M E L A T I 30
(Tien Kumalasari)
Melati terkejut, ketika melihat Nurin ada di sana. Nurin melambaikan tangannya, dan Melati merasa tidak enak kalau tidak menurutinya.
“Sini, duduk di depanku.” sapa Nurin ramah.
“Saya cuma mau beli soto untuk dibawa pulang,” kata Melati yang mau tak mau kemudian duduk di depan Nurin.
“Pak, sotonya dua ya, saya sama sahabat saya ini,” teriak Nurin.
“Tapi … saya tidak makan … masih kenyang. Saya mau beli buat ibu di rumah.”
“Jangan begitu, temani aku makan dong, senang sekali, tadinya sendirian, dan sekarang ada teman makan. Nggak lama, ibu pasti akan sabar menunggu.”
Melihat keramahan Nurin, Melati terpaksa tak bisa menolaknya. Agak sungkan karena tiba-tiba diajak makan.
Seorang pelayan menyajikan hidangan di depan mereka.
“Oh ya, mau minum apa? Aku es jeruk saja ya?” pesannya kepada pelayan.
“Saya, jeruk panas,” kata Melati, agak sungkan.
Pelayan mengangguk dan berlalu.
“Ayo dimakan. Sudah sering kemari?” tanya Nurin.
“Beberapa kali, tapi selalu dibawa pulang.”
“Hm, enak. Pantas warungnya rame,” puji Nurin terus terang, setelah menyendok makanannya.
Baskoro tersenyum.
“Terima kasih, nak Nurin. Terima kasih juga kemarin sudah mengantarkan nak Daniel sampai ke rumah.”
“Sama-sama. Saya hanya mewakili Nilam.”
“Tapi nak Nurin sangat cocok lhoh.”
“Cocok apanya?” tanya Nurin
“Cocok kalau seandainya nanti bisa benar-benar hidup berdampingan,” kata Baskoro tanpa merasa berdosa, bahwa ucapannya sudah menyakiti Melati, yang diam-diam batinnya terasa nyeri.
Nurin tertawa lepas.
“Pak Baskoro bisa saja. Kami hanya berteman.”
“Awalnya teman biasa, lama-lama jadi teman hidup, siapa tahu.”
“Nggak lah Pak, jangan mengada-ada,” kata Nurin sambil melirik ke arah Melati yang menundukkan muka, seperti sedang menikmati makanannya.
Nurin bukannya tidak tahu, bahwa Daniel menyukai Melati. Tapi dia pura-pura tidak tahu, dan tak punya keinginan untuk menyangkal, dan berucap seakan apa yang dikatakan Baskoro adalah benar. Penolakan yang diucapkannya hanyalah pembenaran yang tersamar.
“Pokoknya saya doakan, agar kelak nak Nurin bisa jadian sama nak Daniel. Nak Daniel itu memang laki-laki sederhana, tidak punya mobil bagus seperti nak Nurin, tapi hatinya baik. Bener lhoh. Dia tuh penuh kasih sayang. Nak Nurin tahu nggak, dulu saya ini adalah orang yang hidup dijalanan, dan kadang-kadang juga menjadi peminta-minta.”
Nurin dan Melati mengangkat wajahnya. Ucapan Baskoro yang sangat berterus terang membuatnya terkejut. Antara percaya dan tidak, keduanya bertanya-tanya.
“Itu benar. Pada suatu hari saya sakit, nak Daniel membawa saya ke rumah sakit, kemudian membawa saya pulang ke rumahnya, memberi baju-baju bersih serta membuang pakaian kumal saya.”
Nurin dan Melati masih terpaku. Melati belum pernah mendengar bahwa penjual soto langganannya ternyata ada hubungannya dengan Daniel. Sejak tadi dia bertanya-tanya, mengapa sang penjual soto menyebut nama Daniel dengan sangat akrab. Ternyata ada ceritanya. Nurin yang kemarin juga bertanya tentang hubungan Baskoro dan Daniel juga belum terjawab, atau memang Daniel enggan menjawabnya. Sekarang dia mendengar dari Baskoro bagaimana mereka bisa hidup serumah.
“Awalnya saya mencoba memasak untuk membantu nak Daniel agar bisa makan di rumah dengan teratur. Lalu nak Daniel mendukung ketika saya bilang mau jualan soto. Nah, keluhuran budi nak Daniel terlihat lagi. Dia bersusah payah menyewa tempat ini, dan jadilah warung soto Baskoro.”
