KUPETIK SETANGKAI BINTANG 25
(Tien Kumalasari)
Birah melangkah keluar dari rumah dengan perasaan kesal. Rumah buruk dengan banyak tikus. Mengingatkannya pada rumah bekas suaminya. Hanya terpaut sedikit, karena rumah ini lebih kokoh dan punya perabotan lengkap.
Ada rasa kesal ketika mengingat kata-kata Murtono yang akan mendekati Rohana. Pastilah ada rasa panas dihati. Dan perubahan sikap Murtono membuat Birah terus menerus menuduh Rohana menjadi penyebabnya.
“Hanya ada satu cara, yaitu melenyapkan Rohana,” desis Birah sambil terus melangkah.
Tapi kapan Birah bisa menemui Rohana? Jangan-jangan Murtono malah pergi ke Jakarta untuk menemuinya.
Diambilnya ponsel dari dalam saku, lalu dihubunginya nomor Murtono. Lama tak diangkat. Birah semakin kesal. Tapi ia tak berhenti mengangkat ponselnya dan menghubungi laki-laki yang sudah dianggapnya menjadi calon suaminya itu.
“Apa kamu tidak bosan memutar nomorku?” jawaban menyakitkan meluncur di telinga Birah ketika Murtono menjawabnya.
“Kamu ada di mana Mas, aku bingung sendirian.”
“Apa kamu anak kecil yang takut ketika tak ada teman?”
“Di rumah banyak tikus, tadi aku hampir terjatuh ketika tikus itu menabrak kakiku.”
“Apa kamu tidak punya kekuatan lagi sehingga seekor tikus bisa membuat kamu jatuh? Jangan mengada-ada. Kamu membuat aku bertambah kesal.”
“Mas ada di mana?”
“Aku di rumah. Kenapa memangnya?”
“Datanglah walau hanya sebentar. Aku kangen, tahu.”
“Apa kamu remaja yang baru jatuh cinta? Kamu kan sudah aku beri tahu bahwa aku sedang ada masalah, harusnya kamu mengerti dan tidak merengek-rengek terus seperti anak kecil.”
“Mas, kenapa sikapmu berubah?”
“Rewel!!”
Lalu Murtono menutup ponselnya begitu saja. Kalau tidak ingat bahwa sedang berada di jalan, Birah pasti sudah meraung-raung. Air matanya bercucuran, sakit rasanya ketika orang yang dicintai melukai perasaannya.
Birah pulang ke rumah dengan membawa dua bungkus racun tikus yang baru saja dibelinya. Ia segera mencampur yang satu bungkus dengan makanan, dan disebarkannya di dapur. Lalu dia pergi mandi dan duduk termenung. Perutnya terasa lapar, lalu ia menyesal karena tadi tidak membeli makanan sekalian.
“Kalau saja aku di rumah besar itu, pasti aku bisa menyuruh para pembantu untuk membelikan makanan. Sekarang ini, kalau butuh apa-apa harus berangkat sendiri. Menyesal aku jadinya. Mengapa aku tidak memilih tinggal di rumah itu saja. Hanya karena Satria, memangnya dia bisa apa?”
Mengalami banyak hal yang membuatnya susah, Birah kembali menelpon Murtono.
Dan sebuah sentakan lagi terdengar.
“Ada apa lagi?”
“Mas, setelah aku pikir-pikir, aku mau tinggal dirumah Mas, aku segera pindah ya?”
“Apa maksudmu?”
“Aku mau tinggal di rumah Mas saja.”
“Sudah terlambat! Aku sudah membayar tiga bulan ke depan, jadi mau tidak mau kamu harus tetap tinggal di situ.”
Dan Murtono kembali menutup ponselnya tiba-tiba.
Birah menyandarkan kepalanya di sandaran, lemas.
***
Di kantor, Kirani memperhatikan Sutar yang tampak sedang melamun.
“Mas, sedang mikirin apa?”
Sutar terkejut. Diangkatnya wajahnya, menatap Kirani yang sedang menatapnya juga.
“Melamun dari tadi sih, pasti ada dong yang dipikirin.”
“Bukan apa-apa. Minar ingin jalan-jalan ke Jakarta.”
