M E L A T I 43
(Tien Kumalasari)
Daniel berdiri, dan keluar ruangan untuk menerima telpon. Nomor tak dikenal soalnya. Tapi dengan hati-hati Daniel menjawabnya.
“Ini Mas Daniel?” belum-belum dari arah seberang sudah berteriak memanggil namanya.
“Ya. Ini siapa ya?”
“Mas Daniel kok bisa nggak ingat suara saya. Nomornya beda ya, ini ponsel bapak, soalnya punyaku baru saya cas.”
“Anjani?”
Anjani yang ada diseberang sana terkekeh lucu.
“Iya Mas, terkejut ya. Memangnya Mas Daniel belum pernah ya, telponan sama bapak?”
“Iya, belum pernah, tahunya nomor Anjani.”
“Ini Mas, saya cuma mau memastikan, soalnya nanti sore rapat terakhir sebelum minggu depan sudah hari H pernikahan saya.”
“Soal … pendamping pengantin?”
“Iya Mas, jadi nanti pendamping pengantin, mas Daniel, sama mbak Nurina ya?”
“Eh, tidak … tidak … bukan Nurina. Batal, dia sakit.”
“Oh, sakit apa? Kasihan, saya sudah mengirimkan pesan kepadanya juga tadi, cuma karena tidak direspon, lalu saya menelpon mas Daniel.”
“Kamu menghubungi Nurin?”
“Iya. Waktu ketemu, dia sudah memberikan nomor kontaknya.”
“Dia batal.”
“Lalu, siapa penggantinya Mas, saya tidak mencari lainnya lhoh.”
“Ada, namanya Melati.”
“Melati? Bagus banget namanya, pasti dia cantik,” seloroh Anjani.
“Sangat cantik,” kata Daniel sambil tertawa.
“Baiklah, itu sudah pasti ya, tidak akan diganti lagi kan?”
“Tidak, tak tergantikan,” Daniel masih bercanda.
Anjani tertawa senang.
“Baiklah Mas, tapi kalau seandainya Mas tidak sedang dinas, nanti boleh kok, datang di acara rapat panitia itu, supaya jelas mengetahui susunan acara secara keseluruhan.”
“Maaf, saya tidak bisa datang, karena dinas malam. Tapi nanti lain kali, atau besok sore, saya akan datang ke rumah bersama Melati, untuk mengetahui susunan acaranya.”
“Ya Mas, kalau begitu saya tunggu besok saja ya Mas, nanti kita bisa bicarakan lagi.”
Daniel kembali masuk ke dalam, lalu duduk di tempatnya semula.
“Tadi menyebut namaku ya Mas, dari siapa?” tanya Melati.
“Anjani.”
“Oh iya, kurang seminggu lagi Anjani dan Jatmiko menikah,” pekik Nilam senang.
“Kita belum dapat undangannya ya?” tanya Wijan.
“Mungkin belum, kan masih seminggu lebih. Lalu Mas bicara soal apa? Pendamping pengantin itu?” katanya kemudian kepada Daniel.
“Iya. Aku akan menjadi pendamping pengantin bersama Melati,” kata Daniel dengan wajah berseri.
Nilam dan Wijan mengacungkan kedua jempol tangannya.
“Kok aku sih Mas?” pekik Melati.
“Iya, mau siapa lagi?”
“Bukankah dulu Mas sudah memilih pendamping?” seloroh Melati.
“Batal, calon pendamping yang dulu sakit jiwa.”
“Eh, mas Daniel nggak boleh begitu,” kata Melati cemberut.
“Iya, Mas, nggak boleh begitu," sambung Nilam.
“Memang iya kan?”
“Bagaimanapun dia pantas dikasihani,” sambung Melati.
“Iya, maaf.”
“Dan permintaanku masih berlaku.” kata Melati.
“Permintaan apa?”
“Lamaran diterima, tapi Mas harus mencabut laporannya.”
Daniel merengut. Ia lupa bahwa Melati punya permintaan yang membuatnya kesal.
Wijan dan Nilam saling pandang.
“Ada satu permintaan juga dari aku. Aku akan mencabut laporan, asalkan dia mau meminta maaf, atau mengakui kesalahannya.”
“Itu benar, Melati. Bagaimanapun Nurin telah melakukan sesuatu yang mencemarkan nama baik mas Daniel. Kalau dia mengakui kesalahannya, aku juga setuju kalau mas Daniel mencabut laporannya," sambung Nilam.
