu dan aduhaiii

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sami2 ibu Komariyah
      Salam sehat selalu juga aduhai

      Delete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 03

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  03 (Tien Kumalasari)   Melihat wajah pak Truno yang tampak tidak bersahabat, hati Sutris menciut. Ia ingin p...