KUPETIK SETANGKAI BINTANG 13
(Tien Kumalasari)
Birah sangat kesal, ia berhenti sejenak untuk menjawab telpon dari perempuan yang tiba-tiba saja bicara tanpa bertanya siapa yang menerimanya, membiarkan Murtono berjalan mendahului.
“Hei, apa kamu tidak tahu sopan santun?”
“Haa? Kamu siapa? Aku menelpon mas Murtono, mengapa kamu yang menerima?”
Mengapa menelpon mas Murtono dan sampai kepadaku? Birah heran.
“Kamu ini siapa? O, aku tahu, kamu salah satu wanita penghibur yang sedang melayani dia? Pantesan kamu lancang mengangkat ponselnya. Yang tidak tahu sopan santun itu kamu!”
“Apa katamu? Ini nomor kontakku.”
“O, begitu? Jadi nomor kontak kamu itu yang ini? Kamu benar kan, perempuan simpanan mas Murtono? Apa ponselnya diberikan ke kamu?”
“Eh, ini orang kenapa ngajakin rame sih?”
“Ada apa?”
Murtono yang tadinya sudah mendahului berjalan kemudian berbalik.
“Ini, ada perempuan reseh! Apa dia pacar kamu Mas?” kata Birah sambil menyerahkan ponselnya kepada Murtono.
Murtono mengangkatnya. Tak ada perempuan tempat dia menghibur diri yang pernah diberi nomor ponselnya. Bagaimana ada yang tiba-tiba menelpon?
“Hallo,” sapanya.
“O, ini apa. Kamu mas Murtono kan?”
Murtono tentu saja mengenali suara itu. Ia adalah Rohana, bekas istrinya.
“Kamu? Rohana? Ada apa menelpon?”
“Nah, ini nomor kontakmu kan Mas? Bagaimana bisa, ponsel dipegang orang lain? Kalau dia wanita penghibur, tidak seharusnya dia mengangkat panggilan ponselmu?”
“Kamu sembarangan saja bicara. Dia bukan wanita pengibur,” kata Murtono kesal.
“Baiklah, lalu siapa dia?”
“Bukan urusanmu dia itu siapa. Sekarang katakan, mengapa menelpon?”
“Aku hanya mau bertanya, Satria di mana, nomornya tidak aktif dari tadi. Tiba-tiba ada yang menyalak di situ.”
“Hati-hati kamu bicara. Dia perempuan baik-baik.”
“Baiklah. Tentu semua perempuan akan kamu anggap baik karena bisa melayani dan mereka melakukannya dengan membuat kamu senang. Tentu saja, karena kamu banyak uang. Sekarang di mana Satria?”
“Aku tidak tahu, dia menemui teman-temannya. Setiap hari dia pergi. Ada apa?”
“Aku memesan pembantu, kapan dia pulang?”
“Di sini juga rumahnya, ada apa denganmu? Lagian dia tidak ada di rumah kamu bukan? Dia juga tidak suka tinggal bersama ayah tirinya yang juga menduakan dirimu.”
“Eh, hanya bertanya di mana Satria, kenapa kamu bicara yang bukan-bukan?”
“Telpon dia nanti, jangan mengganggu aku.”
Murtono segera menutup ponselnya, mengejar Birah yang sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil karena Murtono memang sudah membukanya sejak tadi.
***
Di dalam mobil wajah Birah gelap bak langit tertutup mendung. Ia sudah mendengar bahwa yang menelpon adalah Rohana. Seketika darah di tubuhnya terasa mendidih.
“Birah, kenapa diam saja?”
“Mengapa Mas memberikan nomor telpon aku pada perempuan jahat itu?”
“Aku tidak memberikan nomor itu, memang dia tahunya nomor itu adalah masih nomorku. Bukankah aku sudah bilang bahwa yang aku berikan sama kamu itu simcard ku? Itu sebabnya dia mengira nomor itu masih aku yang memakainya. Padahal itu nomor lama dan tidak pernah lagi aku pergunakan.”
“Berarti Mas masih berhubungan sama dia kan?”
“Tidak. Dulu, pada awal dia pergi, tapi kemudian kami tidak lagi pernah berhubungan. Baru tadi, karena dia menanyakan anaknya.”
Birah terdiam. Dia baru tahu bahwa nomor yang dipakainya adalah nomor Murtono yang lama.
