AKU BENCI AYAHKU 04
(Tien Kumalasari)
Tomy sudah berkali-kali meminta maaf. Tapi sang ayah memiliki hati sekeras batu. Apa yang sudah mengecewakannya tak akan mudah dimaafkannya. Demikian juga Tomy, yang sudah membuat kesalahan, apalagi kesalahan yang bertumpuk-tumpuk. Tidak mengasihi anak istri, menikah siri dengan seorang perempuan, itupun pada awalnya dia berbohong berkali-kali. Kemarahan sang ayah sudah tak bisa lagi ditahannya.
Tomy keluar dari ruangan dengan wajah menunduk. Ia tahu tabiat sang ayah. Kalau dia marah, tak seorangpun bisa meredakannya. Dia sudah mengusirnya, dan itu berarti dia harus pergi.
Desy yang mengikuti dibelakangnya, tak digubrisnya.
“Tomy, kita mau ke mana?”
“Apa kamu tidak mendengar apa yang dikatakan ayahku?”
“Dia benar-benar mengusirmu?”
“Apa dia bercanda?”
Tomy begitu kesal dengan pertanyaan Desy. Desy yang tidak tahu bagaimana sifat ayah Tomy, mengira kemarahan itu hanya sesaat. Dia baru yakin ketika Tomy benar-benar berkemas.
“Bantu aku berkemas. Kenapa kamu hanya menatapku saja?” hardiknya.
Desy membantu berkemas dengan perasaan tak menentu. Bahkan Tomy dan Desy harus menurutinya ketika mereka harus meninggalkan Indira di rumah sakit.
“Kita mau ke mana?” Desy yang masih bingung bertanya lagi.
“Kalau kamu mau ikut, ikutlah aku. Kalau tidak, pulanglah dan hubungan diantara kita sudah selesai.”
“Tomy, kamu selalu mengatakan bahwa kamu mencintai aku. Kenapa sekarang kamu tega mengatakan itu?”
“Kalaupun aku cinta, kamu boleh pergi seandainya kamu ingin pergi, atau pulang kepada orang tuamu.”
“Mana berani aku pulang dengan meninggalkan anakku?”
“Lalu apa?” katanya sambil menutup kopor yang berisi sebagian pakaian dan barang yang menurutnya berharga.
“Aku ikut ke mana kamu akan pergi.”
“Kita pergi malam ini juga. Setelah siap, kita akan meninggalkan rumah ini.”
Desy terpaksa mengikutinya. Entah akan kemana Tomy membawanya pergi.
***
Indira sudah merasa baik, ia berceloteh ketika melihat kakeknya selalu menungguinya.
“Kakek, aku mau pulang,” katanya pelan, sambil matanya mencari-cari.
“Iya, menunggu dokternya, lalu kamu boleh pulang.”
“Mengapa aku tidak melihat ibu? Bapak juga tidak ada?”
“Mulai sekarang kamu bersama kakek. Jangan mencari ibu atau bapakmu, mengerti?”
“Tapi aku mau ibu,” Indira mulai menangis.
“Dengar, kamu akan bersama kakek, nanti kakek akan membelikan kamu mainan yang banyak. Boneka lucu, dan masih banyak lagi. Kamu boleh minta apa saja, yang penting kamu tidak boleh menangis. Mengerti?” kata sang kakek lembut.
Ia kemudian menggendong Indira, menepuk punggungnya lembut, membuat tangis Indira mereda. Selama ini dia jarang sekali bersama ibu atau ayahnya. Desy menyerahkan perawatan anaknya kepada seorang perawat. Tomy yang membiayainya. Baginya, kepergian ibunya tidak menjadi masalah besar. Ia hanya mencari, dan kalau ibunya pergi, itu sudah biasa. Elusan lembut sang kakek membuatnya merasa tenang. Apalagi sepulang dari rumah sakit, sang kakek mengajaknya ke toko mainan, dan membiarkan Indira memilih mainan apa saja yang diinginkannya. Sang kakek mencarikan pembantu yang khusus melayani Indira, dan meminta agar Indira dijaga dengan baik. Sang kakek juga sering datang, dan selalu memeluk serta membeli elusan lembut pada punggungnya.
