Thursday, April 18, 2024

M E L A T I 22

 M E L A T I    22

(Tien Kumalasari)

 

Nilam heran, mendengar Daniel berteriak. Ia memegangi tangannya yang berusaha melepaskan jarum infus.

“Mas Daniel, apa yang akan Mas lakukan?”

Daniel berhenti meronta, kepalanya menjadi semakin pusing.

“Mana dia? Melati datang kemari?” tanyanya lemah.

“Dia sudah pergi. Katanya sudah menemui Mas di sini. Bahkan aku suruh menunggu, agar bisa pulang bersama, dia tidak mau. Mengapa Mas tidak tahu kalau dia datang? Barangkali Mas tertidur?”

Tiba-tiba Daniel menatap Nurin dengan tatapan tajam.

“Kamu mengusirnya?”

“Apa? Jangan ngawur, aku bahkan belum pernah bertemu yang namanya Melati,” sengit Nurin yang merasa tak senang atas tuduhan itu.

“Jadi dia belum datang kemari?” tanya Nilam yang merasa heran.

“Selama aku di sini, tak ada orang yang datang kemari. Gadis itu berbohong. Entah apa maunya.”

“Mungkin dia tak jadi masuk karena sungkan,” kata Nilam berusaha menenangkan hati Daniel yang kemudian tampak gelisah.

“Aku ingin tahu, apakah dia baik-baik saja?”

“Dia sepertinya baik-baik saja. Kami sempat bicara sebentar. Tapi kan aku tidak tahu ada permasalahan apa. Apa yang sebenarnya terjadi?”

Tapi Daniel tak ingin mengatakan apapun. Tubuhnya yang masih merasa sakit dan kepalanya yang pusing, membuatnya enggan berbicara.

“Baiklah, kalau begitu aku pamit dulu,” kata Nurin yang merasa kesal dengan situasi seperti itu. Apalagi melihat Daniel yang enggan menatapnya lagi.

“Kamu mau ke mana? Nanti kita pulang bareng saja,” kata Nilam.

“Tidak, sebenarnya aku mau membezoek salah seorang teman, jadi aku akan mencari dulu di mana kamar inapnya,” kata Nurin yang berlalu begitu saja, bahkan tanpa pamit pada Daniel.

“Mas, Nurin tampaknya kesal karena Mas menuduhnya, tadi.”

“Aku hanya bertanya, soalnya aku juga penasaran tentang keadaannya.”

Tapi tiba-tiba dua orang muncul di ruangan itu. Nilam tentu saja tak mengenalnya. Mereka adalah Ramon dan Samiaji. Nilam segera mundur, dan belum sempat berkenalan dengan keduanya, karena mereka langsung mendekat ke arah Daniel.

“Daniel, bagaimana keadaan kamu?” tanya Ramon.

 Daniel menatap keduanya. Cukup lama ia mengingat-ingat, karena waktu itu dia dalam keadaan terluka, dan suasana memang sudah remang. Tapi Daniel mengenal suara-suara itu, suara yang penuh amarah tapi perhatian pada dirinya. Ia juga ingat saat di rumah sakit, mata teduh seorang pria setengah tua yang menjanjikan akan membawa Melati padanya.

“Bapak …. yang menolong saya?”

“Kami datang tepat waktu, sebelum Kabul menghabisi kamu,” kata Ramon.

“Terima kasih. Saya ingin pindah ke  rumah sakit di mana saya bekerja.”

“Aku sudah membayar biaya perawatan kamu selama sepuluh hari ke depan, jadi tetaplah di sini. Ini rumah sakit terbaik di kota kita,” kata Ramon.

Daniel menghela napas. Terharu atas kebaikan orang-orang yang belum dikenal sebelumnya.

“Sebagai penebus kesalahan ayahku, karena anak buahnya menyakiti kamu,” lanjut Ramon.

Daniel menatap laki-laki gagah di depannya.

“Bapak adalah ….”

“Daniel, ini adalah pak Ramon, putra pak Harjo," kata Samiaji.

