Wednesday, July 17, 2024

AKU BENCI AYAHKU 06

 AKU BENCI AYAHKU  06

(Tien Kumalasari)

 

Tomy memacu kendaraannya, menuju ke rumah Rohana, ibunya. Desy yang ingin mampir untuk beli makanan, ditolaknya.

“Kenapa sih, kan hanya ingin beli cemilan,” protes Desy.

“Nggak usah. Ibu akan memakai mobil ini, kalau kelamaan bisa kena omel, aku.”

“O, mobilnya mau dipakai.”

“Aku juga ingin bilang, mulai besok kamu berangkat dan pulang, naik ojol saja. Aku tidak bisa mengantarkan kamu.”

“Kenapa? Kamu sudah mendapat pekerjaan? Kerja di mana?”

“Bukan. Ibu yang memintanya. Boros bensin kalau harus antar jemput waktu kerja. Apalagi kalau ibu mau pergi cepat. Pasti kena omel deh.”

“Oh, begitu. Nggak apa-apa, biar aku naik ojol saja. Lebih baik begitu, aku tak ingin mengganggu apa yang menjadi milik ibu. Lalu bagaimana denganmu?”

“Bagaimana apanya?”

“Sudah mendapat pekerjaan?”

“Belum.”

“Sebenarnya nyari atau tidak?”

“Belum juga. Nanti aku cari informasi saja dulu, di mana ada lowongan pekerjaan, baru aku melamar.”

“Kamu tidak membawa surat keterangan dari kantor kamu dulu, bahwa kamu sudah pengalaman, malah pernah jadi pimpinan juga.”

“Mana mungkin begitu, bapak kalau sudah marah, tidak ada yang bisa mengendalikan. Aku langsung disuruh pergi, ya harus pergi.”

Meskipun agak kesal karena Tomy tampak kurang bersemangat dalam mencari pekerjaan, tapi Desy mendiamkannya.

“Tomy, apa kamu tak ingin mencari istrimu?”

“Bukankah istriku sudah ada di sini?”

“Maksudku, Monik, yang pergi sudah berbulan-bulan.”

“Dia sudah pergi, berarti sudah tidak mau menjadi istriku. Aku tidak begitu memikirkannya.”

“Bagaimana kalau tiba-tiba kamu bertemu dengannya?”

Tomy diam. Dia juga tidak tahu kalau nanti bertemu Monik. Apakah akan membawanya kepada ayahnya? Atau membawanya untuk hidup bersama lagi? Sedangkan bersama Desy saja ibunya sudah tampak keberatan, kalau ditambah Monik? Tidak. Tomy juga tidak ingin bertemu, apalagi membawanya pergi. Ia tidak suka, dan tetap tidak suka.

“Tidak akan. Mana mungkin dia ada di sini? Kalau memang dia ke Jakarta, pasti sudah menemui ibuku. Ibu sangat menyayangi Monik.”

“Benarkah?”

Diam-diam Desy merasa iri.  Sikap Rohana sangat dingin terhadapnya. Tapi dia menyayangi Monik?

“Sudah, jangan lagi bicara tentang dia, aku tak ingin mendengarnya. Mudah-mudahan selamanya tidak akan bertemu.”

Desy ingin mengatakan bahwa setiap hari dia bersama Monik, tapi diurungkannya. Tadi saja Monik melihat Tomy ketika suaminya itu menjemputnya dan Desy tak ingin mengatakannya. Tapi melihat sikap Monik, memang Monik juga tidak ingin lagi bertemu Tomy.

Sesungguhnya Desy tidak begitu tahu permasalahan antara Tomy dan Monik. Tomy hanya mengatakan bahwa dia tak suka. Dan tentang kepergian Monik, Tomy tidak pernah mengatakan penyebabnya.

***

Memang kemungkinan bagi Monik untuk bertemu Tomy sangat tipis, karena sekarang Tomy tak pernah lagi menjemput Desy.

Pagi hari itu, ketika sedang istirahat, Desy berbincang dengan Monik. Desy memancing-mancing, apa yang menjadi penyebab Monik lari dari suaminya.

“Aku tidak tahan bersamanya,” jawab Monik singkat ketika Desy menanyakannya.

“Kamu sangat cantik, Monik. Pasti suami kamu amat mencintai kamu,” pancing Desy lagi.

“Begitukah menurutmu?”

“Apa aku salah?”