Walau terkadang rewel, tapi lama-lama Indira bisa melupakan ibu bapaknya.
***
Rohana sedang duduk sendirian di pagi hari itu. Ia kesal karena ayah Tomy terlambat mengiriminya uang. Uang simpanan sudah menipis, bahkan uang kembalian dari Murtono juga tak bisa diandalkannya untuk bersenang-senang dan hidup mewah seperti biasanya. Sudah terlanjur hidup berkecukupan, Rohana sungguh tak bisa meninggalkan kebiasaannya itu. Ia juga malu kepada teman-temannya, kalau sampai mereka tahu bahwa hidupnya sekarang ‘kekurangan’. Rasa malu dianggap miskin itulah yang membuat Rohana tak bisa menghentikan kebiasaannya bersenang-senang, dan selalu menunjukkan bahwa kehidupannya tidak berubah.
Tiba-tiba sebuah taksi berhenti, Rohana mengangkat wajahnya, mengamati siapa yang datang. Ia terkejut ketika melihat Tomy, tapi bersama seorang wanita yang tidak dikenalnya.
“Di mana Monik?” kata batinnya.
Tomy melangkah mendekat, dan wanita yang adalah Desy itu mengikutinya.
“Mana Monik?” itulah kata pertama yang diucapkan Rohana.
“Dia minggat.” kata Tomy enteng.
“Apa maksudmu?”
“Memang dia minggat. Sudah berbulan-bulan yang lalu.”
“Dia pulang ke rumah orang tuanya?”
“Tidak. Tomy sudah mencarinya ke sana, dia tidak ada. Orang tuanya, eh ... ayahnya, sakit keras.”
“Ini semua gara-gara kamu. Kamu tidak bisa menjaga istri dan anak kamu. Kamu menindasnya, mengabaikannya. Dia tak akan tahan.
“Bu, ijinkan kamu masuk. Kami lelah sekali.”
“Masuklah,” kata Rohana dengan wajah muram. Dia tidak menanyakan, siapa wanita yang datang bersama Tomy.
Ketika mereka duduk, barulah Rohana menanyakannya.
“Siapa dia?”
“Ini, istri Tomy.”
“Apa?”
“Sejak dulu Tomy sudah mengatakan, bahwa Tomy tidak mencintai Monik.”
“Kamu sudah hidup bersama selama tiga tahun lebih. Kamu sudah punya anak pula. Bagaimana kamu bisa melakukan hal sekejam itu? Punya istri lagi? Pasti dia terluka. Pantas dia pergi.”
“Dia tidak tahu kalau Tomy punya istri. Ini wanita yang Tomy cintai. Kami juga sudah punya anak.”
“Apa?”
“Tapi anak itu dirawat sama bapak, kami tidak boleh membawanya.”
“Tunggu … tunggu … kamu tidak boleh membawa anakmu,? Sepertinya kamu memang pergi dari rumah ayahmu?”
“Bapak mengusir Tomy. Sudah sebulan yang lalu. Sekarang ijinkan Tomy tinggal di sini bersama istri Tomy, namanya Desy. Kami hidup di hotel, tapi lama-lama uang Tomy bisa habis. Karenanya Tomy memutuskan untuk pulang ke rumah ibu saja.”
Desy berdiri lalu mencium tangan Rohana. Tadi belum sempat melakukannya, karena begitu datang Rohana hanya menanyakan Monik.
Rohana menatap Desy. Memang dia cantik. Tapi siapa dia?
“Katakan apa yang terjadi.”
Lalu Tomy menceritakan apa yang terjadi, sehingga dia diusir oleh ayahnya, sedangkan anaknya tidak boleh mereka bawa.
Rohana geleng-geleng kepala. Untuk hidup sendirian saja dia merasa ‘kekurangan’. Lalu sekarang akan ada dua orang yang akan numpang bersamanya, sementara subsidi dari bekas suaminya sangat terbatas sekali. Wajahnya langsung menjadi gelap.
