AKU BENCI AYAHKU 41
(Tien Kumalasari}
Ada perasaan tak senang di hati Murtono, karena Rohana selalu memaksakan kehendak. Setelah hutangnya terbayar, sebenarnya Murtono tak ingin berhubungan lagi dengan Rohana.
“Untuk apa dia datang kemari?” kata batin Murtono.
Rohana melangkah dengan cepat, mendekati Murtono yang berdiri menyambutnya di teras.
Murtono belum sempat menyapanya, ketika tiba-tiba Rohana menubruknya dan menangis sejadi-jadinya didadanya.
“Eh, ada apa ini? Jangan begini, ayo duduklah dengan baik,” kata Murtono sambil mendorong tubuh Rohana, lalu ia mendahului duduk di ruang tamu.
“Mas, kamu itu enak-enak bersenang-senang, tanpa peduli pada bekas istrimu ini.”
“Apa maksudmu? Kita sudah hidup di jalan masing-masing, tak harus peduli satu sama lain, bukan?”
“Walau begitu aku ini masih mencintaimu Mas.”
“Jangan bercanda. Kamu sering bilang bahwa aku jelek, tidak menarik. Mana mungkin kamu mencintai aku? Suka pun tidak, apalagi cinta. Biasanya kamu datang kalau ada maunya.”
”Jangan begitu Mas, kamu kan suami pertama aku. Dulu aku memilihmu kan karena aku cinta kamu?”
“Cinta pada uangku, waktu itu, kan?”
“Mas, aku tuh datang untuk berbagi. Untuk mengadukan nasibku yang buruk. Tapi kamu malah mengomeli aku dengan ucapan-ucapan yang menyakitkan. Bukankah ketika butuh, kamu juga mendekati aku?”
“Aku pernah berhutang padamu, tapi aku sudah membayarnya.”
“Benar, tapi apa tidak boleh aku berkeluh dihadapan kamu, ketika aku benar-benar terpuruk?”
“Sebenarnya ada apa, tidak usah berbelit-belit.”
“Mas, aku sekarang tidak punya apa-apa. Mobil, perhiasan, semuanya sudah aku jual.”
“Untuk apa kamu menjual barang-barangmu?”
“Aku terlalu baik hati, meminjamkan uangku ke mana-mana, tapi sebagian besar dari mereka hanya menipuku,” kata Rohana berbohong.
“Lalu apa?”
“Aku kan butuh hidup Mas, butuh memenuhi semua keinginan aku. Tapi aku tak punya apa-apa lagi.”
“Bukankah bekas suami kamu masih memberi kamu uang yang cukup, bahkan berlimpah ruah?”
“Tidak lagi. Sekarang tidak.”
“Tidak?”
“Setelah Tomy menikah, aku tidak lagi diberinya uang. Itu sebabnya aku bersusah payah mencukupi kehidupan aku.”
“Kalau kamu datang kemari untuk urusan uang, aku minta maaf. Aku tidak bisa. Bukannya aku pelit atau lupa pada kebaikan kamu yang telah lalu, tapi aku sedang membenahi usaha dan melebarkan sayap untuk usaha ini.”
“Aku tidak akan meminta kamu memberikan pinjaman apalagi aku ingin memintamu. Aku hanya ingin kamu membantu memikirkan apa yang menjadi keinginan aku. Kalau tidak kemari, kepada siapa lagi aku harus berbagi Mas. Teman-temanku banyak, tapi mana ada yang peduli?”
Bukan teman-teman Rohana yang tidak peduli seandainya Rohana berkeluh pada mereka, tapi Rohana malu mengatakan kalau dia sedang kesusahan, apalagi kekurangan uang. Bukankah di mana-mana dia masih selalu bersikap seolah-olah dia masih perempuan kaya yang bisa mengimbangi gaya hidup mewah diantara teman-temannya?
“Lalu apa? Maksudmu aku harus peduli? Dengan apa?”
“Mas, aku ingin menjual rumahku.”
“Jual rumah?”
“Ya, itu satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan aku.”