Melati tak menjawab. Apakah Nurin masih terguncang jiwanya sehingga bicara tak tentu ujung pangkalnya, waktu itu? Apakah dia sudah bisa diajak bicara secara baik-baik? Diam-diam Melati berjanji akan melakukan pendekatan kembali, melupakan sikap bu Nely yang kasar terhadapnya.
“Apa mbak Nurin sudah tidak dirawat di rumah sakit?” tanya Melati.
“Sudah pulang tiga hari yang lalu. Kamu ingin membezoeknya?”
Melati hanya mengangkat bahu. Mendatangi rumahnya? Melati sama sekali tak takut. Ia harus melakukannya.
***
Di rumah Nurin, sang ibu terus menemani Nurin yang lebih banyak melamun. Sejak ia mendengar hasil pemeriksaan tentang dirinya, yang dipergunakan sebagai bukti untuk melaporkannya ke pihak berwajib, Nurin mulai berpikir bahwa ia sangat menyesalinya. Memang tidak mudah melalui hari-hari yang dipenuhi kebingungan, dan yang membuat dia harus dirawat seorang psikholog. Tapi lama kelamaan Nurin mulai menyadari hal yang pernah dilakukannya, dan menyesali sikapnya yang seperti orang gila.
“Aku tergila-gila untuk bisa menguasai dia ….” gumamnya pelan.
“Kamu tidak pantas mencintai seseorang dengan caramu ini.”
“Selama hidup Nurin tidak pernah ditolak seseorang. Nurinlah yang selalu menolak. Hal ini membuat Nurin merasa sakit.”
“Nurin, kamu ini cantik, pintar, mengapa kamu bisa melakukan hal sebodoh ini?”
“Apakah Nurin akan dipenjara?” ucapnya pilu.
Bu Nely tak menjawab. Sebuah laporan, dan itu nyata, dan jelas melanggar hukum, pastilah akan ada hukumannya.
“Namaku akan hancur bukan?”
“Apa kamu sangat mencintai Daniel?”
"Nurin hanya ingin menguasainya. Cinta itu apa? Nurin hanya ingin bersenang-senang, sebagai gadis yang dikagumi, disayangi. Nurin tidak mendapatkannya dari mas Daniel.”
“Lupakan ambisi bodoh seperti itu.”
“Nurin akan melupakannya. Semua itu sudah berlalu, Nurin siap menerima hukuman," tapi ketakutan membayang di wajahnya.
“Ibu sedang mencari pengacara terbaik untuk meringankan hukuman kamu,” kata bu Nely pilu.
Nurin mengambil ponselnya, memutar sebuah nomor, tapi tidak diangkat. Berkali-kali dilakukan, tanpa jawab.
Mendengar Nurin mengeluh. Bu Nely memegangi tangannya.
“Menelpon siapa?”
“Melati.”
“Melati? Untuk apa?”
“Dia marah sama Nurin, pasti. Buktinya telpon Nurin tidak diangkat oleh dia.”
“Ya sudah, mengapa kamu menelpon Melati? Memangnya dia bisa meringankan hukuman kamu, nanti?” kata bu Nely kesal.
“Hanya untuk meringankan beban sesal di hati Nurin.”
“Tidak ada gunanya. Yang penting itu beban hukuman kamu nantinya. Memangnya dia bisa apa?”
“Entahlah, dia itu baik, Nurin senang berbincang sama dia.”
“Untuk berusaha meminta agar dia merelakan Daniel untuk kamu?” sentak bu Nely.
“Tidak Bu, Nurin tidak ingin mas Daniel lagi. Dia pasti semakin benci pada Nurin.”
“Kalau begitu sudah. Jangan menelpon siapa-siapa.”
Tapi Nurin kemudian berdiri, dan melangkah keluar.
“Nurin, kamu mau ke mana?”
“Menghirup udara segar.”
Meskipun kesal, bu Nely membiarkannya. Ia sedang menghubungi pengacara yang dimintanya membantu Nurin saat persidangan nanti.
Nurin sudah berdiri di pagar. Ia ingin menemui Melati, tapi ketika ia membalikkan tubuhnya untuk mengambil kunci mobil, dilihatnya seseorang turun dari atas sepeda kayuh.
“Melati?” Nurin berteriak.
Melati menyandarkan sepedanya. Sesungguhnya ia berdebar-debar. Bagaimana kalau Nurin mengamuk dan masih berkata-kata seenaknya seperti saat di rumah sakit itu?
Tapi Melati melihat senyuman di bibir Nurin. Ketakutan dan keraguannya sedikit luntur. Ia melangkah mendekat, dan melihat senyuman Nurin semakin lebar. Itu senyuman orang waras bukan? Melati memarahi dirinya sendiri yang menganggap Nurin masih tidak waras.