“Ketika menikah, tak ada cinta diantara kami. Aku berusaha mencintainya, yang pada awalnya perasaan itu memang tak ada. Tapi Tomy selalu dingin. Sering bersikap kasar, walau tidak menyiksa secara fisik. Tapi siksa batin itu kan lebih menyakitkan?”

“Apa dia tidak menyayangi anaknya?”

“Aku kira tidak. Boy, anakku, juga sangat benci kepada ayahnya, karena ayahnya tidak kelihatan kalau menyayanginya.”

“Keterlaluan bukan? Mana ada seorang ayah tidak mencintai anaknya? Jangan-jangan … maaf, dia meragukan keberadaan Boy.”

“Apa maksudmu ‘meragukan?’

“Maaf, mungkin dia mengira bahwa Boy bukan anaknya.”

“Tidak mungkin. Aku tidak pernah berhubungan dengan laki-laki lain. Wajah Boy adalah wajah ayahnya waktu kecil. Dia harusnya sadar, lalu tumbuhlah rasa cinta itu. Tapi tidak. Barangkali hati suamiku terbuat dari batu, entahlah. Aku tak ingin membicarakannya lagi.”

Karena hubungan mereka semakin dekat, maka Monik tidak merasa ragu menceritakan keadaan hidupnya. Kecuali satu yang tetap dirahasiakan, yaitu tempat tinggalnya. Untunglah Desy tidak mendesak tentang di mana Monik tinggal. Dia tahu Monik merahasiakannya karena tak ingin Tomy mengetahuinya.

“Anakmu tidak rewel, kamu tinggal pergi setiap hari?”

“Tidak. Ada tetangga yang baik dan mau menerima Boy ada di rumahnya. Dia juga punya anak kecil sebaya Boy. Mungkin Boy lebih tua sih, tapi terpautnya tidak banyak, sehingga mereka bisa kompak bermain bersama.”

“Syukurlah, aku prihatin mendengar kisah hidupmu,” kata Desy, tulus.

“Tidak apa-apa, biarlah semua ini aku jalani. Dan ini lebih baik dari kehidupanku selama bersama suami, walaupun aku di sana selalu bergelimang harta. Tapi apa artinya harta ketika hati tidak bahagia? Hanya ayah mertuaku yang menyayangi aku. Ketika aku pergi, aku yakin yang kalang kabut mencari pasti ayah mertuaku itu, sedangkan suamiku kalaupun mencari, bukan karena dia menginginkan aku kembali, tapi karena perintah ayahnya. Tapi sudahlah, semuanya sudah berlalu, dan inilah sekarang hidupku.”

Menurut Desy, Monik lebih beruntung karena disayangi mertua. Sementara ayah Tomy, begitu mengetahui keberadaannya, langsung mengusirnya bersama Tomy yang darah dagingnya.

“Sesekali ajak Boy kemari, aku ingin mengenalnya.”

Monik tersenyum.

“Boy anak pintar. Hidupku hanya untuknya. Kalau aku dapat jatah libur, aku akan mampir kemari bersama Boy,” kata Monik.

***

Berbulan-bulan telah berlalu. Minar sudah lulus dan tinggal menunggu wisuda. Ada kesedihan dirasakannya, karena ia yakin Satria akan segera mengajaknya tinggal di Jakarta, seperti pernah dikatakannya.

Malam baru saja menjelang, setelah isya, Minar duduk melamun di teras rumah, sedangkan sang ayah melihat televisi di ruang tengah. Kehidupannya yang semakin membaik, membuat keluarga Sutar bisa memiliki banyak perabot rumah yang sebelumnya tidak dimilikinya. Televisi, kulkas, sekarang tersedia di rumah itu, sehingga Minar tak pernah kesulitan ketika ada makanan tersisa. Tinggal dimasukkan kulkas, lalu tinggal dihangatkannya lagi kalau ingin memakannya.

Langit biru membentang di atas sana, sedangkan bintang bertaburan bagai permata tersebar di permadani. Ada senyum yang kemudian menghias bibirnya, ketika mengingat kata-kata suaminya dulu.

“Kalau aku adalah bintang, maka aku akan memetik bintang itu untukmu.”

Kata-kata itu sudah dibuktikannya. Laki-laki luar biasa yang Minar menganggapnya bagai bintang yang tak akan terjangkau oleh tangannya, sekarang sudah menjadi miliknya, menyayanginya sepenuh hati.