“O, begitu ceritanya?”
“Saya bercerita, hanya untuk mengatakan bahwa nak Daniel adalah seorang laki-laki yang baik. Dia tidak berlimpah harta, tapi berlimpah budi mulia yang tak ada bandingnya, untuk saya.”
Baskoro tampak sedang mempromosikan segala kebaikan Daniel, agar Nurin tertarik. Sama sekali tidak merasa bahwa hal itu seperti mencubit-cubit perasaan Melati tanpa ampun. Ia hanya diam, sementara Nurin tersenyum, sampai ia menghabiskan makanannya, kemudian menghabiskan minumannya.
“Ceritanya sungguh menarik.”
“Apa nak Nurin tertarik?”
“Sudahlah, pak Bas ini ada-ada saja. Malu jadinya didengar orang lain,” katanya sambil melirik ke arah Melati.
“Melati, apakah kamu masih mau nambah makannya?” tanya Nurin yang melihat Melati juga sudah menyelesaikan makan.
“Tidak, Mbak. Terima kasih banyak. Saya benar-benar sudah kenyang.”
“Nurin mengeluarkan selembar uang ratusan ribu, diberikannya kepada pak Baskoro.
“Tidak usah Nak, kenapa bayar? Nak Nurin sudah saya anggap sebagai orang baik yang sangat memperhatikan nak Daniel.”
“Tidak, jangan begitu. Terimalah, sekalian sama pesanan Melati yang akan dibawa pulang.”
“Tidak, biar saya bayar sendiri saja.”
“Tadi pesen berapa porsi?”
“Satu saja Pak.”
“Ya sudah, ini sudah siap.”
Melati menerima bungkusan soto yang diberikan, tapi ketika ia akan membayarnya, Nurin segera menariknya untuk keluar dari dalam warung.
“Jangan menolak, aku sudah membayarnya,” kata Nurin.
“Kalau begitu terima kembaliannya, Nak,” teriak Baskoro ketika melihat Nurin sudah mendekati mobilnya. Tapi sambil tersenyum, Nurin melambaikan tangannya, kemudian masuk ke dalam mobil.
“Melati, aku duluan,” pamitnya kepada Melati.
Melati tersenyum dan mengucapkan terima kasih, tapi entahlah, Nurin mendengarnya atau tidak, karena dia sudah langsung menjalankan mobilnya.
Baskoro menatap Melati tak berkedip. Berkali-kali ia mendengar nama Melati disebut Nurin. Baskoro sedang mengingat-ingat, apakah dia pernah mendengar nama itu? Tapi dia belum menemukan jawabannya, sampai ketika warungnya sudah tutup, dan dia berjalan ke arah rumah Daniel.
***
Melati mengayuh sepedanya dengan wajah murung. Biarpun berkali-kali ia mengatakan bahwa dia tahu diri, merasa tak pantas, atau bahkan lebih baik melupakan Daniel, tapi mendengar perkataan Baskoro kepada Nurin, tetap saja batinnya terasa seperti dirajang-rajang.
“Ya Allah, berarti aku belum ikhlas dengan semua yang pernah aku katakan. Bahwa aku masih berharap akan dia, bahwa ada rasa cinta yang berambisi ingin memilikinya. Tidak, aku tidak boleh sakit hati, bukankah aku tidak pantas untuknya?
Melati masih ingat, betapa wajah Nurin berseri-seri, ketika Baskoro mengatakan harapannya agar Nurin mau berdampingan dengan Baskoro. Ketika itu Melati merasa ada sebagian hatinya yang hilang. Tangannya menggapai ke arah langit, tapi tak sampai.
“Wahai hati, mengertilah. Aku tak ingin memikirkannya, aku tak mau … aku tak mau … matikan perasaan cinta ini, aku benciiiii!” tanpa terasa air mata menetes dari pelupuk mata, membasahi pipinya. Melati mengusapnya dengan ujung baju, sambil terus mengayuh sepeda bututnya.
Ia meyakinkan dirinya bahwa harus kuat, seberat apapun beban yang dipikulnya. Beban hutang saja akan dijalaninya, apalagi beban cinta. Duuuh, mana yang lebih berat sih, beban hutang atau beban cinta?
