KUPETIK SETANGKAI BINTANG 16
(Tien Kumalasari)
Dua pasang mata saling menatap, seperti dua ekor singa betina yang siap saling melahap. Birah merasa benci karena dulu Rohana menjerumuskan dirinya sehingga dinikahi pria miskin, lalu Rohana sendiri menikah dengan pria yang tadinya ingin dipilihnya. Sedangkan Rohana merasa benci karena calon istri Murtono yang dipilihnya ternyata adalah Birah, saudara tiri yang selalu menjadi saingannya.
“Mau apa kamu datang kemari?” hardik Rohana dengan mata berapi-api.
“Kamu sendiri? Mau apa datang kemari?” Birah balas menghardiknya.
“Apa kamu lupa, bahwa aku punya anak yang tinggal di sini dan bernama Satria? Aku berhak dong datang kemari kapan saja aku suka.”
“Dasar tak tahu malu.”
“Kamu yang tak tahu malu, masih punya suami menggoda laki-laki lain.”
“Kamu sendiri apa? Pergi meninggalkan suami karena kepincut laki-laki lain? Jangan sok suci, jangan merasa benar, Menyingkir, aku mau mengambil barangku.”
“Tidak bisa, kamu datang ke rumah orang semau kamu sendiri? Sedangkan yang punya rumah sedang tidak ada di tempat?”
Birah marah karena ketika mau masuk ke rumah dihadang oleh Rohana.
“Simbooook!!” Birah akhirnya berteriak.
“Mau apa kamu memanggil simbok? Memangnya kamu sudah menjadi majikannya?”
“Mbooook.” Birah tak peduli, terus menerus meneriaki simbok. Akhirnya simbok datang. Berdebar dia, melihat dua wanita sedang berhadapan dengan wajah-wajah murka.
“Ada apa … Nyonya?” jawab simbok sambil menatap kedua nyonya dengan heran.
Rohana ingin menjawab, tapi Birah mendahului memerintah.
“Tolong ambilkan bajuku yang masih ada di dalam bungkusan plastik mbok.”
“Di mana, Nyonya?”
“Di dalam kamar lah, masa di dapur.”
“Eh … jangan Mbok, memangnya dia itu siapa? Main perintah saja,” Rohana menyela.
“Tapi ... Nyonya ….”
“Tidak ada tapi, pokoknya jangan diambilkan, awas kalau kamu berani mengambilkan, Mbok,” ancam Rohana. Dan kali ini simbok bingung. Siapa yang akan diturut.
“Dasar perempuan jahat. Kalau begitu biar aku mengambilnya sendiri.”
“Tidak bisa. Tunggu yang punya rumah dulu.”
Birah melotot. Ditamparnya mulut Rohana dengan keras.
Plaakk!!
“Auugh! Kurangajar kamu Birah! Berani menyakiti aku? Kamu kira aku tidak bisa membalasmu?”
Plaaakk! Rohana membalas, kali ini Birah terpelanting, karena ternyata dia kalah kuat. Badannya yang ramping, kalah dengan Rohana yang tubuhnya padat berisi dan pastinya kalah kuat.
Pokoknya keduanya tak mau mengalah. Saling cakar, bahkan jambak menjambak telah terjadi.
Simbok yang semula bengong, mulai berteriak-teriak. Memisah tidak berani, sehingga satu-satunya jalan adalah berteriak. Teman-teman pembantu di rumah itu keluar. Tukang kebun yang tubuhnya kekar maju, dan menarik Rohana yang sedang memegangi rambut Birah. Dengan demikian Birah menjadi kesakitan karena rambutnya menjadi ditarik lebih keras. Luka-luka bekas cakaran menghiasi wajah-wajah mereka.
“Hentikan!!” suara lantang yang berdiri di teras tiba-tiba terdengar. Menggelegar seperti guntur menjelang hujan.
Rohana melepaskan cekalannya, dan Birah kembali terbanting jatuh.
“Ini ada apa, seperti anak kecil saja. Bahkan orang sudah menjelang tua, kelakuannya seperti anak kecil,” omel Satria.
“Dia yang memulai!” pekik Rohana.
“Dia!!”
“Sudah … sudah …Ibu, ayo masuk ke dalam. Memalukan sekali.”