Daniel menatap tak percaya. Bagaimana mungkin anak seorang rentenir bisa berbuat baik kepada dirinya?

“Saya kurang suka atas perbuatan ayah saya. Pak Samiaji ini adalah mertua saya. Kami sudah melaporkan kasus ini kepada polisi, dan ayah saya serta Kabul sudah ditahan.” kata Ramon lagi.

“Apa Melati sudah datang kemari? Dia sangat menghawatirkan kamu,” kata Samiaji .

Daniel menggeleng.

“Apa dia baik-baik saja?”

“Kami datang tepat waktu. Harjo belum melakukan apa-apa atas dia.”

Daniel menghela napas lega.

“Oh ya, ini ponsel kamu yang terjatuh di halaman ketika kamu bertikai dengan Kabul.” Ramon mengeluarkan sebuah ponsel dan memberikannya kepada Daniel.

Daniel merasa lega. Ia ingin segera menghubungi Melati.

“Tapi mati, tidak dicas sejak semalam.”

“Kamu bisa mengecasnya dengan meminjam salah seorang perawat nanti.”

Nilam yang sedari tadi duduk di sofa, hanya mendengar perbincangan yang sangat tidak dimengertinya. Tapi dia diam saja, tidak ingin menyela pembicaraan itu. Dia baru saja mengabari Wijan, suaminya, tentang keadaan Daniel, karena sang suami tidak bisa meninggalkan pekerjaannya saat itu.

“Kamu punya keluarga? Kami belum menghubungi siapapun karena tidak tahu harus menghubungi siapa,” kata Samiaji.

“Itu adik saya,” kata Daniel sambil menunjuk ke arah Nilam.

Nilam berdiri, mendekat kearah ke dua tamu Daniel sambil tersenyum. Ia mengulurkan tangannya dengan sopan.

“Saya Nilam, adik mas Daniel.”

“Oh, adikmu cantik sekali. Aku Samiaji, Nak.”

“Saya Ramon.”

Mereka bersalaman, lalu Samiaji menceritakan secara singkat awal mula mereka bisa bertemu Daniel yang nyaris terbunuh oleh anak buah Harjo.

Nilam bergidik ngeri. Ternyata kakaknya mengalami peristiwa yang luar biasa, demi membela Melati yang tadinya dibawa kabur seorang rentenir kejam.

“Terima kasih karena telah menyelamatkan kakak saya. Saya bahkan tidak tahu kalau mas Daniel terluka, kalau bukan salah seorang teman saya yang kebetulan datang kemari dan melihat mas Daniel, kemudian mengabari saya.”

“Maaf semalam belum sempat mengabari. Sedianya sekarang ini, setelah menanyakannya kepada Daniel. Soalnya kami juga sibuk memberi laporan ke kantor polisi, menjelang pagi baru pulang ke rumah.”

“Tidak apa-apa, Pak. Yang penting mas Daniel selamat. Saya bahkan baru mendengar ceritanya dari Bapak, karena mas Daniel belum sempat berbicara banyak. Tampaknya dia masih merasa kesakitan.”

“Aku sudah menyerahkannya kepada dokter terbaik. Kakakmu akan dirawat sampai sembuh. Tak ada yang harus dikhawatirkan,” kata Samiaji lagi.

Mereka tak lama berbincang, kemudian berpamit pergi karena katanya masih ada urusan.

Nilam meminta tolong kepada perawat, agar mengecas ponsel Daniel, kemudian dia juga berpamit pergi.

“Aku mau pulang dulu, nanti aku kembali bersama mas Wijan. Ponsel kamu sedang di cas, nanti perawat akan memberikannya setelah terisi.”

Daniel mengangguk.

"Tolong kabari rumah sakit tempatku bekerja, dan juga pak Baskoro."

“Baik, akan aku kabari sekarang.”

Nilam melangkah keluar sambil menelpon.

***

Nilam hampir memasuki mobilnya, ketika tiba- sebuah panggilan menghentikannya.

“Nilam.”

