Saturday, August 17, 2024

AKU BENCI AYAHKU 33

 AKU BENCI AYAHKU  33

(Tien Kumalasari)

Rohana tersentak. Dengan tangan gemetar, dia menatap laki-laki gagah di depannya. Wajahnya yang kemerahan karena make up yang berlebihan, sudah bersimbah peluh. Laki-laki itu menatapnya dengan nyala yang membara.

“Mm… mas?”

“Kelakuan kamu sangat menjijikkan!” hardiknya.

Ratman yang keheranan hanya bisa menatapnya, tak mampu bersuara. Ada hubungan apa antara Rohana dengan sahabatnya ini, tentu saja pak Ratman tak mengetahui. Ia heran melihat Rohana tampak gemetar ketakutan.

“Mm … mas … ini … buk ..kan seperti yang kamu pikirkan.” akhirnya Rohana berucap.

“Memangnya apa urusanku untuk memikirkan kelakuan kamu? Aku hanya muak karena kebetulan melihatnya. Enyahlah!”

“Mas, aku minta maaf. Keadaanku sedang tidak baik-baik saja.”

“Memangnya apa peduliku tentang keadaan kamu? Aku minta kamu enyah dari sini. Jangan sampai aku melihatmu lagi.”

Rohana membalikkan tubuhnya. Tak berani membantah apa yang dikatakan bekas suaminya. Enyah!  Berarti dia telah mengusirnya. Ada yang lebih ditakutkan Rohana, yaitu kalau sampai bekas suaminya menghentikan pengiriman dana untuk menghidupinya.

Tapi apa yang ditakutkan itu benar-benar kejadian, ketika suara menggelegar bagai guntur di siang bolong itu terdengar oleh telinganya.

“Satu lagi. Jangan mengharapkan lagi apapun dariku.”

Rohana tak mampu menggerakkan kakinya. Ia membalikkan tubuhnya yang lunglai.

“Mas, apa yang kamu lakukan? Jangan begitu. Aku hidup dengan apa?”

“Lakukan apa saja yang bisa menghidupimu. Aku tidak peduli.”

Rohana ambruk ke tanah.

Pak Ratman yang tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, merasa iba melihat keadaan Rohana. Air mata mengalir deras membasahi pipinya, melunturkan polesan wajah yang berwarna-warni.  Wajahnya sudah tampak tidak karuan.

“Mas, ada apa?” tanyanya kepada pak Drajat.

“Ayo kita masuk, aku sudah lapar,” katanya kemudian sambil menarik lengan pak Ratman.

Rohana masih bersimpuh di tanah, melolong tanpa mengenal malu, sementara beberapa pelanggan rumah makan yang masuk dan keluar memperhatikannya dengan perasaan aneh. Rohana sudah seperti badut. Dengan lemas ia kembali memanggil taksi, sebelum ia mendengar tawa dan cemooh lebih banyak dari orang-orang yang melihatnya. Kebanyakan dari mereka menganggapnya sebagai orang yang tidak waras. Menunggu taksi yang dipanggil, Rohana merasa bahwa hidupnya sudah berakhir.

***

Pak Ratman duduk berhadapan dengan sahabatnya, menatapnya dengan penuh pertanyaan. Tapi ia merasa lega, melihat mata sahabatnya itu sudah lebih melunak.

“Siapa dia Mas?” akhirnya dia memberanikan diri untuk bertanya.

“Kamu mengenal dia? Sejauh apa?” pak Drajat justru balik bertanya.

“Dia, bukan siapa-siapa. Hanya kenalan baik, ketika aku menghadiri sebuah pameran lalu bertemu dia. Pada suatu hari dia meminjam uang padaku sebanyak duapuluh lima juta.”

“Kamu memberikannya?”

“Dia mengatakan sedang ditipu orang dan tidak memiliki apapun. Aku merasa kasihan. Lalu lagi, dan lagi, sampai menumpuk hingga seratus juta.”

“Whaattt?”

“Akhirnya entah dari mana asalnya, dia kemudian bisa membayar hutangnya itu.”

“Kamu begitu baik dan murah hati. Ada imbalan khusus untuk kamu kan?”

“Tidak, sumpah belum, eh.. Tidak.”

Pak Drajat terkekeh lucu.

“Aku sudah bersumpah. Memang sih, berkali-kali dia merayu aku, mengharap kedatangan aku, dan awalnya sih … aku sedikit tergoda, tapi aku sudah waras. Tidak, aku tidak melakukan apapun.”