“Jadi aku harus menghidupi kamu, dan istrimu ini setelah ayahmu mengurangi jatah hidup untuk ibumu?” katanya dengan kening berkerut.
“Bu, kepada siapa lagi Tomy akan pergi. Ini kan rumah ibuku, masa Tomy tidak boleh tinggal di sini?”
"Kamu tahu tidak, ibu tidak punya penghasilan kecuali dari belas kasih ayahmu? Kalau ditambah kalian berdua, mana cukup? Kecuali kalau kamu bilang kepada ayahmu, agar dia memberi juga uang untuk kehidupan kamu dan istrimu.”
“Ibu gimana sih, bapak sudah mengusir Tomy, mana mungkin Tomy harus meminta uang?”
“Bu, bagaimana kalau saya mencari pekerjaan supaya tidak membebani ibu?” Desy menyela kata-kata Rohana. Desy lebih punya perasaan daripada Tomy yang hanya ingin enaknya saja. Perkataan Rohana menunjukkan, bahwa jelas-jelas ia merasa keberatan kalau harus bertambah beban dua orang lagi, karenanya kemudian dia berinisiatif untuk bekerja.
“Hm, Tomy, kamu kalah dengan istrimu. Seorang wanita, tapi punya inisiatif untuk bekerja. Kamu … bagaimana?”
“Jangan begitu dong Bu, aku kan anak Ibu?”
“Tomy, kamu bukan anak kecil lagi. Ayahmu mengajak kamu, bukankah kamu tidak disuruh enak-enak dan hanya makan minum dan tidur? Kamu harus bekerja kan? Kamu laki-laki, kamu yang seharusnya mencari nafkah.”
“Baiklah, nanti Tomy juga akan mencari pekerjaan. Sekarang ini Tomy masih punya uang, yang pastinya cukup untuk makan kami berdua selama beberapa bulan.”
“Kalau begitu mana uang itu, serahkan pada ibu, agar kebutuhan kalian tercukupi.”
“Ya Bu, setelah istirahat, nanti Tomy akan memberikan uangnya pada ibu. Sekarang ijinkan Tomy ke kamar dulu ya? Sinah masih ada kan? Biar dia membersihkan kamar Tomy, agar kami bisa istirahat lebih dulu.”
“Baiklah. Ibu panggil Sinah dulu. Ingat, karena tugas Sinah bertambah, kalian juga harus membantu membayar gaji Sinah.
Desy agak kesal, karena dari sedikit pembicaraan di pagi hari itu, ia tahu bahwa ibu Tomy adalah wanita yang sangat perhitungan. Desy bersiap untuk bertindak hati-hati. Ia berjanji, besok pagi ia akan mulai mencari pekerjaan.
***
Boy sedang bermain mobil-mobilan di siang yang panas itu. Tapi hanya sebentar, kemudian dia menyimpan kembali mainannya ke dalam kotak penyimpan barang-barang mainan itu.
“Ibu, apa ibu tidak mau belanja?”
“Ibu belum butuh sesuatu, semua persediaan makan masih cukup,” kata Monik.
Tapi sebenarnya Monik sedang menghitung-hitung, uang yang dibawanya akan cukup untuk berapa bulan lagi. Ketika pergi, ia punya tabungan yang lumayan banyak, dari pemberian uang saku yang diberikan ayah mertuanya selama berbulan-bulan. Tapi ia juga sudah pergi selama berbulan-bulan, dan dia khawatir semua yang masih tersisa tidak akan cukup memenuhi kebutuhannya bersama Boy untuk waktu yang lama.
“Sudah lama Ibu tidak belanja,” rengek Boy.
“Mengapa sih, kamu suka sekali merengek mengajak ibu belanja? Kamu hanya ingin es krim kan? Nanti ibu belikan di mini market yang dekat dengan jalan besar sana.
“Tidak mau, Boy mau es krim yang ada di super market.”