“Lalu mengapa mengatakannya pada ku?”
“Kalau Mas punya uang, belilah rumah itu, agar aku bisa minta agar kamu mengijinkan aku tinggal di sana dan tidak mengusirku.”
Murtono tertawa.
“Jadi kamu minta agar aku membeli rumah itu, lalu kamu akan tetap tinggal di sana semau kamu?”
“Masa sih Mas, kamu tidak mengijinkan aku numpang di rumah kamu?”
“Bukan aku tidak mengijinkan, tapi aku hanya tidak ingin membelinya,” kata Murtono tandas.
“Mas, rumah itu bagus. Lumayan besar, bekas suami aku membangun dengan mahal dan menjadikan rumah itu menjadi rumah yang mewah. Daripada diambil orang lain, apa tidak lebih baik kamu yang membelinya?”
“Maaf Rohana, aku belum punya uang yang cukup. Hidupku sudah berbeda dengan puluhan tahun yang lalu. Memang sih, semua salahku, karena aku terlalu boros, dengan menghamburkan uang tanpa perhitungan, jadi mulai sekarang aku harus lebih berhati-hati, agar usahaku berjalan dengan baik dan bisa berkembang.”
Rohana meneteskan air mata kembali, tapi Murtono tidak sedikitpun terpengaruh dengan air mata itu.
“Kamu tidak kasihan sama aku sih Mas, kamu sudah lupa pada kenangan-kenangan manis diantara kita dulu. Apa kamu benar-benar sudah mengambil Birah sebagai istri? Dulu kamu membatalkannya karena kamu harus memenuhi syarat yang aku ajukan, yaitu jangan menikahi Birah. Tapi setelah kamu tidak lagi butuh aku, pastinya kamu melanjutkan keinginan kamu, bukan? Benarkah Birah bodoh itu sudah menjadi istrimu?”
“Tidak. Aku tidak memikirkan untuk berumah tangga lagi. Biar begini saja. Birah hanya aku suruh mengurusi toko sembako yang aku buka belum lama ini.”
“Enak ya, tiba-tiba bisa hidup enak, berkecukupan.”
“Dia bekerja, tidak hanya berpangku tangan.”
“Kamu peduli sama dia, mengapa tidak peduli sama aku?”
“Kamu sudah punya kehidupan yang baik. Aku bersalah pada Birah karena membuatnya bercerai dengan suaminya, jadi aku menebusnya dengan pekerjaan itu. Kamu dan Birah berbeda.”
“Begitu ya? Berbeda? Karena berbeda itu maka kemudian kamu tidak peduli pada penderitaanku.”
“Penderitaan yang mana? Kamu masih punya rumah mewah yang katanya bisa kamu jual. Birah punya apa?”
“Sekarang kamu berpihak pada Birah, lebih perhatian pada dia.”
“Rohana, diantara kita tidak ada lagi hubungan apa-apa, aku harap kamu mengerti.”
Bibik yang keluar membawa nampan berisi minuman, berhenti di tengah pintu ketika melihat Rohana berdiri dan bersiap pergi.
“Nyonya, saya buatkan minuman,” kata bibik.
“Tidak, minum saja oleh kamu sendiri,” katanya kemudian melangkah keluar tanpa berpamit pada Murtono lagi.
Murtono melambaikan tangannya pada bibik.
“Mana, biar aku saja yang minum,” katanya.
Bibik mendekat, merendahkan tubuhnya, lalu Murtono mengambil gelas minuman yang urung disuguhkan kepada tamunya.
***
Hari itu Murtono langsung pergi ke kantornya.
Toko sembako yang ditunggui oleh Sarti, selama Birah ke Jakarta agak ramai pembeli di pagi hari itu.
Tiga orang pegawai toko sibuk melayani pembeli, ketika tiba-tiba datang seorang wanita dengan dandanan mencolok datang ke toko itu.
Sarti menyambutnya, karena karyawan lain sedang sibuk.
“Ibu, mau beli beras?” tanyanya ramah.