Nilam terkejut, melihat Nurin ternyata masih ada di rumah sakit itu.

“Kamu belum pulang?”

“Aku baru ketemu temanku yang dirawat.”

“Mau bareng aku?”

“Ya, mobilku mendadak ngadat, nggak tahu kenapa.”

Keduanya naik mobil bersama. Nilam tidak tahu, bahwa Nurin berbohong. Mobil sebagus itu, bagaimana bisa ngadat? Ia hanya ingin bisa berbincang dengan Nilam.

“Kenapa mobilmu?”

“Entahlah, biar nanti sopirku mengurusnya.”

“Aku antar kamu ke rumah, atau ke kantor?”

“Ke kantor saja, tadi pagi aku langsung ke rumah sakit.”

“Baiklah.”

“Nilam, sebenarnya Melati itu siapa? Benarkah, dia pacar mas Daniel?”

“Oh, dia … aku belum paham benar hubungan mereka itu bagaimana. Kelihatannya baru saling suka, atau entahlah.”

“Dia kuliah?”

“Tidak. Dia bekerja di sebuah perusahaan katering.”

“Oh, katering? Kebetulan aku butuh untuk keperluan kantorku, bisa minta alamatnya?”

“Ada kartu di tasku, sebentar, aku ambilkan."

“Biar aku yang ambil, kamu fokus nyetir saja.”

“Baiklah, aku taruh begitu saja, bukalah tas nya.”

“Ini?” kata Nurin setelah menemukan kartunya.”

Nilam mengangguk.

“Aku bawa ya? Kelihatannya ini langganan kamu? Waktu kamu tujuh bulanan itu?”

“Iya. Kamu merasakannya kan? Enak nggak?”

“Enak, sepertinya aku akan segera menghubunginya. Terima kasih banyak Nilam.”

***

Karti melarang Melati masuk bekerja hari itu. Dia ingin memasak yang enak untuk anak gadisnya, setelah terlepas dari cengkeraman Harjo yang sangat kejam.

Melati membiarkannya, karena tak ingin membuat ibunya kecewa. Sepulang dari rumah sakit, dia bersih-bersih rumah, menunggu sang ibu menyelesaikan memasak hari itu.

Ia menata meja makan, sehingga ketika ibunya selesai, mereka tinggal menyiapkannya di meja.

“Hm, baunya sedap sekali. Ibu masak apa?”

“Coba tebak, ini masakan apa. Baunya kelihatan kan?”

“Ini seperti opor. Benarkah?”

“Iya, ibu masak opor ayam dan sambel goreng ati.”

“Wauuww, ini namanya makan besar. Terima kasih ibu.”

“Ayo kita makan,” kata sang ibu sambil tersenyum.

“Ada kerupuk udang juga. Kapan ibu belanja semua ini?”

“Tadi pagi ada yang mengambil jahitan. Uangnya ibu pergunakan untuk belanja. Ibu langsung kepasar tadi.”

“Oh, waktu Melati pergi ke rumah sakit?”

“Iya. Tadi juga ada yang mengantarkan sepeda kamu ke rumah. Entah siapa, dia seperti terburu-buru."

“Oh, syukurlah.”

“Ibu belum sempat bertanya, bagaimana keadaan nak Daniel? Dia itu anak baik. Begitu mendengar cerita ibu, langsung menuju ke rumah tuan Harjo. Nanti ibu juga mau ikut menjenguk, dan membawakan opor untuknya.”

“Melati belum sempat ketemu mas Daniel.”

“Lhoh, bukannya tadi kamu pergi ke rumah sakit?”

“Waktu itu di dalam ruangannya sedang ada tamu, ada adiknya juga.”

“Jadi kamu belum menemuinya?”

“Sungkan Bu. Tamunya orang-orang kaya.”

“Apa maksudnya? Memangnya tidak boleh, membezoek bareng dengan orang kaya?”

“Mm … maksudnya … dia itu, sepertinya pacar mas Daniel.”

“Apa? Tidak mungkin,” kata Karti sambil menyendokkan nasi ke piring Melati.