“O ya? Sama siapa? Tidak sendiri pastinya kan?”
“Ada satu temannya, perempuan, tapi satunya lagi, laki-laki.”
“Pacarnya?”
“Ah, bukan. Dia anak orang kaya. Mereka baru bertemu lagi setelah lulus SMA.”
“Mas keberatan?”
“Sedang aku pikirkan. Bagaimana menurut bu Kirani?”
“Melepas anak gadis memang tidak mudah. Tapi kalau Mas percaya pada temannya itu, aku kira tidak masalah. Minar pasti juga ingin jalan-jalan.”
“Tampaknya sangat ingin, tapi dia bilang tidak begitu ingin. Menurutku, dia hanya tidak ingin membuat ayahnya terbebani.”
“Minar anak baik. Kalau Mas ingin melepasnya untuk jalan-jalan, tidak apa-apa. Nanti biar aku yang memberinya uang saku.”
“Ah, jangan merepotkan. Aku juga masih punya sedikit uang. Minar sangat hemat, tidak pernah menghabiskan uang belanja.”
“Mengapa repot? Aku sendirian, tidak punya tanggungan, walau sedikit, selalu ada uang berlebih. Nanti aku akan ke rumah untuk bicara dengannya. Sudah lama juga aku tidak mampir ke rumah.”
“Sudah banyak yang ibu lakukan, saya harus berterima kasih.”
“Mas Sutar ada-ada saja. Bukankah mas Sutar juga melakukan sesuatu untuk aku, untuk perusahaan ini. Wajar dong kalau ada imbalannya.”
“Ini sesuatu yang luar biasa. Ibu mengentaskan keluargaku yang terpuruk.”
“Hanya kebetulan saja. Aku membutuhkan seseorang yang bisa meringankan pekerjaan aku, mas Sutar membutuhkan penghasilan. Impas. Tak ada yang luar biasa.”
Walau bagaimanapun Sutar tetap merasa bahwa Kirani adalah penolongnya. Tanpa dia, dirinya hanya seorang tukang batu yang bekerja lebih keras, dan tidak bisa menyenangkan anaknya karena upah yang sangat terbatas.
“Tetap saja aku harus berterima kasih. Ibu terlalu baik kepada keluarga saya.”
Kirani kadang tersenyum sendiri. Di kantor, Sutar selalu bersikap sebagai bawahan terhadap dirinya, yang menghormat dan sangat santun. Bahkan dipanggilnya dia ‘ibu’. Tapi Kirani senang, bukan karena dihormati, tapi karena dia tahu bahwa Sutar memang orang yang sangat mengerti pada kedudukannya. Dengan begitu para karyawan yang lain tidak berprasangka apapun tentang perlakuannya yang berlebih pada Sutar. Misalnya diberi kepercayaan mendampingi dan membantu langsung pekerjaan majikan. Mereka mengira, Sutar memang orang yang mudah dipercaya dan tidak berulah macam-macam yang membuat orang lain iri hati, apalagi Sutar juga menghormati teman-teman sekerjanya, dan tidak merasa lebih unggul.
“Mm… maaf, bagaimana tentang proses perceraian itu?”
“Belum lama ini saya mendapat panggilan lagi, tapi saya tidak datang. Saya berharap ini segera selesai sehingga tidak membebani hidup saya.”
“Semoga semuanya baik-baik saja.”
“Saya lanjutkan dulu pekerjaan saya, ini yang belum saya laporkan pada ibu.”
“Baik, Mas. Saya tunggu sambil memeriksa penawaran yang baru dikirimkan. Kelihatannya ini proyek besar. Kalau kita bisa mengikuti tender, dan memenangkannya, kita akan mendapat pekerjaan besar.
“Semoga berhasil, Bu.”
“Aamiin. Oh ya, apa siang ini Minar ada dirumah?”
“Ibu boleh menelponnya, ini nomor kontaknya.”
“Ya ampuun, aku lupa kalau Minar sudah punya ponsel sehingga kami bisa kontek-kontekan. Baiklah, akan saya telpon dia. Tapi akan saya selesaikan ini dulu,” katanya sambil tersenyum.
***
Wini sangat senang, ketika Minar menelpon dan mengatakan bahwa ayahnya mengijinkan.