“Mengapa tadi menemui kamu?”

“Aku juga tidak tahu. Hutangnya sudah lunas. Mengapa dia tadi mengatakan ingin bertemu aku lagi.”

“Barangkali kamu benar-benar mempesona,” ejek pak Drajat.

“Jangan mengejekku. Aku sadar diri sama sekali tidak menarik. Aku tidak tahu mengapa dia ingin menemui aku lagi.”

“Kamu tahu? Dia bekas istriku.”

“Apa?” terbelalak Ratman mendengarnya.

“Dia ibunya Tomy.”

“Ma … maaf Mas, sungguh, aku tidak melakukan apa-apa.”

Pak Drajat tertawa.

“Tidak masalah walau kamu melakukannya. Aku menceraikan dia ketika Tomy masih kecil. Hubunganku tercium istriku, jadi aku menceraikan dia. Tapi aku tidak mengira kelakuannya begitu buruk. Ia hanya menghambur-hamburkan uang, dan tidak bisa mendidik anaknya dengan baik. Walau begitu aku memberikan nafkah untuk dia, yang akan aku hentikan mulai detik ini.”

Wajahnya menjadi muram.

Pak Ratman hanya mendengarkan dengan heran. Sama sekali dia tak menduga. Yang lebih mengherankan lagi, dia ibunya Tomy? Jadi kelakuan Tomy yang dulunya kurang baik, adalah karena didikan yang salah dari ibunya?

“Ayo kita pesan makanan. Dari tadi ngomong saja.”

“Baiklah, terserah Mas mau pesan apa.”

Mereka memesan makanan, sambil berbincang ringan. Pak Drajat tak ingin berbicara lagi tentang Rohana. Tampaknya ia sangat muak melihat kelakuan bekas istrinya.

“Bagaimana Tomy? Kamu memenuhi janjimu untuk tidak memberikan perlakuan istimewa padanya, bukan?”

“Ya, dia tetap menjadi sopirku. Tapi daripada menyewa kamar di sebuah rumah kontrak, aku menyuruhnya tinggal di sebuah rumahku yang sudah lama tak ada penghuninya.”

“Itu perlakuan istimewa namanya,” kata pak Drajat sambil mengerutkan keningnya.

 “Bukan, jangan begitu. Rumah itu dekat dengan rumahku. Jadi kalau aku butuh sesuatu dia bisa segera datang.”

“Bagaimana kelakuannya?”

“Baik. Sejak awal aku sudah mengatakan bahwa dia baik. Mas tahu? Aku malah menawarkan dia, barangkali dia ingin melanjutkan kuliahnya.”

“Kuliah?”

“Tapi dia belum memberikan jawabannya. Tampaknya dia ragu-ragu. Katanya aku sudah berbuat banyak untuk dia, jadi dia keberatan menerimanya.”

“Tapi sebenarnya dia mau?”

“Entahlah. Dia belum memberikan jawaban.”

Untuk yang satu ini pak Drajat tidak kesal. Kalau Tomy ingin kuliah, biarkan saja. Bukankah hal itu akan menjadikannya manusia yang lebih bermartabat, terutama untuk keluarganya? Diam-diam terbersit keinginannya bahwa kelak dia ingin mewariskan usahanya untuk Tomy. Tapi bekal yang dibawanya belum cukup. Ia harus berpendidikan tinggi dan pintar, setelah dia bisa memperbaiki akhlaknya.

“Rat, kalau bisa paksa dia supaya mau. Tapi bukan kamu yang akan membiayainya. Berapapun nanti, biar aku. Tapi kamu tidak boleh mengatakan semua hubunganmu dengan aku.”

“Baiklah.”

Hidangan yang dipesan sudah datang. Mereka makan siang dengan diam, atas pemikiran masing-masing yang mungkin saja berbeda.

***

Rohana membanting tubuhnya ke ranjang, dan melanjutkan tangisnya yang tersendat saat berada di dalam taksi. Harapan tentang berhasilnya rayuan ketika dia ingin agar  uang yang dibayarkan akan dimintanya lagi separuh, lenyap bagai asap. Kecuali itu ia harus bertemu dengan bekas suaminya yang memarahinya dan menghinanya di depan umum. Ia juga berkata akan menghentikan nafkah yang diberikannya setiap bulan.

“Lalu aku makan apaaaa? Kejam sekali diaaaaa. Kejaaaaam! Tak berperasaaannn.”

