MASIH ADAKAH MAKNA 19
(Tien Kumalasari)
Minar tercenung mendengar kata suaminya. Sesungguhnya dia memang takut. Tegar belum pulang dan dia sudah berjanji untuk mengantarkan sang ibu mertua untuk belanja. Tapi ia tak memperlihatkannya kepada suaminya. Ia tersenyum dan mengangguk.
“Kalau takut kenapa-kenapa, panggil Tegar suruh pulang, lalu suruh mengantarkan belanja.”
“Ya Mas, kalau dia tidak ke kampus.”
“Aku berangkat dulu, atau kamu bisa meminta Monik untuk pergi bersamamu dan ibu, nanti.”
“O iya, biar aku telpon sekarang saja kalau begitu.”
Satria tersenyum, kemudian memasuki mobilnya, dan menjalankan mobilnya, berlalu dari halaman rumahnya.
Minar masuk ke dalam rumah. Ia mengambil ponselnya dan menelpon Monik.
“Iya Minar, sedianya sama mas Tomy mau ke situ, tapi mas Tomy ternyata punya urusan di kantor, jadi aku sendiri saja.”
“Baiklah, nanti kita sama-sama mengantar ibu ya. Mau belanja.”
“Belanja apa tuh? Mau masak-masak? Ibu sudah tidak rewel?”
“Rewel soal kamar sih tidak lagi, tapi nggak tahu nanti. Sudahlah, ini saatnya berbakti kepada mertua kita, ya kan?”
Monik tertawa pelan.
“Iya benar. Satu jam lagi aku sampai. Kalau mau aku mau mengajak Indi. Tapi dia belum tentu mau juga. Sepertinya dia berencana mau ke rumah sakit.”
“Coba aja nanti diajak. Siapa tahu dia mau.”
“Baik. Sejam lagi ya.”
“Aku tunggu.”
Minar masuk ke kamar, tapi tiba-tiba dari kamar sebelah Rohana memanggilnya. Memang Rohana kemudian mau mendapatkan kamar di sebelah kamar utama, dimana Satria dan Minar menempatinya.
Ketika Minar masuk, dilihatnya Rohana sudah memakai baju yang semalam disiapkannya. Ternyata sangat pas di tubuh Rohana karena bentuk tubuh mereka sama. Minar merasa lega, karena semalam sang mertua menolaknya mentah-mentah.
“Ibu kelihatan cantik.”
“Ini baju harga berapa? Kelihatan bahannya agak kasar,” tuduhnya.
“Minar lupa harganya Bu, tapi kain sebangsa itu, terasa adem kalau dipakai. Tidak membuat gerah walau udara sangat panas.”
“Terserah. Sekarang aku mengalah, tapi nanti aku mau baju yang bagus. Lebih bagus dari ini.”
“Baik. Ibu.”
“Tapi aku tidak biasa bepergian dengan polos begini.”
“Polos bagaimana maksud ibu?”
“Lihat ini. Tidak ada cincin, tidak ada giwang, tidak ada kalung,” katanya enteng.
“Oh, kalau begitu ibu pakai punya Minar saja, biar Minar ambilkan,” kata Minar sambil berlalu, sementara Rohana menatap sampai ke pintu dengan tatapan licik.
Ia kembali mematut dirinya, dan berdandan, karena Minar sudah menyiapkan alat untuk memoles wajah dan wewangian yang menyegarkan.
Tapi Rohana tidak mau menyentuh wewangian itu. Di dalam tas bututnya ada sebotol kecil minyak wangi yang disukainya, yaitu minyak wangi yang ditemukannya di dalam tas yang dipungutnya ketika terjadi kecelakaan di jalan. Rohana lupa pada apa yang dikatakan pak Trimo, tentang pemilik tas yang sebenarnya adalah cucunya.
Minar masuk dengan membawa sekotak kecil perhiasan.
“Ini, ibu bisa pakai.”
“Ini punya kamu?”
“Iya Bu. Tidak apa-apa ibu pakai.”
“Bukankah suami kamu yang membelikannya?”
“Tentu saja Bu, mana bisa Minar beli sendiri.”
“Baguslah, jadi aku tidak harus sungkan memakai perhiasan ini, karena anakku yang membelikannya,” katanya sambil satu persatu mengenakan perhiasan itu.
