M E L A T I 23
(Tien Kumalasari)
Daniel berteriak karena merasa kacau. Bukan hanya karena tak bisa segera menghubungi Melati, tapi sikap Melati yang katanya pagi tadi datang, tapi tidak menemuinya, membuatnya penasaran dan kesal. Ia menduga, pasti karena ada Nurin di dekatnya. Melati salah sangka. Ia pasti juga pernah melihat Nurin ketika selamatan tujuh bulanan di rumah Nilam. Ia tahu Nilam memanggilnya hanya untuk diperkenalkannya pada Nurin. Melati tahu, dan dia salah sangka. Tiba-tiba Daniel menyesal karena tidak segera mengutarakan isi hatinya pada Melati. Bahwa dia suka, bahwa dia cinta. Tapi dia mengatakannya pada ibunya. Apakah mungkin ibunya tidak mengatakannya pada Melati?
“Pak Daniel, makan dulu ya, biar saya suapin.”
“Tidak, saya belum ingin makan.”
“Bapak harus makan, supaya Bapak segera pulih.”
“Saya tidak ingin makan sekarang. Mengapa Anda memaksa?” tanpa sadar Daniel berteriak, membuat wajah perawat yang melayaninya menjadi pucat.
“Baiklah … baiklah … Bapak tidak usah berteriak.”
Daniel segera sadar, dia telah melakukan sesuatu yang tidak pantas, karena bersikap kasar kepada perawat yang melayaninya. Sebagai sesama perawat, dia tahu bahwa sikapnya barusan telah menyakiti perawat itu.
“Maaf … maafkan saya, suster. Saya hilang kendali. Perasaan saya sedang kacau,” katanya pelan.
Untunglah perawat itu bisa menekan perasaan kesalnya. Tugasnya adalah merawat dan melayani kebutuhan pasien, tidak seharusnya dia marah. Kalaupun marah, dia harus bisa menekannya di dalam hati.
“Apa Bapak ingin makan sendiri? Akan saya ambilkan meja penyangga untuk meletakkan makanan, sehingga Bapak bisa memakan makanan Bapak sendiri sambil tiduran."
Daniel mengangguk. Bukan karena ia memang sedang lapar, tapi lebih karena ia sedang berusaha memperbaiki sikapnya.
“Baiklah, begitu lebih baik,” katanya kemudian.
Perawat itu berlalu, mengambil meja kecil yang bisa dipergunakan untuk meletakkan makanan, sehingga pasien bisa memakan makanannya sendiri.
“Terima kasih, suster,” kata Daniel pelan, ketika suster itu menaruh mejanya diatas tubuhnya, lalu meletakkan makanannya di sana.
“Saya ambilkan sayurnya?”
“Biar saya sendiri saja. Terima kasih, dan sekali lagi saya minta maaf.”
“Tidak apa-apa, saya mengerti,” perawat itu berusaha tersenyum, menampakkan lesung pipitnya yang manis.
Biarpun enggan. Daniel berusaha memakannya, sesendok demi sesendok. Perawat itu duduk di atas kursi, di dekatnya.
“Bapak … kalau membutuhkan sesuatu, bilang saja.”
Daniel mengangguk, sambil mengunyah makanannya. Tapi pikiran tentang Melati terus saja menggayutinya. Bagaimana kalau Melati benar-benar tidak mau datang menjenguknya? Menunggu dia sembuh, lalu dia baru bisa mengatakan semuanya tentang Nurin? Tapi benarkah Melati marah karena Nurin?
“Kalau bukan itu, lalu apa?” gumamnya pelan, dan membuat suster perawat itu mendongakkan kepalanya.
“Bapak mau minum?”
“Oh, tidak … nanti saja,” katanya tersipu. Benar-benar bodoh, mengapa bibirnya begitu tak tahu malu sehingga mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya? Hanya beberapa patah kata, tapi pasti membuat suster itu bertanya-tanya.
“Apa Bapak ingin menghubungi seseorang?” tiba-tiba kata suster cantik itu.
Daniel menoleh ke arahnya. Lalu ia merasa, bahwa suster itu pasti tahu bahwa dia uring-uringan karena tak bisa menghubungi siapapun karena ponselnya rusak.
“Mm … iya sih.” katanya tersipu, sambil kemudian menyendok nasinya.
“Bapak boleh meminjam ponsel saya, atau mengatakan nomor yang akan Bapak hubungi, nanti saya akan menelpon dan mengatakan pesan Bapak.”
