Friday, June 21, 2024

KUPETIK SETANGKAI BINTANG 30

 KUPETIK SETANGKAI BINTANG  30

(Tien Kumalasari)

 

Minar merasa gerah. Ia duduk dengan sangat gelisah. Jadi ibunya berhubungan dengan laki-laki yang adalah ayah Satria? Apakah orang tua Satria sudah bercerai? Lalu mengapa ibu Satria tinggal di Jakarta? Kalau masih suami istri, mengapa sang ayah berhubungan dengan ibunya, bahkan membuat ibunya bercerai dengan ayahnya?

“Minar, kamu capek ya? Kok kelihatan gelisah begitu?” tanya Wini yang duduk di sebelahnya.

“Agak lelah, apakah ini masih lama?”

“Sepertinya tidak, nanti kita langsung kembali ke hotel saja.”

“Kapan kita pulang?”

“Nanti kita tanyakan mas Satria.”

“Aku ingin segera pulang saja.”

“Kata mas Satria kita masih akan diajak ke puncak hari ini, besok baru kembali ke Jakarta. Kamu memikirkan bapak ya?”

“Iya,” jawab Minar pelan.

“Minumlah ini dulu, bersandarlah, agar kamu merasa lebih tenang,” kata Wini sambil mengulurkan sebotol minuman dingin.

“Ini, punyaku juga masih utuh.”

“Ya sudah, minumlah. Aku kira sebentar lagi acara akan selesai.”

Minar mengangguk, lalu meminum airnya, kemudian menyandarkan tubuhnya seperti saran Wini.

Tiba-tiba ia ingin menelpon sang ayah. Diambilnya ponsel, lalu ia melihat ada panggilan tak terjawab dari sang ayah. Minar menyesal karena tidak mendengarnya. Tapi bertelpon dalam situasi ramai begini pasti tidak akan nyaman. Karenanya kemudian dia mengirim pesan saja.

(“Suasana di acara wisuda sangat ramai, jadi Minar tidak mendengar bapak menelpon. Apakah Bapak baik-baik saja?”)

Pesan itu segera dijawab sang ayah.

(“Bapak baik-baik saja, kapan kamu pulang?”)

(“Setelah acara ini, Minar akan menanyakannya pada mas Satria, karena dia yang akan membelikan tiketnya, tapi Minar akan berusaha secepatnya”)

Sang ayah menjawab dengan emotikon ‘jempol’.

“Dengan bapak ya?” tanya Wini.

“Rupanya tadi menelpon, tapi aku tidak mendengarnya.”

“Ada kabar apa?”

“Baik, hanya menanyakan kapan kita pulang. Aku jawab menunggu apa nanti kata mas Satria.”

Wini mengangguk, lalu mereka merasa lega karena rupanya acara segera ditutup.

Suasana menjadi riuh, orang-orang berfoto dengan keluarga, dengan pasangan atau sahabat-sahabat.

Satria mendekati ayah ibunya, mencium tangan dan merangkulnya dengan mengucapkan terima kasih. Kemudian Wini dan Minar juga menyalami serta mengucapkan selamat. Kemudian mereka berfoto bersama. Monik yang tadinya berdiri di samping Wini, menarik Minar agar dia yang bersanding dengan Satria. Wajah Satria langsung muram, tapi sang ibu meneriakinya.

“Satriaaaa, senyum dong. Ini kan hari bahagia.”

Satria mencoba tersenyum.

“Sekarang Monik foto dengan Satria, biar ibu yang ambil fotonya,” kata Rohana yang kemudian menjajarkan Satria dengan Monik lalu memotretnya.

Tapi kemudian Satria menarik Wini dan Minar ke tempat lain, dan Satria meminta agar Wini memotretnya bersama Minar. Minar ingin menolaknya, tapi Wini memelototinya.

“Untuk kenang-kenangan, sebentar saja kok.”

Dan Wini segera menjepretnya, keburu Minar kabur.

“Monik, jangan lupa main ke rumah ibu ya,” kata Rohana ketika Murtono menariknya untuk segera pulang.