Rohana dengan patuh mengikuti permintaan anaknya. Ada rasa malu ketika para pembantu mendapat tontonan gratis di sore itu.
Birah yang berusaha bangkit, merasa kesal. Bukan hanya kesakitan karena dua kali terbanting, tapi juga kesal karena tak seorangpun membelanya. Bahkan simbok yang tadi diminta pertolongannya untuk mengambil baju, juga tak mau menuruti kemauannya.
Birah masih duduk di tanah, lalu mengambil ponsel yang ada di dalam tasnya. Ia menelpon Murtono, tapi tak ada jawaban.
“Hiih, jawab Mas, aku dianiaya di rumahmu Mas…” tangisnya.
Ia kembali menelpon, tetap tak diangkat. Rupanya Murtono benar-benar sibuk, seperti dikatakannya sebelum pergi.
Perlahan Birah bangkit. Dengan tangannya dia merapikan rambutnya, kemudian keluar dari halaman, lalu memanggil taksi.
***
Rohana mengambil sisir, kemudian merapikan rambutnya. Wajahnya yang tampak bekas cakaran tampak merah, ia masih menahan amarah.
“Apa yang ibu lakukan?”
“Apa yang ibu lakukan? Aku tiba-tiba ditampar mulutku. Lihat, masih berdarah, lihat wajahku, dia mencakar-cakar seperti serigala kelaparan.” kata Rohana sambil menunjuk ke arah bibir dan wajahnya.
“Pasti ada sebabnya.”
“Pasti ada. Dia cemburu aku datang kemari. Bahkan dia menegur aku, kenapa datang kemari. Bukankah ini rumahmu juga, Satria?”
Satria menghela napas panjang. Kesal melihat pertikaian yang memalukan itu, walau ada di halaman rumah sendiri. Kedua perempuan yang tak disukainya, tak ada yang ingin dibelanya. Ia kembali masuk ke kamar dengan wajah tak kalah muram.
Simbok membawakan teh hangat, diletakkan di depan Rohana.
“Nyonya, teh hangat, supaya merasa segar.”
“Perempuan sialan itu benar-benar tak tahu tata krama,” seru Rohana yang hatinya masih merasa panas.
“Masa tiba-tiba dia menampar mulutku sampai berdarah begini.”
“Sabar Nyonya. Persoalan ini kalau nanti didengar tuan besar, pasti menjadikannya marah.”
“Biar saja dia marah, supaya dia tau bahwa perempuan yang akan dijadikan istrinya itu bukan perempuan yang baik. Kasar, kampungan, menjijikkan.”
“Ini diminum dulu Nyonya, supaya hati Nyonya menjadi tenang.”
Simbok beranjak ke belakang, ada rasa kesal karena tiba-tiba rumah itu menjadi ajang pertarungan antara dua orang nyonya besar yang sama-sama keras dan kasar. Karenanya lebih baik dia menghindar dan tidak mendengar terus omelan-omelan yang tak henti-hentinya mengalir.
“Mbok, bawa koporku ke dalam kamar, aku mau mandi, jijik bekas menyentuh tubuh manusia kampungan itu, dan kalau ada obat luka, tolong ambilkan," kata Rohana sebelum simbok pergi. Simbok terpaksa membalikkan tubuh, mengambil kopor yang masih teronggok di depan pintu, dimasukkannya ke kamar tamu, seperti perintah Rohana.
Rohana segera mengikuti simbok, masuk ke dalam kamar, setelah menghabiskan secangkir teh yang dihidangkan simbok.
***
Birah sudah masuk ke hotel, rambutnya awut-awutan, matanya sembab karena ia menangis sepanjang jalan, tanpa merasa malu walau banyak orang memperhatikannya. Rasanya tidak puas ia menjambak rambut saudara tirinya. Rasanya tidak puas hanya menampar mulutnya. Luka yang terasa bukan hanya luka di kulit tubuhnya saja, tapi juga di hatinya. Mengapa tiba-tiba Rohana datang. Mengapa tiba-tiba Rohana sering menelpon Murtono, yang nyasar ke dalam ponselnya. Ia tidak sadar bahwa nomor simcard Murtono yang dipakainya itulah penyebabnya. Menurut Birah, Rohana dan Murtono ternyata sering berhubungan. Itukah sebabnya maka tiba-tiba Murtono sering pergi dengan alasan ada urusan di kantornya? Apakah Rohana sudah berhari-hari tinggal di rumah itu?