Ia lupa bahwa sebagian besar uangnya hanya untuk bersenang-senang, bermewah ria, tak mau kelihatan miskin dan terbelakang dari teman-temannya.

Perhiasan dan mobil sudah dijual. Hanya untuk berfoya-foya. Dan hutang terakhirnya yang limabelas juta … entah akan dibayar dengan apa.

Ketika itulah ponselnya berdering. Matanya menyala ketika melihat nama Lisa pada panggilan itu. Bukannya segera membuka, Rohana justru membanting ponselnya ke bawah.

“Perempuan pelit! Kaya tapi pelit! Hanya uang sebegitu kecilnya saja, ribut menagih. Peliitt! Peliiitt!”

Seperti orang gila Rohana mengobrak abrik isi kamarnya. Bahkan baju yang kemarin baru dibelinya, dibiarkan berserakan di lantai, kemudian ia kembali membanting tubuhnya ke ranjang, menutupi wajahnya dengan bantal. Tak peduli wajahnya yang awut-awutan karena make up yang rusak akibat air matanya, sekarang mengotori sarung bantalnya.

Tiba-tiba ia teringat Murtono, bekas suaminya yang terdahulu.

“Dulu aku pernah membantu Murtono ketika perusahaannya nyaris bangkrut. Sekarang apa salahnya aku meminta bantuan padanya?  Awal mulanya aku memang malu. Malu dong, bekas istri konglomerat tiba-tiba butuh bantuan? Tapi sekarang tak ada malu lagi. Kalau Lisa datang dan aku belum bisa mengembalikan uangnya, pasti dia akan menjambak rambutku dan mencakar-cakar wajahku.”

Rohana mencari-cari ponselnya. Lupa kalau dia membantingnya ke lantai. Ketika teringat, ia turun dan memungutnya.

“Ya ampun, kenapa tadi aku membantingnya? Untung tidak pecah atau rusak.”

Rohana duduk di tepi ranjang, memutar nomor Murtono. Tak usah malu ketika keadaan sudah menjepitnya.

Murtono membukanya, saat ia sedang bicara dengan Birah, sehingga Rohana mendengarnya.

“Ini laporan pengambilan gula, yang lainnya belum aku baca, Birah.  Tolong periksa saja, aku mau menerima telpon dulu.”

“Ya, sini, aku lanjutkan.”

Rohana terbelalak. Murtono sedang bersama Birah. Mereka masih berhubungan, tak peduli pada kehidupannya yang sedang kacau balau.

“Halloo, ini Rohana?”

Tapi Rohana segera menutup ponselnya. Tak sudi keluhannya terdengar Birah. Tak sudi Birah menganggapnya miskin dan butuh bantuan. Pasti Birah akan mentertawakannya. Bahkan dia akan bertepuk tangan mendengar kehidupannya yang sengsara. Birah juga akan mencibir mendengar dia meminta pertolongan Murtono. Karena itu ia kembali melemparkan ponselnya. Kali ini ke atas kasur.

Rohana terengah-engah. Upaya mencari bantuan mentok di semua tempat. Tak punya malu di mana-mana, tapi di hadapan Birah ia harus malu.

“Apa yang harus aku lakukan sekarang?”

Air mata Rohana kembali mengalir. Saat itulah tiba-tiba terdengar bel tamu bertalu-talu, disusul ketukan pintu yang semakin keras.

Rohana bangkit, mengusap air matanya.

Ia melangkah ke arah depan, lalu wajahnya menjadi pucat ketika ia mengintip dari korden yang disingkapkannya sedikit, lalu melihat Lisa berdiri di depan pintu sambil menggedor-gedornya.

“Rohana! Aku tahu kamu ada di dalam.”

Rohana masih terpaku di pintu.

“Rohana, keluarlah, atau aku dobrak pintu ini?”

Rohana tercekat takut. Kalau benar Lisa akan mendobrak pintu, maka akan semakin banyak yang harus dipikirkannya. Memiliki rumah tanpa pintu? Rohana membuka pintu perlahan, setelah menjawab panggilan Lisa.

“Lama sekali sih?”

“Maaf, aku agak pusing.”

“Mengapa wajahmu belepotan seperti badut?”

“Oh, iya, sebenarnya tadi sedang … sedang mencuci muka, lalu mendengar ketukan pintu, jadi aku berlari dulu ke depan. Aku ke belakang dulu, biar aku bersihkan wajahku.”

