KUPETIK SETANGKAI BINTANG 03
(Tien Kumalasari)
Birah duduk di ruang tengah, meletakkan bungkusan di lantai, lalu membukanya. Ia melambaikan tangannya ke arah Minar, yang kemudian mendekat.
“Udara mendung, makanya aku cepat-cepat pulang. Kalau ada yang kurang, besok beli lagi,” katanya sambil meraih bungkusan kecil yang tadi diletakkan di atas meja.
“Minar, ini untuk kamu.” katanya sambil mengulurkan sekotak alat kecantikan kepada Minar. Minar menerimanya dengan acuh tak acuh.
“Minar, gimana sih kamu? Kalau diberi sesuatu itu harus diterima dengan wajah gembira, begitu lho.”
“Tapi Minar nggak tahu ini untuk apa, Bu?”
“Itu alat-alat kecantikan yang ibu beli untuk kamu. Ada bedak, wangi banget bedaknya. Terus ada lipstik, pensil alis dan penghitam sekitar mata, entah apa itu namanya, pokoknya semua harus kamu pakai,” katanya tandas.
“Ini juga untuk kamu,” katanya lagi sambil mengeluarkan dua potong baju.
“Ibu beli baju juga untuk Minar?”
“Iya, pokoknya harus mulai mendandani diri mulai sekarang, supaya wajahmu tidak kelihatan kucel kayak gadis desa baru pulang dari sawah.”
Sutar duduk di depan mereka, menatap tanpa mengatakan apapun. Ada rasa sedih ketika melihat mata sang istri berbinar sambil mengeluarkan bungkusan-bungkusan baju.
“Kau suka warna bajunya? Ini indah, warnanya pink, dan orange. Ada bunga-bunga kecil di situ, pasti kamu bertambah cantik. Cobalah dulu, dan bercermin sana.”
“Nanti saja Bu, atau besok sehabis mandi.”
“Baiklah, terserah kamu saja. Pokoknya harus dipakai.”
“Ini baju-baju untukku, warnanya menyala semua, biar ibu kelihatan lebih muda. Oh ya, aku juga beli minyak wangi, cobalah,” kata Birah sambil menyemprotkan minyak wangi kehadapan sang anak. Minar langsung bersin-bersin, karena ibunya menyemprotkannya di dekat hidung.
“Huh, wangi apa itu, bikin pusing,” kata Sutar.
“Dasar orang miskin. Ini minyak wangi mahal, sebotol kecil ini dua puluh lima ribu rupiah. Bandingkan dengan minyak goreng yang sepuluh ribu rupiah bisa mendapat satu botol.”
Sutar menahan senyumnya. Bagaimana mungkin minyak wangi dibandingkan dengan minyak goreng?
Birah menumpuk baju yang jumlahnya ada empat potong, lalu bersiap membawanya ke kamar.
“Sebetulnya berapa banyak teman kamu memberi kamu uang, sehingga bisa membeli barang-barang sebanyak ini?”
“Pokoknya banyak. Katanya, besok kalau ketemu aku mau diberi lagi uangnya.”
“Hanya diberi orang kok senangnya bukan main,” cela Sutar.
“Eeh, sampeyan itu jangan asal mencela. Selama hidup belum pernah membelikan baju bagus untuk anak istri, sekarang ada yang memberi, kok malah seperti sedang mengejek begitu?” kata Birah kesal. Ia berdiri, tapi kemudian urung melangkah pergi, karena ia harus mengambil lagi sebuah bungkusan plastik yang entah isinya apa.
”Ini alat kecantikan untuk aku,” katanya tanpa ditanya.
“Untuk bapak, mana Bu?” tiba-tiba Minar memberanikan diri untuk bertanya.
“Apa? Bapakmu itu hanya akan menjadi tukang batu, tidak memerlukan baju bagus,” katanya kemudian berlalu.
“Ya, aku tidak memerlukan baju pemberian dari seseorang yang nggak jelas,” kata Sutar membalas ucapan tajam istrinya. Tapi Birah seperti tak memperhatikan, terus saja dia berlalu masuk ke dalam kamar.
Sutar menghela napas. Ada rasa sedih dan sakit melihat sang istri bergembira dengan pemberian orang lain, sementara dirinya tak pernah melakukannya.