“Melati? Senang melihatmu.”
Dan tanpa diduga Nurin merangkul Melati erat. Ada air mata jatuh di bahu Melati.
Melati mendorong tubuhnya pelan.
“Senang melihat mbak Nurin sudah sehat dan bisa pulang ke rumah.”
“Ya, aku sedang menunggu hukuman atas semua kesalahanku,” kata Nurin pilu.
“Jangan bilang begitu.”
“Kamu tahu Melati, aku keluar ini sebenarnya ingin menemui kamu. Kamu tidak bekerja?”
“Ini pas jam istirahat. Ingin menemui mbak Nurin.”
“Ya ampun, apakah ini namanya sehati? Aku mau menemui kamu, dan kamu mau menemui aku? Lalu ketemu disini. Lucu sekali.”
Melati tersenyum senang. Nurin benar-benar sudah bisa diajak bicara dengan benar. Tiba-tiba Nurin menariknya masuk ke halaman. Ada bangku taman yang ada di bawah sebuah pohon rindang. Nurin mengajak Melati duduk di sana.
"Di sini udaranya segar. Atau kamu mau masuk ke rumahku? Ayuk.”
“Tidak. Mbak Nurin benar, di sini lebih segar.”
“Melati, apa kamu tahu bahwa aku sedang menunggu hukuman? Pasti mas Daniel sudah mengatakannya bukan? Kamu sudah mendengar ceritanya bukan?”
“Saya sudah mendengarnya.”
“Tak akan ada yang bisa menolongku, bukan? Bagaimanapun aku akan dihukum. Aku menyesal telah melakukan semuanya.”
“Benarkah mbak Nurin menyesal?”
“Kamu bisa bersorak gembira, ketika mendengar aku menderita.”
Melati meraih tangan Nurina, mengelusnya lembut.
“Mengapa mbak Nurin mengira aku akan bersorak gembira?”
“Dulu aku membenci kamu, secara tidak langsung. Kamu melihat sikap aku baik, tapi sebenarnya aku membenci kamu. Kamu merasakannya bukan?”
“Saya tidak pernah merasa dibenci seseorang, karena saya tidak akan pernah membenci siapapun. Bahkan yang jahat terhadap saya sekalipun.”
“Hatimu sungguh mulia. Sekarang aku bisa mengerti, mengapa mas Daniel sangat mencintai kamu. Kamu itu cantik, luar dalam. Aku kagum kepadamu.”
“Mbak Nurin. Bagaimanapun, mbak Nurin telah menyakiti hati mas Daniel, bukan? Mbak Nurin membohongi dia, bukan?”
“Aku mengakui kesalahan aku, dan itu pula sebabnya aku siap menerima hukuman, walau sebenarnya aku takut. Bukankah di penjara itu sangat tidak enak?”
“Maukah Mbak Nurin ikut bersama saya untuk menemui mas Daniel?”
“Apa? Menemui dia? Tidak … tidak … Kamu ingin membuat aku malu ya?”
“Mengapa malu?”
“Aku sudah melakukan kesalahan, bagaimana bisa menemuinya?”
“Justru sebaiknya Mbak ketemu dia, dan meminta maaf padanya.”
“Melati, dia pasti akan menghajarku. Dosaku sudah teramat besar.”
“Tidak, kalau mas Daniel marah sama mbak Nurin, apalagi sampai menghajarnya, maka saya akan membela mbak Nurin. Biar saya saja yang dihajar olehnya, kalau sampai dia ingin menghajar mbak Nurin.”
“Kamu serius?”
“Datanglah ke rumahnya, saya akan mengikuti dengan sepeda itu.”
“Mana mungkin aku naik mobil, sedangkan kamu mengikuti aku dengan bersepeda?”
“Tidak apa-apa, saya kan tidak mungkin meninggalkan sepeda saya.”
“Tidak, ayo kita pergi dengan sepeda kamu.”
“Apa?” mata Melati terbelalak.
“Aku mbonceng kamu, ayolah…” kata Nurin sambil menarik tangan Melati. Mereka keluar halaman, dan Nurin memaksa Melati untuk mengayuh sepedanya, sedangkan dia membonceng di belakang.
Keduanya terkekeh-kekeh sepanjang jalan, seperti dua orang anak kecil menemukan mainan baru.
***
Daniel yang sedang membersihkan kebun, terbelalak melihat Melati berboncengan dengan seseorang, dan seseorang itu adalah Nurin.