Ada cincin, kalung dan giwang, yang dipakainya tanpa merasa sungkan.
Minar menyembunyikan rasa kurang sukanya ketika sang mertua selalu merasa bahwa dia ikut memiliki barang-barang yang ada di rumah itu.
“Apa aku pantas memakainya?”
“Ibu sangat canrik.”
“Ini perhiasan murahan. Permatanya terlalu kecil.”
“Kami hanya mampu beli yang kecil-kecil Bu.”
“Nanti aku mau yang lebih besar.”
“Minar bilang sama mas Satria dulu.”
“Tentu saja, kamu bisa apa,” katanya sambil berputar di depan kaca.
Minar menahan tawanya. Ternyata setelah puluhan tahun menjadi nenek-nenek gelandangan, setelah menemukan sesuatu yang bagus, ia tidak bisa menyembunyikan kegenitannya. Baiklah, Minar yang masih merasa tersakiti, tidak ingin memendam rasa sakit itu. Dibiarkannya semua terjadi, dan diterima semuanya dengan ikhlas. Masih ada yang diharapkannya, yaitu sang ibu bisa mengerti hatinya yang sesungguhnya.
“Hei, mau ke mana kamu?” teriaknya ketika melihat Minar mau keluar dari kamar.
“Mau bersiap-siap dulu Bu, sebentar lagi kita berangkat. Nanti Monik juga mau ikut belanja."
“Belanja kok rombongan.”
“Biar rame Bu. Apa ada yang kurang?”
Rohana mengangkat sebelah kakinya dan digerak-gerakkannya kaki dibagian bawahnya. Minar segera mengerti.
“Sepatu ya Bu. Ada sepatu Minar, bisa ibu pakai dulu, nanti kita beli juga sepatu buat ibu.”
Minar segera keluar, dan kembali masuk dengan sepatu pantofel berwarna hitam.
“Ini, ibu coba dulu.”
“Pakaikan,” titahnya sambil duduk di kursi depan cermin.
Minar berjongkok, lalu mengenakan sepatu di kaki mertuanya.
“Wah … agak kebesaran. Ini sepatu kamu?”
“Iya Bu, tapi baru sekali Minar pakai. Lihat, masih mengkilap kan?”
“Kebesaran. Dasar kaki orang dusun.”
Minar memejamkan matanya sesaat. Umpatan orang dusun sudah didengarnya sejak Satria belum jadi calon suaminya, dan sekarang umpatan itu masih ada. Tapi Minar membiarkannya.
“Sementara ibu pakai dulu, diganjal tissue sedikit ya Bu, nanti kita beli yang pas di kaki ibu.”
“Mana tissuenya?”
Minar mengambilkan tissue di atas meja, kemudian menyumpalkannya ke ujung sepatu, lalu mengenakannya lagi di kaki sang ibu mertua.
“Sudah ya Bu.”
“Ayo kita berangkat.”
“Minar ganti baju dulu sebentar, sambil menunggu Monik.”
“Kenapa rombongan? Kamu berharap Monik yang akan membayar belanjaan itu?”
“Bukan Bu, mas Satria sudah memberikan uangnya pada Minar, nanti Minar yang akan membayar semua belanjaan Ibu.”
“Kalau begitu mana, aku saja yang membawa uangnya.”
“Uangnya ada di ATM, bercampur dengan uang belanja. Ibu tidak usah khawatir.”
Minar keluar dan berharap sang mertua tidak memanggilnya lagi. Ia masuk ke kamarnya dan berganti pakaian.
Ketika itu tiba-tiba Tegar datang. Ia langsung melihat kamarnya, dan merasa lega karena semuanya masih berada ditempatnya.
Minar yang keluar dari kamar dan melihat Tegar memasuki kamarnya, segera mengikutinya, lalu menutupkan kamarnya.
“Kamu tidur di rumah sakit?”
“Iya, pules tidurnya, subuh baru bangun.”
“Kenapa tidak langsung pulang?”
“Sarapan dulu.”
“Huh, dasar!”
“Mana dia?”
“Sssst, jangan keras-keras, dia ada di kamarnya.”
“Tidak jadi meminta kamar ini kan?”
“Dia hanya rewel, dan berusaha merepotkan. Sudah, mandi sana. Kamu mau ke kampus?”