“Minar, udara sangat dingin. Mengapa kamu duduk di luar?”

Minar menoleh, sang ayah berdiri di depan pintu. Minar segera berdiri, kemudian masuk ke rumah bersama ayahnya, lalu duduk berdampingan di ruang tengah.

“Apa kamu rindu pada suamimu?”

Minar tersipu. Tentu saja, setiap hari rasa rindu itu ada.

“Tidak lama lagi kamu sudah bisa hidup bersama, karena kuliah kamu sudah selesai,” hibur sang ayah.

“Minar sedih memikirkan itu.”

“Bagaimana kamu itu, hidup bersama suami seharusnya membuat kamu bahagia. Mengapa sedih?”

“Bukankah kalau Minar ikut mas Satria, lalu Bapak akan sendirian?” katanya sambil menyandarkan kepalanya di bahu sang ayah.

Sutar tertawa.

“Memangnya bapakmu ini anak kecil, yang ketakutan kalau ditinggal sendirian?”

“Bukan begitu. Memikirkan siapa yang akan melayani Bapak, kalau pagi, kalau sore, kalau malam, adalah hal yang membuat Minar sedih.”

“Kamu tahu, Minar? Orang tua membesarkan anak, setelah besar ikut suami, kemudian sendirian, itu kan sudah kodratnya menjadi manusia? Mengapa kamu merisaukan hal itu?”

“Sepertinya mudah diucapkan tapi berat dijalankan.”

“Jangan memikirkan bapak. Kewajiban kamu sekarang adalah melayani suami, bukan melayani bapak.”

"Barangkali kalau ada ibu, Minar tidak akan sesedih ini."

“Tidak mungkin ibumu akan kembali. Bapak tidak pernah mengharapkannya lagi. Kami sudah memilih kehidupan masing-masing.”

“Apa Bapak tak ingin menikah lagi?”

“Apa?”

“Kalau Bapak menikah lagi, maka Minar akan merasa lebih tenang.”

“Kamu ada-ada saja. Bapak sudah tua, mana pantas memikirkan sebuah pernikahan?”

“Kata siapa tidak pantas? Bapak masih gagah kok. Aku yakin akan banyak wanita yang bersedia menjadi istri Bapak.”

Sutar terkekeh. Tiba-tiba yang terbayang adalah wajah Kirani. Hanya gadis itu yang sesungguhnya diinginkannya. Tapi mana pantas? Kirani adalah atasannya. Mana sudi Kirani menikahi laki-laki yang jauh berada di bawahnya, walaupun dulu pernah sangat dekat?

“Akan Minar carikan wanita baik yang pantas menjadi istri Bapak.”

“Kamu jangan mengada-ada.”

“Minar serius. Bapak harus punya pendamping. Sendirian di rumah, alangkah sepinya. Ya kan Pak?”

Sutar tidak menjawab. Diraihnya remote televisi, lalu mencoba mencari chanel yang lebih menarik. Tapi sungguh, pikirannya tidak langsung tertuju ke arah acara yang terpampang di depannya, karena wajah Kirani terus mengikutinya.

“Ini gara-gara Minar mengingatkanku untuk menikah,” batin Sutar.

***

Siang hari itu Kirani bertandang ke toko bunga miliknya. Minar sedang menghitung uang pembayaran dagangan di laci ketika itu. Toko baru saja sepi setelah beberapa pelanggan memborong bunganya.

“Apa kabar Minar?”

“Bu Kirani? Terkejut saya, tiba-tiba Ibu sudah ada di depan saya.”

“Soalnya lagi asyik kan?”

“Iya Bu, saya baru menghitung uang, yang akan segera saya setorkan ke bank.”

“Bagaimana kabarmu? Kapan wisuda?”

“Bulan depan Bu, nanti Ibu hadir kan?”

“Tentu saja Minar. Tapi aku sedih, nanti kalau kamu sudah ikut suami kamu ke Jakarta, di toko ini tak ada lagi orang yang bisa aku percaya.”

“Ibu jangan begitu, anak buah ibu banyak yang pintar, dan pasti bisa dipercaya.”

“Ya, tapi aku harus memilih-milih dulu.”

“Sebenarnya Minar juga sedih lho Bu.”

“Ikut suami, kenapa sedih? Bukannya kamu harus bahagia, karena setiap hari bertemu, bukan seperti sekarang, ketemunya seminggu sekali?”