“Ini berita baik Minar, kita bisa bersenang-senang.”
“Aku juga senang. Selamanya belum pernah jalan-jalan jauh. Tapi mungkin aku tidak bisa membawa bekal banyak. Kasihan bapak kalau terbebani karena keinginanku.”
“Jangan khawatir, aku punya sedikit tabungan. Kita bisa menggunakannya bersama-sama.”
“Apa kamu sudah menghubungi mas Satria?”
“Belum, kan kamu baru saja mengabari aku. Setelah ini aku akan segera menelpon mas Satria.”
“Baiklah, aku ingin segera mengabari kamu setelah bapak menelpon untuk mengijinkan.”
“Ya sudah, aku telpon mas Satria dulu ya.”
Begitu ponsel ditutup, Minar segera mendapat telpon dari Kirani.
“Selamat atas ponsel barumu ya Minar,” kata Kirani membuka percakapan.
“Terima kasih Bu, saya juga tidak mengira.”
“Siang ini kamu ada di rumah?”
“Ada Bu, saya mau memasak buat Bapak.”
“Anak rajin. Sebentar lagi aku ke rumah ya. Tapi bapakmu belum pulang sekarang, aku butuh ketemu kamu.”
“Oh, iya Bu, baiklah.”
“Kamu sedang memasak apa?”
“Biasa Bu. Tapi hari ini saja sedang membuat sambal goreng labu sama kacang tolo.”
“Hm, pasti enak. Aku ingin mencicipi, boleh?”
“Ibu, hanya masakan murahan, lauknya juga cuma ikan asin. Bapak sangat suka ikan asin.”
“Itu cocok, aku mau ke situ ya, sudah matang belum?”
“Ini kurang sedikit lagi, tinggal menunggu mendidih.”
“Baiklah. Sebentar lagi aku sampai.”
Minar tersenyum. Ia kagum pada Kirani. Orang yang kaya raya, tapi tidak menjauhi makanan murah. Ia juga sangat menghargai setiap kali dirinya memasak apapun. Tadinya Minar sungkan, masa iya orang kaya doyan makanan orang tak punya, tapi karena sudah sering, kemudian menjadi terbiasa.
Minar segera menyiapkan meja untuk makan, sambil menunggu sayurnya matang. Ikan asin goreng sudah matang, ditata di meja, dan menebarkan bau yang menggugah selera.
Begitu sambal goreng sudah matang, Minar segera menatanya di atas meja.
Minar segera berlari ke arah depan ketika mendengar mobil berhenti di depan rumah.
Kirani turun sambil tersenyum lebar.
“Sudah matangkah?”
“Sudah Bu, silakan masuk.”
“Aku memang lapar, tadi siang tidak pulang makan. Hm, baunya sedap.”
Tanpa diminta, Kirani sudah langsung ke ruang makan, dan dengan tersenyum lebar Minar membuka tudung sajinya.
“Waauuw … luar biasa Minar, kamu sudah pinter memasak lebih banyak macam makanan.”
“Belajar dari buku masakan yang dibelikan bapak. Ayo silakan Bu.”
Minar menemani Kirani makan, yang kelihatannya sangat lahap. Kirani senang bisa membuat Minar merasa puas karena masakannya tidak hanya dipuji, tapi juga dinikmati.
“Awas saja, nanti kalau ayah kamu datang, nasinya sudah aku habiskan,” canda Kirani.
“Tidak apa-apa. Apa susahnya memasak lagi?”
Setelah selesai makan, Kirani segera berdiri, lalu mereka duduk di teras.
“Minar, aku tidak bisa lama, karena masih harus kembali ke kantor.”
“Iya Bu, sepertinya memang belum saatnya pulang.”
“Kabarnya kamu mau ke Jakarta?”
Minar tersenyum.
“Bapak baru saja mengabari kalau saya diijinkan.”
“Semoga kamu senang, jalan-jalan di sana. Bagus bisa melihat tempat lain, tidak hanya berkutat di rumah.”
“Iya Bu, saya juga belum pernah pergi ke mana-mana.”
Ketika pamit pulang, Kirani menyelipkan sebuah amplop di tangan Minar, membuat Minar heran.