“Ibu mau ke mana?”
“Belanja. Mengantarkan nenek.”
“Nenek mau belanja apa?”
“Banyak. Ada baju, sepatu, entah nanti. Kamu mau mengantarkan?”
“Tegar mau ke kampus. Mobilnya ibu bawa saja kalau mau belanja.”
“Baiklah, masih menunggu tante Monik.”
“Awas saja kalau dia rewel di toko,” katanya sambil beranjak ke kamar mandi.
Minar keluar sambil tersenyum, walau sebenarnya was-was juga dalam hatinya.
Ternyata Monik datang sendiri. Indira yang kurang suka pada neneknya lebih senang ke rumah sakit saja, bercanda dengan kakaknya.
“Ibu sudah siap?”
“Sudah, lihat tuh di kamar, lagi mematut diri,” kata Minar berbisik, sambil menunjuk ke arah kamar di mana Rohana ada di dalamnya.
Monik tersenyum, kemudian berjingkat mendekati kamar. Ia mengetuknya pelan.
“Sabar, aku sudah selesai!” teriaknya dari dalam.
“Ini Monik, Bu.”
Rohana membuka pintunya. Monik terpana. Di depannya sang nenek sudah memoles wajahnya dengan tebal, memakai lipstik merah tua, memakai gincu di pipinya, dan alisnya yang kemarin terlihat memutih, sudah berganti warna menjadi hitam tebal. Tidak sebanding dengan rambutnya yang sebagian besar sudah berwarna putih.
“Ibu cantik sekali,” pekik Monik, walau tersenyum geli dalam hati.
“Kamu mau ikut belanja?”
“Iya Bu, menemani Minar. Ibu ingin apa?”
“Ya nanti. Entah apa yang menarik. Mana perempuan dusun itu?”
“Ibu kok gitu, maksudnya Minar?”
“Iya, siapa lagi?”
“Minar itu kampungnya sama dengan kampung Monik.”
“Tapi dia kelihatan kampungan.”
“Jangan begitu Bu, bagaimanapun dia menantu ibu, yang sangat dicintai suaminya.”
Rohana ingin mengumpat lagi, tapi Monik berteriak dari arah depan.
“Aku siapkan mobilnya dulu.”
“Pakai mobilku saja Minar, kan sudah siap di depan.”
“Baiklah kalau begitu. Mobil Tegar sebenarnya juga tidak dipakai. Dia biasa kuliah naik motor.”
“Tidak apa-apa, cuma bertiga, mobil aku cukup.”
“Ayo ibu, ibu sudah siap?” tanya Minar yang juga heran, ibu mertuanya masih pintar berdandan. Hanya saja tidak disesuaikan dengan usianya yang semakin tua. Menegurnya? Mana berani. Monikpun tidak berani, buktinya dia diam saja.
***
Indi sudah ada di ruang rawat Boy. Ketika itu Boy sudah duduk di tepi ranjang, dan ada kruk penopang kaki yang dipegangnya.
“Mas mau ke mana? Kacihan, pacarnya tidak datang ya?” belum-belum Indi sudah memancing bahan ejekan.
“Siapa pacarku?”
“Aaalaaaahh, pakai tanya sih Mas. Mia dong, siapa lagi?”
“Dia harus ke Bandung, ada urusan, ayah ibunya kan di sana.”
“Oh ya? Awas saja lhoh Mas, jangan-jangan dia disuruh pulang karena mau dijodohin.”
“Kamu ngomongnya selalu nggak jelas. Kamu sendiri yang kemarin pacaran. Ya kan? Malam baru pulang, lalu nggak berani menyusul bapak kemari.”
“Ngarang. Aku kemarin tuh dari rumah om Satria, mengantarkan Azka mengambil mobilnya, lalu pulang dan tidur.”
“Yang bener?”
“Lagian kami nggak pacaran. Azka tuh masih kecil.”
“Lama-lama juga besar.”
“Aku juga semakin tua.”
Lalu keduanya terbahak.
“Aku mau jalan-jalan. Kata dokter besok aku boleh pulang. Tapi tetap masih harus berjalan pakai kruk.”
“Ayo kita jalan-jalan mengelilingi rumah sakit ini. Atau duduk di taman samping, udara di situ pasti segar.”