Melati memasuki halaman rumahnya, dan terkejut ketika melihat seseorang duduk di teras, ditemani ibunya.
Gemetar kaki Melati, seakan tak mampu melangkah.
“Melati, lihatlah, nak Daniel sudah menunggu kamu,” kata ibunya, membuat Melati melangkah pelan.
“Baru pulang?” kata Daniel sambil menatap tajam Melati. Tatapan itu lhoh, yang membuatnya selalu gemetar.
“Iya.”
“Duduklah, biar ibu buatkan minum untuk kalian. Nak Daniel juga belum lama datang.”
Melati mengangguk, kemudian duduk di depan Daniel, menampakkan senyuman kaku, seperti dibuat-buat.
“Kenapa kamu tampak murung?”
“Masa? Mungkin hanya lelah. Mengapa Mas kemari?” pertanyaan Melati ini tampak menyinggung perasaan Daniel. Seakan-akan ia mengatakan bahwa kalau tak ada perlu, janganlah kemari. Benarkah begitu?
Daniel mengerutkan keningnya.
“Kamu tak suka aku datang menemui kamu?”
“Bukankah Mas sedang sakit?”
“Aku sudah sembuh.”
“Tapi belum pulih kan?”
“Aku sudah baik-baik saja.”
“Senang mendengarnya. Tadi naik apa?” tanya Melati, karena ia tak melihat sepeda motor Daniel diparkir di halaman.
“Naik ojol. Belum berani naik sepeda motor.”
“Tuh kan, berarti belum pulih benar.”
“Tapi aku merasakan sakit yang lain.”
“Oh ya, sakit apa?”
Karti keluar membawa nampan berisi dua gelas teh hangat dan sepiring pisang goreng.
“Silakan diminum, dan silakan dinikmati pisang gorengnya, masih hangat lho Nak.”
“Baik Bu, terima kasih banyak.”
“Sampaikan ngobrolnya. Ibu belum mandi,” kata Karti yang langsung masuk ke dalam.
“Mas tadi bilang sakit yang lain, apa lagi? Masih pusing?” tanya Melati yang sesungguhnya merasa khawatir.
“Sakit aneh.”
“Sakit aneh bagaimana?”
“Sakit cinta,” kata Daniel sambil tersenyum, sementara Melati memalingkan wajahnya yang memerah.
“Bagaimana? Kamu bisa mengobatinya?”
“Apa sih, Mas?”
“Melati. Kamu selalu menghindar setiap kali aku mengatakan itu. Apa aku tidak pantas untuk kamu? Karena aku seorang duda?”
Melati menatap Daniel lalu menggelengkan kepalanya.
“Bukan itu. Aku yang tidak pantas.”
“Mengapa kamu mengatakan itu? Kalau kamu menolak karena kamu sudah punya pacar, katakanlah.”
“Tidak, aku tidak punya.”
“Karena aku duda?”
“Bukan.”
“Karena aku tidak kaya?”
“Bukaaan,” Melati menggelengkan kepalanya semakin keras.
“Katakan alasannya. Aku tahu bagaimana perasaanmu, mengapa kamu bohong?”
“Mas, lihatlah siapa aku. Lihatlah bagaimana keluargaku.”
“Aku tidak jauh berbeda dengan keluarga ini.”
“Tapi kamu punya keluarga yang terpandang, mana mungkin aku bisa diterima di keluarga kamu?”
“Tidak diterima karena apa? Yang mau punya istri itu aku, bukan orang lain, dan aku hanya memilihmu.”
“Ada yang sudah memilihkan istri yang lebih pantas untuk Mas.”
“Omong kosong apa itu?”
“Mas, aku ingin bicara terus terang. Nurin lebih pantas untuk Mas. Bukan aku.”
“Aku akan memilih Nurin, kalau kamu mengatakan bahwa kamu tidak mencintai aku. Katakan dengan jujur. Katakan melalui ucapan, yang berasal dari dasar hatimu. Jangan bohong. Aku menunggu keputusanmu.”
Melati menatap Daniel dengan air mata berlinang. Sesungguhnyalah bahwa dia mencintai Daniel, tapi bahwa dia meminta agar Daniel memilih Nurin, adalah keinginannya agar Daniel mendapatkan yang lebih pantas. Bukankah cinta tidak harus memiliki?
“Aku takut kamu akan menyesal Mas. Aku tidak berharga untuk kamu.”