“Jangan-jangan diam-diam Mas masih berhubungan sama dia.”
“Tidak mungkin, kalau begitu mana aku akan minta kamu agar menjadi istriku.”
Birah terdiam, menunggu setelah rasa cemburu yang mengusik perasaannya sedikit mereda.
“Sudah, jangan marah. Lama sekali aku tidak bertemu dia, dan aku juga sudah melupakannya. Sekarang aku antar kamu pulang ya.”
“Baiklah, besok sidang pertama perceraian aku. Apa Mas mau menemani?”
“Tidak usah, lebih baik kamu sendiri saja, tidak enak sama suami kamu kalau aku datang bersamamu.”
“Semoga semuanya segera selesai. Aku sudah ingin benar-benar menjadi istri kamu.”
“Kalau dia tidak berusaha mencegah keinginan kamu untuk bercerai, pasti semuanya akan lancar.”
***
Hari sudah sore ketika Murtono memasuki rumahnya. Dilihatnya Satria sudah duduk di ruang tengah, menonton televisi. Murtono segera ikut duduk didekatnya.
“Tadi ibumu menelpon.”
Satria mengangkat wajahnya.
“Katanya menelpon kamu sejak pagi tapi tidak pernah nyambung.”
“Ponsel Satria mati. Lagipula sesungguhnya Satria sedang kesal pada ibu. Itu sebabnya Satria belum ingin pulang ke Jakarta.”
“Memangnya kenapa? Bukankah ibumu juga berpesan agar kamu mencarikan pembantu?”
“Biarkan saja. Hanya sendirian di rumah, paling bersama Tomy, mengapa harus mencari pembantu?”
“Suaminya?”
“Memangnya suaminya ada di rumah itu? Tidak, ibu sendirian sejak lima tahunan yang lalu.”
“Siapa yang mencukupi kebutuhan ibumu?”
“Suaminya masih selalu mengiriminya uang, karena ada Tomy bersama ibu.”
“Jadi ibumu janda?”
“Sudah lama. Bapak belum tahu ya?”
“Darimana bapak bisa tahu? Berkomunikasi saja tidak pernah. Kamu juga tidak pernah memberi tahu bapak.”
“Satria merasa bahwa hal itu tidak perlu Satria ceritakan. Bukankah Bapak juga tidak pernah menanyakan kabar ibu?”
“Tentu saja. Ibumu sudah pergi meninggalkan Bapak, berarti sudah tidak ada ikatan diantara kami. Tapi aku senang kamu bisa menyelesaikan kuliah kamu, dan tidak terpengaruh suasana rumah tangga ibu kamu juga.”
“Satria kan tidak pernah tinggal bersama ibu.”
“Hubungan kamu dengan Tomy? Baikkah?”
“Biasa saja. Jarang ketemu. Satria juga baru datang ke rumah ibu, kalau ibu menelpon dan mengatakan kangen.”
“Mengapa kamu sekarang kesal sama ibumu?”
“Ibu terlalu memanjakan Tomy. Sekolah nggak selesai-selesai, tapi minta apapun diberi. Kemarin minta mobil berharga semilyard lebih.”
Murtono tertawa.
“Mengapa kamu kesal? Itu uang mereka sendiri. Kalau kamu ingin, bapak juga bisa memberikannya.”
“Tidak, Satria tidak ingin minta apa-apa. Satria ingin segera bisa bekerja, nanti akan beli apa yang Satria inginkan, dengan uang yang Satria hasilkan sendiri.”
“Bagus. Bapak bangga sama kamu. Segeralah bekerja dan mencari istri, kamu sudah saatnya berumah tangga.”
Satria menggelengkan kepalanya. Ia melihat ibunya, sebagai wanita yang tidak setia karena meninggalkan ayahnya, dan sekarang, melihat wanita yang mengecewakan yang akan menjadi ibu tirinya. Apakah semua perempuan mengecewakan?
“Jangan mencari istri di Jakarta, di sini banyak gadis cantik, nanti bapak pilihkan untuk kamu.”
“Bapak dari mana? Satria tadi ke kantor, Bapak tidak ada. Katanya seharian tidak ke kantor,” kata Satria mengalihkan pembicaraan.
“Ya, ada perlu di luar.”
“Dengan perempuan itu?”
“Perempuan itu bernama Birah. Subirah.”
“Hm…”
“Ya, bapak bepergian sama dia.”