“Mengapa tidak mungkin Bu? Mas Daniel itu keluarganya orang-orang berada semua. Memang kalau sekedar membezoek sih, tidak apa-apa, tapi lebih baik nanti saja Melati ke sana.”

“Kamu yakin, nak Daniel sudah punya pacar?”

“Mengapa ibu berkata begitu? Melati sudah melihat kebersamaan mereka beberapa kali. Tidak apa-apa sih, Melati hanya sungkan saja. Ayo temani Melati makan dong Bu, mengapa Ibu menatap Melati seperti itu?”

“Soalnya ibu mendengar sendiri, nak Daniel mengatakan  bahwa dia mencintai kamu.”

Melati urung menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.

“Apa, Bu?”

”Semalam, ketika dia datang kemari, dan pak Samiaji belum menelpon, dia mengatakan pada ibu, bahwa dia mencintai kamu.”

“Mana mungkin Bu.”

“Yah, ibu sih tidak tahu, itu benar atau tidak, tapi dia mengatakan bahwa dia mencintai kamu, itu memang iya.”

“Dia pasti bohong,” kata Melati pelan, lalu memasukkan suapan pertamanya ke mulut. Wajah gadis cantik yang waktu itu bercanda dengan keluarga Daniel di acara tujuh bulanan, terbayang. Lalu sikap gadis itu, yang menunggui Daniel seperti sangat perhatian, juga membayangi benaknya, membuat selera makannya hilang tiba-tiba.

“Bagaimana kamu itu, apa masakan ibu tidak enak?”

Melati terkejut, buru-buru dia memotong ayam di dalam opor dengan sendok dan garpu, lalu menyuapnya dengan wajah berbinar.

“Kamu sepertinya makan dengan terpaksa,” sungut sang ibu.

“Tidak, maaf Bu, tadi Melati agak melamun, ini enak sekali, bolehkah nanti Melati makannya nambah?” kata Melati dengan penuh semangat memakan nasi opornya.

“Oh ya, Melati belum mengambil sambal goreng atinya,” sambungnya sambil menyendok sambal goreng didalam mangkuk yang lain.

Tapi Karti bukan anak kecil, ia tahu ada yang mengganggu hati anak gadisnya. Tentang pacar Daniel? Bukankah Daniel mengatakan terus terang bahwa dia mencintai Melati? Mengapa Melati mengatakan bahwa dia sudah punya pacar? Itukah yang mengganggu hati Melati?

“Masa dia berbohong mengenai hal yang begitu penting. Menyatakan cinta itu kan bukan sesuatu yang bisa diucapkan sembarangan? Apalagi terhadap orang tua seperti ibu ini,” gumam Karti sambil menyendok makanannya.

“Ibu itu bicara apa? Masih berpikir tentang mas Daniel?”

“Tentu saja ibu pikirkan. Masa dia bicara sembarangan kepada orang tua seperti ibu.

”Ya sudah, tidak usah Ibu pikirkan lagi. Melati sudah melupakannya kok.”

“Kamu tidak ingin menelpon nak Daniel?”

“Mengapa Melati harus menelponnya? Sejak pagi Melati sudah menelpon untuk menanyakan keadaannya, tapi ponselnya mati.”

“Maksud ibu ya seperti itu. Karena tadi belum sempat ketemu, telpon saja untuk menanyakan keadaannya, dan tentunya juga berterima kasih. Karena dia menjadi seperti itu karena ingin membela kamu. Ya kan?”

“Ponselnya mati. Nanti saja agak sorean, Melati akan ke sana. Bukankah sepeda Melati sudah ada di rumah?”

***

Daniel membuka matanya setelah sempat tidur beberapa saat lamanya. Seorang perawat membawakannya makan siang.

“Pak Daniel, makan dulu ya. Biar saya suapin, karena Bapak belum boleh bangun,” kata perawat itu dengan ramah.

“Suster, mana ponsel saya?”

“Oh iya, saya lupa, sebentar akan saya ambilkan,” kata perawat itu sambil berlalu.