“Ini apa, Bu?”
“Aku ada sedikit uang, nanti buat nambah bekal kamu ketika jalan-jalan.”
“Ah, ibu, mengapa repot-repot.”
“Terima saja. Itu buat kamu, kalau barangkali kamu ingin beli sesuatu.”
“Terima kasih banyak, ibu,” kata Minar tersipu.
Ia mengantarkan Kirani sampai ke mobilnya, dengan berkali-kali mengucapkan terima kasih.
Minar terkejut melihat isi amplopnya.
“Ini satu juta? Mengapa bu Kirani begitu royal memberikan uang saku untuk aku? Ini sangat banyak. Memalukan, bapak sih, pakai memberi tahu bu Kirani kalau aku mau jalan-jalan ke Jakarta.”
Walau begitu Minar menyimpan uangnya di dalam dompet, dengan wajah berseri-seri.
***
Satria senang sekali, dia akan kembali ke Jakarta bersama dua orang sahabatnya. Ia sudah berkemas, ketika esok hari harus berangkat.
Murtono kembali meminta maaf ketika tak bisa memberikan uang tambahan untuk anaknya. Tapi Satria dengan tersenyum menanggapinya.
“Satria kan sudah bilang, bahwa masih punya uang yang cukup. Jadi Bapak tidak usah khawatir. Lagi pula Satria harap Bapak tak akan lagi memberikan uang untuk Satria. Satria sudah akan bekerja.”
“Kamu, sudah mau bekerja?”
“Iya. Seorang teman memberi tahu kalau ada lowongan di perusahaannya. Minggu depan Satria akan langsung wawancara. Doakan berhasil ya pak.”
“Aku doakan kamu selalu.”
“Mengenai permasalahan Bapak, Satria ingin mengulang usulan Satria, yaitu lebih baik Bapak menjual mobil-mobil Bapak. Barangkali bisa lebih meringankan.”
“Dua mobil tak cukup untuk membayar hutang.”
“Bagaimanapun ada beberapa uang tersedia, tinggal mencari sisanya.”
“Entah kenapa, tak ada yang percaya pada bapak. Bapak kesulitan mencari pinjaman.”
“Lain kali Bapak harus berhati-hati.”
“Aku punya rencana untuk meminta pertolongan pada ibumu.”
“Ibu? Uang ibu itu adalah uang dari suaminya.”
“Apapun itu, barangkali dia mau membantu. Tapi beberapa minggu yang lalu aku pernah menelponnya, dia malah memblokir nomorku.”
“Berarti Bapak tidak usah berharap. Dalam hubungannya dengan ibu, Satria tak akan ikut campur.”
“Aku masih menunggu jawaban seorang teman. Kalau dia tidak bisa menolong, aku akan ke Jakarta untuk menemui ibumu.”
Satria hanya mengangguk, walau sebenarnya dia tak setuju.
***
Hari itu Satria sedang bersiap untuk keluar. Ia akan belanja sedikit untuk keperluannya selama di Jakarta. Tapi tiba-tiba ia melihat seseorang mendatanginya. Satria terkejut.
“Monik? Tumben kamu datang kemari.”
“Aku mau mengembalikan buku kamu yang terbawa oleh aku.”
“Oh, buku catatan tamu-tamu yang hadir? Sebenarnya bisa kamu berikan ke Wini saja.”
“Tadi aku ke sana, dianya pergi. Kabarnya mau ikut ke Jakarta bersama kamu.”
“Iya, Wini dan Minar. Mereka ingin jalan-jalan ke Jakarta. Besok kami berangkat bersama-sama.”
“Mengapa hanya mereka yang kamu ajak? Aku juga ikut dong. Kata Monik yang tampaknya ingin mendekati Satria.
***
Besok lagi ya.
⭐💫💐🌟💫💐⭐💫💐
ReplyDeleteAlhamdulillah..Cerbung KaeSBe epsd _ 25_. sudah tayang.