“Memangnya kenapa kalau beli es krim di dekat-dekat sini saja?”
“Nggak enak.”
“Bukankah sama saja? Es krim seperti yang ada di supermarket itu, bukankah sama dengan kalau kita beli di dekat situ?”
“Nggak sama. Pokoknya nggak sama. Kalau di dekat situ, Boy tidak bisa bertemu dengan om Satria.”
Monik tertegun. Jadi ternyata Boy hanya ingin bertemu Satria. Apakah Satria setiap hari berkeliaran di super market itu? Monik tersenyum lucu.
“Boy, memangnya setiap hari om Satria selalu ada di sana?”
“Siapa tahu ada.”
“Tidak pasti. Jadi jangan punya keinginan yang aneh-aneh. Kamu lapar barangkali. Makan yuk, ibu ambilkan. Mau makan sendiri, atau pengin disuapin?”
“Boy nggak mau makan.”
“Kamu rewel, pasti kamu lapar.”
“Tidak.”
“Kalau begitu ayo tidur. Ibu ngantuk sekali."
Tapi Boy menggeleng.
“Ya sudah, ibu saja yang tidur.”
Monik berdiri lalu melangkah ke dalam kamar. Ia akan tiduran, berharap Boy akan menyusulnya, kemudian tertidur. Tapi ternyata Boy tidak menyusulnya. Monik malah terbawa ngantuk, ketika berbaring di kamar dan merasa nyaman.
Boy masih memegangi kotak mainannya, kemudian dibawanya masuk ke kamar. Ia sudah tak mau bermain lagi.
Ia melongok ke arah kamar ibunya, dan melihat ibunya tertidur. Rupanya karena sentuhan bantal itu, Monik tak bisa menahan kantuknya.
Boy melihat ponsel sang ibu, lalu berjingkat ia mendekatinya. Tiba-tiba timbul keinginannya untuk menelpon Satria. Dulu pernah bisa. Perlahan Boy mengambil ponsel itu. Boy anak yang pintar. Ia pernah melihat bagaimana sang ibu membuka kunci ponselnya, lalu ia mencobanya. Haiii … bisa … Boy bersorak. Ia juga mencari-cari nomor WA. Tapi ia tak mengenal angka ataupun nama-nama. Dengan teliti Boy mengamati setiap photo profil, sehingga kemudian ditemukannya foto Satria. Dengan gembira Boy memencet tanda telpon, lalu mendekatkan ponsel ke telinganya.
Terdengar nada panggil, tapi agak lama tidak diangkat. Boy terus menunggu. Sampai kemudian terdengar orang memberi salam. Boy dengan fasih menjawabnya. Ia pintar bukan karena ibunya yang mengajari, tapi pembantunya.
“Ini Boy?”
“Om Satria, apa Om mau belanja lagi di super market?”
“Memangnya kenapa?”
“Kalau belanja, kita bisa ketemu.”
Satria tertawa.
“Tidak Boy, om tidak sedang butuh sesuatu.”
Tiba-tiba Ponsel di tangan Boy telah berpindah tangan. Boy mendongakkan kepalanya, dan melihat sang ibu menatapnya sambil berkacak pinggang.
“Apa yang kamu lakukan?”
“Boy menelpon om Satria.”
“Boy, kamu tidak boleh sembarangan bermain telpon,” tegur Monik yang heran karena Boy kecil bisa melakukannya.
“Masuk kamar, dan tidur,” titahnya dengan mata menatap tajam.
Boy berdiri dan melangkah ke dalam kamar.
***
Pagi hari itu, salon PUTRI baru saja buka. Di pintu, ada tulisan besar, tentang dibutuhkannya beberapa karyawati.
Dua orang wanita berdiri di pintu, lalu duduk menunggu karena dua orang karyawan salon sedang merapikan peralatan.
Monik duduk berdampingan dengan seorang wanita yang tampaknya tujuannya sama dengannya. Ingin melamar pekerjaan. Dua orang wanita cantik itu terlibat dalam sebuah obrolan ramah, lalu saling memperkenalkan nama.