Yang diingat oleh Daniel ialah, bahwa dia harus menghubungi Melati secepatnya.

Tapi kemudian perawat itu membawa kembali ponselnya dengan wajah penuh sesal.

“Pak Daniel, ponsel Bapak tidak bisa di cas. Tampaknya memang mati karena rusak.”

***

Besok lagi ya.

62 comments:

  1. Alhamdulillah..
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah....
      Melati 22 sudah tayang....

      Selamat jeng Susi Herawati juaranya.

      Delete
  2. 🧡🍁🧡🍁🧡🍁🧡🍁
    Alhamdulillah 🙏🦋
    MELATI 22 sdh tayang.
    Matur nuwun Bu Tien
    yang baik hati.
    Semoga Bu Tien tetap
    sehat & smangaats.
    Salam Seroja...🌹😍
    🧡🍁🧡🍁🧡🍁🧡🍁

    ReplyDelete
  3. Hamdallah...cerbung Melati 20 telah tayang

    Taqaballahu Minna Wa Minkum

    Terima kasih Bunda Tien
    Sehat selalu nggeh Bunda. Bahagia bersama Keluarga di Sala.

    Harjono dan Kabul pada pating pringis di bekuk Polisi.

    Daniel menunggu pujaan hati Melati terhalang oleh Nurin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'lamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  4. Matur nuwun mbak Tien-ku Melati tayang

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah tayang *MELATI* ke dua puluh dua
    Moga bunda Tien sehat selalu doaku
    Aamiin yaa Rabbal'alamiin

    ReplyDelete
  6. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'lamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  7. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien semoga sehat walafiat nggeh

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah...
    Maturnuwun Bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  9. Maturnuwun bu.. selalu gasik..sg dalu, sg istirahat buTien

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal afiat,Akhirnya orang baik Pak Samiaji menolong Melati yang cemburu pada Daniel 👍 Maturnuwun🌷💐 🌹🪷🌺🌼🌻🙏

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien, semoga selalu diberikan kesehatan dan kebahagiaan
    🤲🙏

    ReplyDelete
  12. Aamiin Yaa Robbal'lamiin
    Matur nuwun pak Herry

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah, MELATI 22 telah tayang, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  14. Alhamdulilah melati 22 sdh tayang ... melati galau , daniel galau ... smg tidak dikacaukan nurin

    Bu Tien, salam sehat dan aduhai ya bun...semog ibu sekeluarga sll dalam lindungan Allah SWT

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah MELATI~22 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat semangat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'lamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete
  16. Matur nuwun salam sehat penuh berkat

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillaah, Daniel sabaaar ya , Melati sdg cemburu nih hihi

    Matur nuwun Bu Tien,
    Salam sehat wal'afiat selalu 🤗🥰

    ReplyDelete
  18. Terima kasij Mbu Tien... makin asyik nunggu part berikutnya....
    Seht sllu bersama krluarga..

    ReplyDelete

  19. Alhamdullilah
    Cerbung *MELATI 22* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...
    .

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'lamiin
      Matur nuwun pak Wedeye

      Delete
  20. Walaah....Nurin modus tuh...mesti mau nanya Melati, apa benar dia pacarnya Daniel? Sayangnya Melati masih ragu, bisa salah paham lagi deh...😅

    Terima kasih, ibu Tien. Salam sehat.🙏

    ReplyDelete
  21. Aduh...
    Ada² saja masalah yang dibuat Mbak Tien ini..
    Mbak Tien pintar sekali memainkan rasa eh perasaan pemirsa...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  22. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu selalu sehat ....

    ReplyDelete
  23. Maturnuwun Bu Tien semoga bu Tienselalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Endang

      Delete
  24. Matur nuwun bunda Tien...🙏
    Sehat selalu kagem bunda..

    ReplyDelete
  25. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun ibu Padmasari

    ReplyDelete
  26. Terimakasih bunda Tien sehat selalu lahir batin

    ReplyDelete
  27. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien semoga sehat selalu

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...