“Pertanyaanku adalah, kamu mencintai aku, atau tidak. Jawaban kamu akan menentukan kemana aku harus melangkah,” kata Daniel, serius.
Melati bimbang, tak tahu mana yang harus dia ucapkan. Tapi bukan Melati kalau kemudian hatinya luluh lalu mengatakan apa yang dirasakannya. Harapan dari penjual soto yang ternyata keluarga Daniel, terngiang terus di telinganya.
Hatinya sudah bulat, ingin melihat Daniel bersanding dengan gadis yang lebih pantas. Karena itulah kemudian dia menggelengkan kepalanya.
“Apa jawabmu, katakan,” kata Daniel dengan tandas.
“Maaf Mas, aku tidak mencintai Mas.”
Separuh jiwa Daniel melayang, dan separuhnya lagi menunggui raganya yang luluh lantak.
***
Baskoro heran, ketika ia habis mandi, dilihatnya Daniel yang belum lama meninggalkan rumah, sudah berada di kamarnya, berbaring sambil menutupkan matanya.
“Nak Daniel? Kok sudah pulang? Nak Daniel dari mana sih?”
Daniel tak menjawab. Barangkali tak kuasa mengucapkan apapun, saat hatinya merasa lunglai.
Baskoro mendekat dengan perasaan khawatir. Dipegangnya dahi Daniel, yang terasa panas.
“Nak Daniel sakit? Sebenarnya saya melarang nak Daniel pergi ke mana-mana sebelum sehat benar. Sekarang bagaimana? Sakit lagi kan? Apa obatnya sudah diminum?”
Baskoro bergegas ke ruang makan, di mana Daniel meletakkan obatnya di sebuah kotak kecil, agar tidak lupa meminumnya setiap habis makan.
Baskoro membawa kotak itu ke kamar Daniel.
“Nak Daniel sudah meminum obat yang harus diminum siang tadi?”
Daniel akhirnya membuka matanya.
“Obatnya sudah diminum?”
“Sudah.”
“Mulai sekarang jangan pergi kemana-mana dulu, sampai benar-benar sembuh. Bukan apa-apa, saya hanya ingin nak Daniel benar-benar sehat.”
“Ya.”
“Rasanya bagaimana? Lengannya masih sakit? Mengapa tubuh nak Daniel panas? Apa ada penurun panas di sini?” Baskoro menunjuk ke arah kotak yang masih dibawanya.
“Tidak apa-apa, saya akan beristirahat sebentar, nanti pasti sembuh. Mungkin saya hanya merasa lelah.”
“Baiklah kalau begitu, akan saya buatkan minuman hangat,” kata Baskoro sambil berlalu.
Daniel kembali memejamkan matanya. Bukan badannya yang sakit, tapi hatinya.
***
Daniel terbangun ketika mendengar dering ponselnya. Ia berharap Melati menelponnya dan meralat pernyataannya. Sungguh dia tak percaya Melati tidak mencintainya. Melati berbohong. Melati terlalu merasa rendah diri. Ia meraih ponselnya, dan melihat nomor tak dikenal. Biarpun tak mengenal nomor kontak siapa, Daniel tetap mengangkatnya.
“Assalamu’alaikum,” sapanya.
“Wa’alaikumussalam.”
“Mas Daniel ya? Saya Anjani.”
“Oh, Anjani?”
“Mas masih ingat? Syukurlah.”
“Tumben menelpon malam-malam?”
“Maaf, Mas. Sebenarnya saya mau minta tolong. Bulan depan saya mau menikah. Mbak Nilam mengusulkan pendamping pengantin priya adalah mas Daniel. Apa Mas bersedia?”
“Oh, begitu ya, baiklah, tidak apa-apa.”
“Apa Mas punya pasangan yang sekiranya cocok?”
“Oh, ada … ada.”
“Tolong katakan namanya, biar segera bisa dicatat di buku acara.”
“Nurina.” kata Daniel tanpa berpikir panjang.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah sdh tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal afiat,Daniel ayo segera kejar cita cintamu 🏃♂️
ReplyDeleteMaturnuwun🌷🌻🙏🙏
Alhamdulillah sdh tayang. Salam sehat selalu untuk bu Tien..semangat menulisnya dibagi bagi dong
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteHamdallah...cerbung Melati 30 telah tayang
ReplyDeleteTaqaballahu Minna Wa Minkum
Terima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Keluarga di Sala. Selamat berakhir pekan dengan Kel nggeh Bun 💐💐🙏🙏🌹
Apa jadi nya kalau dua putri cantik, yang sama2 menaruh hati ke Daniel bertemu dan sama2 beli Soto di warung nya pak Tua.