“Tentu Bu, Monik tidak akan pulang bersama teman-teman, masih ingin main di Jakarta,” jawab Monik.

***

Sore itu Satria mengajak ketiga temannya ke Puncak. Minar agak sedikit terhibur ketika melihat suasana indah di sekelilingnya malam harinya mereka menginap di sebuah vila. Ketika lelah berjalan-jalan, mereka duduk di depan vila, menikmati coklat panas yang dipesan dari cafe di dekatnya, yang bisa sedikit mengurangi hawa dingin yang menusuk.

“Mas, besok kami boleh pulang ya?” kata Minar kepada Satria.

“Besok? Aku sih inginnya sebulan lagi,” canda Satria, membuat Wini dan Minar berteriak.

“Liburku tinggal dua hari lagi lhoh,” kata Wini.

“Kasihan ayahku sendirian,” kata Minar.

“Aku masih akan tinggal, aku sudah janji sama ibu kalau mau main ke rumahnya,” kata Monik.

“Kamu nggak kuliah?” tanya Wini kesal.

“Bolos beberapa hari lagi nggak apa-apa, kan?: jawab Monik enteng.

“Baiklah, besok akan aku pesankan tiketnya untuk kalian berdua,” kata Satria.

“Mas nggak ikut kami lagi?”

“Aku sudah janji wawancara untuk sebuah pekerjaan.”

“Wouw, menyenangkan sekali. Mas Satria sudah mendapat pekerjaan?” pekik Wini.

“Semoga berhasil, Mas,” sambung Minar.

“Terima kasih. Aku harus segera bekerja, supaya tidak menjadi beban orang tua.”

“Setelah itu, apa? Menikah dong,” sela Wini sambil melirik ke arah Minar.

Satria tertawa, entah mengapa diapun melirik ke arah Minar, yang tampak pura-pura melihat ke arah lain.

“Menikah, kalau yang mau dijadiin istri sudah mau dilamar,” kata Satria.

“O, siap Mas, aku yang akan jadi comblangnya,” kata Wini mantap.

Monik pura-pura tidak mendengar, ia malah bersenandung, menyanyikan sebuah lagu, yang entah lagu apa, nggak jelas.

“Hei, berhentilah bernyanyi, brisik!!” kata Wini. Hanya Wini yang berani mengomeli Monik.

“Sebenarnya aku agak pusing,” kata Monik.

“Memangnya menyanyi bisa mengobati pusing?”

Monik masih saja bersenandung, walau suaranya semakin sumbang.

Mereka berbincang tentang banyak hal, bercanda dan ejek mengejek, sampai larut malam. Mereka baru akan bangkit ketika tiba-tiba Monik mengeluh.

“Adduh … “

Semuanya menoleh, lalu melihat Monik jatuh terkulai.

“Hei, ada apa denganmu?”

Wini dan Minar menggoyang-goyang tubuh Monik, yang diam tak bergerak. Bagaimanapun mereka khawatir.

“Mas, bantu membawanya ke kamar dong.”

Satria bangkit, mengangkat tubuh Monik, lalu bergegas membawanya ke dalam.

Kamar Monik hanya dipakai sendirian, karena tiap kamar hanya ada satu tempat tidur besar, dan Monik memilih tidur sendiri.

Satria membaringkannya di ranjang, tapi ketika Satria ingin melepasnya, Monik menggantungkan tangannya di leher Satria.

“Maaas, tolong, aku …”

“Lepaskan tanganmu, biar teman-temanmu membantumu.”

Wini dan Minar berdiri di pintu, dengan membawa obat gosok milik Wini yang dibawanya untuk bekal.

“Mmmh … “

Satria melepaskan tangan Monik yang dengan erat memeluknya.

“Wini, tolong dia,” kata Satria yang segera beranjak keluar. Ia merasa, Monik sengaja memeluknya, dan itu membuatnya risih.

Wini dan Minar mendekat.

“Buka bajumu, biar aku gosok dengan minyak angin ini,” kata Minar.

“Pusing sekali,” keluhnya.

Wini memijit kepalanya, tapi Monik mengibaskannya.