“Bapak serius, ingin mengambilnya sebagai istri?”
“Satria, bapak kesepian, dan melakukan hal buruk dengan banyak perempuan. Sudah saatnya bapak berhenti, dan kebetulan menemukan cinta pertama bapak. Bapak harap kamu jangan menghalangi.”
“Saya hanya seorang anak, mana punya hak untuk menghalangi?”
“Bapak harap kamu mengerti,” kata Murtono sambil bangkit, lalu berjalan menuju ke kamarnya.
Satria menghela napas kesal. Tampaknya tak ada yang bisa menghalangi sang ayah.
Tiba-tiba ponsel Satria berdering, dari ibunya. Sebenarnya Satria enggan mengangkatnya, tapi kalau tidak, nanti ibunya pasti akan terus menerus menelponnya.
Satria masuk ke kamar, tidak ingin ketika berbicara dengan ibunya, lalu sang ayah mendengarnya.
“Ya, ada apa?”
“Ibu menelpon sejak pagi tapi kamu tidak mengangkatnya, apa kamu masih marah pada ibu?”
Satria menutup pintu kamarnya rapat-rapat, lalu berbaring di ranjang.
“Satria tidak marah.”
“Kamu marah, ibu tahu. Dengar Satria, kalau kamu ingin, ibu juga bisa membelikan kamu mobil.”
“Tidak, Satria tidak ingin mobil bagus. Yang Satria pakai sudah cukup bagus.”
“Tapi kamu marah ketika ibu beli untuk Tomy. Ingat Satria, Tomy itu juga saudaramu. Sama-sama anak yang ibu lahirkan.”
“Bukan karena Satria ingin. Satria kesal, karena kelakuan Tomy diluaran yang tidak bener, dan kuliah tidak selesai-selesai, tapi ibu memanjakannya.”
“Satria, apa yang ibu berikan untuk Tomy itu dari ayahnya.”
“Satria tahu, tapi kalau ibu mengatakan bahwa Tomy itu saudara Satria, apa salah kalau Satria mengingatkan ibu bahwa tidak pada tempatnya kalau ibu terlalu memanjakannya? Kalau keterusan begitu, nanti ibu juga yang susah.”
“Baiklah, nanti ibu akan mengingatkannya, dan yang terpenting agar bisa segera menyelesaikan kuliahnya. Sekarang ibu mau bertanya, apakah ayahmu sedang dekat dengan seorang wanita?”
“Ibu tahu dari mana?”
“Tadi ibu menelpon ayahmu untuk menanyakan keberadaan kamu, tapi yang menerima perempuan, yang sikapnya sangat kasar. Tentu saja karena ibu kesal lalu ibu juga mengasarinya.”
“O, dia. Memang, tampaknya bapak ingin segera menikahinya.”
“Kamu tahu siapa dia? Apa salah satu dari perempuan yang sering melayani ayahmu?”
“Satria tidak tahu Bu, namanya Birah. Eh, Subirah.”
“Apa? Subirah?”
***
Siang hari itu Sutar pulang dengan mengendarai sepeda motor. Minar heran, darimana sang ayah mendapatkan sepeda motor itu? Lama setelah pensiun, Sutar segera menjual sepeda motornya, untuk keperluan kebutuhan rumah tangganya. Minar yang menunggu kedatangan ayahnya menjemputnya sampai turun dari teras.
“Sepeda motor baru? Bapak membelinya?”
Sutar tertawa.
“Kamu ada-ada saja, belum sebulan bekerja tapi sudah bisa beli sepeda motor? Ini sepeda motor kantor, kata bu Kirani, karena tidak terpakai, jadi bapak disuruh memakainya. Sudah beberapa hari sebelumnya, tapi Bapak perlu mengurus SIM yang sudah mati juga, sehingga baru bisa membawanya sekarang.”
“Bu Kiran sungguh baik ya pak.”
“Bersyukur bisa bertemu orang baik.”
“Minar sudah membuatkan minuman hangat untuk Bapak,” kata Minar sambil mengikuti ayahnya masuk.
Sutar mencuci kaki tangan dan berganti pakaian, kemudian duduk di ruang tengah, ditemani anaknya.
“Bagaimana pekerjaan Bapak? Apa Bapak benar-benar sudah bisa menjalankan tugas dengan baik? Bukankah Bapak menemukan hal baru di pekerjaan Bapak sekarang ini?”