Ia meletakkan sapu lidi yang semula dipegangnya, menatap keduanya tanpa berkedip. Lalu keduanya turun, tapi Nurin melangkah dengan ragu, di belakang Melati. Mata Daniel yang tajam seperti elang, menatapnya seperti melihat seekor anak ayam yang akan dijadikan mangsanya. Hati Nurin tinggal seujung buliran beras. Tapi kemudian Melati menariknya.
Daniel masih terpana, tak sepatah katapun terucap dari bibirnya.
“Mas, ada tamu, kok dibiarkan sih?” akhirnya tegur Melati.
“Oh, eh … iya … Tamu ya?”
“Nggak dipersilakan masuk nih?”
“Tidak … tidak, aku pulang saja ….”
Nurin ingin membalikkan tubuhnya, tapi Melati menariknya.
“Mbak Nurin gimana sih, katanya kepengin ketemu mas Daniel.”
“Eh … apa … kata siapa?” Nurin benar-benar gugup.
“Ada apa sebenarnya, ayo silakan masuk,” kata Daniel sambil mencuci tangannya di sebuah kran air yang ada di sana, kemudian mendahului masuk ke dalam rumah.
Melati menarik Nurin, memaksanya agar mengikutinya.
“Dia pasti marah,” bisiknya di telinga Melati.
“Kan aku sudah berjanji, akan membela mbak Nurin, kalau dia marah,” bisik Melati membalasnya.
Nurin duduk ragu di kursi teras. Melati menemani sambil tersenyum-senyum.
Daniel keluar sudah mengenakan baju bersih, setelah kelihatan kotor karena membersihkan kebun.
“Dari mana?”
“Dari rumah mbak Nurin.”
“Kamu?”
Melati mengangguk.
Nurin menundukkan wajahnya.
“Mbak Nurin, mas Daniel nggak marah kok. Katakan saja apa yang ingin Mbak katakan pada dia.”
Daniel tertegun. Ia teringat janjinya pada Melati, tentang pembatalan laporan dan segala syaratnya, sebelum ia boleh melamarnya. Diam-diam Daniel mengagumi Melati dengan kecerdasannya. Kalau Nurin mau meminta maaf, maka dia akan mencabut laporannya. Dan pencabutan laporan itu atas permintaan Melati, sebelum dia melamarnya. Tersungging sebuah senyuman dibibir Daniel.
Nurin yang mengangkat wajahnya, merasa lebih tenang melihat senyuman itu.
Melati yang duduk di sampingnya, menyentuh bahunya. Keduanya saling pandang, dan Melati memberi isyarat kepada Nurin dengan matanya, agar Nurin mengungkapkan apa yang ada di hatinya.
“Mas Daniel, saya minta maaf,” katanya lirih, sambil menundukkan wajahnya.
“Maaf untuk apa?”
“Saya melakukan banyak kesalahan. Maafkan.”
Daniel tersenyum, tapi Nurin yang menunduk tak melihat senyuman itu.
“Memohonlah maaf kepada Tuhan.”
“Mas Daniel memaafkan saya? Saya siap menerima hukumannya, saya siap di penjara,” bisiknya lirih.
“Aku maafkan kamu. Tapi memohon maaflah juga kepada Tuhan.”
Mereka berbincang tak lama, karena hari mulai remang. Keinginan untuk meminta maaf sudah diterima, Nurin merasa sedikit lega. Melati minta kepada Daniel agar mengantarkan Nurin. Tapi Nurin menolaknya.
“Aku boncengan sama kamu saja, tapi kali ini aku yang mengayuh sepedanya ya,” kata Nurin yang timbul kegembiraannya, membayangkan asyiknya berboncengan sepeda kayuh.
Tiba-tiba ada sebuah pesan masuk di ponsel Nurin. Rupanya ada beberapa pesan dari Anjani, dan panggilan tak terjawab. Dari Anjani juga.
“Oh, ini dari mbak Anjani, bukankah aku sudah sanggup menjadi …. “ ucapan Nurin terhenti dan urung membuka ponselnya, ketika melihat tatapan tajam Daniel kepadanya.
***
Besok lagi ya.
Suwun
ReplyDeleteSami2 pak Wirasaba
DeleteAlhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillah tayang *MELATI* ke empat puluh tiga
ReplyDeleteMoga bunda Tien sehat selalu doaku
Aamiin yaa
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
🌼🧚🏿♀️🌼🧚🏿♀️🌼🧚🏿♀️🌼🧚🏿♀️🌼🧚🏿♀️
ReplyDelete𝘈𝘭𝘩𝘢𝘮𝘥𝘶𝘭𝘪𝘭𝘭𝘢𝘩, 𝘔𝘌𝘓𝘈𝘛𝘐 𝘌𝘱𝘴_43 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘵𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘱𝘢𝘵 𝘸𝘢𝘬𝘵𝘶.