“Sudah … sudah, kamu menyakiti aku,” sergah Monik. Ia juga mengibaskan tangan Minar yang menggosok perut dan dadanya.

“Apa kamu perlu obat pusing?”

“Tidak usah, aku alergi obat. Tinggalkan saja aku, aku mau tidur.”

Wini menarik tangan Minar untuk keluar dari kamar.

Di kamar mereka sendiri, Wini mengomel panjang pendek.

“Sepertinya dia tuh pura-pura pingsan, supaya bisa digendong sama mas Satria.”

“Hih, Wini … jangan begitu. Siapa tahu dia benar-benar sakit.”

“Emang iya. Kamu tahu sendiri kan, masa orang pingsan bisa memeluk begitu erat. Lalu ketika kita membantu memijit dan menggosok tubuhnya dengan minyak, dia malah mengusir kita. Maunya digosokin sama mas Satria? Mimpi ‘kali,” kata Wini sambil mencibir.

“Ah, sudah, kamu mengomel saja. Ayo tidur,” kata Minar sambil memeluk sahabatnya.

***

Pagi hari itu Minar mendekati Satria. Ia ingin pulang hari itu juga. Banyak yang dia pikirkan. Rasa tidak suka dari Rohana, dan pengertiannya tentang ibunya yang berhubungan dengan ayah Satria.

Ada perasaan mengganjal, yang entah kenapa, ingin hal itu diutarakan kepada Satria.

“Mas, bolehkan aku bertanya?”

“Boleh saja, tanyakan saja.”

“Mengapa ayah mas Satria tidak tinggal di Jakarta bersama ibu?”

“Oh, itu. Bapak dan ibuku sudah bercerai.”

“Sudah bercerai?”

“Ketika aku masih bayi.”

“Masih bayi?”

“Ibuku menikah lagi, dan memiliki seorang anak laki-laki bernama Tomy. Tapi saat ini Tomy sedang pergi entah kemana. Dia suka sekali jalan-jalan dan menghamburkan uang.”

“Tapi aku tidak melihat suami ibu, malah melihat ayah mas Satria di rumah itu.”

“Ibu juga sudah bercerai dengan suami barunya.”

“O … Maaf ya Mas, aku banyak bertanya. Hanya merasa heran saja, mengapa bapak tidak tinggal di Jakarta bersama ibu. Ternyata begitu ceritanya.”

“Tidak apa-apa kamu menanyakannya. Sebenarnya aku juga ingin cerita, tapi belum kesampaian. Oh ya, jadi mau pulang hari ini?”

“Iya Mas, maaf ya, aku kepikiran Bapak yang sendirian di rumah.”

“Baiklah, aku akan memesan tiketnya. Berdua ya? Berangkatnya kan juga berdua. Monik pergi atas kemauannya sendiri. Ya kan?”

“Kelihatannya Monik masih ingin main di sini.”

***

Pagi hari itu Birah sudah berkali-kali menelpon Murtono. Hanya untuk mengabari bahwa surat cerai sudah keluar. Tapi Murtono tidak mau menerimanya. Lalu dia mengirimkan pesan singkat, tentang surat cerai itu.

Murtono juga membacanya, tapi tidak dibalasnya. Pagi itu dia sudah bersiap menunggu Rohana menjawab apa yang pernah dikatakannya. Kesalnya Murtono, Rohana juga menunda-nunda.

Sinah menghidangkan cemilan berupa roti bakar untuk makan pagi. Tapi Rohana belum tampak batang hidungnya.

“Di mana Nyonya?”

“Saya tidak tahu, tadi sudah mandi dan tampaknya mau pergi. Apa tidak bilang kepada Tuan?”

“Kalau dia bilang, masa aku bertanya,” kesal Murtono.

“Iya benar, Tuan. Coba saja Tuan menelponnya. Saya tidak tahu nyonya ke mana, barangkali pergi ke pasar.”

“Biasanya ke pasar sendiri?”

“Kadang-kadang kalau belanja ya kepasar sendiri, tapi biasanya saya disuruh ikut, karena membawa belanjaan.”

“Ya sudah, sana.”