“Mana Birah?” bukannya menjawab wanita yang adalah Rohana itu malah bertanya dengan sikap angkuh, seperti seorang pembesar yang harus dihormati.
“Oh, bu Birah sedang ke Jakarta, baru kemarin.”
“Ke Jakarta? Mau apa orang udik pergi ke Jakarta?”
“Saya tidak tahu Bu, pastinya menengok anaknya yang kabarnya sedang hamil.”
”Apa? Dengan siapa dia pergi?”
“Seorang wanita cantik nyamperin kemari dengan mobil. Mereka langsung ke bandara.”
“Berarti naik pesawat? Dasar tidak tahu malu. Apa dia pantas naik pesawat?”
“Mengapa tidak bisa Bu?” kata Sarti yang agak kurang suka melihat sikap wanita yang sangat tidak sopan dan merendahkan orang lain itu.
“Orang yang naik pesawat itu hanya orang-orang berada. Mana dia pantas,” kata Rohana mencibir.
“Bu Birah itu baik. Dia cantik, mengapa tidak pantas naik pesawat? Sebentar Bu, ada orang yang mau membayar,” katanya sambil menerima uluran uang dari salah seorang pembeli.
“Apa pak Murtono sering kemari?”
“Ya sering bu, kan dia pemilik toko ini,” jawabnya sambil memberikan kembalian kepada pembeli.
“Maksudku, menginap di sini.”
“Ibu kok bertanya begitu, apa maksudnya?”
“Dia itu merebut Murtono dari aku,” kata Rohana tak tahu malu.
“Mohon maaf Bu, kebetulan sedang banyak pembeli, kalau tidak ada keperluan lain, saya mohon ibu pergi,” kata Sarti yang sudah habis kesabarannya.
“Eh, kamu itu hanya orang rendahan, tapi berani mengusir aku?” hardiknya keras, sehingga orang-orang yang ada di sana menatapnya heran.
“Saya memang orang rendahan. Tapi pak Murtono dan Bu Birah mempercayai saya untuk mengelola toko ini selama bu Birah pergi, jadi silakan pergi dan jangan membuat keributan di sini.”
“He, orang rendahan, kamu tahu tidak, aku ini bekas istri pak Murtono.”
“Hanya bekas, memang ada apa kalau hanya bekas? Barangkali pak Murtono menceraikan ibu karena ibu adalah perempuan yang tidak baik.”
Rohana marah bukan alang kepalang. Disampingnya ada kotak-kotak minuman botol, entah kekuatan dari mana yang membuat dia begitu kuat menariknya, kemudian melemparkannya keluar.
“Eh, apa yang kamu lakukan? Aku laporkan kamu pada polisi.”
Mendengar kata polisi, Rohana pergi setengah berlari, lalu menghilang diantara kerumunan orang-orang yang berlalu lalang.
“Orangnya cantik, tapi gila!” umpat Sarti yang kemudian kembali melayani pembeli, salah seorang pegawai mengangkat kotak berisi minuman itu dan mengembalikannya ke tempat semula.
Salah seorang pembeli yang mendengarkan perkataan Rohana, nyeletuk.
“Manusia dihargai karena dia juga menghargai. Penampilan bagus, seperti orang kaya, tapi sikapnya seperti orang tidak berpendidikan.”
Beberapa orang lainnya setuju dengan perkataannya.
***
Minar sangat terkejut, tapi juga bahagia. Ibu kandungnya datang, bersama dengan ibu sambungnya? Minar menyambutnya dengan segala suka cita.
“Ibu, dan ibu Kirani, bagaimana bisa datang bersama-sama?”
“Ibu Kirani yang mengajak ibu, ketika belanja beberapa hari yang lalu.”
“Aku sedang ada urusan pekerjaan, lalu menawarkan, barangkali ibumu ini ingin menjenguk putrinya yang sedang hamil.”
“Terima kasih banyak, ibu Kirani. Kalau tidak karena ibu, belum tentu ibu Birah bisa datang kemari.”
“Aku tadinya sangat takut naik pesawat, maklum orang udik. Ternyata rasanya juga seperti naik mobil biasa.”