𝘮𝘉𝘢𝘬 𝘛𝘪𝘦𝘯..... 𝘚𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩 𝘥𝘪𝘬𝘢𝘶 𝘱𝘪𝘢𝘸𝘢𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘥𝘶𝘬-𝘢𝘥𝘶𝘬 𝘩𝘢𝘵𝘪 ❤💞𝘬𝘶 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘱𝘦𝘮𝘣𝘢𝘤𝘢 𝘭𝘢𝘪𝘯𝘯𝘺𝘢.
𝘔𝘦𝘭𝘢𝘵𝘪.... 𝘖𝘩 𝘔𝘦𝘭𝘢𝘵𝘪 𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩 𝘮𝘶𝘭𝘪𝘢 𝘩𝘢𝘵𝘪 ❤💞𝘮𝘶, 𝘯𝘥𝘶𝘬..... 😊😊😊
𝘛𝘦𝘳𝘪𝘮𝘢 𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩 😘💕
𝘮𝘉𝘢𝘬 𝘛𝘪𝘦𝘯, 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘚𝘌𝘙𝘖𝘑𝘈 𝘥𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱 𝘈𝘋𝘜𝘏𝘈𝘐 😘💕
🌼🧚🏿♀️🌼🧚🏿♀️🌼🧚🏿♀️🌼🧚🏿♀️🌼🧚🏿♀️
Matur nuwun mas Kakek
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Melati tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
Delete💛🌻💛🌻💛🌻💛🌻
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
MELATI 43 sdh hadir.
Matur nuwun Bu Tienkuuh...
Doaku smoga Bu Tien
selalu sehat & bahagia
bersama kelg tercinta.
Salam aduhai...😍🤩
💛🌻💛🌻💛🌻💛🌻
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Yes
ReplyDeleteTrmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteTerima kasih, ibu Tien.🙏🌹
ReplyDeleteSami2 ibu Nana
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Terima kasih, bu Tien cantiik... salam sehat untuk sekeluarga, ya💕
ReplyDeleteSami2 jeng Mita
DeleteSalam sehat juga
Waduh sudah ketinggalan jauh ,,,,Matur nuwun jeng Tien
ReplyDeleteSami2 mbak Yaniiikkk
DeleteAlhamdulillah MELATI~43 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲.
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
ReplyDeleteMelati & Daniel sambut masa bahagiamu 🌹
Maturnuwun cerbung hebat 👍🌷🙏🙏🙏
Aamiin Allahumma Aamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Herry
Sami2 ibu Uchu
DeleteSalam sehar juga
Sami2 ibu Sri
ReplyDeleteAduhai deh
Aamiin Allahumma Aamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Salamah
Aamiin Allahumma Aamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Munthoni
alhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun
Sami2 ibu Nanik
DeleteSami2 jeng Ning
ReplyDeleteADUHAI deh
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Salam aduhai hai hai
Sami2 ibu Endah..
DeleteAduhai hai2 deh
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *MELATI 43* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillaah, mulia nya Melati, begitu polos nya,, damai rasanya
ReplyDeleteSmg Nurin bisa menjadi lebih baik ya ,, hihi 🤩
Matur nuwun Bu Tien
Sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
Sami2 ibu Ika
DeleteAamiin
Aamiin Allahumma Aamiin
ReplyDeleteMatur nuwun Anrikodk
Matur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Anik
Alhamdulillah Melati - 43 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu
Aamiin Allahumma Aamiin
Aamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Melati tidak hanya basa basi tentang pencabutan laporan ke polisi. Bahkan proaktif mendatangi Nurin. Begitulah kalau orang berhati mulia.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Sungguh mulia dan baik hati Melati beruntung sungguh Daniel... Terimakasih bunda Tien salam sehat dan makin aduhai selalu
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Komariyah
Matur nuwun Bu Tien, alhamdulillah sudah menjelang happy end....
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteIya,ibu
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
Semoga bu tien sehat2 selalu
Aamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Matur nwn bu Tien, semoga sehat selalu 🤲
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Bams
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
DeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu. Aduhai
Sami2 ibu Sul
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu. Aduhai
Sami2 ibu Umi
DeleteAduhai deh
Matur nuwun Bunda Tien, sehat dan semangat menghibur pembaca. Dalam Aduhai
ReplyDeleteSami2 ibu Nanik
ReplyDeleteAduhai deh