Yuk kita ikutin kisah nya.
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *MELATI 30* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Yessss.
ReplyDeleteTerimakasih Bu Tien. 🙏🙏
Matur nuwun mbak Tien-ku Melati tayang
ReplyDelete💜🪻💜🪻💜🪻💜🪻
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
MELATI 30 sdh tayang.
Matur nuwun Bu Tien
yang baik hati.
Semoga Bu Tien tetap
sehat & smangaats.
Salam Seroja...🌹😍
💜🪻💜🪻💜🪻💜🪻
Hadeeeh, cinta Daniel dan Melati koq mbulet gitu...Minder bangets deh Melati, jd gemeeesh. Nanti tambah minder kalo liat Daniel berdampingan dgn Nurina...Apa yg terjadi yaa?? Sabar menanti ajaah kelanjutannya hr Senin. Penisirin bangets Bu...🤔🤭
DeleteMatur nuwun bu .. salam sehat nan Aduhai nggih.
ReplyDeleteAlhamdulillah ...Terima kasih Bunda
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, yang di-tunggu² akhirnya muncul.....
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda
Salam aduhai hai hai
Alhamdulillah ...
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ... semoga kita semua diparingi sehat Aamiin.🌹🌹🌹🌹🌹
Terima kasih bu Tien , melati 30 sdh tayang .... oalaaah malah ruwet ini hubungan daniel dan melati...
ReplyDeleteSelamat malam bunda salam hangat dan aduhai ❤️❤️
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur sembah nuwun mbak Tien
Melati dan Nurina..heeem
Hayuuk Daniel..gercep laah .jangan ragu2 dalam bersikap..tegaskan..mana yang kamu mau..,
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteMelati... Melati... Terlalu rendah diri.
Penasaran selanjutnya.
Rasanya lama menunggu Senin
Nurina dipastikan berdampingan dengan Daniel. Kalau tidak ada aral melintang. Tapi baru rencana untuk pendamping pengantin.
ReplyDeleteBagaimana Melati... tidak akan menyesalkah dirimu?
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Terimakasih... Bunda Tien... Semoga sehat walafiat lahir batin
ReplyDeleteWaah...Melati harusnya lebih pede bersaing dengan Nurin untuk mendapatkan Daniel ya...kan rumahnya lebih dekat ke warung Baskoro, jadi kesempatan berjumpa Daniel lebih besar. 😀
ReplyDeleteTerima kasih, bu Tien...Semoga sehat selalu.🙏🙏🙏
Begitulah jika sdg jatuh cinta,,,
ReplyDeleteSalah paham mereka buat sakit hati,,,
Saling menyakiti hati ,,,,tanpa berpikir panjang,, pelarian sesaat
Matur nuwun Bu Tien 🤗🥰
Salam sehat wal'afiat selalu tetap aduhaiii ,,, 👍💖
Sami2 ibu Ika
DeleteAduhai deh
Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Bu....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Pasti Nurina senang dan bahagia, akan berdampingan dengan Daniel.. penasaran menunggu reaksi Melati, semoga tidak sakit hati dan cemburu... masih menunggu Senin.. Mksh bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai selalu selamanya
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAduhai deh
Jadi gemes sama Melati, Daniel, Nurin & Pak Baskoro...
ReplyDeleteMtr nwn Bu Tien, sehat sll.
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Alhamdulillah MELATI 30 datang juga
ReplyDeleteMatursuwun Bu Tien MELATInya, sehat selalu nggih Bu Tien 💖
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Alhamdulillah MELATI~30 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲.
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Djodhi
👍
ReplyDeletekisah cinta melati tidak sederhana .... cerita sayapnya 👍..... menunggu kelokan selanjutnya 😁
Apakah Daniel masih demam?
ReplyDeleteSampai hati Melati mendustai hatinya dengan menolak cinta Daniel. Melati harus ingat pesan Zainuddin pada Hayati. Jangan sampai terlintas di hatimu Hayati, ada kebahagiaan melebihi kebahagiaan cinta...
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunga selalu sehat