“Benar, tapi bapak selalu belajar, mengikuti petunjuk bu Kirani. Lama-lama bapak bisa kok. Tidak masalah.”
“Berarti semuanya lancar ya Pak?”
“Alhamdulillah, lancar. Bapak mulai menyukai pekerjaan Bapak. Bapak juga sempat bertemu pak Mandor yang dulu memberi uang kita untuk bapak berobat. Ketika bapak mau mengembalikan uangnya, dia menolak.”
“Menolak? Tapi seandainya dia mau, apa Bapak punya uang?”
“Setiap ada perjalanan dinas keluar, bapak mendapat uang saku. Ini, masih ada duaratus ribu, kamu bawa saja.”
“Lhoh, kok banyak sih Pak?”
“Memang mendapat jatah untuk uang makan setiap ada tugas keluar, tapi tidak bapak pergunakan. Ini ada tigaratus ribu, yang duaratus kamu bawa untuk beli beras dan lain-lain. Bapak membawa seratus, untuk beli bensin.”
“Wah, besok sebenarnya Minar mau menjual sayur ke pasar, ada gambas berbuah banyak, pasti akan jadi beras nantinya,” kata Minar sambil tertawa.
“Terserah kamu saja, memang sayang dibiarkan kalau buahnya banyak.”
“Besok Minar mau beli lele untuk lauk, pakai uang yang Bapak berikan ini.”
“Atur saja oleh kamu. Kalau tidak salah, tiga hari lagi bapak sudah menerima gaji. Semoga dengan itu, kita bisa makan lebih teratur.”
“Aamiin.”
“Besok sidang perceraian dimulai, tapi bapak tidak akan datang.”
“Mengapa Pak?”
“Biar segera selesai, tidak usah ada perdebatan.”
Minar diam, rasa sedih kembali menggayutinya, mengingat rumah tangga ayahnya yang tak akan lagi seperti sebelumnya.
“Aku mau mandi dulu, kamu masak apa?”
“Karena ada gambas banyak, Minar masak sayur gambas, dengan keripik teri. Nggak tahu cocok apa enggak, semoga Bapak suka.”
“Suka dong. Kamu pinter masak, jauh lebih pintar dari ibumu,” kata Sutar sambil berlalu.
Minar sedang mengambil gelas bekas kopi untuk dicuci di dapur, ketika ibunya datang. Seperti biasa, selalu membawa bungkusan-bungkusan yang entah isinya apa, Minar tak pernah menanyakannya.
Ketika melihat ada sepeda motor di depan rumah, Birah menatapnya heran.
“Ini sepeda motor siapa?”
“O, itu sepeda motor kantornya bapak.”
“Huh, hanya buruh saja punya kantor. Tapi lumayan, tidak usah jalan kaki kalau mau berangkat bekerja,” kata Birah sambil terus langsung masuk ke rumah.
Minar membiarkannya, tapi kemudian dia juga langsung membuatkan minum untuk ibunya.
***
Birah membawa bungkusan ke dalam kamar. Seperti biasa, dia belanja baju dan lain-lain setelah Murtono memberinya uang.
Birah membuka bungkusannya, mengamati baju-baju yang dibelinya. Lalu ia mencoba mengenakannya.
Dengan riang dia membuka bajunya, untuk menggantikannya dengan yang baru. Tapi baru saja dia melepas bajunya, tiba-tiba pintu terbuka, dan Sutar masuk dengan hanya berselimutkan handuk.
“Kamu?” Sutar berteriak.
***
Besok lagi ya.
Matur suwun Bu Tienππ
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~13 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..π€²..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pal Djodhi
✨πΈ✨πΈ✨πΈ✨πΈ
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ¦
KaeSBe_13 sdh hadir.
Matur nuwun Bu Tienkuuh...
Doaku semoga Bu Tien
selalu sehat & bahagia
bersama kelg tercinta.
Salam seroja...ππ€©
✨πΈ✨πΈ✨πΈ✨πΈ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Alhamdulillaah mksh mb Tien yg sll aduhai
ReplyDeleteSami2 jeng Sapti
DeleteAlhamdulillah bwt bacaan malam mingguan
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Wiwik
DeleteSelamat ketemu Rohana.