Minar dan Kirani tertawa mendengar kejujuran Birah.
“Jam berapa suami kamu pulang?”
“Biasanya sorean, jam lima atau lebih. Ibu beristirahat saja di sini, ada dua kamar kosong, akan saya bersihkan.”
“Aku ada pertemuan dengan rekan bisnis jam duabelas ini, jadi sebentar lagi aku harus pergi. Biar bu Birah beristirahat dulu di sini.”
“Ibu sudah mau pergi? Apa tidak capek?”
“Tidak, kan hanya duduk satu jam an, lagi pula ini pembicaraan penting.”
“Apa perlu saya kabari mas Satria agar bisa mengantarkan Ibu?”
“Jangan, aku bisa naik taksi. Suami kamu kan sedang bekerja. Aku nggak mau mengganggu.”
“Jauhkah? Di mana Ibu ketemuannya?”
“Di Jakarta mana ada yang dekat sih, ke mana-mana juga pasti jauh. Sudah, jangan memikirkan ibu. Sudah biasa, ibumu ini kemana-mana pergi sendiri.”
“Baiklah, asalkan ibu hati-hati, ya.”
“Hari ini kamu tidak usah memasak, ibu Birah membawa masakan dari rumah.”
“Bagus sekali, Minar kangen masakan ibu,” kata Minar gembira.
“Biasanya, mas Satria pulang saat makan siang, kecuali ada hal penting yang tidak bisa ditinggalkannya,” kata Minar lagi.
Setelah menikmati cemilan sekadarnya, Kirani segera memanggil taksi agar mengantarkannya ke tempat pertemuan itu.
***
Sebenarnya Satria ingin pulang siang itu, tapi dia berjanji akan menengok Boy di rumah sakit, jadi dia menelpon Minar agar tidak menunggunya makan.
“Mas, di rumah ada tamu, Mas nggak ingin pulang dulu?”
“Ada tamu siapa?”
“Lagi pula kan aku juga ingin menengok Boy, jadi ke rumah sakitnya nanti sore saja.”
“Baiklah, tapi siapa sih, tamunya?”
“Ibu.”
“Ibu siapa?”
“Dua orang ibuku.”
“Apa sih maksudnya?”
“Ibu Birah, dan ibu Kirani.”
“Apa? Mereka datang bersama, atau kebetulan datang bersama?”
“Mereka datang bersama. Memang bersama dari rumah. Ini luar biasa bukan? Karenanya Mas harus pulang. Tapi ibu Kirani sedang ada urusan pekerjaan, dia pergi naik taksi.”
“Mengapa tidak meminta agar aku mengantarnya saja?”
“Tidak mau. Katanya takut mengganggu.”
“Waktuku agak luang sebenarnya.”
“Ya sudah, Mas pulang saja sekarang. Ibu membawa oleh-oleh masakan dari kampung, mas pasti suka.”
“Baiklah, aku akan segera pulang.”
Satria meletakkan ponselnya, dan bersiap pulang, tapi tiba-tiba pak Ratman mendekatinya.
“Satria, aku memberi ijin kepada Tomy agar tidak bekerja dulu selama anaknya masih dirawat.”
“Apa Bapak mau pulang sekarang?”
“Tidak, aku mau makan di luar saja. Kamu mau menemani?”
“Saya minta maaf Pak, saya harus pulang, karena ibu mertua saya datang.”
“Oh, menyenangkan sekali. Baiklah, pulang saja sana, nggak apa-apa aku makan sendiri,” kata pak Ratman sambil berlalu, setelah menepuk bahu Satria.
Tapi tiba-tiba ponsel Satria berdering. Dari ibunya? Begitu ponsel diangkat, terdengar suara tangis sang ibu.
“Ibu, ada apa lagi?”
“Satria, aku ada di bandara, nggak bisa pulang, nggak punya uang.”
***
Besok lagi ya.