Daniel tampak berpikir. Ia ingat nomor Melati, tapi tidak sepenuhnya ingat. Nomor yang paling belakang itu dua … atau lima … atau berapa ya?
“Ini ponsel saya,” tiba-tiba saja perawat itu sudah memberikan ponselnya.
“Eh … nanti saja … mm … maksud saya … nomornya tidak tahu … eh… lupa.”
“Baiklah, Bapak ingat-ingat dulu saja, nanti bilang sama saya kalau Bapak sudah ingat ya.”
Daniel mengangguk, lalu diam-diam menyesali kelakuan kasarnya tadi. Suster itu sudah dibentaknya, tapi masih saja bersikap sangat baik.
“Suster jangan memanggil saya Bapak.”
“Oh, maaf.”
“Apa saya kelihatan sudah tua?”
“Tidak … bukan begitu … itu kan … panggilan untuk menghormati Bapak.”
Tapi sebenarnya Daniel juga sudah menyadari bahwa ia sudah berumur. Ia seorang duda, umurnya sudah tiga puluh tiga tahun. Memang bukan usia yang muda.
“Kalau Bapak keberatan … eh… saya harus memanggil apa?”
“Tidak, saya hanya bercanda, panggil bapak juga tidak apa-apa, saya memang tidak lagi muda.”
Perawat itu tersenyum. Ketika ia melihat Daniel menyelesaikan makannya, ia segera mengambilkan gelas berisi air putih dan sedotan, agar mudah Daniel meminumnya. Kemudian ia mengambil nampan bekas makan Daniel, dan mengambil mejanya, lalu merapikannya kembali.
“Bapak ingin makan buah? Ada banyak buah yang dibawa bapak-bapak tadi.”
“Nanti saya mengambilnya sendiri.”
“Baiklah, sekarang saya pergi dulu, kalau butuh sesuatu, pencet saja bel nya.”
Daniel mengangguk. Perasaannya terasa lebih nyaman, karena sikap perawat yang sangat baik tadi. Tapi ingatan tentang Melati masih sangat mengganggunya.
Ia mengingat ingat lagi nomor Melati. Susah juga sih, karena dia tidak pernah menelponnya walau sudah mencatat nomornya.
***
Jam makan siang sudah lewat, Daniel ingin memejamkan matanya, tapi tiba-tiba Nilam kembali muncul, bersama Wijan. Wijan mendekat dan tersenyum lucu, karena Nilam sudah menceritakan semuanya.
“Bagaimana Mas, hebat deh, kakakku ini berani mempertaruhkan nyawa demi cintanya kepada seorang gadis,” kata Wijan sambil menepuk tangan Daniel.
Daniel hanya tersenyum. Ia memang hampir kehilangan nyawa demi keinginannya menyelamatkan Melati.
“Bagaimana sekarang, mana yang sakit?” tanya Nilam.
“Jangan tanya. Kamu mau ikut-ikut meledek kakakmu ini kan?” sergah Daniel.
Nilam tertawa.
“Kamu sudah mengabari kantorku, dan juga pak Baskoro?”
“Sudah. Pak Baskoro mau kemari, nanti setelah warungnya tutup. Tampaknya dia sibuk sekali.”
“Syukurlah. Tidak apa-apa, yang penting dia sudah tahu.”
“Tadi dia bilang, semalam dia menelpon Mas berkali-kali, tapi tidak tersambung.”
“Ternyata ponselku rusak,” kata Daniel kesal.
“Oh ya? Aku kira hanya mati karena batery habis.”
“Nanti aku ganti yang baru Mas, nomor yang lama masih bisa digunakan pastinya,” sambung Wijan.
“Terima kasih. Tidak usah terburu-buru,” kata Daniel.
“Melati sudah balik ke sini lagi?” tanya Nilam.
Daniel menggelengkan kepalanya.
“Kamu tahu nomor kontaknya?” tanya Daniel.
“Ada, di kartu yang diberikan sama aku. Eh, maaf, tadi diminta Nurin.”
Daniel mengerutkan keningnya. Mengapa Nurin meminta nomor Melati?
“Itu bukan nomor Melati, tapi nomor perusahaan kateringnya. Nurin bilang ingin memesan masakan juga untuk acara di kantornya.”
“Kamu pasti masih punya di ponsel kamu kan?”
“Barangkali ada, tapi ponselku ketinggalan di rumah. Habis mas Wijan begitu datang langsung mengajak aku berangkat kemari, jadi ponselku tertinggal deh.”