Seribu satu pertanyaan menghantui hatinya. Rasa cemburu tak terbendung lagi. Karenanya kemudian dia menelpon Murtono berkali-kali, tapi berkali-kali juga Murtono tidak menjawabnya. Birah semakin curiga.
Selesai mandi dan merapikan diri, Birah duduk di atas pembaringan, dengan perasaan yang kacau.
Hampir tengah malam ketika kemudian Murtono datang, langsung membangunkannya ketika Birah hampir terlelap.
“Kok sudah tidur? Ini masih sore,” canda Murtono.
Birah membuka matanya, lalu ketika tiba-tiba melihat Murtono berdiri di samping pembaringan, Birah segera merangkulnya sambil menangis terisak-isak.
“Ada apa? Tolong, aku sangat lelah,” keluh Murtono sambil melepaskan pelukan Birah. Walaupun pelan, tapi cukup membuat Birah sakit hati. Biasanya tak pernah Murtono menolaknya.
“Lelah? Karena melayani dia kan? Aku sudah tahu, kamu mengingkari janjimu. Kamu pura-pura masih mencintai aku, tapi kamu ternyata masih berhubungan dengan dia, bukan? Kamu bohong, kamu bohong, kamu bohong.”
Bak anak kecil yang merajuk karena tidak mendapatkan mainan yang diinginkannya, Birah membanting-banting kakinya sambil berlinangan air mata.
“Aku tidak mengerti apa maksudmu, aku datang kelelahan dan kamu merengek-rengek seperti anak kecil, menuduh aku yang tidak-tidak. Ada apa ini?”
“Jangan pura-pura tidak tahu. Aku mengerti sekarang, Rohana ingin kembali bersama Mas, Rohana marah dan menghujat aku. Lihatlah luka cakaran di pipiku ini, lihatlah lebam di wajahku ini.”
Murtono urung merebahkan tubuhnya di ranjang karena kelelahan, mendengar Birah terluka. Matanya terbelalak.
“Kamu bertemu Rohana?”
“Ya, bukankah Mas menyembunyikan dia di rumah Mas? Dia ada disana dan bersikap seperti seorang ratu.”
“Aku? Menyembunyikan dia? Kalau memang iya, mengapa aku tidak menolak seandainya kamu tinggal di rumahku? Kalau saja kamu tidak meminta tinggal ditempat lain, bukankah aku mengijinkan kamu tinggal di rumahku? Apakah aku akan mengijinkannya kalau memang Rohana ada di sana. Haa? Aku Baru saja mendengar bahwa ada Rohana di rumah. Benarkah? Mau apa dia?”
“Huhh, pura-pura tidak tahu.”
Tiba-tiba Murtono membalikkan tubuhnya.
“Mas, mau ke mana?”
“Aku mau pulang dulu,” katanya sambil membuka pintu.
“Maaas, jangan pergiii!”
Tapi Murtono sudah menutup pintunya keras, meninggalkan Birah meraung-raung sambil bergulung di lantai.
***
Murtono memasuki rumahnya ketika keadaan rumah sudah senyap. Ia memasuki kamarnya, melihat satu keresek besar yang teronggok di dekat almari. Pasti itulah tadi yang mau diambil Birah.
“Jadi Birah belum mengambil bajunya? Bagaimana dia bisa bertemu Rohana dan kemudian bercakar-cakaran?
Murtono keluar dari kamar, melongok ke kamar yang ada di dekatnya. Lalu kekamar tamu.
Kamar tamu itu terkunci dari dalam.
“Apakah Rohana ada di dalam?”
Murtono mengetuknya pelan, tanpa disangka pintu itu terbuka tak lama setelah dia mengetuknya.
“Kamu?” Murtono menatapnya heran.
“Mas … aku datang kemari sejak sore,” Rohana menampakkan wajah gelap seperti mendung.
Murtono melihat wajah Rohana, yang tak jauh berbeda dengan Birah. Bekas cakaran di wajah, dan lebam di sana-sini.
Tiba-tiba Rohana menarik tangan Murtono, diajaknya masuk.