“Kalau Tuan menginginkan sesuatu, panggil saja saya. Saya mau menjemur cucian di belakang.”

“Ya. Pergilah.”

Murtono mengambil sepotong roti di piring, kemudian menyantapnya pelan, sambil menunggu kedatangan Rohana.

Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat, tapi terdengar suara Rohana sedang bertelpon.

“Ya, aku tahu. Jangan terlalu pelit terhadap anak sendiri. Ya, aku tunggu. Hari ini, omong kosong apa. Sudah, nanti istri kamu mengamuk lagi. Baik.”

Murtono menatap Rohana yang sedang bicara sampai kemudian Rohana duduk di depannya.

“Mas sudah bangun, rupanya.”

“Sudah dari tadi, sudah mandi juga. Menunggu kamu lama sekali. Kemana saja?”

“Aku sedang menelpon bekas suami aku.”

“O, begitu? Kangen, rupanya.”

“Iya sih, kangen. Uangnya yang membuat aku kangen.”

“Lama sekali menelponnya, harus keluar rumah juga?”

“Aku mengambil uang di ATM, lalu melihat dia belum mengirim lagi. Aku ingatkan dia bahwa kebutuhan Tomy semakin banyak.”

“Bagaimana denganku?”

“Aku masih punya tabungan. Kenapa tergesa-gesa? Sudah kangen sama Birah kan? Baru tiga hari di sini sudah kangen,” cemberut Rohana.

“Apa kamu masih cinta sama aku?”

“Apa? Mana mungkin aku cinta. Aku hanya suka.”

“Apa maksudmu?”

“Aku tidak mau terlibat dalam cinta. Mana yang aku suka, aku jalani.”

“Kenapa kamu tidak suka aku berdekatan dengan Birah? Apa bukan karena cemburu?”

Rohana terkekeh.

“Dulu aku cemburu sama Birah, karena dia lebih cantik dari aku. Tapi kemudian, kehidupannya yang miskin membuat dia tampak kumuh. Aku suka bisa mengalahkan dia, dan aku tetap tak suka melihat dia hidup berkecukupan. Aku heran sama kamu, Birah tidak lagi perempuan cantik yang menarik, tapi kamu menginginkannya menjadi istri.”

“Aku hanya terkesan pada pertemuan dengan Birah pertama kali, setelah duapuluh tahunan tidak ketemu. Aku kasihan melihat dia miskin. Aku beri dia uang, pakaian, dan aku janjikan kehidupan yang lebih baik.”

“Berarti Mas masih mencintai dia.”

“Pada awalnya aku merasakan itu. Cinta pertamaku adalah Birah, kemudian dia memilih laki-laki ganteng tapi miskin. Tapi aku sudah menyuruhnya bercerai, dan tampaknya dia sudah benar-benar resmi bercerai.”

“Mas senang dong, sebentar lagi bisa memperistrikan dia.”

“Entahlah. Saat ini aku sedang memikirkan perusahaan aku. Kalau kamu tidak menolongku, aku benar-benar akan bangkrut. Jatuh miskin.”

“Kasihan ….”

“Rohana, jauh-jauh aku datang kemari, hanya karena ingin mendapatkan pertolongan kamu.”

“Bukannya Mas juga harus menghadiri wisuda Satria?”

“Tadinya tidak terpikirkan olehku. Yang penting di sini ada ibunya. Aku sedang kalut.”

“Baiklah.”

“Kamu mau bukan, menolong aku? Jangan membuat kedatanganku sia-sia.”

“Aku sudah berjanji akan membantu, apa Mas masih ragu-ragu?”

“Baguslah, aku jadi merasa lega.”

“Tapi ada syaratnya.”

“Syaratnya?”

“Mas tidak boleh menikahi Birah.”

***

Besok lagi ya.

57 comments:

  1. Alhamdulillah..
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
    Replies
    1. 𝙃𝙤𝙧𝙚𝙚𝙚𝙚𝙚, 𝙟𝙚𝙣𝙜 𝙎𝙪𝙨𝙞 𝙢𝙚𝙣𝙖𝙣𝙜 𝙡𝙖𝙜𝙞.