“Pakai ponsel aku, kalau mau menghubungi pacar,” kata Wijan.
“Nomor kontaknya itu, aku lupa,” kata Daniel putus asa.
“Ya sudah, jangan khawatir, kalau masih belum tersambung juga, besok aku mampir ke kantornya deh. Jangan cemberut gitu dong Mas. Mungkin Melati cemburu karena melihat Nurin di sini, tadi. Jadi perlu penjelasan.”
“Nggak usah, biar aku sendiri bicara sama dia. Seperti anak kecil saja, harus minta tolong untuk bicara dengan seseorang."
“Eitt, seseorang itu adalah sesuatu yang sangat berharga lho.”
Nilam masih terus saja menggoda kakakya.
“Mas Daniel benar, jatuh cinta pada gadis itu?” tanya Wijan, kali ini tampak serius.
“Bagaimana menurutmu?”
“Kok malah nanya sih? Bukankah aku yang bertanya pada Mas?”
“Iya, kalau aku benar, suka sama dia, apakah kalian setuju?”
“Mas bukan anak kecil lagi, pasti sudah tahu, mana yang buruk, mana yang baik. Kalau menurut penilaian Mas, Melati itu baik, silakan saja. Kami akan mendukung kok. Ya kan, Nilam?”
Nilam mengangguk.
Tiba-tiba seorang perawat masuk.
“Pak Daniel, ada kiriman untuk Bapak,” kata perawat itu sambil meletakkan rantang bertumpuk tiga, di meja.
“Dari siapa?” tanya Nilam.
“Seorang gadis, katanya makanan untuk pak Daniel.”
“Dia menyebutkan namanya?”
“Tadi dia bilang … Melati.”
“Melati?” Daniel ingin bangkit, tapi Nilam menahannya.
"Biar aku kejar dia. Mas itu belum boleh bangun."
Tapi ketika Nilam beranjak keluar dari kamar, Wijan menahan lengannya.
“Biar aku saja, masa sih, orang hamil begitu besar mau lari mengejar seseorang?” kata Wijan yang kemudian bergegas keluar.
Di sekitar ruangan itu, ia tak melihat bayangan seseorang, kecuali perawat yang berlalu lalang, dan karyawan rumah sakit yang mendorong setumpuk nampan-nampan bekas makan pasien.
Wijan bergegas ke arah depan, melihat ke sana kemari. Di halaman rumah sakit itu, ia melihat seorang gadis sedang menuntun sepeda.
“Melati?” Wijan asal berteriak. Ia belum begitu mengenal Melati, karena waktu di rumah, ia sama sekali tidak berinteraksi dengan gadis itu. Semua pesanan adalah tanggung jawab Nilam sendiri, dibantu Suri.
Mendengar suara memanggil itu. Melati menoleh. Wijan melangkah mendekat.
“Mbak yang namanya Melati?”
Melati tentu saja mengenal Wijan. Karena waktu selamatan tujuh bulanan itu, Wijan ikut mengguyur tubuh istrinya dengan air penuh bunga.
Melati ingin kabur saja, karena merasa bersalah telah menyerahkan kiriman ibunya kepada perawat. Ya, tadi Karti ingin datang ke rumah sakit untuk membezoek Daniel, dengan membawa opor dan sambal goreng ati buatannya. Tapi Melati melarangnya. Ia ingin naik sepeda saja untuk mengantarkannya sendiri. Entah dengan alasan apa. Barangkali takut kalau ibunya berbicara tentang cinta yang pernah diucapkan Daniel.
“Melati,” Wijan sudah dekat, Melati menunggunya sambil tersenyum. Sudah kepalang kalau dia ingin lari. Ia sedang bersiap memberi jawaban kalau Wijan bertanya, mengapa dia langsung pergi.
“Ya, Pak?”
“Bukankah kamu yang tadi memberikan rantang, melalui perawat?”
“Iya. Ibu saya mengirimkan untuk mas Daniel, sebagai ucapan terima kasih. Mas Daniel terluka karena saya."
“Mengapa langsung pergi? Tidak ingin bertemu mas Daniel?”
“Itu … saya … besok saja, mm… tadi masih ada tamu.”
“Memangnya kenapa kalau ada tamu? Katanya kamu tadi pagi juga sudah ke sini.”
“Sungkan. Sekarang saya permisi dulu.”
“Sebentar saja ketemu Daniel. Nanti dia sedih lho.”
Melati tertawa lirih. Sedih? Benarkah Daniel akan sedih karena tidak ketemu dirinya?