“Sedih karena harus meninggalkan bapak sendirian.”

“Iya sih, tapi kan nggak mungkin ayahmu tidak melepaskan kamu walaupun dia akan sendirian?”

“Seandainya aku punya ibu,” kata Minar lirih.

“Kamu ingin ibumu kembali?”

“Bukan begitu. Ibu dan bapak tak akan mungkin bersatu. Minar ingin bapak menikah lagi.”

Kirani menatap Minar tak berkedip. Ia melihat kesungguhan di mata Minar.

“Apa ayahmu punya seseorang yang ingin dijadikannya istri?”

“Tidak. Saya yang akan mencarikannya,” kata Minar sambil tertawa lirih.

Tapi Kirani kemudian terkekeh geli. Mana bisa Minar mencarikan istri untuk ayahnya?

“Wanita yang bagaimana yang ingin kamu jadikan ibu sambungmu?”

“Ya wanita yang baik, kalau bisa cantik, kan bapak saya ganteng?” lalu keduanya tertawa ringan.

“Hanya harus cantik?”

“Tidak juga sih Bu, dia harus baik, harus perhatian sama bapak, harus setia menemani di hari tua bapak. Ya kan? Kalau sendirian kan kasihan?”

“Apa kamu sudah menemukan kriteria istri yang baik untuk ayahmu?”

“Sebetulnya ada sih Bu, tapi tidak … mm … maksudnya … paling tidak yang seperti bu Kirani itu.”

“Apa?”

“Maaf Bu, bukan maksud saya memilih bu Kirani agar menjadi ibu sambung saya. Mana mungkin juga, bapak kan hanya bawahan bu Kirani. Tapi … paling tidak seperti bu Kirani, begitu maksud saya. Maaf ya Bu,” kata Minar sambil merangkapkan kedua tangannya di depan dada.

Tapi tidak tampak rasa tersinggung di wajah Kirani. Ia tersenyum, lalu menggenggam tangan Minar erat.

“Kamu tahu Minar? Dulu aku dan ayahmu pernah saling dekat. Kami hampir pacaran, tapi ayahmu takut, karena aku terlahir dari keluarga kaya. Ia memilih menikah dengan ibumu,” kata Kirani pelan.

Minar menatap wajah atasannya itu dengan heran. Ia tak pernah mengira ayahnya hampir pacaran dengan Kirani.

“Sekarangpun sama. Bu Kirani tak akan pernah terjangkau karena perbedaan yang sangat menyolok. Maaf Bu, saya tidak bermaksud apapun.”

“Tidak apa-apa Minar, tapi aku akan bahagia memiliki anak seperti dirimu,” kata Kirani lirih, bahkan dengan mata berkaca-kaca.

Minar tak mengerti, apa maksud Kirani berkata seperti itu.

Bahkan ketika dia sudah pulang ke rumahpun, ia tetap saja tidak mengerti.

***

Hari itu liburan bagi Monik. Tapi ia merasa bingung, karena Boy merengek ingin bertemu Satria.

“Ayo Bu, kita belanja, supaya bisa bertemu om Satria,” rengeknya.

Monik tertawa lucu. Mengapa pertemuan di super market itu membuat Boy selalu berpikiran bahwa kalau belanja pasti bertemu Satria.

“Baiklah, ayo kita pergi,” kata Monik yang membuat Boy berjingkrak kegirangan.

Tapi Boy heran, ibunya tidak membawanya ke supermarket. Taksi yang membawanya, berhenti di sebuah rumah kecil yang apik.

“Katanya ke super market Bu?” Boy merengek lagi, dan merasa ibunya membohonginya.

“Ke super market, atau ketemu om Satria?”

***

Besok lagi ya.