      Delete
    2. 👏👏👏
      Sang juaraa..👍

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
    Replies
    1. 𝙆𝙤𝙧𝙚𝙠𝙨𝙞
      🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫

      Syukron bu Tien, KaeSBe episode_30 sudah tayang. Salam sehat dan tetap ADUHAI... 👍👍🌹

      𝘼𝙠𝙪 𝙥𝙖𝙨𝙩𝙞 𝙗𝙖𝙣𝙩𝙪 𝙢𝙖𝙨 𝙈𝙪𝙧𝙩𝙤𝙣𝙤, 𝙨𝙮𝙖𝙧𝙖𝙩𝙣𝙮𝙖:
      𝙈𝙖𝙨 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙢𝙚𝙣𝙞𝙠𝙖𝙝𝙞 𝘽𝙞𝙧𝙖𝙝.

      😡😡😡

      🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫

      Delete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah... maturnuwun bu Tien

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah 👍🌷
    Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Herry

      Delete
  7. Matur nuwun, bu Tien cantiiik... semoga selalu sehat dan penuh semangat💕

    ReplyDelete
  8. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  9. Nah, kan? Minar sudah tahu kalau ayah Satria tuh pacar ibunya...makin seru nih. Ga sabar menanti endingnya...😀

    Terima kasih, ibu Tien. Salam sehat.🙏

    ReplyDelete
  10. Kacau...kacau....semua kacau, "di b@ndung ya buMinar sdh tahu siapa ayah Satria.....Murtono bingung ada syarat spy tdk menikahi Birah ....waduh bener"kacau

    Mks bun KSB 30 nya...selamat malam ...salam sehat n bahagia selalu bersama kelrg jg selamat jalan" di bandung ya bun

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰🌿💖

    Bgm tawaran nya pak Murtono, ..😀
    Seperti sih setuju td jd dg Birah, Krn kelakuan nya parah semua, hihi, 😁 yg penting fulusnya dpt dr Rohana 😁

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien tlh menayangkan KSB 30
    Semoga bu tien sehat2 n senantiasa dlm lindungan n bimbingan Allah SWT .... aamiin yra

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Arif

      Delete
  13. Alhamdulilah sdh tayang KSB 30
    vonis rohana : mau bantu asal martono tidak menikahi birah nah lo ... nah lo

    Tero.a kasih bunda Tien salam hangat dan aduhai bun

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~30 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete
  15. 💫💝💫💝💫💝💫💝
    Alhamdulillah 🙏🦋
    KaeSBe_30 sdh tayang.
    Matur nuwun Bu Tien,
    semoga Bu Tien &
    kelg, sehat & bahagia
    selalu. Aamiin.
    Salam aduhai...😍🤩
    💫💝💫💝💫💝💫💝

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sari

      Delete
  16. Alhamdulillah, smg Bu Tien selalu sehat dan bahagia bersama keluarga. Matursuwun

    ReplyDelete
  17. Kasihan Birah sudah terlanjur cerai. Apakah Murtono setuju dengan syarat Rohana??? Bagaimana respon Satria kalau tahu ternyata Minar anak Birah??? Terima kasih bunda Tien, selamat berlibur dan berkumpul bersama keluarga.

    ReplyDelete
  18. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu....

    ReplyDelete
  19. Kok ada urang benci setengah mati ke saudara sendiri meskipun tiri?
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  20. Terimakasih bunda Tien , semoga sehat , semangat dan bahagia bersama amancu

    ReplyDelete
  21. Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu dan tetap aduhai

    ReplyDelete
  22. Selamat pagi Bunda Tien, salam sehat penuh semangat.

    Rohana...Rohana...sifat dengki mu pada Subirah kok tdk ilang ta. Skrng Murtono kau bujuk agar tdk menikahi nya.

    ReplyDelete

MASIH ADAKAH MAKNA 09

  MASIH ADAKAH MAKNA  09 (Tien Kumalasari)   Binari melotot dengan kaki gemetar. Di depannya, sang ayah memegang kotak yang telah kosong, de...