“Ayolah, sebentar juga tidak apa-apa, nanti kalau dia kecewa, sedih, sakitnya nggak sembuh-sembuh, bagaimana?”
“Masih ada tamu, kan?”
“Tidak, hanya aku dan Nilam. Kami juga sudah mau pulang. Ayolah.”
Melati bimbang, mau pulang, sungkan, mau masuk kembali dan ketemu Daniel, juga sungkan. Tapi tiba-tiba Wijan mengambil alih sepeda Melati, dan memarkirkannya lagi.
Melati menyerah. Ia terpaksa masuk, dengan hati berdebar.
***
Daniel menatap Melati yang menundukkan wajahnya di sampingnya. Nilam dan Wijan sudah berpamit sejak Melati datang.
“Apa yang terjadi? Kamu tidak ingin melihatku? Melihat keadaanku?”
“Separuh hati saya sangat prihatin mendengar mas terluka sampai dirawat di rumah sakit. Tapi separuhnya lagi, saya sungkan, dan tidak berani mengganggu.”
“Karena pagi tadi kamu melihat Nurin di sini?”
“Dia tampak sangat perhatian.”
“Dia hanya kebetulan melihatku dirawat. Dia sedang mau membezoek temannya dan melihat namaku tertulis di situ. Dia juga yang kemudian mengabari Nilam.”
“Ya, tapi saya takut mengganggu.”
“Kamu tahu, sejak semalam aku mengharapkan bisa menelpon kamu, tapi malam itu ponselku hilang, dan paginya pak Ramon memberikan ponselku yang jatuh di halaman rumah pak Harjo. Tapi kemudian ternyata ponsel itu rusak. Aku bingung tidak bisa mendengar suaramu. Aku sangat mengkhawatirkan kamu.”
“Maaf Mas. Tapi aku baik-baik saja. Pak Samiaji dan tuan muda Ramon datang tepat waktu, dengan membawa polisi.”
“Ya, pak Ramon sudah mengatakannya. Ini kamu membawa apa?”
“Ibu memasak opor dan ingin mengirimkannya untuk Mas.”
“Bilang pada ibu, aku mengucapkan terima kasih.”
“Bagaimana sekarang keadaan Mas?”
“Aku baik-baik saja. Maksudnya, sudah merasa lebih baik. Sedikit pusing dan badan masih terasa sakit. Tapi sekarang sudah merasa kembali sehat, setelah kamu datang.”
Melati tersipu. Bukankah ia harus merasa lega karena ternyata Daniel mengharapkannya bertemu? Jadi apa benar kata ibunya, bahwa Daniel mencintainya?
“Mas Daniel, aku membawakan buah-buah segar untuk Mas,” suara nyaring itu membuat Daniel dan Melati melihat ke arah datangnya suara. Seorang gadis cantik berdiri sambil membawa sekeranjang buah-buahan.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
Delete🪼🪸🪼🪸🪼🪸🪼🪸
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
MELATI 23 sdh hadir.
Matur nuwun Bu Tienkuuh.
Doaku smoga Bu Tien
selalu sehat & bahagia
bersama kelg tercinta.
Salam aduhai...😍🌹
🪼🪸🪼🪸🪼🪸🪼🪸
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Trmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
Deleteerimakasih bunda Tien sehat selalu lahir batin
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wirasaba
Horeeee
ReplyDeleteHoreeee jugaaaa
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Melati tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah tayang *MELATI* ke dua puluh tiga
ReplyDeleteMoga bunda Tien sehat selalu doaku
Aamiin yaa Rabbal'alamiin
Alhamdulillah
ReplyDeleteSehat selalu bunda Tien 🙏
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Sehat wslafiat nggeh
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai deh
Alhamdulilah melati 23 sdh tayang .... weleh weleh pasti nurin lagi mau mengganggu hubungan melati.dan daniel nih
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien, semoga bu Tien sll sehat dan bahagia..salam hangat dan aduhai bun
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Matur nuwun jeng Tien Mugi Mugi tansah sehat nggih
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mbak Yaniiiiik
Alhamdulillah ... melati sdh tayang
ReplyDeleteSemoga bu Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endang
Alhamdulillah tayang.. maturnuwun.bu
ReplyDeleteSami2 ibu Ratna
DeleteTerima kasih bu Tien ... Melati ke 23 sdh tayang ... Smg bu Tien & kelrg bahagia dan sehat sll ... Salam Aduhai
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Enny
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
Semoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah Melati 22 tayang lebih awal.