“Tidak usah. Aku datang kemari karena kamu tidak menjawab panggilanku.”

“Maaf, aku sedang sakit.”

“Sakit tapi ada bekas dandanan di wajah kamu.”

“Iy … ya, tadi pergi menagih hutang … tap …pi….”

“Jangan bilang tidak berhasil menagih hutang, lalu kamu tidak bisa menepati janjimu.”

“Maaf Lisa, aku sudah berusaha.”

“Kamu itu penampilan gemerlap, tapi hutang limabelas juta saja muter terus.”

“Lisa, aku benar-benar sedang terjepit. Mohon waktunya lagi, sehari dua hari ini.”

"Mana mungkin aku bisa menunggu sehari dua hari lagi. Aku tuh orangnya disiplin, kalau kamu janji sekarang ya harus sekarang.”

“Tapi sungguh, aku sedang tidak pegang uang. Tolong mengertilah Lisa.”

“Tidak, aku tidak mau mengerti. Tapi baiklah, kalau kamu memang tidak bisa mengembalikan uangmu, bayar saja dengan perhiasan kamu yang gemerlapan itu. Nggak malu ya, punya hutang tapi tampil mewah.”

“Tapi … “

“Mana perhiasan kamu yang seharga hutangmu? Tidak apa-apa. Aku tidak mau lagi berurusan denganmu. Cepat Rohana, aku ini tidak sabaran.  Berikan perhiasan kamu yang senilai hutangmu. Cepatlah, waktuku tidak banyak. Sore ini suami aku pulang, aku harus menjemputnya ke bandara.”

Rohana bangkit. Perhiasan? Bukankah perhiasan miliknya imitasi semuanya? Tapi kemudian ia melangkah ke kamar, mengambil sebuah kotak perhiasan berisi gelang dan kalung dengan permata berlian, yang semuanya imitasi.

Rohana tersenyum.

“Mengapa tidak? Setidaknya aku bisa bernapas lega kalau dia mau menerima perhiasan ini sebagai pembayar hutang. Bukan salahku lhoh.”

Rohana tersenyum licik, lalu keluar dari kamar, menyerahkan kotak berisi gelang dan kalung. Lisa membuka kotak itu dan tersenyum puas. Lalu bangkit dan pulang begitu saja.

“Bukan salahku. Kamu yang memaksa,” gumamnya.

Untuk sementara Rohana merasa lega.

***

Ketika Monik keluar dari salon tempatnya bekerja, dilihatnya sang mertua sudah menunggunya diluar. Ia segera merangkul pundaknya dan membawanya masuk ke dalam mobil.

“Kita jemput anakmu terlebih dulu.”

“Sebenarnya apa maksud Bapak menemuiku?”

“Monik, apa kamu sudah tahu bahwa Tomy sudah berubah? Aku sih belum bisa bertemu dia, aku hanya memantau dari jauh saja. Meskipun dia hanya menjadi sopir, tapi menurutku itu sebuah semangat untuk bekerja.”

“Saya sudah mendengarnya.”

“Kalian pernah bertemu?”

“Ya, beberapa kali.”

“Dia bicara apa saat ketemu?”

“Tidak ada. Dia pernah bilang minta maaf, dan ketika mau pindah kost dia juga bilang pada Monik."

“Monik, kalian adalah suami istri, ada baiknya kalian mencoba lagi menjalani kehidupan bersama. Jangan sampai hidup kalian menjadi tercerai-berai.”

Monik hanya diam, yang ditawarkan seperti sesuatu yang baik, apakah bisa dia menjalaninya.

Sebelum sampai ke rumah, mereka mampir ke rumah bu Lany untuk menjemput Boy. Boy yang sudah hafal jam-jam di mana ibunya datang menjemput, sudah berdiri di teras.

Agak heran dia ketika melihat ibunya menjemput naik mobil. Tapi Boy berlari mendekat sambil berteriak-teriak seperti biasanya.

Tapi ketika melihat siapa yang turun dari mobil setelah ibunya, Boy menghentikan langkahnya, kemudian berlari masuk ke dalam rumah.

“Boy! Ini kakek!!” teriak Monik.

“Aku tidak mau pulang!!” teriaknya dari dalam rumah.

***

Besok lagi ya.