Boy mengangguk. Indira dengan sabar membantu Boy berdiri, lalu pelan-pelan melangkah keluar dari kamar. Ketika bertemu perawat, dia menawarkan kursi roda untuk Boy, tapi Boy menolak. Ia ingin melatih kakinya supaya tidak bergantung kepada kursi roda.
Walau tertatih, akhirnya mereka berdua sampai di taman, dan duduk berdua sambil menikmati segarnya udara pagi hari itu.
“Ceritakan tentang Azka,” kata Boy tiba-tiba.
“Cerita apanya? Kami baru saja kenal.”
“Dia masih kuliah?”
“Tidak, sudah bekerja di perusahaan ayahnya.”
“Tuh, kan sudah bekerja.”
“Memangnya kenapa kalau dia sudah bekerja?”
“Kamu bilang dia lebih muda.”
“Memang iya. Umurnya terpaut tiga atau empat tahunan dari aku. Aku sudah tanyakan kok.”
“Ya tidak masalah soal umur itu. Yang penting dia baik, setia, tidak mata keranjang,” kata Boy terkekeh.
“Jangan mikirin aku. Mas Boy lebih tua, harus mas Boy dulu yang memikirkan pacar. Eh, jangan pacar. Langsung cari istri dong.”
“Baru aku pikirkan.”
“Mia?”
“Menurutmu?”
“Mas Boy benar, suka sama dia?”
“Entahlah. Tapi kamu harus setuju. Kalau nggak, ya sudah, nggak jadi saja.”
“Lhoh, kok tergantung aku. Kalau memang mas Boy suka, ya sudah, jalani, lamar, menikah, punya anak yang banyak, nanti aku bantuin momong anak-anak kamu.”
Boy terbahak. Tapi Indi serius berkata bahwa dia tidak akan menentang keinginan kakaknya. Ucapan sang kakak bahwa kalau dirinya tidak suka maka dia tidak jadi menjadikan Mia pacar atau calon istri, membuat Indi trenyuh. Ternyata sang kakak memang menyayangi dirinya.
“Aku serius, ingin segera momong anak-anak kamu.”
“Belum-belum mikirin anak. Tapi terus terang aku khawatir kalau jadian sama Mia.”
“Kenapa memang?”
“Nanti berantem terus sama kamu, bagaimana?”
Sekarang ganti Indi yang terkekeh.
“Mas tidak tahu ya, kalau adik kamu ini sangat menyayangi Mas? Kalau memang Mas akan bahagia bersama dia, ya silakan.”
“Nanti kalian musuhan terus, aku sedih dong.”
“Tidak … tidak, aku sudah bukan kanak-kanak lagi, aku tidak akan berantem dengan siapapun, kecuali kalau aku disakiti.”
“Baiklah. Kita lihat saja nanti. Dia juga belum tentu mau sama aku.”
“Aaah, masa sih? Dia sukanya kan sejak kalian masih kanak-kanak?”
“Sok tahu ah.”
Lalu mereka bercanda dan merasa senang. Indi bahkan lupa mengadu kepada kakaknya atas kelakuan neneknya yang dia sama sekali tidak suka.
***
Monik sudah menghentikan mobilnya di sebuah supermarket. Rohana tak sabar untuk segera menemukan counter pakaian, dan dia akan segera memilihnya.
Monik dan Minar mengikutinya dari belakang, dan sudah mengatakan bahwa sang ibu mertua boleh memilih apa yang disukainya.
Tiba-tiba mereka melihat seorang wanita yang berpakaian mewah, mendekati Rohana.
“Ini kamu? Rohana?”
Rohana terkejut. Ia adalah teman yang dulu suka berfoya-foya bersama.
“Kamu Risa?”
“Kamu kok berbeda penampilan? Apa yang terjadi? Dimana kamu sekarang, lama kita tidak saling ketemu?”
Rohana menatap baju yang dipakainya.
“Aku sudah pindah ke luar kota. Ini aku mau beli baju, yang aku pakai adalah baju rumahan, soalnya lupa membawa baju. Sebentar ya, aku memilih baju dulu,” kata Rohana yang kemudian meninggalkan temannya, dengan kebohongan yang dibuatnya, lalu ia menghampiri deretan baju-baju mahal. Rohana yakin temannya pasti melihatnya memilih baju-baju itu. Malu dong, kalau kelihatan miskin.