“Desy,” kata salah satu wanita cantik yang tampaknya sedang menunggu.
“Saya Monik,” jawab Monik.
Monik sama sekali tidak menduga, bahwa wanita yang memperkenalkan namanya dengan nama Desy itu sangat terkejut mendengar nama lawan bicaranya.
“Monik? Apa dia istri mas Tomy yang kabur dari rumah?
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
❤️❤️🌷☘️☘️☘️🌷❤️❤️
ReplyDeleteABeAy_04 sudah hadir.
Matur nuwun Bu Tien.
Bu Tien memang OYE, dua istri Tomy dipertemukan disebuah salon, sama² melamar kerja.
APA YANG BAKAL TERJADI..... ?????
❤️❤️🌷☘️☘️☘️🌷❤️❤️
Nuwun mas Kakek
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Djoko
DeleteTrmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
Delete🪼🐠🪼🐠🪼🐠🪼🐠
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
AaBeAy_04 sdh hadir.
Manusang nggih, doaku
semoga Bu Tien &
kelg slalu sehat & bahagia
lahir bathin. Aamiin.
Salam seroja...😍🤩
🪼🐠🪼🐠🪼🐠🪼🐠
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Matur nuwun mbak Tien-ku Aku Benci Ayahku telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah 👍🌷
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Terima kasih mbak Tien
ReplyDeleteSemoga sehat dan bahagia selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Kharisma
Matur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Salamah
DeleteMAtur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulilah ABA 04 sudah tayang, maturnuwun bu Tien ..
ReplyDeletesemoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan bahagia, serta selalu dalam lindungan Allah SWT.salam hangat dan aduhai aduhai bun ❤️❤️❤️
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai deh
Wah, seru nih...Rohana & Birah (Murtono), Desy & Monik (Tomy) semua berjuang untuk hidup, walaupun pada awalnya mereka pernah berkecukupan...roda kehidupan memang berputar, bu Tien sangat kreatif ide2 ceritanya, mantap.!👍👍😀
ReplyDeleteTerima kasih, ibu...sehat2 selalu ya...🙏🙏🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nana
Matur nuwun jeng Tien semoga selalu sehat
ReplyDeleteAamiin
DeleteMatur nuwun mbak Yanik
Alhamdulillah AKU BENCI AYAHKU~04 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah *Aku Benci Ayahku*
ReplyDeleteepisode 04 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam hangat dari Jogja
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
ADUHAI 3X
Matur nuwun bunda Tien...🙏🙏
ReplyDeleteSemoga sehat selalu njih bun..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Padmasari
Monik tidak tahu siapa itu Desy, tetapi Desy tahu. Mungkin akan terjadi persaingan, mudah mudahan persaingan yang sehat.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien, semoga selalu sehat dan ADUHAI..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Aku Benci Ayahku 04* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Dua cèwèk suaminya sama, kerjanya sama. Gèk piyé ya.
ReplyDeleteNuwun pak Widay2
DeletePersaingan istri Tomi bakal seru nih..
ReplyDeleteTerima kasih ibu Komariah
DeleteSeruu nih..
ReplyDeleteMakasih mba Tien .
Salam hangat selalu aduhai
Sami2 ibu Sul
DeleteAduhai deh
Alhamdulillah...cerbung "Aku Benci Ayshku - 04" sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Ting
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Munthoni
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Uchu
Waduh bakal rame nih, desy sama monik bertemu di salon
ReplyDeleteMks bun, spt nya saya gak sabar nunggu besok deh, gimana kelanjutan nya desy sama monik,...,..selamat malam, sehat"selalu ya bun
Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat selalu ya 🤗🥰💐
ReplyDeleteWah Desy ,kamu hebat ya bisa menebak Monik , istri Tomy
Mau sy yg diterima Desy, Krn cekatan modelnya ,,hihi😁
Cerita yang luar biasa...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Agak dingin
ReplyDelete