“Aku akan mengumpulkan uang, untuk membelikan kamu baju-baju bagus, Minar,” kata Sutar kepada anak gadisnya yang masih ngelesot di lantai.
Minar menatap ayahnya sambil tersenyum, kemudian merebahkan kepalanya di pangkuan sang ayah.
“Bapak tidak usah memikirkan Minar. Minar senang dengan kehidupan kita ini, tak pernah memimpikan yang lain. Yang penting Bapak sama ibu sehat,” kata Minar tulus.
“Bapak tahu, kamu anak yang baik. Semoga kelak kamu menemukan kehidupan yang lebih layak.”
“Aamiin. Tapi Minar benar-benar tidak ingin menikah sekarang ini.”
“Bapak mengerti. Tidak usah tergesa-gesa, kamu masih sangat muda. Belum saatnya memikirkan sebuah rumah tangga.”
Minar mengangguk.
“Bapak mau makan sekarang?”
“Tidak, bapak belum lapar. Kamu saja makanlah, sama ibumu sana.”
“Bapak juga harus makan. Lauk yang diberikan ibu siang tadi masih ada. Minar sudah memanasinya, tapi … sebentar, sepertinya tadi ibu juga mau beli beras, sabar sebentar ya Pak, harus masak nasi dulu.”
“Tanyakan pada ibumu, barangkali juga mau makan. Nanti bapak menyusul ke ruang makan, kalau sudah siap."
Minar berdiri, mengetuk kamar ibunya, kemudian masuk.
Dilihatnya ibunya sedang memakai baju yang dibelinya, berputar-putar di depan almari kaca yang sudah retak di sana-sini.
“Bu ….”
“Eh, Minar, apakah baju ini bagus? Besok mau ibu pakai ke pasar. Pas sekali di tubuh ibu kan? Ah, ternyata ibu masih cantik,” katanya sambil tersenyum.
“Ibu makan sekarang ya?” kata Minar tanpa mempedulikan ulah ibunya yang tiba-tiba menjadi kemayu, seperti gadis belasan tahun saja.
“Oh, kamu saja makanlah sama bapakmu sana, aku tadi makan lontong sate dekat sekolahan. Hanya pengin, tapi kemudian tambah lagi, tambah lagi, jadi kenyang deh.”
“Kalau ibu tidak makan, bapak tidak mau makan.”
“Huh, manja. Tidak usah begitu. Bilang sama bapakmu, suruh makan sekarang, mumpung masih ada makanan.”
“Tadi ibu beli beras?”
“Ya ampuun, ibu lupa beli berasnya. Beli nasi lagi saja,” titah sang ibu sambil melepaskan bajunya, kemudian mencoba baju yang lain.
“Uangnya?”
"Itu, di dalam dompet. Eh tidak, sini … biar aku ambilkan saja,” kata Birah yang khawatir Minar mengetahui bahwa uangnya masih banyak. Tapi tidak sebenarnya, uangnya tinggal beberapa puluh ribu saja, karena membeli baju yang agak mahal untuk dirinya sendiri, tadi.
“Ini, beli lagi sepuluh ribu, cukup untuk bertiga kan?”
Minar menerima uang itu dan bergegas keluar untuk membeli nasi.
***
Malam sudah larut, ketika Birah mengajak suaminya bicara di teras. Minar sudah beberapa saat lalu masuk ke kamarnya, tidur.
“Ini sudah malam, kamu mau bicara apa? Aku besok harus bangun pagi-pagi, karena sudah mulai bekerja.”
“Iya aku tahu, tapi ini hal yang sangat penting.”
“Soal apa? Harusnya kamu bersyukur, aku sudah mulai bekerja, di almari masih ada uang sedikit, untuk makan seadanya selama seminggu. Aku akan menerima gaji seminggu sekali.”
“Aku sudah bosan hidup seperti ini,” kata Birah dengan wajah bersungut.
“Bersabarlah, kalau kita bisa berhemat, walau sedikit, pasti bisa menabung.”
“Huh, gaji seorang tukang batu, untuk makan bertiga, masih bisa menabung? Apa kamu mimpi Mas?”
“Asalkan kamu berhemat. Aku makan sekali saja kalau sudah pulang, paginya sarapan singkong apa ubi, seperti biasa.”
“Tidak … tidak … aku tidak mau.”