ReplyDeleteTerimakasih dan Sehat2 selalu ya bu Tien 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Bams
Alhamdulillah....terimakasih Bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Tutus
DeleteAlhamdulillaah, mereka SDH ketemuan, rame nih ada Nurin dtg ..
ReplyDeleteMelati jgn cemburu ya , Daniel hny untuk mu kok,,,hihi
Matur nuwun Bu Tien 🤗🥰
Sehat wal'afiat selalu.Aamiin
Salam Aduhaiii 😍
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Yaa... datang lagi si pengganggu, sebaiknya ditolak saja buah buahan itu. Tetapi apa pantas ya.
ReplyDeleteIngin tahu, apa Harjo masih mengharapkan untuk memiliki Melati??
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal afiat,Akhirnya orang baik Pak Samiaji menolong Melati dan Daniel 👍 Maturnuwun🌷💐 🌹🪷🌺🌼🌻🙏
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah, MELATI 23 telah tayang, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Aamiin
DeleteTerima kasih ibu Uchu
𝘈𝘭𝘩𝘢𝘮𝘥𝘶𝘭𝘪𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘬𝘦𝘴𝘪𝘣𝘶𝘬𝘬𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘶𝘱𝘦𝘳 𝘥𝘶𝘱𝘦𝘳 𝘴𝘪𝘣𝘶𝘬𝘯𝘺𝘢, 𝘣𝘶𝘯𝘥𝘢 𝘛𝘪𝘦𝘯 𝘮𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘴𝘦𝘮𝘰𝘢𝘵 𝘮𝘪𝘬𝘪𝘳𝘪𝘯/𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘪𝘣𝘶𝘳 𝘬𝘪𝘵𝘢² 𝘱𝘢𝘳𝘢 𝘱𝘦𝘮𝘣𝘢𝘤𝘢 𝘤𝘦𝘳𝘣𝘶𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢....
ReplyDelete𝘛𝘦𝘳𝘪𝘮𝘢 𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘣𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬 𝘣𝘶 𝘛𝘪𝘦𝘯, 𝘴𝘦𝘩𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱 𝘈𝘋𝘜𝘏𝘈𝘐 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘳𝘺𝘢.
Sami2 mas Kakek
DeleteAlhamdulillah MELATI~23 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Wiwik Nur
Matur nuwun Bu Tien, salam sahat bahagia dari Yk Bu...
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillaah tayang, makasih bunda gadis yg membawa buah" an sepertinya nurin
ReplyDeleteSami2 ibu Engkas
DeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteSami2 ibu Anik
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *MELATI 23* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerimakasih bu tien ..... melati 23 sdh tayang
Semoga ibu tien sehat2 selalu & senantiasa dalam lindungan & bimbingan Allah SWT
Aamiin .... aamiin yaa rabbal'alamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Hamdallah...cerbung Melati 23 telah tayang
ReplyDeleteTaqaballahu Minna Wa Minkum
Terima kasih Bunda Tien
Sehat selalu nggeh Bunda. Bahagia bersama Keluarga di Sala.
Weleh..weleh..sang pecundang datang lagi 😁😁
Rupanya dia tdk rela klu Daniel jadian sama Melati. Daniel hrs bersikap thd Nurin, agar semua jadi jelas dan agar Melati tdk minder klu bertemu Nurin.
Sami2 pak Munthoni
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
Matur nuwun
Matur nuwun, Mbak Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu....
Sami2 ibu Purwani
DeleteSalam sehat juga
Hahaha...
ReplyDeleteMbak Tien ini suka sekali mempermainkan perasaan pembaca...
Terimakasih Mbak Tien...
Sami2 Mas MIRa
DeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSami2 ibu Sul
DeleteAlhamdulillah terimakasih mbakyu, sehat selalu nnjih
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Kun Yulia
Yaah...Nurin lagi, Nurin lagi...dasar pengganggu, nyela2 aja...payah deh!😬 Kapan dong Daniel ada kesempatan mengungkapkan rasa cintanya kepada Melati?
ReplyDeleteBtw, terima kasih ibu Tien...sehat selalu.🙏
Aamiin
DeleteSami2 ibu Nana
Alhamdulillah, matursuwun, semoga Bu Tien selalu sehat dan semangat
ReplyDeleteSalam ADUHAI.........
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Aduhai deh
Terimakasih Bunda Tien, semoga selalu sehat dan semangat berkarya semakin Aduhai👍🏼
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Nanik
Sami2 ibu Komariah
ReplyDelete