***
Besok lagi ya.
Yes
ReplyDeleteSuwun mb Tuen
ReplyDeleteSami2 Yangtie
Delete🪻💜🪻💜🪻💜🪻💜
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
eMAaeM_19 sdh tayang.
Matur nuwun nggih,
doaku smoga Bu Tien &
kelg slalu sehat & bahagia.
Aamiin. Salam seroja. 😍
🪻💜🪻💜🪻💜🪻💜
Aamiin Yaa Robbal"alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Salam aduhai
Matur nuwun mbak Tien-ku Masih Adakah Makna tayang
ReplyDeleteMatur nuwun pak Latief
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteAlhamdulilah "Masih Adakah Makna 19 " sudah tayang, maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🙏🙏🌷🌷🩷🩷
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal"alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai deh
Matur nuwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Sis
DeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah... maturnuwun bunda... semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal"alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Tutus
Alhamdulillah, cerbung MAM ke 19 makin heboh.bikin geregetan 😅😂👍👏
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏
Aamiin Yaa Robbal"alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Atiek
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda tien
Sami2 ibu Endah
DeleteAlhamdulillah telah tayang MASIH ADAKAH MAKNA(MAM) 19, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Aamiin Yaa Robbal"alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Wkwk...Rohana oh Rohana...makin hari kok makin ngelunjak ya...ga tau diri diangkat dari jalanan. Bikin jengkel aja...😬
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...sudah bikin gemes pembaca. Salam sayang...🙏😀
Iya kesabaran itu ada batasnya, jadi kenapa si "Rohana" yang jahat, pencuri, penipu, tukan bohong, tinggi hati sombong, masih saja di emong/asuh seolah-olah ada pembiaran bahkan pembenaran hal kelakuan busuk yang dibungkus dengan, "berbakti, kepada ibu, berbakti kepada mertua, berbakti kepada nénék" Padahal si "rohana" itu jahat laknat.... atau si rohana akan sadar karena gara gara dari parfum nya ketahuan dia yang curi tasnya Indi waktu Boy celaka... Hanya begitu....!?
DeleteTerima kasih perhatiannya pak Yoyok
DeleteSami2 ibu Nana
DeleteSalam sayang juga
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal"alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
alhamdulillah
ReplyDeletenaturnuwun bunda
semoga sehat selalu
Aamiin Yaa Robbal"alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nanik
ReplyDeleteAlhamdulillah MASIH ADAKAH MAKNA?~19 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin yra..🤲
Aamiin Yaa Robbal"alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *masih makna 19* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Nutul mulai sore kok gak bisa mauk yaa.
ReplyDeleteHore bisa , matur nuwun jeng Tien , sampai ketemu
ReplyDeleteHoreee.. mbak Yaniik
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ...smg edannya Rohana tdk menjadi njadi 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteWah bu Iin Maimun laju nih.
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien yg baik
Rupanya Rohana ketemu kawan lama. Segera menghindar takut badar
Matur nuwun Eyang Titi
DeleteHamdallah...cerbung Masih Adakah Makna part 19 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin
Rohana tua tua keladi, makin tua makin menjadi anak yang baru gede 😁
Nenek matre yng gengsi nya gede 😁
Aamiin Yaa Robbal"alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Berapa ya belanjaan ci nenek rohana? Pasti buadag, sebel aku! Pengen muntah
ReplyDeleteHeheee... terima kasih ibu Engkas
DeleteAlhamdulillah, eMAeM 19 sudah hadir.
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien.
Selalu sehat dan bahagia bersama keluarga 🤲🙏
Aamiin Yaa Robbal"alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ermi
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien tayangan cerbungnya
Semoga bu tien selalu sehat² n senantiasa dlm lindungan n bimbingan Allah SWT
Aamiin Yaa Robbal"alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia selalu....
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteAlhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDeleteRohana top markotop, msh tak tergoyahkan kelakuan nya,, 😁🤭
Sami2 ibu Ika
DeleteAamiin
Terimakasih bunda Tien,salam sehat selalu dan aduhaiii
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteSalam sehat selalu juga aduhai
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
DeleteYess
ReplyDeleteADUHAI 3X