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur niwun jeng In
DeleteSuwunmb Tien
ReplyDeleteSamo2 Yangtie
DeleteAlhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien πΉπΉπΉπΉπΉ
Sami3 ibu Susi
DeleteTernyata lebih gasik tayangnya ..sy setia jam 19.00 nunggunyaππΉ
ReplyDeleteAda acara sih
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
alhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
Sami2 ibu Nanik
DeleteAlhamdulillah.... KaeSBe_13 sdh tayang, maaf Dhe telat komen lagi ngrekam adike ngamen di Tengkleng Wedus "LALI OMAH" Rempoa Pesanggrahan.
ReplyDeleteGpp mas Kakek.
DeleteTop pokoke
Alhamdulillah..... sudah hadir....
ReplyDeleteterimakasih Bunda
Sami2 ibu Tutus
DeleteAlhamdulillah KSB ~13 Asdh bisa hadir. Matursuwun Bu Tien, sehat selalu nggih Bu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur niwun ibu Atiek
DeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah.Birah oh birahi tingkat dewa .Maturnuwun Bunda salam sehat wal afiat
ReplyDeleteSami2 pak Hrrry
DeleteSalam sehat juga
Matur nuwun jeng Tien salam sehat
ReplyDeleteSemoga Sutar berjodoh dengan Bu Kirani
Sami2 mbak Yaniiiik
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Kupetik Setangkai Bintang 13* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
waduh Sutar hanya pakai handuk, sedang Birah tanpa baju sebelum cerai kan boleh sekali ini saja. Akir cerita tdk jadi cerai membangun cinta lama, Kenikmatan masa lalu terulang kembali Semoga
ReplyDeleteHeheee... masa sih?
ReplyDeleteWaduh apa jadinya nih, satunya gak pakai baju satunya cuma pakai handuk......wouw ladah gimana nih jangan_jangan.....aaaaah tunggu besok lagi niye
ReplyDeleteMks bun ksb 13 nya....selamat malam...smg sehat n bahagia bersama kelrg
Sami2 ibu Supriyati
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
Matur nuwun
Terimakasih bunda Tien, KSB 13 sudah tayang, salam sehat selalu dan aduhai
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteSalsm sehat juga dan aduhai deh
Sutar pernah ditaksir Kirani, nah kini saatnya diteruskan.
ReplyDeleteRohana dan Satria kompak tidak suka Birah. Tapi bisa apa...
Minar masih belum laku, siapa ya yang akan naksir dia.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulilah KSB 13 sudah tayang terima kasih bu Tien .. smg bu Tien selalu sehat, bahagia dan sll dlm lindungan Allah SWT,, Salam hangat dan aduhai bun...
ReplyDeleteSatria dan minar dua orang anak muda yg baik dan kecewa pada ibunya ...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillaah tayang
ReplyDeleteSutar =Kirani
Murtono = birah
Satria = minar
Nebak hehehe
Makasih bunda
Sami2 ibu Engkas
DeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien tayangan cerbung 13
Semoga membawa barokah buat kita semua, khususnya bu tien sekeluarga semoga sehat2 n senantiasa dlm lindungan n bimbingan Allah SWT .... Aamiin yra
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Atif
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien, semoga sehat selalu π€²
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Bam's
Hamdallah...cerbung Ku Petik Setangkai Bintang 13 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Keluarga di Sala. Aamiin
Sidang perceraian Subirah datang, tapi Sutar tdk hadir, krn biar proses perceraian cepat kelar.
Tapi di akhir cerita ini, Subirah dan Sutar secara tdk sengaja bertemu di kamar nya, sama2 tanpa busana. Lantas Sutar berteriak.. wow mana tahan ternyata Subirah makin aduhai. Dalam hati mungkin Subirah berkata wow Sutar masih ganteng dan makin bersih..ππ
Adegan selanjut nya apa ya yng mereka lakukan..π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Munthoni
Lama gak ketemu, Birah gak bisa ngenali suara Rohana ya...coba ingat kan makin ribut.π
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Sehat selalu.ππ
Alhamdulillaah, Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat selalu ya π€π₯°πΏπ
ReplyDeleteSenangnya,Sutar dpt motor,
Tp kelakuan Birah jan..hihiππ€
Semakin gemes sama Birah.πMtr nwn Bu Tien, sehat sll.
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu aduhai
Alhamdulilah....matur nuwun jeng Tien cerbungnya
ReplyDelete