Masih dengan wajah keheranan, Murtono duduk berhadapan dengan Rohana.
“Apa yang terjadi?”
“Apa yang terjadi? Aku kangen dan ingin bertemu Satria,” bohong Rohana.
“Baru beberapa hari dia di sini, sudah kangen?”
“Soalnya dia juga sudah lama tidak menjenguk ibunya ini.”
“Bukankah kamu berpesan mencarikan pembantu?”
“Hanya lewat telpon. Itu sebabnya aku menyusul kemari.”
“Lalu ….”
“Lalu aku melihat dia datang. Dia marah melihatku ada disini.”
“Maksudmu … Birah?”
“Aku tidak tahu Mas mau mengambilnya sebagai istri.”
“Lalu kamu tahu dari mana?”
“Para pembantu mengatakannya, bahwa Mas sudah memperkenalkan dia sebagai calon istri. Apa Mas tahu bahwa Birah masih punya suami?”
“Sedang dalam proses cerai.”
“Dia bukan istri yang baik. Selingkuh, sementara dia masih punya suami, dia nekat berhubungan dengan Mas.”
“Bagaimana dengan dirimu?”
Rohana tak bisa menjawabnya. Dia juga selingkuh. Bahkan meninggalkan anak dan suaminya untuk pergi bersama laki-laki lain.
“Bukankah kamu juga melakukannya? Bahkan tak peduli pada anakmu yang masih bayi?”
“Iya, aku minta maaf. Aku khilaf,” katanya enteng.
“Lalu apa maksudmu datang kemari dan berkelahi dengan Birah?”
“Dia yang memulainya. Tiba-tiba dia menamparku, mencakar wajahku.”
“Kamu juga melakukannya.”
“Masa aku tidak membalasnya? Aku disakiti, masa aku harus diam saja? Mas mencari calon istri yang salah. Aku tidak terima.”
“Apa maksudmu tidak terima?”
“Bagaimanapun Mas pernah menjadi suami aku. Rasa cinta itu masih ada, karena dari cinta itu kemudian lahirlah Satria.”
“Yang kemudian kamu meninggalkannya?”
“Jangan mengulanginya lagi, aku menyesal. Sekarang aku ingin menebusnya.”
“Bagaimana cara kamu menebusnya?”
“Aku akan melakukan yang terbaik untuk Satria. Mengembalikan cinta yang telah pupus, memeliharanya sampai tua.”
Murtono menatap wajah Rohana yang tampak sendu. Dibalik itu, ia masih melihat sisa kencantikan yang pernah ada. Memang benar, kalau dibanding dengan Birah, Rohana jauh lebih cantik. Apalagi dia sudah pintar mematut diri. Memoles wajahnya dengan apik, juga berpakaian dengan lebih pantas. Bukan seperti Birah yang baru belajar menjadi wanita kaya. Dia juga masih belajar berdandan, karena sesungguhnya Murtono lebih menyukai penampilan yang sempurna dibalik wajah yang sudah cantik.
Sekarang, Rohana sedang menyuguhkan penampilan yang apik itu. Murtono bukan laki-laki yang acuh terhadap perempuan cantik. Sebelum bertemu kembali dengan Birah, dia sudah sering bermain-main dan bersenang senang dengan mereka. Sekarang dia sudah menghentikannya, karena ingin memiliki istri yang dicintainya seperti dulu. Tapi melihat penampilan Rohana, hati Murtono sedikit goyah. Sedikit saja, tapi bukankah yang sedikit kemudian menjadi bukit?
“Mas, aku ingin kembali kepada Mas,” ucapannya seperti merintih, menggelitik hatinya yang sesungguhnya lemah.
***
Besok lagi ya.
ππ«ππ«ππ«ππ«ππ«
ReplyDeleteSyukron Bu Tien, KaeSBe episode_16 sudah tayang. Salam sehat dan tetap ADUHAI... πππΉ
BROTO YUDHA....
“Mau apa kamu datang kemari?” hardik Rohana dengan mata berapi-api.
“Kamu sendiri? Mau apa datang kemari?” Birah balas menghardiknya.