“Lalu maksudmu apa? Jangan bilang … kamu sudah menemukan jodoh untuk anakmu, aku tidak akan setuju.”
“Tidak, bukan itu.”
“Lalu apa?”
“Ceraikan aku.”
Bak disambar petir Sutar mendengar kata istrinya. Cerai? Hal itu tak pernah terlintas dalam pikirannya. Dulu, Birah muda sangat tergila-gila pada dirinya, karena Sutar lumayan ganteng, dan banyak gadis yang menyukainya. Bahkan ada anak kepala sekolah yang masih SMA, bernama Kirani, jatuh cinta kepada dirinya. Tapi waktu itu Sutar tak berani menerima cinta itu, mengingat siapa dirinya dan siapa Kirani.
Sutar memilih Birah, gadis cantik anak tukang warung langganannya yang mangkal di depan kantor tempat dia bekerja.
Sekarang Birah minta cerai? Gemetar tangan Sutar ketika meraih bahu istrinya, tapi yang kemudian ditepiskannya.
“Kamu ketempelan setan mana Birah?”
“Aku serius Pak, aku minta cerai. Aku sudah lelah hidup seperti ini. Besok kita urus perceraian kita. Kalau tidak biar aku yang menggugat cerai.”
Sutar terus menatap istrinya, dan masih tak percaya apa yang didengarnya. Diluar cuaca sangat gelap. Mendung menutupi rembulan sejak sore hari, tapi hujan belum juga turun. Hanya bunyi guntur terdengar bersahutan, seperti degup jantung Sutar saat itu.
“Apakah kamu sudah memikirkan masak-masak, dan apakah benar kehidupan yang susah ini membuat kamu memutuskan untuk bercerai?”
“Tentu saja aku sudah memikirkannya.”
“Sebelum berangkat pergi tadi pagi, kamu tidak bicara apa-apa. Dan seperti tidak terjadi apa-apa. Oh ya, apa keputusan kamu itu kamu lakukan setelah bertemu teman kamu siang tadi, yang entah siapa dia itu. Apakah dia laki-laki yang akan memungut kamu dari kehidupan yang susah ini?”
“Jangan membawa-bawa orang lain. Ini keputusan aku sendiri. Nanti biar Minar ikut sampeyan, agar bisa mengurus bapaknya yang sudah tua ini,” kata Birah enteng.
“Lalu setelah bercerai, kamu akan melakukan apa? Akan tinggal di mana, ataukah kamu sudah menemukan seseorang yang akan membuat hidupmu enak, dan berkecukupan?”
“Itu urusan aku, kamu tidak usah memikirkannya.”
Sutar tak menjawab. Ia bahkan masih terpekur di tempatnya, ketika Birah sudah masuk ke dalam.
Mendung yang menggantung, seperti tak lagi bisa bertahan menggenggam luapan air yang dikandungnya. Tiba-tiba saja air itu tumpah meruah, bersamaan dengan gelegar keras yang memekakkan telinga.
Sutar menggigil. Bukan hanya karena hujan yang kemudian membuat udara menjadi dingin, tapi karena ada sesuatu yang membuatnya tak bisa bertahan. Luapan sakit dan amarah, yang mengaduk-aduk darahnya, membuat tubuhnya seakan menjadi lemah tak bertenaga.
***
Ia terkulai di kursi, barangkali pingsan, atau tertidur. Sutar terjaga ketika Minar membangunkannya saat pagi masih buta.
“Bapak kok tidur di luar? Lihat, tubuh Bapak dingin sekali.”
Sutar membuka matanya. Berharap apa yang dialaminya hanyalah mimpi. Tapi tidak, sangat nyata ketika sang istri mengutarakan keinginannya untuk bercerai.
“Minar sudah membuat kopi untuk Bapak, masuk ke rumah yuk, udara di luar sangat dingin. Semalam hujan deras sekali.”
Sutar bangkit, melangkah dengan lunglai, lalu duduk di ruang tengah, di mana segelas kopi pahit yang biasanya dibuatkan Birah untuknya, telah siap di meja.
“Siapa membuat kopi ini?”
“Minar Pak, tadi ibu belum juga masuk ke dapur ketika Minar bangun. Jadi Minar buatkan kopi untuk Bapak. Minumlah, kenapa Bapak tidur di luar?”
Sutar meneguk minumannya pelan. Ia masih saja menggigil.