π§‘ππ§‘ππ§‘ππ§‘π
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ¦
AaBeAy_41 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhaiππ€©
π§‘ππ§‘ππ§‘ππ§‘π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun jeng Nuning
DeleteMatursuwun mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda tien
Sami2 ibu Endah
DeleteMatur suwun Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah ... trimakasih bu Tien. Sehat selalu nggih
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endang
Matursuwun mbk Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Kirana
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah *Aku Benci Ayahku*
ReplyDeleteepisode 41 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam hangat dari Jogja
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
Salam sehat
Alhamdulillah ππ·
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat π€²π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
ReplyDeleteMinar.......
Ibumu dan bu Kirani datang.....
Alhamdulillah.....
Matur nuwun bu Tien....
Epusode 41 sdh tayang.... Salam ADUHAI dari mBandung π«Άπ«Ά
Sami2 mas Kakek
DeleteADUHAI dari Solo
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien...πΉπΉπΉπΉπΉ
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillah AKU BENCI AYAHKU~41 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pal Djodhi
alhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
semoga selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nanik
Waah...ngumpul semua deh ibu2nya...reunian.π
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam sehat.π
Sami2 ibu Nana
DeleteSalam sehat
Ya ampun rohana sdh eror dan bakalan ketemu birah nanti di rmh satria.....
ReplyDeletePasti seruuuu
Terima kasih bu Tien...salam Aduhai
ReplyDeleteSami2 ibu Atik
DeleteAduhai deh
Matur nuwun , bu Tien
ReplyDeleteSami3 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah, matur suwun ibu
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun ibu Yati
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Aku Benci Ayahku 41* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien tayangan cerbungnya
Semoga bu tien sehat² n bahagia selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya π€π₯°
ReplyDeleteBiang kerok Rohana,, ada saja ulahnya
Mantab Bu Tien bikin gemes pembacanya ππ€©
Rohana ....Rohana....
ReplyDeleteKok merepotkan orang terus ya ,,,gregeten aku
Matur nuwun jeng Tien
Sami2 mbak Yaniik
DeleteSekarang Rohana sudah 'tidak laku' dimana saja. Kalau sudah punya apa apa trus mau kemana lagi...
ReplyDeleteSatria sudah mengikhlaskan mobilnya, apa masih mau membantu lagi
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Kesel banget ya sama Rohana...
ReplyDeleteSalam hangat mba Tien..
Selalu aduhai
Salam hangat juga ibu Sul
DeleteRohana memetik apa yang dia tabur... Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu, bahagia selalu dan aduhaiii
ReplyDeleteAamiin Yya Robbal'alamiin
DeleteSiipp
ReplyDeleteNuwun pak Widay3
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai aduhai deh
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Munthoni
Endah senenge Minar di tunggoni kedua Ibu nya, Birah dan Kiran. Senang lagi ibu kandung nya bawa masakan ala kampung, Birah yang masak sendiri.
ReplyDeleteKini giliran Rohana yang merana seorang diri. Ibu kandung mu, kasih 'pelajaran' ya Satria, jangan di belikan tiket pesawat, tapi belikan karcis Bus Akap aja, biar mirip orang udik..ππ
Matur nuwun pak Munthoni
DeleteAlhamdulillah Aku Benci Ayahku-41 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selslu.
Aamiin Yaa Robbal' Aalamiin
Salam Aduhai
Aamiin Yya Robbal'alamiin
DeleteTerima lasih ibu Ting
Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteTerima kasih ibu Reni
Yang lain ingin lebih dulu.
ReplyDeleteDan dulu duluan dlm mengejar cerita ini yg tiap hari selalu baru,
Daaan menggemaskan.
Sdangkan sy,
Baru bisa membaca, rata² se-malam ini.
Nggak apa2 Prisc21
DeleteYang penting baca.
Terima kasih sudah mau membaca dan berkomentar
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Umi
DeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
DeleteRohana kok akal2annya ono wae ya. Kuwi memang njaluk ulegke lombok setan sak cowek terus ditemplokke ning tutuk e
ReplyDeletediulegke maksude
ReplyDeleteHeheeee... jeng Iraaa
DeleteTop
ReplyDelete