ππ«ππ«ππ«ππ«ππ«
Matur nuwun mas Kakek
DeleteAlhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien πΉπΉπΉπΉπΉ
Sami2 ibu Susi
DeleteTrmksh mb Tieb
ReplyDeleteSami2 Yangtie
Delete⭐π«πππ«π⭐π«π
ReplyDeleteAlhamdulillah..Cerbung KaeSBe epsd _ 16. sudah tayang.
Matur sembah nuwun
Semoga Mbak Tien selalu sehat π₯°
Salam *ADUHAI*
πππ©·
⭐π«πππ«π⭐π«π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Ning
ADUHAI deh
Matur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMatur suwun bu Tien.
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun cbnya bunda
Sami2 ibu Nanik
DeleteTerima kasih banyak, bu Tien cantiiik... sehat selalu, ya...
ReplyDeleteAsiiikkk..
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien..ππ
Sehat selalu kagem bunda..
π₯°π₯°
Sami2 ibu Padmasari
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
Matur nuwun
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Who sdh tayang
ReplyDeleteMatur nuwun bunda
Langsung mojok ah
Moga Bu Tien sekeluarga sehat sll
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Wiwik
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Endah
DeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien ... KSB 16 .... sudah tayang
Semoga membawa kebahagian bagi kita semuanya, khususnya bagi bu tien seklg semoga sehat2 selalu, senantiasa dlm lindungan n bimbingan Allah SWT .... Aamiin yra
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Alhamdulillah.Birah vs Rohana ,Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Matur nuwun Mbak Tien sayang. Salam sehat selalu.
ReplyDeleteSami2 jeng Ira sayang
DeleteSalam srhat juga
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia selalu....
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulilah , terima kasih ibu KSB 16 sudah tayang... oalaaah rohana mau balikan dengan martono... birah gigit jari deh ...
ReplyDeletesemoga bu Tien selalu sehat dan bahagia selalu dalam lindungan Allah SWT, salam hangat dan aduhai bun ❤️❤️πΉπΉ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Rohana mau balik ke Murtono ya. PiyΓ© kuwi..
ReplyDeleteNuwun pak widay2
DeleteAlhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~16 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..π€²..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Kupetik Setangkai Bintang 16* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Djuniarto
DeleteDasar Murtono thukmis. Mantan yang pernah mengkhianati masih dipercaya omongannya.
ReplyDeleteNah... silakan Birah meraung keras setelah meninggalkan keluarga tapi terhalang musuh bebuyutannya.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Latief
Matur nuwun Bu Tien.....
ReplyDeleteSemoga Bu Tien sekeluarga sehat selalu....
Aamiin......
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Apip
Seruuuu..Birah vs Rohana.π Mtr nwn Bu Tien, sehat sll.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Sari
Alhamdulillah.... terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAlhamdulillah Kupetik Setangkai Bintang - 16 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia bersama keluarga.
Aamiin Allahumma Aamiin
Eladalah ko jadi perang barata yuda....itu jg si murtono lemah sekli hatinya.......
ReplyDeleteMks bun KSB 16 sdh tayang ....selamat malam,smg sehat" selalu
Alhamdulillah KSB - 16 sdh hadir
ReplyDeleteMatursuwun Bu Tien, semoga sehat dan bahagia selalu bersama keluarga.
Aamiin ya robbal 'alamiin
Alhamdulillah, sehat selalu mbakyu...
ReplyDeleteWkwk...jadi deh, meletus perang saudara tiri, gara2 dendam lama & baru, cemburu, iri hati...weleh2...π
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...sehat selalu.π
ADUHAI
ReplyDeleteMatur nuwun, Mbak Tien.
Salam sehat, nggih......
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteHamdallah...cerbung Ku Petik Setangkai Bintang 16 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Keluarga di Sala. Aamiin
Perang Baratayudha antara Subirah vs Rohana sdh berlangsung, tapi ini bukan perang kebenaran melawan kebatilan, perang hanya memperebutkan Murtono..π
Nah lho, Murtono kena rayuan nya Rohana yng merak ati, pinter macak lan pinter melayani.
Bimbanglah hati Murtono...ππ
Maturnuwun Bu Tien
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu.
Rohana,,,merayu nih ya , bgm Murtono ,balik aja . Birah. .. tinggal saja
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat selalu n bahagiaπ€π₯°πΏπ
Terimakasih Bu Tien cerbungnya
ReplyDeleteSalam sehat bahagia ππ❤πΉ