“Minar sudah merebus singkong untuk sarapan. Ibu belum beli beras juga.”
“Ambillah uang di bawah tumpukan baju bapak di almari, bawa saja uang itu semua, hanya beberapa puluh ribu, nanti pakailah untuk membeli beras sebagian.”
“Nanti ibu akan belanja beras.”
“Tidak usah menunggu ibumu.”
“Bapak kelihatannya sakit, apa sebaiknya tidak masuk kerja dulu hari ini?”
“Tidak, bapak harus masuk. Ini hari pertama yang aku janjikan kepada pak Mandor. Nanti aku urung diterima bekerja kalau tidak datang hari ini.”
Minar menatap ayahnya dengan iba. Ia yakin ayahnya sakit. Wajahnya pucat.
“Minar, maukah merebus sedikit air. Bapak ingin mandi dengan air hangat. Sepertinya bapak kedinginan.”
“Baik, Minar akan merebusnya sekarang,” kata Minar sambil berlalu. Sebenarnya dia tak tega membiarkan ayahnya bekerja, tapi alasan yang ayahnya kemukakan memang benar. Ini hari pertamanya bekerja. Kalau tidak masuk, bisa-bisa pak Mandor urung menerimanya. Ia belum sempat bertanya, mengapa sang ayah semalaman tidur di luar. Apa bertengkar dengan ibunya? Minar segera mengambil air dalam ceret yang kemudian dipanaskannya.
Sutar menghabiskan kopinya. Badannya sedikit menghangat, tapi ia masih merasa lemah. Ucapan istrinya yang minta cerai, sangat membuatnya tersiksa. Ia masuk ke dalam kamar, dan melihat sang istri masih terlelap. Di atas tempat tidur, beberapa baju baru berserakan. Hal yang tak biasa terjadi, karena kalau pagi Birah selalu bangun sebelum dirinya, lalu menyiapkan kopi dan membuat sarapan. Entah itu singkong atau ubi, pasti sarapan itu sang istri yang membuatnya.
Sutar mengambil handuk kumal yang tersampir di sudut kamar, lalu keluar dari kamar, menunggu air yang direbus Minar sudah siap untuk menghangatkan air mandinya.
Ia enggan membangunkan istrinya yang masih terlelap. Barangkali masih bermimpi tentang sebuah kehidupan enak menjadi orang kaya. Sutar juga masih bertanya-tanya di dalam hatinya, apa benar ada yang akan memungut istrinya dari kehidupan yang membuat sang istri merasa sengsara.
Sutar masih duduk menunggu ketika mendengar teriakan Minar dari arah belakang.
“Pak, airnya sudah Minar siapkan di dalam ember.”
Sutar bangkit, dan bergegas ke kamar mandi. Airnya masih panas, ia segera menambahkan air dingin ke dalamnya, sampai menjadi hangat.
Minar mengangkat singkong yang sudah masak, menyiapkannya di piring dan membawanya ke meja makan.
Dalam hati ia bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada ayahnya.
Ketika ia melangkah ke belakang sambil membawa baki untuk alas piring panas berisi singkong, sang ibu memanggilnya.
“Ayahmu mana?”
“Mandi. Dia harus segera berangkat bekerja, padahal menurut Minar, bapak sedang sakit. Semalam tidur di teras, sampai badannya dingin seperti es.”
“Apa ayahmu sudah bilang bahwa kami akan bercerai?”
Baki yang dibawa, jatuh ke lantai begitu saja.
***
Besok lagi ya.
Trmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteKejora pagi
ReplyDeleteSelasa, 21 Mei 2024
ððŠīððŠīðĨðŦðĨðŠīððŠīð
ðžðĄðððĒððŠðĄððĄðĄðð.......
*ððððððð ððððžððððžð ð―ððððžðð*
*#ððĨððĻðĪðð ð ð 02*
ððŠððð ðĐððŪððĢð ðĐððĨððĐ ðŽðð ðĐðŠ. ððĨ°
Dasar wong nDesa, minyak wangi kok dibandingke rega minyak goreng.... Birah.. Oh... Birah....