Matur sembah nuwun
Salam sehat mbak Tien 🥰
Salam *ADUHAI*
🙏💞🩷
⭐💫💐🌟💫💐⭐💫💐
Sami2 jeng Ning
DeleteSejat dan Aduhai yaa
Alhamdulillah
ReplyDelete
DeleteMatur nueun jeng In
Matur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah terima kasih bu Tien, salam sehat selalu🙏
ReplyDeleteSami2 ibu Ika
DeleteSalam sehat selalu
🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫
ReplyDeleteSyukron bu Tien, KaeSBe episode_25 sudah hadir. Salam sehat dan tetap ADUHAI... 👍👍🌹
“Iya, Wini dan Minar. Mereka ingin jalan-jalan ke Jakarta. Besok kami berangkat bersama-sama.”
“Mengapa hanya mereka yang kamu ajak? Aku juga ikut dong. Kata Monik yang tampaknya ingin mendekati Satria.
🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫
Matur nuwun mas Kakek
DeleteAlhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~25 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲..
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteSuwun mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteSuwun
ReplyDeleteSami2 pak Wirasaba
DeleteAlhamdulillah.Salam sehat tetap semangat nggih Bunda.Nuwun
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien. Selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Ada Monik yang ingin ikut ke Jakarta. Bisa kacau rencana Satria, karena Monik naksir dia.
ReplyDeletePinjam uang kepada Rohana? Apa cukup banyak mantan suami Rohana kasih uang...
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Matur nuwun ibu🙏
ReplyDeleteSami2 Butut
DeleteKSB tetap hadir, walaupun rada telat.
ReplyDeleteNggih pak
DeleteMatur nuwun, bu Tien, Sugeng malming
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteSugeng malming ugi
Matur nuwun bunda Tien...🙏🙏
ReplyDeleteSami2 ibu Padmasari
DeleteAlhamdulilah KSB 25 sdh tayang terima kasih bu Tien...
ReplyDeleteWah kacau ini ..kebo kebo sedang galau dan terpuruk ... hati hati minar ada yg mau sabotase ...
Semoga bu Tien sll sehat dan bahagia ...salam hangat dan aduhai 5 x ya bun
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 5x
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰🌿💖
ReplyDeleteIni ada Monik makin rame cerita nya, bikin Satria bingung, hore 😀 diajak apa tdk ya,,,,,😀🙄
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Kupetik Setangkai Bintang 25* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Maturnuwun Bu Tien ....
ReplyDeleteSami2 ibu Endang
DeleteBakalan rame.. Minar punya saingan Monik.. Penasaran siapakah jodoh nya Satria.. pastinya Minar, ngarep nih. Terimakasih bunda Tien salam sehat selalu dan aduhai luarbiasa...
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah KaeSBe 25 sdh tayang.
ReplyDeleteMatyrsuwun Bu Tien, salam sehat dan bahagia selalu bersama keluarga 💖🌹
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Alhamdulillah Kupetik Setangkai Bintang - 25 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Allahumma Aamiin
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Ting
Matur nuwun ibu Yati
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu aduhai
Sami2 ibu Sul
DeleteSalam aduhai deh
Hamdallah...cerbung Ku Petik Setangkai Bintang 25 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Keluarga di Sala. Aamiin
Kirani semakin dekat dengan Sutar maupun Minar.
Proses persidangan cerai nya Sutar dengan Birah, berjalan lancar.
Seperti nya Kirani dengan setia menemani Sutar..😁😁💐
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Hamdallah bisa msk...dari kmrn mau msk kok angel timen ya...😁
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, selamat berakhir pekan...semoga Ibu sekeluarga sehat selalu....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Baru sempat buka...😁🙏
ReplyDelete✨💐✨💐✨💐✨💐
Alhamdulillah 🙏🦋
KaeSBe_25 sdh hadir.
Matur nuwun Bu Tienkuuh...
Doaku semoga Bu Tien
selalu sehat & bahagia
bersama kelg tercinta.
Salam seroja...😍🤩
✨💐✨💐✨💐✨💐
Terimakasih bunda Tien sehat dan bahagua bersama amancu
ReplyDeleteDari cerita ayah dan ibunya, sekarang merembes ke cerita anak²nya...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Asyiikk...ada tokoh baru dimunculkan...kayaknya antagonis, seru nih...ga sabar nunggu konfrontasinya.😀
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam sehat.🙏