 

57 comments:

  1. πŸ¦‹πŸŒΌπŸ¦‹πŸŒΌπŸ¦‹πŸŒΌπŸ¦‹πŸŒΌ
    Alhamdulillah πŸ™πŸŒΉ
    AaBeAy_33 sdh tayang.
    Matur nuwun sanget,
    tetep smangats nggih Bu.
    Semoga slalu sehat dan
    bahagia. Aamiin.
    Salam Aduhai 😍❤️
    πŸ¦‹πŸŒΌπŸ¦‹πŸŒΌπŸ¦‹πŸŒΌπŸ¦‹πŸŒΌ

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wow......, jeng Sari JUARA malam ini menjemput ABeAy_33 Selamat.
      Mau nulungi Rohana, ya??
      Rohana berhasil tertawa, lho
      Setelah melepas semua perhiasan imitasinya......

      Delete
    2. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Sari

      Delete
  2. Alhamdulillah ABeAy_33 sudah hadir..... Terima kasih bu Tien....

    Rasain Rohana .......
    Sudah jatuh ketimpa tangga,
    Lisa menagih hutangnya yang 15 juta .....
    πŸ™ˆπŸ™ˆπŸ™ˆ

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah

    ABeAy episode 33...sudah tayang
    Matur nuwun Mbak Tien
    Salam sehat
    Salam ADUHAI..dari Bandung

    πŸ™πŸ₯°πŸ€—πŸ©·πŸŒΉπŸŒΈ

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sami2
      Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Endah

      Delete
  5. Hamdallah. cerbung Aku Benci Ayahku -33 telah hadir.

    Terima kasih Bunda Tien,
    Sehat dan bahagia selalu bersama amancu. Aamiin

    Rohana...stress...gagal maning...gagal maning ngrayu pak Ratman...skrng giliran dia di kejar kejar oleh Lisa...gara gara utang 15 juta...tarsok tarsok melulu..😁😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  6. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah *Aku Benci Ayahku*

    episode 33 tayang

    Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
    Salam hangat dari Jogja
    Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng In
      ADUHAI 3X

      Delete
  8. Alhamdulillah...matur nuwun bu Tien

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah AKU BENCI AYAHKU~33 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🀲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete
  10. Alhamdulilah aba 33 sdh tayang terima kasih bu Tien... salam Merdekaaa!!!

    ReplyDelete
  11. Rohana belum eee... tidak berhasil pinjam uang lagi. Bahkan bantuan dari mantan suami akan dihentikan. Bagaimana cara untuk mendapatkan uang lagi ya. Padahal temannya dia beri perhiasan imitasi. Tentunya akan menjadi perkara baru.
    Kalau Tomy dibantu secara sembunyi" akan terjadi miss komunikasi. Hubungannya dengan Kartika dan Monik.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Latief

      Delete
  12. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah
    Matur nuwun bunda Tien K
    Semoga selalu sehat ,semangat dan selalu dalam lindungan Allah SWT
    Aamiin
    Salam hangat dari Banjarmasin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun anrikodk
      Salam hangat dari Solo

      Delete
  14. Alhamdulillah πŸ‘πŸŒ·
    Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat πŸ€²πŸ™

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah.
    Syukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  16. Rohana... Nggak juga sadar diri.
    Pak Drajat kenapa tidak langsung saja merangkul Tomi dan didik jadi lebih baik.
    Makasih mba Tien.
    Sehat dan selalu ceria. Aduhai

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah, bisa menikmati karya bunda Tien. Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu, bahagia dan semakin aduhaiii

    ReplyDelete

  18. Alhamdullilah
    Cerbung *Aku Benci Ayahku 33* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Wedeye

      Delete
  19. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien tayangan cerbungnya
    Semoga bu tien sehat² selalu

    ReplyDelete
  20. Terima kasih Bunda Tien Kumalasari, karya² mu selalu menghibur.kami, tetaplah semangat Bunda dan semoga selalu sehat, Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. EAamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Mundjiati

      Delete
  21. Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya πŸ€—πŸ₯°πŸ’

    Wah rame nih, trauma ya Boy
    Sabar ya Monik, ,,😁

    ReplyDelete
  22. Matur nuwun Bu Tien. Wah kelanjutan ceritannya masih hari Senin.......harus sabar menunggu. Tetap sehat njih Ibu.....

    ReplyDelete
  23. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun ibu Reni

    ReplyDelete

MASIHKAH ADA CINTA

 MASIHKAH ADA CINTA (Tien Kumalasari) Masihkah ada cinta Ketika kau sakiti aku Ketika manisnya madu telah berlalu Ketika kau guyur aku denga...