 

46 comments:

  1. Alhamdulillah *Aku Benci Ayahku*

    episode 06 tayang

    Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
    Salam hangat dari Jogja
    Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng In
      ADUHAI 3X

      Delete
  2. πŸŒΈπŸ’πŸŒΈπŸ’πŸŒΈπŸ’πŸŒΈπŸ’
    Alhamdulillah πŸ™πŸ¦‹
    AaBeAy_06 sdh hadir.
    Manusang nggih, doaku
    semoga Bu Tien &
    kelg slalu sehat & bahagia
    lahir bathin. Aamiin.
    Salam seroja...😍🀩
    πŸŒΈπŸ’πŸŒΈπŸ’πŸŒΈπŸ’πŸŒΈπŸ’

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Sari

      Delete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Aku Benci Ayahku telah tayang

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  5. Alhamdulilah ABA 06 sdh tayang... maturnuwun bu Tien.. smg bu Tien sll sehat dan dalam lindungan Allah SWT ...salam hangat dan aduhai aduhai bun

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Aduhai aduhai deh

      Delete
  6. Alhamdulillah AKU BENCI AYAHKU~06 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🀲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete
  7. Suit suit...asyik nih, kisah cinta berikutnya antara Sutar dan Kirani berlanjut...semoga berjodoh ya...πŸ˜€

    Terima kasih, ibu Tien. Sehat selalu.πŸ™πŸ˜˜πŸ˜˜

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Nana

      Delete
  8. Alhamdulillah ... maturnuwun bu Tien

    ReplyDelete
  9. Matur nuwun bunda Tien...πŸ™πŸ™
    Mugi bunda tansah pinaringan sehat njih...🀲🀲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Padmasari

      Delete
  10. Alhamdulillah " Aku Benci Ayahku-06" sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu
    Aamiin Allahumma Aamiin

    ReplyDelete
  11. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun ibu Ting

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah..
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
    "Pas buanget.. anak2 sudah punya Klg sendiri, kembali spt dulu ..berdua lg sampai menua bersama ..in Sya Alloh Aamiin"..Alamiah memang harus spt itu😊

    ReplyDelete
  13. Asyiiik... ABA6 dah nongol
    Alhamdulillah .... Tur Nuwuun mbak Tien sayang πŸ™πŸ˜˜πŸ˜♥️
    Semoga senantiasa sehat bahagia njiih mbak...
    Salam Aduhai dr Surabaya πŸ™ 😘

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Dewi

      Delete
  14. Alhamdulillah, ABEA 06 telah tayang.tks bu Tien, sehat dan bahagia selalu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Uchu

      Delete
  15. Alhamdulillah πŸ‘πŸŒ·
    Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat πŸ€²πŸ™

    ReplyDelete
  16. Ya ini, anak mencarikan jodoh untuk ayahnya. Semoga usaha Minar berhasil menyandingkan ayahnya dengan bu Kirani.
    Tapi Boy kok selalu mengharapkan ketemu Satria.. apa mungkin terjadi Satria akan diganggu Monik.
    Salam sukses mbak Tien, semoga selalu sehat dan ADUHAI... Aamiin.

    ReplyDelete

  17. Alhamdullilah
    Cerbung *Aku Benci Ayahku 06* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...
    .

    ReplyDelete
  18. Waduh penasaran nih, rumah kecil tpi apik, apakah Monik beli rumah sendiri, agar tdk kontrak" lagi, ......wah tunggu besok lagi ya bagaimana bunda Tien aja deh

    Mks bun ....selamat malam smg sehat dan bahagia bersama kelrg....aamiin yra

    ReplyDelete
  19. Hamdallah. cerbung Aku Benci Ayahku -06 telah hadir.

    Terima kasih Bunda Tien
    Sehat dan bahagia selalu bersama amancu di Sala.

    Cakep sandiwara Minar dlm rangka mencarikan jodoh buat ayah nya.
    Akhir nya terkuak sudah asmara terpendam nya Kirani kpd Sutar.
    Semoga kamu berhasil jadi mak comblang ya Minar. 😁😁

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien .... ABA 06 sdh tayang dgn lancar
    Semoga bu tien selalu sehat² n tetap semangat
    Salam ADUHAI

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien ABeAy 06 sdh tayang. Semoga Bu Tien sehat selalu. *SALAM ADUHAI*

    ReplyDelete
  22. Apakah Boy diajak Minik ke rumah Satria?

    ReplyDelete
  23. Setiap akhir cerita selalu ada kejutan. Novel ini ditulis seperti orang menulis program komputer. Sangat rapi sekali, sehingga saya tak menemukan bagian "takana kudian" (baru ingat) yang istilah kerennya adalah POV (point of view)...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  24. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu....

    ReplyDelete

LANGIT BIRU

 LANGIT BIRU Hujan berhenti mengguyur Kutatap taman hati Menyergap aroma wangi Apa kamu tahu? Titik- titik embun di dedaunan Menyiratkan kes...