ðððĐðŠð§ ðĻððĒððð ðĢðŠðŽðŠðĢ ðĒð―ðð ððððĢ, ðĻððĄððĒ ðĻððððĐ ð§ðĪðððĢð & ðððĻðĒððĢð ðĻðð§ðĐð ðĐððĐððĨ ðžðŋðððžð ❤️ð·ðđ
ððŠīððŠīðĨðŦðĨðŠīððŠīð
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Alhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ðđðđðđðđðđ
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillah *KUPETIK SETANGKAI BINTANG*
ReplyDeleteepisode 3 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
Matur nuwun, bu Tien cantiik....salam sehat untuk sekeluarga, yaað
ReplyDeleteSami2 jeng Mita
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah dah tayang terima kasih bunda Tien ,semoga sehat selalu .
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Isti
Alhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~03 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..ðĪē.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun jeng Ning
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Munthoni
Matur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMatur nuwun Salam sehat
ReplyDeleteSami2 mbak Yaniiik
DeleteSalam sehat juga
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Bahasanya sangat memukau
ReplyDeleteMatur nuwun pak Widay2
DeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Sri
Alhamdulillah..
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...ðð
Sami2 ibu Padmasari
DeleteAstaghfirullaah,, kasihan pak Sutar,,
ReplyDeleteDilematik keluarga tak mampu ,
Birah sdg mabuk kepayang,
Sabaaar ya Minar,, perjalanannya msh panjang
Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat selalu ya ðĪðĨ°ðŋ❤️
Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
ð⭐ð⭐ð⭐ð⭐
ReplyDeleteAlhamdulillah ððĶ
KaesBe_03 sdh hadir.
Matur nuwun Bu Tienkuuh...
Doaku smoga Bu Tien
selalu sehat & bahagia
bersama kelg tercinta.
Salam aduhai...ððĪĐ
ð⭐ð⭐ð⭐ð⭐
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Terima ksih bunda KSB nya..slmt MLM slmt istrhat..lamngen dari Sukabumiððððđ
ReplyDeleteLsmngenjuga dari Solo ibu Farida
DeleteAlhamdulillah KSB - 03 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Allahumma Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Yang komen pada jam yang sama (19:00):
ReplyDelete1. Yangti
2. Kajek Habi
3. Susi Herawati
4. Muntoni
5. Nuning
Yang komen berikutnya, al:
1. Iin Maimun (19:03) 2. Paramita (19:04); 3. Isti Priyono (19:05);
Siip.. mas Kakek
DeleteAlhamdulillah KSB 03 sdh tayang
ReplyDeleteJangan" beneran Birah mau minta cerai......
Jangan ah kasihan pak Sugar
Daripada penasaran baca dulu ah....
Matur nuwun bu Tien moga sehat sll
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Wiwik
Maaf nulis p.Sutar kok jadi Sugar
ReplyDeleteGpp ibu Wiwik
DeleteAlhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteSehat dan bahagia selalu bersama keluarga . .
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ermi
Matur nuwun Bu Tien, ceritanya menarik....
ReplyDeleteTetap sehat njih Bu....aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Makasih mba Tien,
ReplyDeleteSalam sehat selalu, aduhai
Sami2 ibu Sul
DeleteSalamsehat dan aduhai deh
Kasihan bapaknya Minar kaget istrinya minta cerai, gara-gara iming-iming harta dari mantan.. Terimakasih bunda Tien, salamsshat dan aduhai selalu.
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAduhai deh
Alhamdulillah KSB 2 sudah tayang.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat..Aamiin
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Wiiiih...Birah nuekat...ðĪ
ReplyDeleteMtr nwn Bu Tien, sehat sll.
Sami2 ibu Endah
DeleteBirah mabuk kepayang. Memang harta dapat membuat bahagia sekaligus menghancurkan.
ReplyDeleteKasihan Sutar yang setia akan 'dibuang' oleh istrinya.
Untung anaknya berpihak kepadanya.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Terimakasih... Bunda Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Nanik
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur suwun bunda Tien K
Doaku bunda selalu sehat,bahagia dan selalu dalam lindungan Allah SWT
Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun Anrikodk
Ya ampun kasihan kamu Minar punya ibu ko egois bgt si kenapa gak berpikir panjang kamu Birah, kasihan anakmu dong.
ReplyDeleteMks bun KSB 3 sdh tayang, smg bunda Tien slalu sehat, sehingga bisa menemani penggemar"nya ....selamat malaaaam
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Supriyati
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Arif
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Wedeye
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Uchu